"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Bung Karno dan Peristiwa 1 Juni 1945

Oleh: Nasrullah Muhammadong, SH. LL.M*

HARI ini, 65 tahun yang lalu, Bung Karno berdiri di depan sidang BPUPKI untuk mengorasikan sebuah pandangan hidup bersama bagi sebuah negara yang bakal lahir. Dan gagasan pandangan hidup bersama itu pula lah menjadi titik start bangkitnya semangat Indonesia merdeka.

Dalam pidato yang sungguh cemerlang itu, beliau telah berhasil menjawab pertanyaan, apa sesungguhnya kompas buat perahu yang bernama Indonesia ini—di mana para penumpangnya terdiri dari (berbagai) suku, agama, dan kepercayaan. Ya, dalam pidato itu untuk pertama kalinya beliau menyebut kata “Pancasila”.

Bung Karno selalu menyatakan, bahwa ia bukanlah pencipta Pancasila, melainkan sebagai “penggali” saja. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa, pernyataan itu sesungguhnya sekadar ungkapan kerendahan hati Bung Karno, yang terutama ditujukan kepada kawan-kawan seperjuangannya, agar pengorbanan mereka tetap dipandang sejajar dengan beliau.

Kalau toh Bung Karno tetap dipandang sebagai penggali, sudah barang tentu pidato yang cukup menggelegar pada 1 Juni 1945 dimaksud, bukanlah cangkulannya yang pertama. Penggalian itu jauh sebelum kemerdekaan. Penggalian yang dipenuhi dengan cucuran pengalaman dan proses perenungan. Pengalaman akan realitas masyarakatnya, dan perenungan setelah membaca berbagai kitab suci, ideologi bangsa lain, maupun teori dari berbagai tokoh dunia.

Bung Karno sebagai tokoh inti dari proses lahirnya Pancasila, tetap mendapat tantangan dalam perjalanan sejarah selanjutnya.

Di masa Orde Baru, melalui corong sejarawannya yang bernama Nugroho Notosusanto, dinyatakan, bahwa 18 Agustus 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, dan bukan 1 Juni 1945. Bahkan dikatakan, konsep utama Pancasila berasal dari Mr. Muh. Yamin, di mana ketika itu ia lebih dahulu berpidato kemudian Bung Karno (hal ini dapat dibaca dalam buku Nugroho, berjudul, "Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik", penerbit: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan, 1971).

Tapi yang namanya busuk tercium juga. Setelah ditelusuri, ternyata pidato Muh. Yamin tidak terdapat di dalamnya. Hal ini diketahui setelah Pemerintah Belanda menyerahkan kembali dokumen-dokumen asli sidang BPUPKI pada tahun 1989. Muh Yamin pun secara terbuka menyatakan dalam bukunya, bahwa Soekarno lah sebagai penggali Pancasila.

Adapun Bung Hatta sedikit unik. Sebagai salah satu saksi sejarah yang mengetahui persis kejadian tersebut, sebelum meninggal, beliau sempat membuat surat wasiat kepada anak tertua Bung Karno, yaitu, Guntur Sukarno Putra. Hal ini dilakukan, jangan sampai salah satu penggalan sejarah dari hidup Bung Karno dilecehkan di kemudian hari.

Salah satu bagian dari (isi) surat wasiat Bung Hatta dimaksud, berbunyi, sbb: “...dr Rajiman, Ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang panitia itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: “negara Indonesia merdeka yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?” Kebanyakan anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang. Mereka langsung membicarakan soal Undang-Undang Dasar.”

Lebih lanjut Bung Hatta menulis: “Salah seorang dari pada anggota Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia itu, yang menjawab pertanyaan itu adalah Bung Karno, yang mengucapkan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang berjudul Pancasila, lima sila, yang lamanya kira-kira satu jam.” (Sumber: Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, Yayasan Bung Karno, 2007).

Bung Karno meninggal pada 22 Juni 1970. Sebelum wafat, tepatnya pada 1 Juni 1970, rezim Soeharto (melalui Kopkamtib-nya), telah menginstruksikan, bahwa Pancasila tidak boleh diperingati kelahirannya.

Asvi Warman Adam, dalam opini-nya (1/6/2004), mengutip kembali seorang sejarawan Perancis bernama Jacques Leclerc, mengatakan: “Pada dasarnya Bung Karno ‘dibunuh dua kali’. Pertama, berstatus ‘tahanan rumah’ tetapi tak dirawat sehingga kesehatannya memburuk lalu meninggal, dan kedua, pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.(*)

(* Nasrullah Muhammadong, pengajar HTN-Sejarah Hukum Ketatanegaraan, pada Fak. Hukum, Universitas Tadulako, Palu)