"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Selasa, 22 Juni 2010

Riwatat Hidup Toi Katu

Meski tidak ada informasi tertulis mengenai Desa Katu, tetapi desa ini memiliki riwayat yang
cukup panjang, paling tidak sejak awal abad ini. Seperti terlihat pada peta yang dikeluarkan oleh
Belanda pada tahun 1938 (Kruyt, 1938) di mana Katu jelas-jelas ada di sana.
Antara tahun 1910-1918, Orang Katu telah membuka hinoe (ladang) di sekitar Mapohi dan
Parabu. Tahun 1918, serdadu Belanda membakar hinoe yang siap panen dan lumbung makanan mereka.
Oleh Belanda, mereka dipaksa pindah ke Behoa Ngamba. Alasannya, mereka lebih mudah dikontrol,
ketimbang menetap di Katu
Beberapa pemuka masyarakat dari Bariri dan Hangira di Behoa Ngamba, antara lain Marato
(Umana Timboko = Bapaknya Timboko), Ntoapa (Umana Tahoe), Togoe, Mpande (Umana Geo),
Tokena (Umana Toreo), Tobuse (Umana Duri) beserta 7 orang pengikut mereka telah membuka kebunkebun
kopi mereka di Toporarena, nama sebuah tempat di Katu.
Pada tahun 1925, orang-orang itu menemui Raja Kabo di Wanga, untuk menjelaskan kesulitan
dalam membayar pajak (blasting) kepada Belanda. Seperti diketahui, bahwa wilayah Napu telah
ditaklukkan oleh Belanda 1905 oleh Letnan Voskuil (lihat Kruyt, 1975 : 184). Mereka mengemukakan
usaha perkebunan kopi di Katu sebagai jalan keluar. Raja Kabo merestui usaha itu.
Setahun berikutnya, mereka sudah membuat pemukiman di Katu. Tahun 1928, Raja Kabo
sendiri datang ke Katu meresmikan kampung baru tersebut. Ia datang bersama Wesseldijk untuk
membangun sekolah di Katu. J.W. Wesseldijk sendiri adalah seorang penginjil dataran tinggi di kawasan
itu (Kruyt, 1975). Kepala kampung Katu yang pertama adalah Marato. Setelah itu, mulai berdatangan
penduduk dari Besoa Ngamba dalam jumlah yang lebih banyak.
Pada tahun 1949, Orang Katu dipindahkan ke Bangkeluho. Alasannya, mereka kelaparan dan
menunggak membayar blasting. Kepala Distrik Langa Langimpu sebelumnya berjanji membantu
pemindahan itu dengan dua ton beras. Kenyataannya, hanya gabah yang diberikan, sehingga jauh dari
jumlah yang dijanjikan.
Di Bangkeluho, Orang Katu merasakan penderitaan, karena sukar mendapatkan kayu untuk
bangunan rumah dan peralatan rumah tangga lainnya. Mereka juga konflik dengan orang Bariri, yang
sebelumnya memang menguasai wilayah itu. Meskipun begitu, mereka tetap bertahan di sana beberapa
tahun.
Pada ahir tahun 1959, Orang Katu dipimpin oleh Humpui Torae (Umana Dema) kembali ke
Katu dari Bangkeluho. Kepindahan itu sama sekali tidak disetujui oleh Kepala Distrik M Bago. Karena
pada masa itu, daerah-daerah dataran tinggi di kawasan itu di bawah penguasaan Permesta, maka oleh
Kepala Distrik, Humpu Torae dilaporkan kepada Mayor Gerungan3. Ketika menemui Mayor.Gerungan,
3 Mayor Dee Gerungan adalah Komandan Sektor II Resimen Tim Pertempuran “Anoa” di Sulawesi
Tengah, dengan markas besar di Poso sejak tahun 19 Pebruari 1958 ; dia adalah anggota seksi keamanan
dari bantuan pemerintahan militer Permesta. Setelah dilakukan pendaratan pasukan pemerintah di Palu
dan Donggala pada bulan Maret & April 1958, Gerungan pergi menuju ke arah selatan bersama 200 anak
buahnya, dan pada bulan Mei 1959 menandatangani suatu persetujuan kerja sama militer dengan DII/TII.
Setelah usahanya yang gagal melarikan diri pada bulan April 1960, ia masuk Islam dan menjadi ajudan
5
Humpui Torae (pernah menjadi pengangkut barang pasukan Permesta) menjelaskan berbagai kesulitan
yang dialami Orang Katu di Bangkeluho, dan ternyata pimpinan Permesta itu menyetujuinya.
Raja Gembu dan Kepala Distrik M Bago datang ke Katu membuat upacara resmi Orang Katu
tetap tinggal di Katu. Upacara itu ditandai dengan penanaman pohon beringin dan sumpah (tôtôwi) agar
Orang Katu tetap bertahan di sana. Sejak itu, Orang Katu tetap tinggal di sana hingga saat ini.
Ketika pindah kembali ke Katu, Humpui Torae juga mengajak para pengungsi dari Suku Rampi
di Sulawesi Selatan yang terpaksa bermukim di Behoa Ngamba, karena peristiwa DI/TII. Orang-orang ini
kemudian membangun desa di sebelah Desa Katu dengan nama Desa Dodolo. Dengan alasan taman
nasional Desa Dodolo kemudian dipindahkan lagi ke antara Desa Wanga dan Desa Kaduwaa pada tahun
1989 (lihat Sangadji, 1999, Azis, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.