"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Jumat, 28 Januari 2011

PETANI DI SULTENG MASIH SULIT PEROLEH AKSES KREDIT

Kamis, 27 Januari 2011

Di ambil dari situs walhi

PALU,27/1 - Gubernur Sulawesi Tengah, H Banjela Paliudju mengatakan para petani di daerah masih dihadapkan pada persoalan sulitnya memperoleh akses permodalan yang memadai. Hal itu disampaikan pada acara pertemuan tahunan perbankan 2011.

“Kurangnya pemahaman masyarakat petani terhadap prosedur kredit dan ketiadaan jaminan menjadi tantangan bagi kita untuk menemukan jawaban atas persoalan tersebut,”Ujarnya dihadapan para pejabat perbankan di Sulteng.

Ia menjelaskan salah satu program pembangunan yang ditempuh Pemerintah Daerah Sulteng khususnya di bidang ekonomi adalah dengan melakukan pengelolaan sumberdaya yang berbasis partisipasi, kemajemukan dan pontensi lokal.

Paliudju dalam upaya menjalankan program tersebut, Pemerintah daerah telah menyusun arah kebijakan pembangunan di bidang perekonomian yang diantaranya adalah pemberdayaan dunia usaha, koperasi dan UKM melalui aspek permodalan, manajemen dan teknologi yang mampu mendorong perkembangan aktivitas ekonomi secara berkelanjutan.

Tak hanya itu, fokus Pengembangan potensi ekonomi Sulteng akan dilakukan melalui peningkatan produksi tanaman pangan guna menjamin terwujudnya ketahanan pangan daerah, dan mendorong peranan sektor pertanian yang tangguh sebagai basis produsen bahan baku industri. Peningkatan produksi pangan ditempuh melalui ekstensifikasi lahan pertanian baru disertai intensifikasi pertanian yang hasilnya diharapkan dapat meningkatkan produksi pangan Sulawesi Tengah.

“Produksi padi Sulawesi Tengah pada tahun 2010 lalu mencapai 986.126 ribu ton meningkat 3,43% dari tahun sebelumnya,”sebut Paliudju
Disamping komoditas pangan (padi dan jagung) komoditas unggulan lainnya adalah hasil perkebunan berupa kakao, cengkih, kelapa dan kelapa sawit. Dengan luas areal lahan kakao mencapai 221.368 hektar, Sulawesi Tengah kini menjadi penyumbang terbesar kakao nasional.

Melalaui program Gernas Kakao yang meliputi rehabilitasi lahan, penyediaan bibit baru, dan pemberantasan hama dan penyakit, pemerintah berharap produksi kakao Sulteng akan semakin meningkat. Di sisi hilir belum adanya industri pengolahan biji kakao di Sulteng menyebabkan hasil produksi kakao selama ini masih diekspor dalam bentuk mentah sehingga nilai tambah yang diperoleh menjadi kurang. Untuk itu pemerintah daerah akan berupaya mendatangkan investor untuk membangun pabrik pengolahan biji kakao di Sulteng.

“Di sisi lain saya mencatat luas areal kelapa sawit di Sulteng terus bertambah seiring dengan beroperasinya perusahaan perkebunan di Kabupaten Morowali, Banggai dan Donggala. kedepan saya berharap para petani dapat mengambil peran dengan bertindak sebagai plasma bagi perusahaan induknya,”pinta Paliudju.
Sementara itu, Pemimpin Bank Indonesia Palu, Rahmat Karnowo mencermati penguatan kegiatan ekonomi di 2011 diperkirakan akan disertai peningkatan tekanan inflasi.

“Kami juga terus mewaspadai sumber-sumber tekanan inflasi, terutama yang berasal dari kenaikan harga bahan pangan serta kemungkinan penyesuaian harga-harga yang ditetapkan Pemerintah,”ujarnya.

Rahmat mengatakan meningkatnya ekspektasi inflasi akibat risiko naiknya harga pangan, yang telah mempengaruhi persepsi dan dinamika di pasar keuangan domestik akhir-akhir ini, juga menjadi perhatian khusus.

Dalam kaitan itu, Bank Indonesia dan Pemerintah akan terus menjalin koordinasi dalam rangka mempertajam program-program untuk meningkatkan sisi pasokan dan perbaikan distribusi bahan kebutuhan pokok.

Bank Indonesia berharap dan yakin Pemerintah akan menangani hal ini dengan sebaik-baiknya. Sinergi antara bauran kebijakan dan jalinan koordinasi tersebut diyakini akan membawa inflasi pada sasarannya yaitu 5%±1% pada 2011 dan 4,5%±1% pada 2012. “Sebagai otoritas moneter, saya ingin menegaskan kembali bahwa Bank Indonesia tetap berkomitmen mengarahkan BI rate guna mencapai target inflasi jangka menengah, menuju kisaran 3.5%,”tandasnya(bp003)

REDD: Politik Bisnis, Perubahan Iklim atau Penggadaian Sumberdaya Alam

12 Januari 2011

Oleh: Supardi Lasaming

Diakui atau tidak, hampir semua negara mengalami kegerahan dengan sistuasi krisis dampak perubahan iklim. Kegerahan ini pada perkembangannya telah melahirkan ragam konsesus dan negosiasi dari konfrensi ke konfrensi internasional yang membahas permasalahan tersebut. Salah satunya adalah lahirnya skema Reduction Emmission from Deforetrasion and Degradasion (REDD) sebagai suatu pendekatan strategis mengatasi krisis pada forum UNFCC di Bali.

REDD sebagai jalan mengatasi krisis dampak perubahan iklim memang patut diapresiasi manakala hutan betul-betul diletakkan sesuai fungsinya menjadi kesatuan ruang dan penyangga bumi yang diyakini dapat melepaskan atau menyimpan carbon sehingga menjadi keharusan untuk diselamatkan, akan tetapi adanya sentuhan perdagangan carbon menjadikan REDD sebagai proyek yang terkanalisasi jadi komoditi pasar oleh Negara-negara penghasil utama karbon yang hanya dengan enteng memberi kompensasi pada Negara-negara pemilik hutan untuk tetap merawat hutannya.


Selain itu, REDD sebagai jalan mengatasi krisis dampak perubahan iklim boleh dikata masih gagasan mengawang-awang disetiap Negara, karena hingga saat ini skema REDD dalam praktek uji coba dibebarapa Negara belum menemukan bentuk sejatinya, sebagai suatu pendekatan yang ideal. Seperti halnya di Indonesia, praktek uji coba REDD di beberapa daerah telah memunculkan beragam catatan-catatan debat kritis dalam hubungan isu hak dan isu tata kelola mengutib catatan Andiko; Securing Rights for REDD: Strengthening Forest Tenure for Indigenous Peoples and Forest Dependent Communities “Pada isu hak, REDD akan memberikan dampak negative kepada masyarakat adat atau lokal ketika hak-hak mereka atas hutan tetap tidak diakui dan diabaikan.


pembayaran kompensasi REDD yang berbasiskan kinerja untuk meningkatkan cadangan karbon pada kawas-an hutan yang ada masayarakat adatnya akan mendorong lahirnya pengetatan-pengetatan akses pemanfaatan hutan maupun peniadaan klaim masyarakat yang dapat berujung pada proses kriminalisasi mereka. Aktor utama REDD yang sedang diuji coba bukanlah masyarakat adat yang hak legal mereka atas kawasan hutan belum diakui. Akan ada otoritas pengelola lain yang mendapatkan hak untuk memperdagangkan karbon dalam skema REDD itu.


Pada isu tata kelola, titik kritis disini muncul dari kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola REDD. Bagaimana secara cepat aparatur pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan dalam bidang metodologi penghitungan karbon, kontrak bisnis internasional, mengingat perdagangan carbon memakai rezim hokum kontrak dan isu krusial lagi adalah pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.


Dalam kacamata masyarakat adat, pengakuan hutan adat diluar kawasan hutan Negara adalah tuntutan yang telah lama diusung jauh sejak penguasaan hutan-hutan mereka diambil alih oleh negara. Pengambilalihan ini telah melahirkan masalah-masalah hak, social dan lingkungan yang berujung pada konflik baik laten ataupun telah manifest dalam berbagai bentuk, misalnya intimidasi dan kriminalisasi. Masalah-masalah ini terus berlangsung sampai hari ini mengingat pendekatan manajemen yang digunakan tidak menyentuh inti masalah utama yaitu masalah hak. Pada fondasi yang rapuh itu kemudian bangunan REDD coba didirikan. Mendirikan REDD secara paksa tampa dimulai dengan pengakuan-pengakuan hak masyarakat adat akan memperpanjang catatan masalah kehutanan yang ada. Apalagi, REDD mensyaratkan kejelasan status hak dan status hokum kawasan yang akan dilekati program REDD”.


Terlepas dari catatan-catatan kritis dalam tulisan Andiko diatas, REDD sebagai suatu pendekatan skema dalam hubungan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bisa jadi telah menghantarkan pada jebakan antara politik bisnis dalam mengatasi krisis dampak perubahan iklim dan atau politik bisnis dalam penggadaian perawatan hutan. Oleh komunitas aras bawah; baik yang hidup disekitar hutan dan hidup didalam hutan yang selama ini dalam prakteknya secara arif menjaga hutan masih “nuvavai” atau”tanda tanya” dari ketidakpastian hak atas wilayah kelolanya dan ketidaktahuannya tentang REDD. ***

TOLAK CPM: ”SAVE TAHURA CONSERVASI AREA”

Andika

(Manager Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah)

Diskursus tentang nasib Poboya sebagai lokasi pertambangan emas kembali menuai banyak perhatian. Lantaran, PT Citra Palu Mineral anak perusahaan Bumi Resources kembali berbuat ulah. Dalam waktu dekat mereka akan segera melakukan pengeboran di Blok IV yang letaknya persis diatas kepala wilayah administrasi kelurahan Poboya. Disebut-sebut, kali ini PT CPM benar-benar akan serius melakukan pengeboran sesuai jadwal eksploitasi yang jatuh pada tahun 2012.

Informasi ini sontak memantik reaksi dari kalangan penambang tradisional (rakyat). Atas nama Barisan Pemuda Tara (Batara), Pada tanggal 3 Januari 2011 mereka menurunkan puluhan ribu warga penambang mendatangai instansi pemerintah, DPRD, Balai Kota Palu, dan DPRD Provinsi. Mereka dengan gegap gempita menuntut satu hal”Usir CPM dari Bumi Tadulako”. Pernyataan ini tentu saja memberikan makna bahwa puluhan ribu penambang ini menolak kehadiran campur tangan Industri skala besar ditanah poboya, yang diatas namai oleh CPM anak perusahaan PT Bumi Resources.

Arianto Sangaji (2009), pernah menuliskan satu catatan khusus terkait maraknya issu eksploitasi tambang Poboya. Salah satu rekomendasi yang keluar dalam tulisan itu, pemerintah dan masyarakat sipil sudah saatnya membicarakan industry ekstraktif dalam dimensi yang lebih politis. Yaitu membicarakan Poboya dalam kacamata untung rugi pertambangan, dan soal utamanya adalah politik kepemilikan. NGO dan gerakan masyarakat sipil sudah harus berdiri mendorong kekuatan negara (pemerintah), tidak lagi terjebak dalam kampanye dan propaganda neoliberalisme seperti soal-soal hilir; pencemaran dan dampak-dampak sosio ekonomi dan ekologi, Good Governance, dan lain-lain.

Perspektif semacam itu juga bukan tanpa pengalaman. Dibeberapa negara lain seperti Venezuela, sudah mempraktekan hal tersebut, dan sejauh ini berhasil memberikan manfaat ekonomi politik. Namun demikian, perbedaan situasi ekonomi politik dan syarat-syarat strategisnya jelas sangat mencolok, ketika pandangan diarahkan ke Poboya.

CPM EKSPLORASI: KONTRAK KARYA ISTIMEWA (KOLONIALISME MINING)

Seperti yang sudah disinggung diatas, rencana untuk meng-eskploitasi deposit emas Poboya tak pernah surut. Kekuatan modal selalu mengintip setiap kesempatan. Ditengah arus berkembangnya surflus ke-ekonomian sector pertambangan, dan peluang politik. Pertambangan masih tetap menjadi pilihan kebijakan nasional pemerintah Indonesia. Peluang ini yang dimanfaatkan pihak perusahaan CPM sebagai salah satu alasan menggenjot percepatan proses eksplorasi.

Rencana eksplorasi PT CPM sendiri mencuat pasca Surat Direktur CPM, Suseno Kramadibrata, yang menyampaikan surat pemberitahuan Nomor 45/CPM/XII/2010 kepada Walikota Palu. Terkait rencana pemboran (drilling) sebagai bagian dari kegiatan eksplorasi untuk daerah prospek di Blok Poboya.yang isinya adalah meminta izin eksplorasi. Sebanyak empat (4) driling akan coba dipasang di dalam kawasan Tahura., untuk melakukan pengeboran. Target eksplorasi ini sebetulnya sudah mengarah pada upaya eskploitasi sesuai laporan tahunan 2009 Bumi Resources, yang akan melakukan eskploitasi pada tahun 2012.

Informasi lain menyebutkan, proses eksplorasi Blok IV Poboya, sebetulnya sudah dilakukan secara diam-diam oleh pihak perusahaan. Laporan tahun 2010 menyebutkan, bahwa Bumi Resources sebagai induk PT CPM telah mengeluarkan biaya sebesar US$25,314.57 untuk pembiayaan selama proses eksplorasi tahun bulan November 2010. Dalam laporan tersebut pula disebutkan rekomendasi: salah satunya adalah melanjutkan proses pengeboran pada kawasan eksplorasi, dan melanjutkan komunikasi dengan pemerintah lokal untuk mengamankan aktivitas CPM.

CPM sendiri adalah perusahaan yang sekarang dikontrol oleh Abur Rizal Bakrye seorang politisi nasional yang kini menjabat Ketua Partai Golkar, sebetulnya disebut-sebut memilki kontak karya yang sebetulnya bisa dianggap bermasalah. Sejak tahun 1997, perusahaan ini, selalu mendapatkan penolakan. Baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat setempat. Akan tetapi, karena status Kontrak Karya (KK) yang bersifat hukum Lex-Specialis, menjadikannya sangat perkasa. Pemerintah lokal, hanya bisa merekemendasikan penolakan eksplorasi dan eskploitasi, tetapi tidak punya jangkauan politik untuk membatalkan kontrak itu.

Hadirnya UU No 4 tahun 2009 tentang Pokok-pokok pertambangan Mineral dan Batubara, awalnya diharapkan membawa angin segar, bagi perubahan perspektif pengelolaan sumber daya mineral. Tetapi tetap saja, ternyata UU baru ini masih belum mampu merubah pendekatan eksplosif KK milik CPM ini. Salah satu keistimewaan didapatkan dari UU No Tahun 2009, adalah pengecualian KK, dan salah satunya CPM. CPM masuk dibawah daftar KK generasi kedelapan, sehingga tidak dituntut lagi adanya penyesuaian. Artinya sama sekali tidak ada yang berubah dari kuasa KK, mereka tetap melanjutkan misi eksplosif tersebut tanpa harus memasukan kontrak baru, atau meminta persetujuan baru pemerintah.

PARTAI GOLKAR DAN BUMI RESOURCES

Bumi Resources dalam riwatnya adalah sayap bisnis lain yang dimiliki Bakrye and Brothers Group. Usaha ini menjadi besar setelah sukses disuntik pinjaman oleh JP. Morgan, Bank of New York dan Oddikson Finance. Sekitar 35 persen saham bersumber dari pinjama Oddikson Finance pada perusahaan induk Bakrye and Brothers, dan memiliki kendali atas saham pada Bumi Resources. Namun pihak Oddikson belum mau mengambil alih kontrol pada Bumi karena sejauh ini, bisnis ditangan bakrye masih aman secara politik. Meskipun neraca hutangnya melebihi jumlah komposisi saham bakrye and Brothers Bumi. Hal ini pula yang sangat membantu ketua Golkar ini, dan anak perusahaannya berhasil mengangkangi Batubara Kalimanata Timur, melalui anak perusahaan Arutmin dan Kaltim Prima Coal. Hingga sekarang lewat perusahaan ini pula berhasil mengawinkan beberapa anak perusahaan lainnya, dengan menguasai total pasokan eksport Batubara kurang lebih kurang lebih 60 persen.

Akibat dari monopoli dengan produksi yang jauh dari akal sehat ini, pula telah menghasilkan Kalimantan Timur sebagai ladang racun. Alih-alih batubara untuk kesejahteraan rakyat, dari kasus areal tambang inilah muncul istilah baru dalam gurita korupsi”pengempelang pajak”. Dari sini kerajaan bisnis bakrye (bagi sebagian yang mengetahui) kemudian menandai perilaku keluarga ini, sebagai pengemplang pajak. Mereka diyakini berbagai pihak sebagai pe-bisnis sekaligus politisi (Ketua Umum Golkar) yang tidak patuh terhadap negara dengan menjalankan bisnis besar dan diduga tidak membayar pajak sebanyak 2 triliun terhadap negara. Dan hasilnya, seperti kita sering nonton, Gayus si-kaya dan seterusnya.

Selain itu, kedudukan CPM sebagai perusahaan daerah dikontrol oleh Abur Rizal Bakrye seorang politisi nasional yang kini menjabat Ketua Partai Golkar. Sekarang mengalami banyak perubahan sekaligus kemudahan secara politis. Kekuatan untuk mendorong eksploitasi makin mengalami lapangan yang luas secara politis. Kebetulan sejawat politik Walikota Kota Palu Rusdi Mastura (Walikota) yang juga menjabat ketua Partai setempat, merupakan tandem yang cukup akrab dengan pimpinan perusahaan sekaligus pimpinan partai. Hal ini Tentu saja dapat kita pahami: kembali ke pepatah tua, tak akan mungkin jeruk makan jeruk. Sesama kader dan pengurus aktif partai Golkar, hal ini akan menghalau segala kemungkinan buruk.
Mulhana Tombolotutu, Wakil Walikota Palu menyatakan, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak terkait dengan persoalan Poboya, karena itu sudah menjadi hak konsesi CPM melalui Kontrak Karya.”kita hanya mampu menyampaikan apa yang menjadi tuntutan masyarakat dari bawah. Tak jauh berbeda, Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Ahmad Yahya pada media lokal, menyampaikan hanya bisa melakukan mediasi pada kedua belah pihak, untuk mencari kesepakatan-kesepakatan. Dan tak memiliki kewenangan untuk berbuat lebih.

NASIB TAHURA-PANEKI DI PALU DAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTA BONE: BUMI RESOURCES MEMBONGKAR DUA KAWASAN KONSERVASI

Taman Hutan Raya (Tahura) Paneki-Poboya sendiri adalah kawasan yang diproyeksikan sebagai dari penyangga dan juga sebagai wilayah resapan air. Berdasarkan pemanfaatan dan penggunaan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Paneki Poboya yang sebelah baratnya merupakan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan sebelah selatan adalah Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Kawasan Hutan Lindung (HL). Bukanlah kawasan yang ideal bagi proyeksi industri ekstraktif, sekalipun untuk alasan menumbuhkan kapital dalam negeri (Growth). Mengingat Kota Palu berada pada wilayah garis khatulistiwa yang suhu-nya rata-rata diatas 28 derajat celcius, dan Poboya berfungsi memasok air konsumsi terbesar bagi kebutuhan separuh penduduk Kota Palu.

Agak berbeda, Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone (TNBWB) Gorontalo yang ditetapkan oleh menteri Kehutanan melalui surat keputusan nomor 1068/kpts-II/92. Memiliki luas sekarang ± 287.115 hektar. Kini akan alih fungsikan setelah diamini oleh Pemerintah Indonesia. Lewat keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 488.K/30/DJB/2010 tentang perpanjangan ke 1 dan ke 2 Studi kelayakan wilayah KK Gorontalo Minerals. Seluas 19.000 hektar Kawasan TNBWB sudah diterbitkan bagi Gorontalo Sejahtera Mining (GSM), anak perusahaan Bumi Resources di Provinsi Gorontalo untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi emas. Selanjutnya, sejak dikeluarkannya surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 324 tahun 2010 tentang alih fungsi hutan di kawasan itu. Sekarang tercatat sudah 31 perusahaan tambang mengantri untuk mendapatkan jata konsesi di TNBWB. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Gorontalo menyebutkan, kandungan emas yang terdapat pada kawasan yang menjadi penyangga utama ekosistem di Gorontalo itu terbilang tidak sedikit, dari hasil riset yang pernah dilakukan tercatat kandungan emas di areal itu sebanyak 120 hingga 200 ton.

Untuk diketahui, pada kawasan yang disebut sebagai Zona Rimba ini menyimpan berbagai flora dan fauna. Pihak taman Nasional mengklaim, Jenis Flora yang dapat ditemukan diantaranya, 400 jenis pohon, 241 jenis tumbuhan tinggi, 120 jenis paku-pakuan, 100 jenis tumbuhan lumut, 90 jenis anggrek. Sementara jenis Fauna meliputi;24 jenis mamalia, 125 jenis Aves, 11 jenis reptilia, 2 jenis amfibia, 38 jenis kupu-kupu, 200 jenis kumbang, dan 19 jenis ikan. Dan salah satu jenis binatang langkah yang terkenal disini adalah Tangkasi (tarsius spectrum-sprectrum).
Masuknya GSM, akan secara otomatis menimbulkan dampak yang cukup serius pada kawasan ini. Apalagi, standar pertambangan Bumi Resources sejauh ini masih menggunakan standar pembuangan limbah Tailing. Pembongkaran hutan dan pembuangan limbah adalah dua jenis masalah yang akan dibebani pada daya dukung ekologi, dan pada masyarakat setempat.

Perlawanan terhadap Bumi Resources adalah juga integrasi kepentingan masyarakat dunia. Terutama, konteks perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan masuknya Bumi pada kawasan Konservasi berarti akan ada sumbangan kerusakan dan emisi terbaru. Dan pastinya Bumi dan Manusia akan semakin menderita. Selain itu, perkembangan kondisi global kekinian, dan perubahan iklim yang semakin tragis. Keberadaan Kawasan konservasi Tahura Paneki-Poboya dan Taman Nasiona Bogani Nani Warta Bone juga menjadi bagian yang penting dalam integrasi penyelamatan bumi dari efek pemanasan global. Karena Keberadaan hutan, menjadi sumber penyerap karbon sekaligus sebagai benteng ekspansi (perluasan), dan dari dampak aktivitas Industri kapitalis, yang semakin tak terkendali.

Sumber:
1. http://hulondhalo.com/2009/06/taman-nasional-bogani-nani-wartabone/
2. Rakyat, seputar edisi 2, tahun 2010, Yayasan Tanah Merdeka
3. Rakyat, seputar edisi 3, tahun 2003, Yayasan Tanah Merdeka
4. Laporan Investigasi Poboya Aristan, tahun 2003, Jatam Sulteng
5. Sangaji, Anto, Buruk Inco, Gusur Rakyat, ekonomi Politik pertambangan Indonesia, 2002, Yayasan Tanah Merdeka Indonesia.

Kamis, 27 Januari 2011

YTM Sesalkan Perluasan Pertambangan di Morowali

Sumber : Media Alkhairaat

Kamis, 20 Januari 2011

Palu- Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu menyesalkan lemahnya kontrol pemerintah morowali atas perluasan areal pertambangan yang semakin tidak terkendali di daerah ini. Hal itu disampaikan staf YTM Adriansyah dalam rilisnya. Menurutnya, perluasan industri tambang di Kabupaten Morowali sudah diluar ambang batas.

Selama ini juga belum dilakukan evaluasi pemasukan daerah dan dampak lingkuangan secara keseluruhan. “Padahal jumlahnya, sudah sangat banyak, Lemahnya kontrol pemerintah terhadap eksploitasi pertambangan yang semakin memburuk dikarenakan posisi pertambangan yang selama ini selalu merugikan masyarakat”, kata Adriansyah.

Dia menambahkan, PT. Graha Sumber Mining (GSMI) masuk ke Kecamatan Petasia sejak tahun 2010 yang kini telah melakukan eksploitasi. Sebelum PT. GSMI, juga ada PT. Mulia Pacific Resource (MPR) yang melakukan eksplorasi dan di tahun 2010.

Data yang diperoleh YTM, sedikitnya, tercatat ada 2 kelurahan dan 2 desa lainnya, yaitu Desa Ganda-ganda dan Desa Tontofea. “Ironisnya, juga ada dua perusahaan yang beroperasi dalam kawasan yang sama yaitu PT. GSMI dan PT. PANCA INA,” kesalnya.

Untuk diketahui, GSMI adalah anak perusahan Aneka Tambang yang beroperasi sembilan bulan di Kecamatan Petasia. YTM mencatat beberapa masalah yang timbul akibat perluasan tambang diwilayah ini.

Pertama, sebelum PT. GSMI masuk ke Kecamatan Petasia, masyarakat di kawasan itu telah melakukan pemebersihan lahan sekitar 2641 Ha yang akan di jadikan lahan pemukiman dan perkebunan. Tanpa ada proses sosialisasi dengan warga setempat yang memiliki lahan di areal 2 kelurahan dan 2 desa tersebut PT. GSMI telah masuk dan mengkapling wilahnyanya.

Selanjutnya, dampak fisik yang ditimbulkan PT. GSMI, terutama pada musim hujan, karamba milik warga sering tercemari air yang berasal dari gunung bekas eksploitasi PT. GSMI. Dampak lainnya, pencemaran air bersih konsumsi, dan disaat yang sama air laut sekitar wilayah tangkapan nelayan sering tercemar dan berwarna merah kecoklatan. (RIFAY)