"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Minggu, 25 Desember 2011

Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis


Oleh : Martin Suryajaya

“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya” sedangkan “materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia”—demikian tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961.1 Kedua pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok pengertian: materialisme, dialektika dan historisitas. Melalui uraian atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.

1. Materialisme

Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme:

Pengantar Marxisme Althusser


Oleh: Martin Suryajaya

Harry Cleaver, dalam Reading Capital Politically, menyatakan bahwa proyek pemikiran Althusser adalah “rekonstruksi atas dogmatisme usang” dan karenanya Althusser ditempatkan dalam kategori “Ortodoksi Baru”.1 Bagi kita yang membaca sejarah secara terbalik—yakni membaca dari teori-teori trendi masa kini untuk lalu membaca ke belakang, ke sumber teori-teori tersebut—intuisi yang pertama kali muncul adalah kebingungan. Bagaimana bisa Althusser, sang Bapak Marxisme Prancis kontemporer yang pengaruhnya beranak-pinak hingga pemikir yang sering dikutip seperti Žîžek, Badiou, Ranciere, Laclau-Mouffe, bagaimana bisa orang seperti itu diklasifikasikan sebagai Ortodoksi Baru? Bukankah, misalnya, post-Marxism nya Laclau dan Mouffe amatlah jauh dari kesan yang ditimbulkan dari ungkapan “ortodoksi”? Lantas apa yang ortodoks dari seorang pemikir yang memungkinkan lahirnya sejumlah keragaman tradisi teoritik? Tak ada jawaban untuk pertanyaan ini selama kita tidak mempelajari sejarah ide Marxisme di Prancis yang melatar-belakangi kemunculan Althusser dan Althusserianisme. Tulisan singkat ini adalah pengantar umum tentang Marxisme khas Althusser.

Minggu, 11 Desember 2011

Malaysia dan Hari-Hari Julinya


Kedamaian dan Ketentraman - Mahkota dari setiap kelas penguasa di setiap epos. Pada 9 Juli, demonstrasi 50 ribu orang di tengah kota Kuala Lumpur merampok kelas penguasa Malaysia dari kedamaian dan ketentraman ini. Diorganisir oleh sebuah koalisi NGO-NGO dan kelompok-kelompok sipil, yang disebut koalisi Bersih 2.0, demonstrasi ini mengguncang Malaysia sampai ke dasarnya.
Belajar dari kelas penguasa di negara-negara Arab, bahwa mereka tidak boleh menunjukkan tanda-tanda kelemahan, pemerintahan UMNO dengan segera menyerang demonstrasi ini bahkan beberapa minggu sebelum ini dimulai. Bagian pertama dari gerakan ini yang mereka serang adalah kaum sosialis dari Partai Sosialis Malaysia (PSM), karena mereka paham betul bahwa PSM adalah elemen paling berbahaya di dalam gerakan ini: sebuah partai politik dengan sebuah program. Kelas penguasa mengerti bahwa NGO, kelompok-kelompok sipil, dan segala macam elemen-elemen liberal demokratik semacam itu, karena watak dasar mereka -- goyah di momen-momen penentuan, ragu ketika bergerak maju -- tidak akan pernah bisa memberikan sebuah kepemimpinan politik untuk menentangnya dengan serius. Sebuah partai politik dibutuhkan, sebuah partai dengan program sosialis yang dapat memberikan sebuah ekspresi politik yang terorganisir untuk gerakan ini. PSM memiliki potensial untuk menjadi partai politik ini. Dalam beberapa tahun belakangan ini, PSM telah tumbuh kuat dan suaranya mendapat gaung di antara kaum tertindas. Ia memenangkan anggota parlemennya yang pertama dua tahun yang lalu. Ini sungguh mengkhawatirkan kelas penguasa.

Pakistan yang Lain


Keganasan yang dengannya “komunitas internasional” dan media dunia mempersetan, menghina, dan mengutuk negara Pakistan telah mencengangkan elit penguasa setempat di negeri itu. Serangan-serangan yang menyengat, yang dilancarkan oleh para pemikir-strategis (think-tank) dan cendekiawan imperialis, terhadap ISI [agen rahasia Pakistan] dan pemerintahan negeri itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

Sebuah “negara yang gagal”, “tempat yang paling berbahaya di dunia”, “sangat penuh kebohongan”, “pengkhianat”, adalah beberapa ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan negara Pakistan. The Economist menulis dalam edisi terakhirnya, “Bila ditempatkan di manapun, Pakistan – yang juga memiliki catatan terburuk di dunia dalam hal pelucutan senjata nuklir – dapat dianggap sebagai sebuah negara berandalan (rogue state)”.
Semuanya ini secara parsial bahkan mungkin secara total benar bila kita berbicara tentang elit Pakistan, klas-klas penguasanya, dan para aparatur negaranya yang kebingungan. Namun kenyataannya, pemerintahan apapun yang kita jumpai di Pakistan, itu merupakan bikinan kaum imperialis sendiri. Tidak ada keraguan bahwa klas-klas penguasa yang terlambat tampil di panggung sejarah dan lemah secara ekonomi terpaksa bersandar pada imperialisme dan bergabung dengan sisa-sisa feodalisme sejak negeri itu dilahirkan.

Pokok-Pokok Sejarah Pemikiran Trotsky (Bagian Tiga)


Bagian Tiga: Trostky dalam Revolusi 1905
Revolusi pertama pecah di Rusia. Tahun 1905. Dua puluh ribu buruh berjalan menuju istana Tsar. Mereka penyampaikan petisi: menuntut perbaikan kondisi kehidupan rakyat. Massa meneriakkan yel-yel dan menunjukkan keberaniannya di depan rejim. Tsar gerah dan bingung. Penguasa sebuah imperium di Eropa timur ini kemudian memerintahkan tentaranya menumpas para “pemberontak”. Terlihat letupan api pada moncong senapan para tentara. Terdengar bunyi tembakan bersahutan. Korban berjatuhan. Ratusan massa tewas tertembus peluru. Ribuan massa terluka.
Inilah yang disebut Bloody Sunday (Minggu Berdarah) dalam sejarah Rusia. Sebuah kobaran besar yang apinya mampu menggoyang  tiang-tiang penyangga absolutisme otokrasi Tsar. Percikan apinya juga menyebar ke mana-mana, sampai  ke Munich. Hingga membuat Trotsky meninggalkan Munich untuk membantu pemberontakan.
Trotsky adalah salah satu dari para pemimpin emigran yang pertama kembali ke Rusia dari pengasingan. Ia mulai bekerjasama dengan kalangan bawah dari kaum Bolshevik dan Menshevik serta memproduksi selebaran-selebaran, seruan-seruan, surat pernyataan, esai dan pamflet-pamflet mengenai strategi-taktik politik. Peristiwa heroik ini membuatnya lebih yakin tentang perlunya proletariat dalam mengambil alih kekuasan.

Dari semua jajaran pemimpin Sosial Demokrat[1], adalah Trotsky yang memainkan peran palin penting di tahun 1905. Lunacharsky, salah seorang kawan dekat Lenin, menceritakan perihal Trotsky sebagai berikut:
“ ...Saya musti mengatakan bahwa dari seluruh pemimpin Sosial Demokrat  tahun 1905-1906, tanpa diragukan lagi, Trotskylah yang sangat menonjol....   Trotsky mengerti dengan baik dibanding yang lain apa artinya perjuangan politik pada skala luas, pada skala nasional. Dia lahir dari revolusi yang tengah mencapai puncak popularitas....  Trotsky kemudian berdiri  di peringkat paling depan.”

Pasifisme Sebagai Pelayan Imperialisme


Sumber: Communist International, Edisi Bahasa Inggris, No. 5. Tidak ada tanggal kapan artikel ini diterbitkan, namun artikel ini jelas ditulis pada periode Pemerintahan Provisional pertengahan tahun 1917, ketika Menshevik masih memiliki mayoritas di Kongres Soviet
Penerjemah: Ted Sprague (1 Oktober 2011) dari Pacifism as the Servant of Imperialisme , Leon Trotsky Internet Archive
-------------------------------------------------------------------------------
Tidak pernah ada begitu banyak kaum pasifis di dunia seperti sekarang ini, ketika di semua negeri manusia saling membunuh. Setiap epos sejarah tidak hanya memiliki tekniknya sendiri dan bentuk politiknya sendiri, tetapi juga kemunafikannya sendiri yang unik. Dulu kala, manusia saling menghancurkan atas nama ajaran Kristen mengenai cinta kasih kemanusiaan. Sekarang, hanya pemerintah-pemerintah terbelakang saja yang berperang atas nama Yesus Kristus. Negara-negara progresif saling memotong leher masing-masing atas nama pasifisme. Wilson[1] menyeret Amerika ke peperangan atas nama Liga Bangsa-Bangsa dan perdamaian abadi. Kerensky[2] dan Tsereteli[3] memerintahkan serangan ofensif demi perdamaian secepatnya.

Epos kita tidak memiliki satire-satire macam Juvenal[4]. Biarpun begitu, bahkan senjata satire yang paling kuat pun beresiko menjadi tak berdaya di hadapan kekejian dan kebodohan, dua elemen yang dibebaskan oleh perang ini.

Pokok-Pokok Sejarah Pemikiran Trotsky


Bagian Satu: Bertemu Lenin
Fajar belum sepenuhnya memudar di langit kota London, pintu rumah Lenin tiba-tiba diketuk keras oleh seseorang yang nampaknya sedang tergesa-gesa. Istri Lenin, Nadezhda Krupskaya, segera membukakan pintu dan membawanya menuju kamar kerja Lenin.
“Ohh, Kamerad...,” ucap Lenin kaget.
“Bronstein, dari Yanovka,” sahut seseorang itu.
Lenin sungguh terkejut, ternyata yang datang adalah seorang pemuda revolusioner dari Yanovka yang sudah ia kenal namanya. Ya, pemuda itu adalah Lev Bronstein, yang di kemudian hari dikenal dengan nama: Leon Trotsky[1].

Usai Krupskaya kembali dengan kopi, Lenin langsung mengajak Trotsky terlibat dalam diskusi dengan para pemberontak muda. Masa itu sangat berkesan bagi Trotsky . Tahun 1902.
Trotsky, yang lahir dengan nama lengkap Lev Davidovich Bronstein, sudah terkenal di kalangan kaum radikal sebagai organiser buruh, pemikir, dan penulis berbakat. Setelah menghabiskan waktu di penjara Siberia karena aktivitasnya di serikat buruh, ia melarikan diri ke Inggris atas permintaan Lenin. Tetapi ketika mendengar kabar bahwa gerakan rakyat Rusia mulai tumbuh, dan atas desakan kawan-kawannya serta istri pertamanya, Alexandra Sokolovskaya[2], Trotsky kemudian kembali lagi ke Rusia untuk melanjutkan perjuangan.

Manusia Tidak Hidup dari Politik Saja


Gagasan sederhana ini – manusia tidak hidup dari politik saja – harus sepenuhnya dipahami dan dipikirkan oleh semua yang berpidato 

atau menulis untuk tujuan propaganda. Waktu yang berubah membawa nada yang berubah. Sejarah partai kita sebelum revolusi adalah sejarah politik revolusioner. Literatur partai, organisasi partai – semuanya dikuasai oleh politik dalam pengertian yang paling langsung dan sempit dari kata tersebut. Krisis revolusioner telah membuat kepentingan-kepentingan dan masalah-masalah politik bahkan lebih intensif. Partai harus merekrut elemen-elemen kelas buruh yang paling aktif secara politik. Saat ini kelas buruh sangatlah sadar akan pencapaian-pencapaianfundamental dari revolusi ini. Kita tidak perlu mengulang-ulang lagi dan lagi cerita mengenai hasil-hasil tersebut. Ini sudah tidak lagi menggugah pikiran kaum buruh, dan justru lebih mungkin menghapus dari pikiran kaum buruh pelajaran-pelajaran dari masa lalu. Dengan penaklukan kekuasaan dan konsolidasinya sebagai hasil dari perang saudara, masalah-masalah utama kita telah bergeser ke kebutuhan-kebutuhan kebudayaan dan rekonstruksi ekonomi. Mereka telah menjadi lebih rumit, lebih detil, dan lebih langsung. Namun, untuk membenarkan semua perjuangan sebelumnya dan semua pengorbanan kita, kita harus belajar memahami masalah-masalah kebudayaan yang beragam ini, dan menyelesaikan mereka satu-per-satu.

Sekarang, apa yang sebenarnya telah dicapai dan diamankan oleh kelas buruh dari revolusi ini?

Pelajaran-pelajaran Komune Paris


Setiap kali kita mempelajari sejarah Komune Paris, kita melihatnya dari aspek yang baru. Dan ini adalah karena pengalaman yang telah kita peroleh dari perjuangan-perjuangan revolusioner sesudahnya dan terutama oleh revolusi-revolusi baru-baru ini, bukan hanya Revolusi Rusia, tetapi juga Revolusi Jerman dan Hungaria. Peperangan Franco-Jerman[1] adalah sebuah ledakan yang berdarah-darah, sang pembawa pembantaian besar. Komune Paris adalah pembawa revolusi proletar dunia.
Komune Paris menunjukkan kepada kita kepahlawanan rakyat pekerja, kemampuan mereka untuk bersatu, keberanian mereka untuk berkorban demi masa depan, tetapi pada saat yang sama Komune Paris menunjukkan kepada kita ketidakmampuan massa untuk memilih jalan mereka, keragu-raguan kepemimpinan gerakannya, kecondongan fatal mereka untuk berhenti setelah keberhasilan-keberhasilan awal, yang oleh karenanya memungkinkan musuhnya untuk mengambil napas dan membangun kembali posisinya.
Komune Paris tiba terlambat. Ia memiliki semua peluang untuk merebut kekuasaan pada 4 September dan ini akan memungkinkan kaum proletariat Paris untuk segera menempatkan diri mereka sebagai pemimpin kaum pekerja seluruh Prancis dalam perjuangan mereka melawan semua kekuatan-kekuatan dari masa lalu, melawan Bismarck[2] dan juga Thiers[3]. Tetapi kekuasaan jatuh ke tangan kaum demokrat yang hanya gemar berpidato. Kaum proletar Paris tidak punya sebuah partai, atau para pemimpin yang telah terikat kuat oleh perjuangan-perjuangan sebelumnya. Para patriot borjuis kecil, yang mengira diri mereka sosialis dan mencari dukungan para buruh, sesungguhnya tidak punya kepercayaan diri. Mereka mengoyahkan kepercayaan diri kaum proletar. Mereka terus mencari para pengacara terkemuka, jurnalis-jurnalis, wakil-wakil parlemen, yang tas-tasnya hanya berisi beberapa frase-frase revolusioner yang tidak jelas, untuk mempercayakan kepemimpinan gerakan pada mereka.

Jumat, 09 Desember 2011

BTNLL Berkilah Tolak


Pembangunan Jalan dan Perumahan di Katu

Sumber : SUARA SULTENG
Kamis, 13 Maret 2008

Palu-Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) berkilah atas penolakannya terhadap rencana pembangunan proyek jalan dan pemukiman di desa Katu, Kabupaten Poso.

Humas BTNLL, Agus Yulianto, ketika dikonfirmasi Suara Sulteng di kantornya, Rabu (12/3) kemarin, menampik tuduhan penolakan yang dialamatkan ke lembaganya karena katanya itu bakan wewenang Balai untuk menolak atau menyetujui adanya rencana pengalih-fungsian sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) menjadi jalan tetapi penentuan kebijakannya ada dimateri kehutanan. “Itu bukan wewenang kami, tetapi materi Kehutanan,” Kata Agus.

Menurutnya, apa yang yang dilakukan Balai, hanya menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (SDA), hayati dan Ekosistem serta UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999.
Agus menjelaskan, ada tiga fungsi Taman Nasiona yaitu pertama perlindungan sistem, kedua pengawetan keanekaragaman hayati, tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari SDA, keanekaragaman hayati, tumbuhan dan satwa di dalam kawasan Taman Nasional (TN).

Agama dan Kemiskinan

Oleh : Adriansyah, Mahasiswa Sosiologi, Fisip Universitas Tadulako

Apakah hubungan agama dan ketertindasan ? dalam agama penindasan terhadap sesama manusia sangat dilarang, agama adalah jalan menuju surgawi, sementara penindasan merupakan perlakuan orang yang melanggar hak-hak diri terhadap sesamanya dan selalu berkaitan dengan perlakuan kekerasan terhadap sesama manusia, agama diberikan sosok ilahi kepada manusia.

Ketertindasan yang saya maksutkan disini adalah ketertindasan  ekonomi yang menyebabkan orang miskin dan sengsara.

Jadi tidak ada hubungan antara agama dan ketertindasan, bernarkah demikian..? agama sangat melarang kekerasan terhadap sesama, apalagi dalam agama kristen yang menjunjung tinggi kasih terhadap sesama manusia, dan tidak ada agama yang membenarkan penindasan, lalu apa hubungannya antara agama dan ketertindasan..? dalam kehidupan sosio ekonomi politik yang religius masyarakat terbagi atas dua kelas ada yang disebut kelas tertindas dan ada yang disebut kelas penindas yaitu orang-orang yang melakukan eksploitasi terhadap sesama manusia sehingga menyebabkan manusia-manusia lain tertindas dan sengsara.

Kamis, 08 Desember 2011

Bencana dan Kemiskinan


Oleh : Adriansyah, Mahasiswa Sosiologi, Fisip Universitas Tadulako Palu

“Berserah kepada Tuhan, mungkin ini adalah keinginannya karena manusia semakin  seraka,” begitulah ungkapan yang kerapkali dinyatakan oleh orang-orang ketika mendapat bencana. Lebih tragis lagi, semua orangketika bencana datang harus berseru mempertanyakan hal yang sama, “inilah fakta yang harus kita terima suka atau tidak” Berbagai bencana terus melanda negeri ini. “Bagi kami kaum awam, hanya bisa pasrah dan menerima serta taat terhadap ajaran-anjar kebaikan yang kami peroleh dari keyakinan kami masing-masing.” Gelisah seorang kawan.  Sudah sekian tahun indonesia selalu mengalami bencana mungkin belum hilang dalam benak kita kejadian  pada tanggal 26 desember 2004 sunami yang melanda kota Aceh, semua orang berdoa dan berbondong-bondong memberikan bantuan mulai dari luar negeri hingga ke tingkat daerah di indonesia.

Kamis, 01 Desember 2011

Tugas-Tugas Demokratik Kaum Buruh (Pengantar Diskusi)

08/05/2011

 
Oleh Ganjar Krisdiyan*

Ketika menerima undangan dari TURC ini, melihat tema diskusinya: Transformasi Gerakan Buruh Menuju Gerakan Sosial dan Politik, mengingatkan saya kembali ketika memulai terlibat dalam gerakan, saya memulai semuanya sejak akhir tahun 1995 sebagai aktivis kampus, dan pada awal-awal tahun 1996 saya mulai melibatkan diri dalam rencana pemogokan umum/gabungan buruh di Tandes Surabaya bersama Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), pada waktu itu selain menuntut masalah-masalah normatif seperti cuti haid dan cuti hamil, pembayaran uang lembur, jamsostek dll PPBI juga menuntut Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar Rp. 7000,-/hari (pada saat itu upah buruhnya hanya Rp. 3500,-/hari, Pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan Pencabutan 5 Paket UU Politik. Seketika, pada satu hari setelah dimulainya pemogokan, kehebohan terjadi, hampir semua koran memberitakan, dengan tema yang hampir mirip, yaitu BURUH MENUNTUT DEMOKRASI, APA HUBUNGANNYA? Pemberitaan-pemberitaan pun dibuat sangat berat sebelah, dan yang paling banyak dimuat adalah pernyataan-pernyataan dari penguasa militer, baik daerah (Pangdam) maupun nasional (terutama dari Kasospol ABRI), yang inti pendapatnya kira-kira “BURUH KOK MENUNTUT DEMOKRASI, PASTI ADA YANG MENUNGGANGI”.

Rabu, 23 November 2011

PROBLEM FILSAFAT Part 1

MENJELANG KEMAJUAN

Menyambut penerbitan edisi kolektor JURNAL PROBLEM FILSAFAT

Pada mulanya adalah laporan kerja. Bukan komunikasi. Dari kerja membaca buku dan perkembangan pemikiran di Sekolah tinggi Filsafat Driyarkara (STFD); dari kerja diskusi-diskusin informal diwarung pojok GM “tidak mungkin Goenawan Muhammad berinvestasi di sebuah kios rokok, karenanya GM adalah okronim dari pemilik warung mas Gun dan mbak Mei”; dari kerja diskusi-diskusi bernuansa minuman fermentasi dari kota Semarang dan sekitarnya. Yang pertama memperanakkan semangat membaca; yang kedua memperanakan humor-humor kias filsafat, dan yang ketiga memperanakkan kritik dan penulisan ilmiah. Semangat membaca memperanakkan upaya mengumpulkan berbagai macam buku filsafat dari ujung paling kanan hingga titian baca Marxisme. Dari landas gerak sejarah siklis a Ia Yunani antik, ekskatologi Abad pertengahan, progresif-idealis Hegelian, sampai progresif-dialektis Marxian.

Kesepakatan To i Katu untuk Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.


Kesepakatan To i Katu (2011-2015)
Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia


MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
-----



DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA[1]


Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]




A.    Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Senin, 19 September 2011

Teori-Teori Perubahan Sosial Kapitalisme : Teori Modernisasi dan Pembangunan

Bagian pertama akan membahas bagaimana latar belakang teori-teori modernisasi dan pembangunan dilahirkan.Untuk memahami latar belakangnya,akan dibahas tiga teori sosial dan ekonomi terpenting yang digunakan menjadi landasan atau fondasi oleh teori modernisasi dan pembangunan.Teori-teori yang menjadi landasan teori-teori modernisasi dan pembangunan adalah : Teori Ekonomi klasik,teori evolusionisme,serta teori fungsionalisme. Nanti juga akan ada pembahasan mengenai pemikiran W.W. Rostow yang sering dianggap sebagai bapak teori pertumbuhan sosial.Kemudian ada pembahasan mengenai karya David Mc.Clelland tentang teori motivasi.

Selasa, 23 Agustus 2011

MENGAPA KEKUASAAN POLITIK MERAH TIONGKOK DAPAT BERDIRI

 MAO ZE-DONG 

 5 Oktober 1928

I. SITUASI POLITIK DALAM NEGERI

 
Rejim raja perang-raja perang baru Kuomintang yang sekarang ini masih tetap merupakan rejim klas komperador di kota-kota klas gembong lalim setempat dan ningrat jahat di desa-desa, suatu rejim yang keluar menyerah kepada imperialisme dan ke dalam mengganti rajaperang-rajaperang lama dengan rajaperang-rajaperang baru, serta melakukan penghisapan ekonomi dan penindasan politik yang lebih kejam  lagi daripada yang sudah-sudah terhadap klas buruh dan klas tani.Revolusi burjuis demokratis yang dimulai dari provinsi Kuangtung telah sampai di tengah jalan diserobot pimpinannya oleh klas komprador dan klas gembong lalim setempat dan ningrat jahat dan segera dialihkannya ke jalan kontra-revolusi; di seluruh negeri kaum buruh, kaum tani, rakyat biasa lainnya dan bahkan burjuasi 1) masih tetap berada di bawah kekuasaan kontra-revolusioner, tidak memperoleh pebebasan politik dan ekonomi sedikitpun.

Akar dan Fungsi Sosial Dunia Sastra

Leon Trotsky

Perdebatan mengenai “seni murni” dan seni bertendens sering terjadi diantara kaum liberal dan kaum “populis”. Permasalahan tersebut bukanlah persoalan kita. Dialektika materialis berdiri di atas ini; dari cara pandang proses historis yang obyektif, seni selalu merupakan pelayan sosial dan berdasarkan sejarah selalu bersifat utilitarian. Seni memberikan alunan kata yang dibutuhkan bagi suasana hati yang samar dan kelam, mendekatkan atau mengkontraskan pikiran dan perasaan, memperkaya pengalaman spiritual individu dan masyarakat, memurnikan perasaan, menjadikannya lebih fleksibel, lebih responsif, memperbesar volume pemikiran sebelumnya dan bukan melalui metode personal yang berdasar pada pengalaman yang terakumulasi, mendidik individu, kelompok sosial, kelas dan bangsa. Dan apa yang disumbangkannya tersebut tidak dipengaruhi oleh permasalahan apakah seni tersebut muncul di bawah bendera seni yang “murni” ataupun yang jelas-jelas bertendensi pada kasus tertentu.

Senin, 18 Juli 2011

Cinta Sejati dan Teman Sejati

Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur, ketika kita menangis, ketika kita membayangkan, ketika kita berciuman? Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT.  Kita semua agak aneh... dan hidup sendiri juga agak aneh... 

Dan ketika kita menemukan seseorang yang keunikannya SEJALAN dengan kita. Kita bergabung dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan serupa yang dinamakan CINTA. Ada hal - hal yang tidak ingin kita lepaskan... Orang - orang yang tidak ingin kita tinggalkan...

Senin, 11 Juli 2011

Melawan Rezim Militer Orde Baru

BERDIRINYA negara Orde Baru dibawah kekuasaan militer tidak bisa begitu saja dilepaskan atas puing-puing peristiwa 1965 di Indonesia. Bukan hanya PKI yang terlibat dalam situasi konflik disana, termasuk pihak asing, dan tentu saja kemunculan gerakan mahasiswa kala itu tidak bisa dilepaskan dari fenomena tersebut. Aksi mahasiswa yang mulai muncul kala itu untuk merespon, kondisi perekonomian, otoritarianisme, korupsi dan tentu saja peritiwa G30S pada mulanya tidak mampu untuk melakukan massifikasi. 

Hingga akhirnya menteri PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) Jendral Syarif Thayeb memberikan saran perlunya dibentuk kesatuan aksi mahasiswa yang berjaringan nasional, keberadaan menteri tersebut jelas menampakan kepentingan golongan tentara dari pada pemerintahan Soekarno, selanjutnya pertemuan di rumah menteri tersebut lahirlah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indoneisa) pada tanggal 25 Oktober 1965 dan pada tanggal 10 Juni 1966 di deklarasikan Tritura.

Mahasiswa dan Tantangan Zaman

Oleh M Abdullah Badri 

Membaca eksistensi mahasiswa dari masa ke masa, mau tidak mau akan berurusan dengan dimensi politik dan kekuasaan. Dalam perubahan besar maupun kecil, garda depan sejarah selalu ditempati mahasiswa, pemuda pada hakikatnya. Lihat saja bagaimana heroiknya kaum muda era 1908, 1928, 1945, 1960-an, 1980-an hingga 1998 yang menggerakkan perubahan-perubahan besar di negeri ini sesuai kebutuhan zamannya. Pra kemerdekaan, dimensi politik gerakan mahasiswa berkaitan dengan semangat melawan kolonialisme dengan membangkitkan semangat memperjuangkan kemerdekaan. 

Budi Oetomo sebagai basis gerakan yang cukup berpengaruh ketika itu. Di era awal kemerdekaan, semangat itu merujuk pada perlawanan politik atas bahaya neo-imperialime dan kapitalisme. Bung Karno ada di depan gawang gerakan ini. Menginjak era Orde Baru, mahasiswa dihadapkan dengan rezim otoriter yang membungkam gerakan kritis-politis. Sementara pada Era Reformasi, mereka “berhasil” menggulingkan rezim Soeharto, 21 Mei 1998.

Jumat, 10 Juni 2011

Polri Diminta Klarifikasi Sebutan Teroris

Kamis, 09 Juni 2011
Sumber : Media Alkhairaat

PALU- Direktur Lembaga Pengembangan Studi dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulawesi Tengah Muslimun meminta pimpinan polri mengklarifikasikan penyebutan teroris kepada tersangka pelaku terhadap penembakan polisi di depan kantor BCA Palu.

Jumat, 03 Juni 2011

Hasil Penelitian Ilmia Di Pantai Talise Kota Palu

Oleh : Adriansyah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia dalam memenuhi kebutuhannya tentu saja harus bekerja, demi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, kerja adalah kegiatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk mengubah dan menyesuaikan benda-benda yang ada di alam agar dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kerja adalah keharusan bagi kehidupan manusia tanpa kerja tidak akan ada kehidupan manusia, kerja ini pulalah yang membedakan manusia dengan binatang, binatang secara pasif harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya namun manusia dengan perkakas yang dibuatnya dapat mempengaruhi serta mengubah alam sekelilingnya agar sesuai dengan kebutuhannya serta memmenuhi bahan-bahan yang dibutuhkannya.

SEJARAH SINGKAT DESA MANTIKOLE

Oleh : Adriansyah

Desa Mantikole merupakan salah satu Desa yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi. Yang wilayahnya meliputi daratan dan pegunungan. Dengan batas-batasnya sebelah utara Desa Balamoa, sebelah timur Desa Pesaku,Bobo, sebelah selatan Desa Jono dan sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pinembani.

Adapun terjadinya Desa Mantikole menurut sejarah atau cerita para petua adat, toko masyarakat dan nara sumber lainnya desa mantikole kurang lebih satu abad yang lalu ada beberapa tentara kerajaan yang menebang dan membakar hutan belantara hingga hangus menjadi arang atau dalam bahasa warga suku kaili inde yang berdomosili dikawasan pegunungan Onguntofato yang merupakan salah satu puncak tertinggi dari seluruh puncak yang ada disekitar kawasan pegunungan sejumlah desa yang berada diwilyah administrasi kecamatan Dolo Barat tepatnya dipegunungan Desa Balamoa dimana kejadian tersebut berlansung masyarakat menyebutnya Mantikole, setelah dipahami secara seksama daptlah kita simpulkan arti dari mantikole itu adalah Arang yang merupakan hasil pembakaran hutan untuk dijadikan satu kawasan pemukiman punduduk setempat pada saat itu “ namun seiring dengan pergantian zaman perkembangan roda pemerintahan dan dunia pendidikan sebagian menjadikan satu singkatan yang menanti kasih dan oleh-oleh.

Kemudian sebelum nama Desa Mantikole ini dikenal oleh banyak orang awalnya masih bernama Desa Bobo, yang pusat pemerintahannya terletak dijalanPermandian Air Panas Dusun 1 Desa Mantikole pada saat ini setelah memisahkan diri dari Desa Pesaku pada tahun 1890 masehi dengan kepala Desa pertama bernama RAPABIBO yang merupakan salah satu putra Asli Etnis kaili inde pada saat itu.

Tidak terasa waktu terus berjalan, tahun terus berganti kepadatan penduduk pun semakin meningkat pesat diakibatkan banyaknya suku pendatang yang berdatangan dari berbagai pelosok untuk mencari mata pencaharian didesa tersebut demi kelansungan hidupnya, akhirnya pada tahun 1940. Seorang putra bernama MALASIKI yang menjadi kepala Desa ke tiga pada saat itu menyarankan agar desa tersebut dibentuk menjadi dua bagian, maka terjadilah perpecahan menjadi dua Desa yaitu, Desa Bobo dan Desa Gunung yang warga penduduknya adalah mayoritas etnis kaili inde. Sekarang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Sulawesi Tengah setelah dua puluh lima tahun berjalan, hingga sampai pada kepala Desa yang delapan bernama DM. YOLULEMBAH, pada tahun 1965 Bobo Gunung meninggalkan nama menjadi desa MANTIKOLE sampai pada saat ini kepala Desa yang ketiga belas bernama MUCHTAR. K. untuk periode 2007/ sd 2012

Hal ini disebabkan karena penduduknya yang bermukim diperkampungan tersebut memilih untuk turun dan tinggal dilembah sekaligus. Bermusyawarah denga para tokoh masyarakat dan unsure-unsur lainnya agar nama Mantikole dijadikan Nama Desa. Dengan demikian maka nama desa Bobo Gunung tinggal kenangan dan berubah menjadi desa Mantikole.

Pengaruh lingkungan Terhadap Perilaku Individu Dalam Masyarakat

Pada dasarnya masyarakat mantikole rata-rata masih memelihara rasa solidaristas terlihat dari berbagi sumber yang temui bawa dusun empat dan dusun lainnya masih memelihara ikatan kekeluargaan dalam beberapa hal misalnya dalam pembangunan infrastruktur dan kegiatan social lainnya ini kemudian telah dipelihara dari semenjak dahuluh untuk menciptakan kebersamaan dan rasa solidaritas masyarakat Mantikole.

Masyarakat Mantikole terbangun sebagai suatu struktur atau sistem sosial. Rentang sejarah dari generasi ke generasi ini kemudian telah membawa masyarakat kepada kenyataan sosial yang diantaranya diendapkan sebagai aturan-aturan penuh nilai dan norma-norma penyeimbang. Akar bangunan struktur itu menjadi pedoman hidup sekaligus ciri ideal bagi perilaku seorang individu terhadap masyarakat. Dalam bangunan struktur masyarakat mantikole khususnya dusun empat (IV) tidak dikenal pola kekerabatan besar yang terdiri dari rumpun-rumpun kekerabatan kecil berdasarkan pertalian darah. Pola kekerabatan yang ada, dikenal dengan istilah golongan, yang menunjukkan sekelompok orang yang masih mempunyai pertalian darah antara satu keluarga dengan keluarga lain sehingga secara keseluruhan mereka merupakan satu rumpun kekerabatan. Terbentuknya sistem kekerabatan (penggolongan keluarga-keluarga serumpun ini) sebagaian masyarakat Mantikole merupakan akibat dari pola kehidupan bersama yang dibangun secara terpisah dari golongan-golongan yang lebih besar. Permukiman masyarakat dusun empat desa mantikole merupakan faktor utama penggolongan rumpun suku ini sebagai masyarakat yang terorganisir. Dalam perspektif masyarakat suku kaili inde pola kekerabatan ini disebut dengan ngata sintuvu; sebutan masyarakat dusun empat desa mantikole (kehidupan bersama dalam satu kampung).

Ngata sintuvu adalah istilah yang dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat untuk menjelaskan tentang hubungan kekerabatan mereka. Menurut kepercayaan masyarakat dusun empat desa mantikole, bahwa eksistensi mereka dalam satu permukiman merupakan amanat leluhur yang harus dipertahankan. Meskipun salah satu atau beberapa keluarga memutuskan pindah ke lokasi baru, namun tempat tinggal semula tetap dianggap sebagai tempat asal atau rumah mereka yang sesungguhnya. Keterikatan masyarakat dusun empat desa mantikole dalam ngata sintuvu membawa masyarakat pada suatu kesadaran bersama yang tinggi sehingga memungkinkan lahirnya etnosentrisme. Kelompok masyarakat ini sangat membanggakan nilai tradisi yang telah mengendap sebagai kebudayaan immaterial. Hal ini mempengaruhi pola hubungan sosial dan pola produksi.

Jumat, 06 Mei 2011

Tumpang - Tindih Kepentingan di Lore Lindu

Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah (Sulteng) memang indah dan kaya dengan flora dan faunanya. Bertahun-tahun penduduk setempat akrab dengan lingkungan demikian. Tetapi, kini banyak orang luar bernafsu merusaknya. Aparat pun ikut berdosa di sini. “Anda memasuki Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Inilah hutan warisan alam dunia yang menyimpan masa depan kita. Pelihara dan lestarikanlah dia sepanjang hayat dikandung badan." Tulisan-tulisan bernada simpatik seperti di atas banyak ditemukan di kawasan TNLL. Hampir di setiap sudut taman terpampang tulisan yang isinya mengandung peringatan atau pesan-pesan khusus bagi setiap orang agar peduli pada lingkungan hutan TNLL itu.

TNLL memang menyimpan jutaan pesona. Karena itu menjadi pemandangan sehari-hari bila kita melihat sejumlah turis mancanegara dan mahasiswa pencinta alam mengembara di hutan rimba nan luas itu. Ada pula yang datang untuk mendaki gunung, memanjat tebing, meneliti atau menikmati panorama alam yang indah dan sejuk. Kawasan TNLL secara administratif berada di Kabupaten Donggala dan Poso, Sulteng. TNLL dibuka sejak bulan Oktober 1993 yang merupakan gabungan Suaka Alam Lore Kalamata dan Hutan Lindung dan Taman Rekreasi Danau Linde. Secara biogeografis kawasan ini merupakan daerah peralihan antara Zona Asia dan Zona Australia atau kita kenal dengan Garis Wallace (Wallace Line). Di Pulau Sulawesi, Wallace Line membentang dari Taman Nasional Nani Wartabone di Bolaangmongondou-Gorontalo (Sulut) hingga ke Donggala-Poso melintasi hutan TNLL dan terus sampai ke hutan-hutan tropis di Kendari, Sultra. TNLL seluas 229.000 hektare itu merupakan taman hutan rimba yang tergolong langka di abad ini. Karena kelangkaannya, kawasan ini telah diklaim menjadi milik dunia. Para peneliti asing yang pernah melakukan studi di hutan TNLL menjulukinya sebagai "paru-paru dunia" yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. TNLL juga dianggap "laboratorium alam" dunia bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, budi daya, rekreasi dan pariwisata.


Sebagai kawasan hutan di zona transisi, TNLL memiliki potensi flora, fauna, dan ekosistem yang sangat spesifik pula. Di kawasan ini terdapat 266 jenis flora yang hidup pada ekosistem danau, padang rumput, dataran rendah pegunungan dan sub alpin. Beberapa jenis tumbuhan kayu langka terkenal adalah kayu cempaka (manglietia sp), kayu leda (eucaliptus deglupta), jenis rotan (calamus sp), jenis-jenis damar (agathis sp) dan beringin merah (litsea sp). Sedangkan fauna, tercatat 200 jenis, dan 37 jenis di antaranya termasuk fauna yang dilindungi dan 163 jenis belum dilindungi. Jenis satwa liar yang penting dan endemik Sulawesi terdapat dalam hutan TNLL, seperti anoa (babalus quarlesi dan babalus deppressicornis), rusa (cervus timorensis), babi rusa (babyrousa baburussa), kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursianus), monyet hitam (macaca tonkeana), musang coklat (macrogalidia musschenbroeki), singapuar (tarsius spectrum) dan maleo (macrocephalon maleo). Selain potensi flora-fauna, di kawasan TNLL terdapat batan megalith (batu besar pra sejarah) berbagai corak dan tipe di Lembah Bada, Besoa, dan Napu. Kawasan ini dihuni Suku Kulawi dan Lore dengan adat istiadatnya yang masih asli.


Posisi Taruhan Kawasan hutan tropis tersebut tidak saja sekadar berstatus hutan primer yang dilindungi. Belakangan ini juga memiliki posisi taruhan (bargaining position) yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan baik di tingkat nasional maupun internasional. Indonesia bisa dipojokkan pencinta lingkungan dunia dan negara-negara donor bila membiarkan TNLL rusak atau dirusak. Salah satu contoh adalah kasus pembangunan jalan yang menyentuh kawasan TNLL tahun 1996 lalu. Ketika itu pemerintah dengan dana APBN 1996/97 hendak membangun jalan sepanjang 60,5 km pada ruas Gimpu-Gintu dengan tujuan membuka isolasi desa-desa miskin di dalam kawasan TNLL.


Maksudnya jelas sangat human. Tetapi apa yang terjadi? Baru 4,7 km panjang jalan yang dibuka dari rencana paket awal 9 km, datang protes dari para aktivis LSM pencinta lingkungan. Mereka meminta proyek itu dihentikan, karena berdasarkan hasil penelitian pembangunan jalan itu berbenturan langsung dengan tapal batas TNLL. Jika diteruskan dikhawatirkan akan membuka akses lebih luas terhadap rusaknya hutan lindung tersebut. Dan lembaga-lembaga keuangan internasional di antaranya Asian Development Bank (ADB) mendukung protes tersebut. ADB mengancam akan menghentikan kucuran dananya ke Indonesia jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan proyek yang dianggap sangat berbahaya bagi kelestarian hutan TNLL itu (Pembaruan 6 Juli 1997).


Tekanan internasional yang begitu kuat itu akhirnya memaksa Menteri Kehutanan (ketika itu Ir Djamaluddin Soeryohadikusuma) mengirim surat kepada Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) HB Paliudju tanggal 31 Maret 1997. Isinya melarang pembangunan jalan Gimpu-Gintu melewati hutan TNLL. Djalamuddin hanya membenarkan pembangunan jalan tradisional (jalan setapak) dan dikembangkan sebagai jalur wisata trekking (mendaki gunung) dan rafting di Sungai Lariang. Sampai sekarang ketentuan ini belum dicabut.


Begitu juga, tahun 1991 lalu rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lindu di Kecamatan Kulawi juga terpaksa dibatalkan karena mendapat protes dari berbagai LSM. Ketika itu, kawasan itu baru berstatus hutan lindung dan suaka alam. Belakangan muncul kembali keinginan pihak Pemda Sulteng untuk merealisasikan pembangunan PLTA tersebut untuk mengembangkan sektor industri di provinsi tersebut. Tetapi, pihak LSM tetap menolaknya.


Perusakan Meningkat


Mantan Menristek BJ Habibie pernah mengingatkan, seluruh kawasan hutan yang berada di Garis Wallace sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apa pun, karena akan merusak ekosistem asli yang sangat spesifik. Tapi benarkah demikian? Manajer Program The Nature Conservancy (TNC) Palu Duncan Neville yang ditemui Pembaruan di Palu baru-baru ini mengungkapkan, dalam dua tahun belakangan ini aktivitas perusakan hutan TNLL semakin meningkat dan memprihatinkan. Perusakan itu berupa pengambilan kayu, rotan, damar dan berbagai hasil hutan lainnya. Penebangan kayu, kata Duncan, menggunakan chain saw (gergaji mesin) tanpa terkendali. Akibatnya dalam sekejap saja seluruh kayu di sekitarnya ludes dan beberapa kawasan hutan menjadi gundul. ''Jika tak segera diantisipasi, dikhawatirkan hutan langka ini mengalami kehancuran. Diperlukan negosiasi dua arah yang kuat antara pemerintah dan masyarakat jika ingin kelestarian hutan TNLL tetap terpelihara," kata warga AS yang sudah 7 tahun berkecimpung di TNLL. Apa yang dikatakan Duncan tersebut, bukannya tidak terbukti secara hukum. Data Balai TNLL menunjukkan, setiap tahun ditemukan rata-rata 50 kasus pencurian hasil hutan terutama kayu dan rotan. Para pelakunya, menurut Kepala Balai TNLL Banjar Yulianto, sudah dikenakan sanksi dan sebagian melibatkan oknum petugas polisi kehutanan (Polsus) dan Polri setempat.


Penyebab kerusakan hutan TNLL sebetulnya tidak semata karena pencurian kayu dan rotan, tetapi juga akibat perburuan fauna-fauna endemik seperti anoa dan babi rusa serta perambahan untuk pembukaan kebun cokelat dan kopi. Diperkirakan lebih dari 30.000 hektare areal hutan TNLL kini sudah berubah fungsi menjadi kebun kopi dan cokelat. Sebagian dijadikan lokasi permukiman oleh para pendatang dari luar Sulteng yang terus membanjiri kawasan ini guna mencari akses-akses baru bagi kehidupannya. Pemda Sulteng kelihatannya tidak bertindak mencegahnya.


Problem Penduduk


Berdasarkan data Bappeda Sulteng, di sekitar hutan TNLL kini bermukim kurang lebih 120.000 jiwa penduduk tersebar di 60 desa dalam 5 kecamatan, yakni Kecamatan Kulawi, Sigi Biromaru, Palolo, Lore Utara dan Lore Selatan. Mereka hidup sebagai petani sawah atau kebun/ladang. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai TNLL berdasarkan SK Menhut No. 593/Kpts-II/93 tanggal 5 Oktober 1993, muncul masalah sosial antara keberadaan TNLL dengan penduduk asli yang hidup dan bermukim di dalamnya. Penduduk asli merasa lahan usaha yang menafkahi hidup mereka selama ini semakin menyempit akibat penetapan tapal batas TNLL. Sepertinya tak ada lagi ruang gerak bagi penduduk untuk bisa memanfaatkan hutannya secara leluasa seperti dulu,bahkan terancam akan direlokasi.


Kondisi ini membuat masyarakat diliputi kegelisahan yang berkepanjangan dan mereka terpaksa bolak-balik ke kantor DPRD Sulteng, Poso maupun Donggala, memperjuangkan nasib agar tidak dipinggirkan dari permukiman aslinya karena kepentingan konservasi TNLL. Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu Arianto Sangaji yang melakukan pengkajian khusus atas pengelolaan konservasi berbasis masyarakat di TNLL mengatakan, pemerintah sering mengarang cerita yang menyebut penduduk sebagai perusak hutan.



Penduduk di sekitar TNLL dituduh sebagai perusak hutan, pencuri kayu, rotan dan berbagai hasil hutan lainnya. Dengan mengarang cerita seperti timbul gagasan untuk memindahkan mereka ke lokasi lain. Padahal tudingan semacam itu sama sekali tak beralasan dan tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebab kerusakan hutan yang bersumber dari masyarakat, tidaklah sebanding dengan kerusakan akibat pembabatan kayu untuk kepentingan pengusaha HPH atau proyek perkebunan berskala besar. "Landasan berpikir yang cenderung menyingkirkan hak masyarakat adat atas teritorial asli di TNLL harus diubah dengan sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, bersahabat dengan penduduk asli," kata Arianto.


Dalam kasus TNLL, katanya, masyarakat bermukim di pinggiran maupun dalam hutan TNLL, pada dasarnya memiliki regulasi sendiri dalam pemanfaatan sumber daya agraria tanpa merusak hutan. Contoh kasus, masyarakat Besoa dan Katu, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, yang desanya berada dalam zona penyangga TNLL memanfaatkan hutan secara turun-temurun berdasarkan kearifan-kearifan tradisional yang sangat menjunjung tinggi upaya pelestarian hutan. Problem penduduk dalam TNLL yang sangat kompleks dan terkait erat dengan struktur budaya dan kultural masyarakat, memang, tidaklah mudah menanganinya. Diperlukan implementasi pengelolaan konservasi yang benar-benar mampu mengakomodasikan hubungan antarmanusia dan alamnya.


Sistem Zonasi


Tetapi sampai kini pihak TNLL mengakui belum punya rumusan yang rinci mengenai pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat. Yang dimiliki adalah konsep pengembangan berdasarkan sistem zonasi atau mintakat (daerah lingkungan) dengan mempertimbangkan keadaan potensi dan kepentingan konservasi nasional dan internasional, kata Helmy, Kasie Pengelolaan pada Balai TNLL.


Konsep zonasi itu terdiri atas zona inti (55.625 ha) di dalam kawasan TNLL yang mutlak dilindungi untuk pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya dan hanya bisa dimasuki untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Zona rimba (137.160 ha), diperuntukkan bagi kepentingan pembinaan habitat dan populasi satwa serta kepentingan hidrologi. Zona ini merupakan kawasan tanpa adanya bangunan/gedung, dapat dimasuki pengunjung secara terbatas dengan berjalan kaki atau berkuda. Lalu ada zona pemanfaatan intensif (7.100 ha) diperuntukkan sebagai lokasi pembangunan sarana/prasarana pengelolaan dan fasilitas penunjang kegiatan wisata alam. Zona pemanfaatan tradisional (18.490 ha) berfungsi menyediakan kebutuhan subsistem bagi penduduk desa sekitar kawasan taman nasional yang tidak dapat menabrak zona penyangga. Zona ini juga berfungsi sebagai daerah penyangga terletak di dalam kawasan taman nasional.



Zona Danau Lindu dan Besoa (10.625 ha) merupakan daerah budi daya dan permukiman penduduk. Kawasan ini diusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah enclave (kantong permukiman) dan dikeluarkan dari TNLL. Dan zona penyangga (35.000 ha), zona terakhir yang berada di luar/sekitar kawasan taman nasional berfungsi menyediakan kebutuhan penduduk desa sekitar kawasan dalam jangka panjang.


Pembangunan Masyarakat


Minimnya dana menjadi salah satu kendala bagi aparat Balai TNLL untuk mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan pelanggaran dalam hutan lindung itu. Hal menggembirakan sejumlah aktivis LSM maupun Bappeda Sulteng telah bisa merumuskan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar TNLL yang bisa memberi nilai tambah tanpa mesti mengganggu kawasan hutan lindung. Misalnya memberikan pelatihan pada masyarakat tentang cara membuka peluang usaha produktif memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) hutan TNLL sehingga terjalin interaksi positif antara masyarakat dan hutan itu sendiri.


Pembangunan masyarakat juga dilakukan TNC (LSM di Honolulu, AS) dengan memberikan pengetahuan luas bagi masyarakat tentang budi daya ulat sutera, budi daya kupu-kupu dan lebah madu, kerajinan kulit kayu, anyaman serta usaha agribisnis lainnya yang memiliki nilai jual kompetitif di pasar domestik maupun ekspor.


TNC kini tengah melakukan kegiatan pemetaan serta penginderaan jarak jauh guna mengindentifikasi sejauh mana kondisi TNLL serta kemungkinan pemanfaatan yang bisa dikembangkan demi keberlangsungan kawasan serta kesejahteraan penduduk setempat. Kegiatan pemetaan yang partisipatif juga dilakukan YTM guna membantu masyarakat mendapatkan hak-hak agrarianya untuk dikelola sesuai kearifan-kearifan lokal.


Kadis Pariwisata Sulteng Liberty Pasaribu mengatakan, dalam dunia pariwisata internasional, kawasan TNLL menjadi salah satu daerah tujuan wisata (DTW) yang sangat digandrungi para turis. Untuk mengatasi atau memecahkan masalah di TNLL, tampaknya yang dibutuhkan adalah keterpaduan pikiran untuk menjadikan kawasan itu sebagai wilayah lestari yang tidak meminggirkan penduduk lokal. Artinya, bagaimana menjaga agar riak sungai tetap menawan, pegunungan pun tersapu awan putih, kicau burung terus kedengaran dan penduduk tetap bersahabat dengan lingkungan tempat mereka hidup.

Kamis, 28 April 2011

BBTN Lore Lindu Tidak Punya Niat Baik Membangun Orang Katu

Deadline News Edisi 103, 18-24 April 2011

Burhan Jawachir (Deadline News)

Palu- Desa Katu adalah salah satu dari sekian banyak desa yang berada di wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang sudah di akui keberadaannya sejak tahun 1999 oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) melalui Surat Pernyataan No. 35/VI-BTNLL.1/1999, tertanggal 8 April 1999, yang isinya mengakui keberadaan Orang Katu yang berdiam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah (Sebelumnya Kec. Lore Utara), Kabupaten Poso, untuk melangsungkan upaya peningkatan keamanan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam surat pernyataan ini disebutkan pula “Supaya ada hubungan saling serasi antara kepentingan masyarakat Katu dan kepentingan system pengelolaan TNLL, perlu dikembangkan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan”. Salah satu wujud kesepakatan saling menguntungkan tersebut adalah adanya Kesepakatan Orang Katu dalam perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Tahun 2000-2010 dan Tahun 2010-2015.

Adriansyah, Staf YTM dalam siaran Persnya mengatakan pada dasarnya perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam pada tingkatan yang berbeda, ditingkat kampung, daerah dan nasional merupakan sebuah usaha yang sistematis untuk menghadapi dan mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat dan lingkungan alamnya secara terencana, berkesinambungan dan berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat di masa datang. Perencanaan pembangunan dikembangkan berdasarkan analisis kondisi dan potensi sumber daya setempat dan melibatkan berbagai pelaku dan masyarakat, sebagai subjek pembangunan.

Melalu siaran pers ini kami menilai bahwa Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu terkesan menghalang-halangi upaya pembangunan kesejahteraan masyarat Katu. Dengan fakta-fakta sebagai berikut:

1). Pada tanggal 12-13 Februari 2011 Kepala Bidang Wilayah III Taman Nasional Lore Lindu Yusak Mahasan, yang menghadiri Lokakarya Rencana Pembangunan Masyarakat Katu Tahun 2010-2015 menyatakan Bahwa Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu sebetulnya mendukung pembangunan dengan melihat kondisi Desa Katu. Merekomendasikan untuk membuat surat permohonan pembangunan jalan dan jembatan. Agar Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan menyurat ke Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kepala Bidang Wilaya III BBTNLL, karena terbukti tidak membuakan hasil dari pihak BBTNLL.

2). Pada Tanggal 13 April 2011 Ali Pantoli (Kades Katu) menemui Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dikantornya untuk memastikan permohonan masyarakat Katu melalui surat Pemerintah Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, dalam surat tersebut berisi Permohonan Rekomendasi pembangunan Jalan dan Jembatan No. 600/026/Lorteng namun hasilnya Kepalah Balai Taman Nasional Lore Lindu tidak memberikan rekomendasinya.

Atas fakta-fakta tersebut dapat dipastikan bahwa Balai Basar Taman Nasional Lore Lindu tidak memiliki Niat baik membangun Kami Orang Katu (Ali Pantoli, Kepala Desa Katu)

Dikatakannya cara pandang Konservasi berbasis Negara dengan melihat masyarakat sekitar sebagai ancaman, sudah harus dirubah. Itu adalah cara pandang lama dan sudah usang.

Lagi pula, cara pandang itu terbukti gagal dimana-mana. Karenannya, pelibatan masyarakat disekitar dan dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan mengadopsi model kearifan local mereka menjadi penting.**

Senin, 18 April 2011

Rakyat Semakin Miskin Ditengah Kekayaan Alam Yang Melimpah

Oleh : Adriansyah

Indonesia adalah Negara yang pada dasarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah sehingga memungkinkan menjadi Negara yang mandiri dan berkembang menjadi Negara penyaing di Negara-negara maju secara ekonomi, kelimpahan sumber daya alamnya seperti emas, nikel, batu bara, dll menjadi Negara bersyarat untuk berkembang terlihat diberbagai wilayah di Indonesia misalnya Sulawesi tengah, beberapa wilayah menjadi bagian dari pertambangan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa, di atas permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di dalam luatan yang luas. Akan tetapi kedudukan geografis, sumber daya alam yang berlimpah tidak berguna bagi seluruh rakyat. Hal ini karena hubungan produksi yang dijaga dengan penuh kekerasan oleh sistem setengah kolonial dengan mesin politik dan budayanya untuk kepentingan imperialis dan klas berkuasa serta klas reaksioner dalam negeri.

Wilayah yang amat luas, berpenduduk besar dipergunakan untuk tenaga kerja produktif dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi sampai saat ini masih hidup dalam keterbelakangan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Kekayaan alam yang besar dan berlimpah tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat karena seluruh kekayaan alamnya dirampas oleh imperialis melalui kaki tangannya di Indonesia.

Perluasan pertambangan bersakala besar di Indonesia bukanlah kepentingan rakyat atau negeri sendiri tetapi pertambangan ini tidak lain adalah untuk kepentingan Negara imprealis dalam memperkaya dirinya untuk terus mengeruk, mengambil sumber daya yang ada di Indonesia melalui mesin politik yaitu kelas borjuasi besar pemegang kekuasaan terbesar yang pro-imprealis, kelas inilah yang kemudian menjaga ketat berlangsungnya aktifitas imprealis dengan menggunakan alat-alat penindas rakyat demi untuk memuluskan monopolinya, mereka ini tidak segan-segan merampas kebun, persawahan rakyat (tanah-tanah rakyat) dengan penuh kekerasan, rakyat menjadi tertindas terpuruk secara ekonomi kekuasaan penuh ada ditangan Negara dengan kebijakannya kekayaan sumber daya alam adalah milik Negara dimana semua aset-aset produksi dinegara ini seperti tanah, air, udara dan lainya dikuasai Negara secara penuh.

Kesewenang-wenangan negara telah melampau ambang batas, hal ini terlihat ketika investasi mulai ditanamkan di negeri ini eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan Indonesia terjerat utang oleh negara-negara maju AS adalah negara urutan pertama dan Jepang adalah urutan kedua yang mejadi perutangan negeri indonesia sementara rakyat mulai dari buruh, petani, lumpen ploretariat (pengangguran) kelas menangah atas menjadi tertindas, terhisap. Buruh bekerja tidak sesuai dengan jam kerja dibayar sangat murah pula, petani dengan keringat darah bekerja hanya untuk kepentingan negeri tapi tidak dihargai sedikit pun oleh nagara yang terjadi justru perampasan tanah-tanah petani, pengangguran semakin mencuat disebabkan bahwa negara ini lebih mengutamakan kepentingan negara-negara imprealis, akibatnya negeri ini tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, Komitmen presiden (SBY) pun untuk pro-rakyat dan pro-lapangan kerja, tidak tercermin dalam politik anggaran yang kacau balau dan cenderung menjauh dari kepentingan rakyat banyak. Kalaupun kata-kata Presiden SBY dalam pidatonya begitu menyulap suasana, seolah-olah ada banting stir untuk rakyat, tapi kenyataannya malah semakin lengket dengan kepentingan negara imprealis.

Bagaimana pemerintah akan menciptakan lapangan kerja baru? Jika, pada kenyataannya, anggaran yang diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur pun masih sangat kecil, yaitu 56 triliun rupiah. Bagaimana akan memberikan iklim investasi yang kondusif? Sementara syarat untuk ekonomi tak memadai dan hanya untuk kepentingan segelintir orang terutama negara asing. Atau mungkin menyerahkan tanggungjawab pembangunan kepada swasta, terutama setelah dibentuknya Infracture Finance/IIF. Seperti diketahui, atas dasar inisiatif pemerintah bersama ADB (Asian Development Bank) dan bank dunia, Depertemen Keuangan melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero)-(PT.SMI) telah mendirikan anak perusahaaan pembiayaan infrastruktur dengan nama PT. Indonesia Infrastructure Finance (PT.IIF), 15 Januari 2010. PT. IIF sepenuhnya dikelola sebagai perusahaan swasta, dengan pemegang saham dari Asian Development Bank (ADB), International Finance Coporation (IFC), Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbh (DEG), dn PT. SMI. Dan, PT.IIF sangat terbuka untuk partisipasi investor swasta. Word Bank dan ADB akan memberikan pinjaman kepada PT.IIF. (detik.com)

Jika benar demikian adanya, bukankah SBY kembali “memukul air di dulang” yang berarti pembangunan infrastruktur yang sangat vital akan dikelolah oleh pihak asing, dan tentu fasilitasnya nanti akan dijual sangat mahal. Belum lagi, bahwa ini akan menyulitkan soal pembebasan lahan rakyat, karena swasta biasanya masa bodoh untuk memperhatikan hak-hak sosial dan ekonomi penduduk setempat. Lantas, bagaimana dengan nasib pekerjanya nanti, karena sekali lagi ini swasta asing. Apalagi untuk PT. IIF, ADB dan Bank Dunia sudah berkomitmen memberikan suntikan dalam bentuk utang mencapai 1 triliun. Suntikan ini dapat dimaknai sebagai upaya kontrol dan jeratan bagi perusahaan agar patuh atas arahan-arahan." Dan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, terlihat di sana pembangunan berbagai prasaranan dan sarana seperti irigasi, jalan, jembatan, transportasi, pelabuhan, telekomunikasi, migas dll cenderung adalah bersifat berbayar (bertarif) yang orientasinya murni bisnis secara komersial.

Jumat, 11 Maret 2011

Laba-laba sedang memasang jaring :”Tower Bukan Pohon pisang” (Serpihan Catatan Dari Peura)

Andika

Bukan hanya minggu, juga bulan, tapi telah bertahun-tahun perempuan itu tak lagi tidur nyenyak dimalam hari. Siang pun demikian, wajahnya yang nampak pucat mewakili tubuhnya yang tak terlalu kekar telah menitipkan tanah garapannya pada seorang lelaki, saudara kandung. Lantaran, separuh penduduk desa menitipkan “segunung tanggung jawab” padanya. Ia adalah Betti, perempuan ini sedang berusaha jadi penyambung lidah keresahan warga sekampung, desa Peura. Lantaran itu, ia pun kini telah pandai menulis surat, menyatakan kecaman moral, walaupun mungkin, tak terlalu memikat bagi para akademisi, apalagi si pembuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Betty sebutan wanita diatas tentu jadi pertanyaan? yang tak mungkin bersaudara dengan kabel listrik, apalagi tower, yang senyawa baja. Orang lain boleh berkata dan membicarakan adanya manfaat atau tidak. Bagi warga Peura, menolak pembangunan Tower yang melintasi desa mereka merupakan manifestasi hidup, yang secara sederhana tak memerlukan banyak teori, apalagi fatwa untuk membenarkannya. Lebih jelas lagi, ibu Betti berkata”Tanam Tower tidak sama dengan tanam pohon pisang. Kalau pohon pisang sewaktu-waktu bermasalah, atau berdampak, dengan muda saja pindahkan, kalau tower Sutet yang sudah beraliran listrik bermasalah, bagaimana cara memindahkannya?”.

Sembari mengusap-ngusap matanya yang digenangi air , sesekali juga memijit jidat. Itu bukan sebuah pandangan drama, malam itu bersama Sinto, Betti mendatangi kami yang tengah berkumpul di sebuah kantor LSM lokal Tentena. Kebetulan drama menegangkan sedang berusaha diorbitkan oleh para tetua mesin, calon-calon juragan listrik, yang tanpa permisi seenaknya menganiaya sungai Sulewana. Siang hari pertemuan kesekian kalinya antara pihak poso energi dengan masyarakat Peura dilakukan.

Naasnya, kali ini perusahaan tak lagi berbujuk rayu dan bermanis komitmen, tapi justru berusaha membangun suasana tak sedap. Warga diprovokasi dengan upah 35.000 untuk sehari angkat material, yang ditahan warga dipintu desa. Bukan hanya itu, uang 35.000 ini juga telah berhasil membangun kelompok drumband tanpa latihan, berjalan seirama, sambil memukul ember. Sebagai sebuah petanda konfrontasi pada kelompok penolak pembangunan Tower. Tidak hanya itu, dipintu desa juga dipasang sebuah spanduk atas nama warga Peura cetakan printing bertulis”LSM dilarang masuk karena telah menciptakan dishamorniasi dan memecah persatuan antar warga”.

Sejak tahun 2006, saat masa-masa konflik bermasker agama mulai redah ditanah Poso Kawat-kawat telah diulur memanjang dari arah hulu sungai. Melintasi pepohonan khas hutan tropis, yang nampak seakan-akan jadi spesies baru dibibir danau Poso. Itu adalah instalasi listrik, PT Poso energi memilikinya secara mutlak setelah para pejabat Sulawesi Tengah memberikan konsesi bendung air (DAM) bagi produksi energi perusahaan keluarga Kalla tersebut.

Dan sejak itu pula, rencana pelintasan transmisi didalam perkampungan Peura dipaksakan oleh Poso Energi. Alasan ekonomi tentu saja, konon kabarnya milyaran rupiah akan ditelan percuma oleh Poso energi jika hendak memindahkan tower seperti saran warga Peura. Inilah ciri khas investasi yang katanya padat modal, tak ingin berencana rugi, sekalipun jiwa penduduk dianggap tak lebih mahal apalagi sepadan dengan gulungan kawat, atau pun rangka baja yang menuding kelangit.

Proyek yang telah memperkosa hal ulayat warga pamona secara murah tanpa kompensasi ini, tak pernah menyodorkan fakta temuan Amdal, apalagi memberikan pengakuan aspirasi pada warga Peura. Sejauh ini Ibu Betty dan kawan-kawan dibawa dalam komunikasi negatif khas Public Relations (PR) meliputi: pertemuan ke pertemuan, ancaman pidana, pencemaran nama baik, dan saling sikut antar warga. Dan sama sekali tidak peduli dengan alasan-alasan sosial penolakan warga.

Bagaimana dengan pemangku jabatan pemerintahan, mungkin itu sudah pertanyaan usang bagi pencari keadilan seperti Ibu Betti. Kemana lagi aspirasi ini akan dibawah? jika saja tak dituduh sebagai provokator dengan ancaman pasal-pasal, mungkin negara tak lagi merasa punya hubungan dengan rakyat. Untung sekali bagi mereka yang dilahirkan ditanah itu, desa Peura, mereka telah memahami betapa penguasa (modal-politik) negeri ini setiap waktu hanya menyuburkan penderitaan. Jika pun demikian, maka kita yang masih menjadi manusia tak perlu banyak analisis untuk mendukung perjuangan ini, cukup bertanya saja, kenapa kita tak bersama-sama mereka?

Masalah Tambang Morowali Kompleks

Catatan Lapangan:

Masalah Tambang Morowali Kompleks


Albart
(Divisi Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng)


”sudah hampir 20 tahun kami berdomisili
di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar itu,
nanti setelah perusahaan BDM masuk”


Bila saja anda pernah menginjakan kaki di Bahodopi Kabupaten Morowali. Anda akan menemukan Sungai Bahongkolangu telah berubah warna, bak “orange jus”, itu bukan minuman. Perusahaan tambang telah mencemarinya dengan membongkar kawasan hutan dihulu sungai.”kami sulit menikmati air sungai lagi, karena sudah kotor”begitu seorang ibu mengeluh.
Lantaran itu, masyarakat disini seakan terbiasa menerima banjir. Setiap musim penghujan datang desa yang berada kawasan hilir seperti Fatufia, Bahomakmur, Bahodopi, Lailia, Keurea menjadi jalur bebas hambatan, air akan melaju kencang tanpa permisi menorobos pagar-pagar kebun, bahkan juga numpang membangun kolam didalam rumah. Sebut saja, Husnia (57), ibu rumah tangga suku asli ”sudah hampir 20 tahun dia berdomisili di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar, nanti setelah perusahaan ”. ini menyatakan”sudah hampir 20 tahun dia berdomisili di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar, nanti setelah perusahaan ”.

Adalah PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), maskapai yang menggunakan logo Divisi Mineral (mirip angkatan darat TNI) juga menimbulkan masalah di desa Lailia, masih di kecamatan bahodopi. Setiap hari, gemuruh truk raksasa perusahaan melaju tanpa ragu, BDM menggunakan separuh jalan publik sebagai jalur koridor. Karena sangat dekat dengan pemukiman penduduk, membuat macam-macam gangguan menyelinap dalam aktivitas sehari-hari warga, yang juga petani dan nelayan.

“Rumah kami menjadi ‘sasaran’ debu truk-truk perusahaan yang lewat sehingga hampir tiap jam kami menyapu lantai dan tebalnya hampir 1 cm per menit. Kami tidak bisa bayangkan kalau ini berimbas pada kesehatan kami. Belum lag tanaman kami yang ikut terkenai dampak dari debu tersebut”keluh seorang Petani. Konon kabarnya, setelah perusahaan berlalu-lalang diwilayah itu, tanaman pertanian mereka menjadi sulit tumbuh ideal, dan itu berdampak pada hasil. “Kami telah mengkonfirmasi masalah ini ke perusahaan tapi perusahaan tidak memberikan respon apa-apa, bahkan meminta kami untuk pindah dengan areal itu”ungkap lelaki paruh bayah itu.

Tak kalah hebat, lantaran itu issu pengusiran PT Inco menjadi harga mati yang ditawaarkan masyarakat blok bahodopi terhadap pemerintahan morowali. Perusahaan yang mengantongi izin kontrak karya ini, telah mendapat perlawanan yang cukup massif dari masyarakat sekitar tambang blok Bahodopi.

Menurut salah seorang tokoh pemuda di desa kolono bernama Harsono mengatakan” jika PT Inco tidak memberikan hak-hak masyarakat, maka PT. Inco harus angkat kaki dari bumi Morowali. Sejak masuknya Inco, kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan Morowali adalah Perampasan lahan; Pengrusakan lingkungan; pengkaburan terhadap Hak-hak buruh; dan intimdasi terhadap masyarakat sekitar tambang.

Ragam Masalah Tambang

Salah satu kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan adalah perampasan lahan. Menurut salah seorang masyarakat yang berada di wilayah tambang bungku selatan desa buleleng yang tidak mau disebutkan namanya bahwa perusahaan hanya mengganti tanah mereka dengan harga Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya dan Rp.850,- untuk tanah yang tidak ada tanamannya dan apabila masyarakat tersebut tidak mau memberikan tanahnya maka mereka di intimidasi oleh aparat kepolisian.

Maraknya penerimaan penerimaan tenaga kerja lokal oleh perusahaan-perusahaan tambang di morowali ternyata tidak didorong dengan pemenuhan hak-hak buruh. Contohnya, seperti upah buruh yang tidak tetap. Kasus ini sering terjadi diseluruh wilayah perambangan morowali.

Begitu pula di desa Buleleng, Laroenai, Torete yang merupakan areal PT. TAS ternyata pemenuhan hak-hak buruh juga tidak di penuhi. Salah satu contohnya adalah tidak adanya kesepakatan kontrak kerja bersama. hal ini mengakibatkan upah buruh kadang tidak menentu dan bahkan tidak dibayarkan selama sebulan dan ironisnya lagi perusahaan yang melakukan sub kontrak sering berkelit dan bahkan melarikan diri tidak mau membayar upah buruhnya. “Buruh disini ingin memperjuangkan haknya namun mereka tidak paham tentang hak-haknya” ungkap Abdul muis.

Salah seorang anggota polsek Bungku Selatan menyatakan, kami sudah berusaha untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat ini tapi ternyata buruh di perusahaan tersebut tidak menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan.

Perusahaan yang merupakan sub kontrak dari PT. TAS (Tehnik Alum Service) seperti PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral), PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) membohongi masyarakat dengan modus meminjam uang masyarakat dengan perjanjian akan dibayarkan setelah pemuatan ore. Namun setelah pemuatan ore peruasahaan tersebut melarikan diri dan tidak di tahu kemana rimbanya. Anehnya lagi PT. TAS yang merupakan perusahaan induk juga tidak mau bertanggung jawab.

“kerugian saya mencapai 70 juta rupiah. Sudah banyak cara yang kami lakukan untuk meminta tanggung jawab perusahan, untuk mengganti semua uang kami namun perusahaan yang bersangkutan tidak tahu dimana rimbanya”. Perusahaan induk yakni PT. TAS sendiri juga tidak tau menahu dengan masalah itu. Lucunya, PT TAS berjanji akan membantu masyarakat untuk mencari tahu ke tiga perusahaan itu dan akan membantu masyarakat untuk membawa masalah ini ke ranah hukum. Tapi hingga detik ini tidak ada kejelasan.
Selain itu, masyarakat juga sudah menyurat ke Pemerintah Daerah namun responnya dingin.

Di wilayah PT. Tas dan PT. Hard Target yakni desa Buleleng dan torete, perusahaan menggunakan jasa kepala desa dan BPD untuk membangun kutub pertikaian antar warga, sehingga konflik horizontal dalam desa semakin menajam.

PT. TAS (Tehnik Alum Service) sendiri adalah perusahaan yang mengantongi izin KP dari bupati morowali. Perusahaan yang mengolah sejak dari tahun 2007, dari awal sudah bermasalah dengan proses pembebasan lahan. Tanah Masyarakat hanya dihargai dengan Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya. Sementara untu tanah yang tidak ada tanamannya dihargai Rp.850,-.

PT TAS juga melakukan eksplorasi di areal APL yang diklaim masyarakat buleleng sebagai tanah adat. Karena caplokan Tanah Adat inilah kemudian menimbulkan masalah di masyarakat. Sebanyak 64 hektar lahan diambil perusahaan tanpa kompensasi.

Karena mengalami kebuntuan negosiasio, kasus ini difasilitasi oleh pihak BPN pada tanggal 13 Maret 2010, bertempat di hotel Anunta Baru Kelurahan Bungi Kecamatan Bungku Tengah. Pertemuan itu merekomendasikan pembayaran lahan masyarakat sekaligus mengakui tanah adat dan mengganti rugi lahan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sampai saat ini PT.TAS enggan melaksanakan rekomendasi itu.

Setelah menyelesaikan proses pembebasan lahan yang bermasalah, PT. TAS mulai melakukan eksplorasi dengan menggandeng beberapa perusahaan (subkon).

PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), perusahaan ini melakukan proses eksploitasi selama 2 bulan dengan memakai tenaga kerja kontrak (outsorching dan tidak mengupah buruhnya selama 1 bulan kerja). Setelah PT.TBI diusir oleh PT.TAS dengan alasan yang tidak jelas PT.TAS memasukan PT.MKM (makindo kolaka mandiri) yang kemudian menggandeng PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) dan PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral). Kedua peusahaan yang mengantongi izin subkontrak dari PT. TAS, ini beroperasi selama 3 bulan. Dengan merekrut tenaga kerja sebanyak 74 orang dan tidak mengupah buruhnya selama 3 bulan kerja.

Selain persoalan upah buruh yang tidak dibayarkan, keempat perusahaan ini meninggalkan utang dimasyarakat. Karena pada saat keempat perusahaan beroperasi, perusahaan ini memakai uang masyarakat dengan modus meminjam uang dengan janji akan diganti. Sehingga dalam proses operasi hampir semua aktifitas perusahaan seperti masalah bahan bakar, konsumsi karyawan, serta kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan karyawan lainnya ditanggulangi masyarakat. Utang keempat perusahaan ini sekitar ratusan juta rupiah dan sampai saat ini tidak dibayarkan.

Setelah keempat perusahaan tersebut melarikan diri, PT TAS kembali akan mengontrak PT. Mulia untuk melakukan penambangan di arealnya. Kasus ini sudah berapa kali coba dikonfirmasi ke PT. TAS. Namun pihak perusahaan tidak mau menanggung semua gaji karyawan dan utang keempat perusahaan tersebut. PT TAS juga berjanji akan memfasilitasi pertemuan karyawan serta masyarakat dengan keempat perusahaan tersebut namun sampai saat ini tidak ada kejelasannya.

Pada tanggal 27 oktober 2010, masyarakat mengirimkan surat pengaduan yang ditujukan pada Bupati Morowali, DPRD Morowali, Kapolres Morowali, dinas pertambangan, dinas Tenaga Kerja dan transmigrasi, dinas lingkungan Hidup, camat Bungku Selatan, Danramil, dan Kapolsek Bungku Selatan. Namun surat ini tidak direspon oleh Bupati Morowali Anwar Hafid.

Tak pernah berhenti disitu, kekecewaan terus menyusul, pada tanggal 01 Desember 2010, masyarakat melaporkan kasus PHK dan pembayaran sisa gaji karyawan oleh PT. TSM dan PT TBI ke Polsek Bungku Selatan. Setelah dikonfirmasi oleh masyarakat tentang tindak lanjut dari kasus tersebut, ternyata Polsek juga kewalahan menangani kasus ini. Karena menurut Polsek Bungku selatan mereka sudah berusaha untuk memfasilitasi keempat perusahaan itu untuk ketemu dengan masyarakat namun keempat perusahaan tidak mau hadir dengan alasan yang tidak jelas.

(Tulisan ini telah melalui proses editing oleh Andika)

Catatan Kecil "Kabar dari Peura"

Malam ini laron-laron tak lagi bertebaran menganggu diskusi, jenis serangga macam itu memang hanya ditemukan dikawasan pedesaan. Kemarin sore, aneka macam serangga sejenis laron kerap kali keluyuran diatas kepala, mungkin itu maksud yang baik, atau iuga ingin berpartisipasi , dalam diskusi yang nampak tidak terlalu serius bersama beberapa petani di desa Peura Kabupaten Poso. Dan kini, untung sekali, pikiran yang membuat otak melilit ini, hanya baru bisa direfleksikan setelah kaki letih, duduk semalaman diatas mobil travel Pamona-Palu.

Tempat duduk paling belakang, bersebelahan dengan seorang anggota TNI bernama Ferdi. Kebetulan pria berbaju loreng ini baru saja selesai berlibur dan kembali tugas di Jayapura. Tapi duduknya dia disamping memacu ulang memori yang bolepotan dengan unek-unek kekesalan perilaku aparat TNI yang sejenisnya, terhadap sejumlah perempuan Peura yang menolak pembangunan tower pada 2 maret 2011, menjadi sempurna dimalam itu.
Rintih kekesalan ini bertambah besar setelah pula menoleh ke kursi samping kanan, disana duduk seorang perempuan mengenakan jaket berlogo Polri, sedang memijit tombol Handphone, sebuah alat komunikasi moderen yang menjatuhkan beberapa martabat mitos. Kekesalan ini tentu saja bukan diarahkan pada dua anak manusia ini, tapi warna dan logo itu, seolah-olah menjadi bayang-bayang nyata aktivitas sehari-hari. Penuh dengan duka, tangisan, bahkan pula darah yang tidak terhitung. Terlebih lagi, atas nama pembangunan kini proyek pengawalan investasi sudah seperti nomenclatur sah keberadaan TNI-Polri untuk jadi penjaga irama, dering-dering suara senyap dikabut desa sedikit lagi akan meraung deruh riuh mesiu.

Kabar nyaman tak pernah sampai menjelang magrib, apalagi menutup mata untuk istirahat, suami-suami sibuk menjaga posko, lantaran teror si RT, tak kenal jadwal. Meski bermodal mesin diesel beroda empat, klakson pengangkutan sirtukil dan batu ciping itu sungguh dahsyat. Mengapa demikian, mungkin anda akan bertanya begitu? Disebut dahsyat, karena iring-iringan kepala cepak bersepatu laras, telah menyeret istri-istri petani. Pria berkepala polontos dan berperut buncit itu, ternyata pandai sekali melipat kaki perempuan hingga terlihat seperti sedang mengamankan anjing gila.”tak ada keadilan” seruh sang ibu ditengah lagu-lagu rohani untuk pemakaman sedang dilantunkan.

Seberang jalan, juga rintih kesakitan sang ibu kedengaran sayup, mungkin karena nyanyian sedih itu. Tapi sungguh nyata, kakinya dilipat dan tangannya diremas serta belakangnya diinjak. Hingga dada sang ibu pun turut dibenamkan ke tanah, nyaris merusak hak paten sang balitanya, yang kini belajar mengenal huruf kapital.
Tapi apa kata para pembesar itu? Didalam Gedung mewah DPRD Poso, para pembual itu telah berusaha “meracuni” kunjungan suci DPRD provinsi Sulteng. Mereka berkoar-koar menyalahkan pemberitaan salah satu tv swasta dan berusaha membuktikan bahwa tidak benar terjadi pelanggaran HAM. Meski kita sendiri faham, sangat jarang aparat militer mengerti dengan soal IT. Tapi sudahlah, kebiasaan main hakim tanpa proses peradilan itu latar belakang mereka.

Yang lebih menyakitkan, terutama bagi Komnas-Ham Institusi negara penegak HAM, ditentang oleh pemilik Poso Energi, atas rekomendasinya yang mendesak Poso energi menghentikan sementara pembangunan SUTT. Yang tak kalah hebat, sekretaris Kabupaten juga menyerang LSM sebagai biang konflik, meski mereka tak pernah tahu kalau Poso energi juga banyak pake LSM. Tapi itu rumit, menjelaskannya mesti pamit dengan para ahli, soalnya hak paten teori amat sulit bagi petani lantaran telah dipaku oleh selembar ijasah.

Ah, kembali disini, duduk berpangku lutut diatas kursi kayu warisan pendahulu organisasi, berkat komitmen mereka yang kuat, akhirnya meja kayu dan kursi plastik ini bisa memberikan sedikit saluran penderitaan pribadi, mungkin juga dengan rakyat, semoga itu benar. Kembali menaruh lembaran-lembaran berkas, membacanya, memperkuat ingatan. Semboyan ingin bebas dari masalah tetap melintas dalam usaha fokus ini”adakah tempat yang tidak ada masalahnya? Kalau ada saya ingin pindah kesana?” begitu orang desa Peura bertanya, entah iseng atau serius, itu menandakan mereka sudah semakin muak, dengan tekanan-tekanan mental. Serasa Tower dan kabel listrik memenjara kedamaian mereka sepanjang hari.

“Ya, rakyat memang selalu begitu tak pernah berhenti mengeluh”, kata temanku. Ini gurauan jelas, tapi menjadi kedengaran menjengkelkan karena diucapkannya setelah melahap habis sisa tahu diatas meja. Belum lagi pikiran-pikirannya yang rumit, membuat keadaan menjadi tambah kalut. Kita mungkin dapat berharap, kalau sisa umur memungkinkan, tragis kehidupan petani akan terus berulang.

"Seperti sudut segitia siku "kata temanku. Bangsa yang terbelakang ini memaku perkembangan kita diujung bayonet. Kalau pun ada yang agak ringan, kita hanya bisa menonton rakyat menjadi pelaku aktif bagi penderitannya sendiri. Lantaran, logika butuh makan ditambah goyangan pemberdayaan ala tanggung jawab perusahaan membuat khasanah penderitaan rakyat menjadi komplit.

Dan disana, Kalla Family diatas kasur busa "nan" empuk, tentu hanya bisa menonton dari tabung berwarna alias Televisi. Bukan karena tak punya kekuatan, soal pentingnya adalah saudagar kondang yang sering dijuluki ahli damai ini punya posisi penting dalam urutan orang terkaya Indonesia. Kalla Group pada tahun 2009 berada diurutan 26, memiliki kekayaan sebesar 105 Million yang bergerak di bidang engineering, property, konstruksi dan telekomunikasi. Meski pragmatis, setiap pengusaha pasti tahu kata efesien dan efektif, artinya rugi adalah musuh utama, entah itu penyebabnya karena pajak, penolakan warga. Yang jelas tak boleh rugi!

Tak boleh rugi? Apakah ini berkaitan dengan prosentase angka warga yang menolak dan menerima?hush……., sebaiknya itu tidak dibesar-besarkan karena sama sekali tidak relevan lagi” itu seru. Kita menunggu esok, kalau saja benar tower itu pindah.

Entah dibisik oleh siapa, tiba-tiba seorang anggota dewa mengulur Logika-logika yang beralaskan atas nama pembangunan. Dalam ceramah singkat dihadapan teman si Ibu Betti, pria yang terpilih oleh juga suara dari desa Peura ini mengatakan”jangan menolak pembanguan tower karena itu dianggap tindakan anti pembangunan”.

“Pantas saja kasus ini tak pernah selesai, soalnya hampir semua fihak sudah bela Poso energi”kata Betti. Lian Gogali pendamping korban juga berseruh “….itu cara-cara lama orde baru untuk membungkam hak demokratis warga, yang selama ini menempatkan rakyat menjadi korban pengerukan keuntungan……….”.

Jika begitu sepertinya kasus ini juga turut serta memberikan peluang bagi kita semua, untuk kembali mengkerutkan jidat. Mengapa demikian? Sebab amanat konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk terlibat dalam setiap perencanaan pembangunan, baik-buruknya, diterima atau tidak, kini tak bersuara keras lagi. Meski mekanisme musyawarah sudah berulang kali diinfus “bak ransum abadi”, tetap saja para kompetitor kolusi ini beranggapan bahwa kelompok yang menolak dianggap tak penting menjadi alasan? Sungguh Ironi!(dika)

Minggu, 06 Maret 2011

Ultimatum Gubernur Pada PT Inco Tepat

*ada tiga kerugian karena Inco belum operasi*

Sumber: Media Alkhairat

Tanggal: 26 Februari 2011

Palu- Mantan Sekretaris daerah Kabaupaten Morowali Chaerudin Zen mengatakan Ultimatum Gubernur Sulteng, HB Paliudju kepada pihak PT International Nikel Comporation (Inco) agar melakukan aktifitas pertambangan Nikel di blog Bahodopi dan Kolonodale, Morowali sudah tepat.

“Ultimatum Pak Gubernur sudah tepat karena sudah puluhan tahun Inco tidak pernah merealisaikan janjinya untuk membagun pabrik Nikel di Morowali”, kata Chaerudin di Palu, Jumat.

Chaerudin saat masih menjabat Sekretaris daerah Kabupaten Morowali tahun 2007 paling bersikukuh mempertahankan Inco baik di Pemerintah Provinsi maupun di masyarakat.

“waktu itu saya bertahan karena Inco telah berjanji akan membangun Pabrik pada 2010 dan sekarang sudah 2011 belum ada juga realisasinya,” kata Chaerudin

Optimisme Chaerudin waktu itu muncul karena perusahaan sudah melakukan survey terhadap lokasi pabrik dan Pelabuhan tetapi suplay listrik belum tersedia.

Chaerudi mengatakan, tiga kerugian yang di peroleh akibat belum beroperasinya Inco sejak Pemerintah pusat menandatangani Kontrak Karya tahun 1968 dengan Perusahaan berpusat di kanada itu.

Kerugian itu meliputi, terproteksinya investasi bagi perusahaan lain yang ingin masuk ke Sulteng karena lahan yang di kuasai Inco sejak 1968 mncapai 32,123,01 hektare di blok Bahodopi dan 4,512,35 hektare di blok Kolondale “sudah 40 tahun lahan itu tidur karena perusahaan lain tidak bisa masuk,” kata Chaeruddin.

Kerugian lainnya kata dia adalah tidak adanya pemasukan keuangan bagi pemerintah dan kerugian bagi masyarakat sekitarnya “ini kerugian nyata,”katanya.

Chaeruddin mengatakan sejak Inco berencana beroprasi di dua blok lumbung Nikel di Morowali tersebut belum diketahui berapa banyak pendapatan daerah yang diperoleh dari bagi hasil jika Nikel didaerah itu dieksplorasi.

Sebelumnya Rabu, (23/2) Gubernur Sulteng Paliudju meng Ultimatum Inco agar segera melakukan kegiatan penambangan paling lambat 1 Maret 2011. “jika hingga 1 Maret ini belum ada tanda-tanda kegiatan, pemerintah tak bertanggung jawab atas reaksi masyarakat terhadap perusahaan tambang Nikel tersebut,” kata Paliudju.

Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah ( Sulteng) Mohamad Hamdin Mengatakan, Jika pemerintah hanya memaksa perusahaan untuk segera beroperasi tanpa memikirkan hal lain, YTM secara tegas menolak. “hal lain yang saya maksud adalah kepemilikan saham daerah dalam perusaah itu,”katanya sebagaimana di kutip Antara

Menurut Hamdin , baiknya pihak pemerintah tidak memaksakan Inco beroperasi, karena tidak berdampak siknifikan terhadap pendapatan daerah.”Lihat saja Soroako. Kedepan jika seluruh sumber daya alamnya habis di eksploitasi Inco daerah itu akan jadi daerah Mati,”tegas Hamdin.***