"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Senin, 06 Desember 2010

PENGANTAR EKONOMI-POLITIK

I. Produksi Barang-Barang Kebutuhan Adalah Basis Dari Kehidupan Sosial

Kita harus memulainya dari pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya.[1] Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat.

II. Hubungan Produksi, Tenaga Produktif dan Cara Produksi

Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebauh masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja).

Hubungan sosial produksi dan tenaga produktif (alat-alat produksi dan tenaga kerja) inilah kemudian membentuk suatu cara produksi dalam suatu masyarakat. Misalnya cara produksi komunal primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Perubahan yang terjadi dari suatu cara produksi tertentu ke cara produksi yang lain terjadi akibat berkembangnya tenaga produktif dalam suatu masyarakat yang akhirnya mendorong hubungan produksi lama tidak dapat dipertahankan lagi dan menuntut adanya hubungan produksi baru. Inilah hukum dasar sejarah masyarakat dan merupakan sumber utama dari semua perubahan sosial yang ada.

III. Kelas-Kelas Dalam Masyarakat

Berdasarkan Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat pembagian kelas-kelas. Dalam sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Misalnya dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang lain. Oleh karena itu tidak ada pembagian kelas-kelas dalam masa ini. Yang ada hanyalah pembagian kerja, ada yang berburu, bercocok tanam dan lain-lain.

Masyarakat berkelas muncul pertama kali ketika kekuatan-kekuatan produksi (alat-alat kerja dan tenaga kerja) berkembang hingga menghasilkan produksi berlebih. Kelebihan produksi inilah yang pertama kali menjadi awal untuk kelompok lain untuk mengambil kelebihan produksi yang ada. Dalam setiap masyarakat berkelas yang ada selalu didapati adanya pengambilan/perampasan atas hasil produksi. Perampasan atas hasil produksi inilah yang kemudian sering dinamakan dengan penghisapan.

Lain halnya dalam cara produksi setelah komunal primitif yaitu perbudakan, yang menghasilkan dua kelas utama yaitu budak dan pemilik budak. Dalam masa perbudakan alat-alat produksi beserta budaknya sekaligus dikuasai oleh pemilik budak. Budaklah yang bekerja menghasilkan produksi. Hasil produksi seluruhnya dikuasai oleh pemilik budak. Budak sama artinya dengan sapi, kerbau atau kuda. Pemilik budak cukup hanya memberi makan budaknya.

Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feodum yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah.

Begitu pula halnya dalam sistem kapitalisme yang menghasilkan dua kelas utama yaitu kelas kapitalis dan kelas buruh. Proses kegiatan produksi utamanya adalah ditujukan bukan untuk sesuai dengan kebutuhan manusia, melainkan untuk menghasilkan barang–barang dagangan untuk dijual ke pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi milik kapitalis. Keuntungan yang didapat ini kemudian dipergunakan untuk melipatgandakan modalnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil kerja buruh ini, dirampas dan menjadi milik kapitalis. Buruh berbeda dengan budak atau tani hamba. Buruh, adalah manusia bebas. Ia bukan miliknya kapitalis. Tetapi 7 jam kerja sehari atau lebih dalam hidupnya menjadi milik kapitalis yang membeli tenaga kerjanya. Buruh juga bebas menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis manapun dan kapanpun ia mau. Ia dapat keluar dari kapitalis yang satu ke kapitalis yang lain. Tetapi akibat sumber satu-satunya agar ia dapat hidup hanya menjual tenaga kerjanya untuk upah, maka ia tidak dapat pergi meninggalkan seluruh kelas kapitalis. Artinya buruh diikat, dibelenggu, diperbudak oleh seluruh kapitalis, oleh sistem kekuasaan modal, oleh sistem kapitalisme. Kita akan membahas persoalan lebih detail lagi.

KAPITALISME

Kapitalisme, adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang yaitu kelas kapitalis (pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari kepemilikannya atas alat-alat produksi. Sementara kelas lain (buruh) yang tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga kerjanya) kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah.

Kepemilikan alat-alat produksi kemudian dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang untuk dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.

Pengusaha yang pandai adalah seorang yang membayar sekecil mungkin terhadap apa yang dibelinya dan menerima sebanyak mungkin terhadap apa yang dijualnya. Tahap awal menuju keuntungan yang tinggi adalah menurunkan biaya-biaya produksi. Salah satu biaya produksi adalah upah buruh. Oleh karena itulah kepentingan pengusaha untuk membayar upah serendah mungkin. Selain itu pengusaha juga berkepentingan untuk mendapatkan hasil kerja buruhnya sebanyak mungkin.

Kepentingan dari para pemilik modal ini bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang bekerja (buruh) kepada mereka. Kelas buruh berkepentingan terhadap meningkatnya upah, meningkatnya kesejahteraannya. Kedua kelas ini bertindak sebagaimana kepentingan (keharusan) yang ada pada mereka. Masing-masing hanya dapat berhasil dengan mengorbankan yang lain. Itulah mengapa, dalam masyarakat kapitalis, selalu ada pertentangan antara dua kelas tersebut.


I. NILAI LEBIH

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan?

Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan).

Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di DKI misalny) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabanya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnyadi pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat?

Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.

Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000.

Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 240.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000).

II. Akumulasi Kapital Dan Krisis Kapitalisme

Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme hidup pertama dari kepemilikan mereka atas alat-alat produksi yang seharusnya menjadi milik sosial (lihat sejarah masyarakat bahwa pada awalnya alat-alat produksi ini adalah milik bersama/sosial). Kepemilikan alat-alat produksi ini dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang yang dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.

Sederhananya, kapital menuntut kapitalis untuk terus mengakumulasi modal, untuk menjadi kaya, kaya sekaya-kayanya untuk semakin kaya lagi, dan tidak ada kata cukup untuk menambah kekayaan. Ini semua bukanlah persoalan kapitalisnya serakah atau rakus atau karena kapitalisnya adalah orang yang tidak taat agama, orang Cina, Amerika, Jepang, Korea, Arab dll. Semua kapitalis adalah sama. Karena memang tuntutan ini bukan karena ada watak-watak serakah dari individu-individu kapitalis. Melainkan tuntutan dari cara kerja sistem kapitalisme menuntut setiap kapitalis untuk menjadi demikian. Penjelasannya seperti di bawah ini.

Misal bahwa harga ditentukan oleh komposisi permintaan dan penawaran. Adanya permintaan yang besar terhadap suatu barang, sementara penawaran (persedian) yang ada lebih kecil dari permintaan pasar menyebabkan harga suatu barang barang dagangan meningkat. Kejadian ini menyebabkan kapital akan bergerak ke keadaan dimana permintaan meningkat, yang menyebabkan kapital berkembang.

Ketika harga suatu barang dagangan tinggi akibat permintaan lebih besar daripada barang yang tersedia di pasar, maka untuk memperbesar keuntungan maka si kapitalis meningkatkan jumlah barang dagangannya. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan/menambah jumlah mesin yang ia miliki, menambah jumlah buruh, melakukan pembagian tugas/kerja yang lebih canggih (lebih kecil), melakukan percepatan, dan meningkatkan efisiensi dalam pabrik.

Tetapi mesin-mesin juga menciptakan kelebihan populasi pekerja, mereka juga mengubah watak buruh. Buruh-buruh trampil menjadi tidak berguna ketrampilannya karena ketrampilannya telah diganti oleh mesin. Lihat misalnya para sarjana yang kerja di perbankan, atau di perusahaan-perusahaan lainnya, mereka yang telatih menggunakan komputer, memiliki kemampuan akutansi, memiliki bermacam keahlian. Semua ketrampilan dan keahlian ini menjadi tidak berguna. Karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi proses mekanisasi kerja. Kerjanya kini hanya memasukkan data-data setiap harinya. Terus berulang-ulang. Dengan penggantian mesin, anak-anak juga dapat dipekerjakan.

Penambahan mesin-mesin baru yang lebih modern/canggih (ingat sifat dari teknologi yang terus berkembang) memungkinkan seorang buruh dapat memproduksi sebanyak tiga kali lipat, sepuluh kali lipat, tujuh belas, atau puluhan kali lipat dari sebelumnya. Dengan cara ini, maka hasil produksi dapat jauh lebih besar. Harga biaya produksi bisa lebih diperkecil.

Tetapi semua tindakan kapitalis diatas tidak saja dilakukan oleh satu kapitalis saja melainkan kapitalis yang lain juga melakukan tindakan yang sama. Masing-masing berlomba untuk dapat menguasai pasar, bahkan dengan menurunkan harga barang dagangan tadi (walaupun harganya tetap diatas biaya produksi). Persaingan ini terus terjadi. Dimana disatu titik akan menyebabkan beberapa kapitalis yang kalah dalam persaiangan ini terpaksa kalah, bangkrut atau pindah ke usaha lain yang berkembang. Kapitalis-kapitalis yang modalnya lebih besar memenangkan pertarungan ini.

Sejak satu abad yang lalu, dengan mesin-mesin baru yang lebih canggih (hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) kemampuan produksi kapitalisme telah dapat memenuhi jumlah dari permintaan yang ada, bahkan telah jauh diatasnya. Hingga akhirnya produksi barang jauh lebih besar dibanding dengan kemampuan pasar untuk membeli barang-barang ini. Akhirnya si kapitalis kini bukan saja harus memikirkan bagaimana mendapatkan untung dari penjualan barang produksinya melainkan juga bagaimana dapat menjual barang dagangannya yang berlimpah (diatas permintaan pasar) yang juga harus bersaing dengan kapitalis lain, menyebabkan kebangkrutan dari beberapa kapitalis. Kebangkrutan jelas juga membawa akibat terphknya buruh di perusahaan yang kalah bersaing ini. Rakyat pekerja dilempar ke jalan-jalan menjadi pengangguran. Sementara itu, barang-barang produksi melimpah di pasar, sementara masyarakat tidak memiliki daya beli untuk mengkonsumsi barang—barang ini. Ini juga menyebabkan kebangkrutan kembali dari perusahaan-perusahaan yang ada. Inilah cara kerja kapitalisme, dimana didalam keteraturannya (ketertibannya) terkandung ketidaktertibannya, liar, anarki produksi.


III. NEGARA

Klas kapitalis, melalui penghisapannya terhadap klas pekerja, telah mendapatkan kenyamanan, kekayaan dan martabat. Sementara klas buruh justru mendapatkan kemiskinan, dan kesengsaraan.

Mengapa kelas yang sebenarnya minoritas dalam jumlah populasi di bumi ini (kapitalis) justru lebih diuntungkan dibandingkan dengan kelas mayoritas penduduk dunia (buruh). Kondisi terus bertahan hingga saat ini karena terdapat sistem kekuasaan sosial ekonomi oleh kelas minoritas yang kaya terhadap mayoritas kelas buruh. Alat untuk mempertahankan penindasan satu kelas terhadap kelas lain adalah negara.

Dalam pertentangan kelas kapitalis dan kelas buruh kelas kapitalis menggunakan negara sebagai sebuah senjata yang sangat diperlukan melawan pihak yang tidak memiliki.

Kita sering didengungkan oleh kampanye pemerintahan kapitalis bahwa mereka mewakili semua orang, yang kaya dan miskin. Tetapi sebenarnya, sejak masyarakat kapitalis yang didasarkan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi serangan apapun terhadap kepemilikan kapitalis akan dihadapi dengan kekerasan dari pemeritnahan kapitalis. Melalui kekuatan tentara, UU, hukum, pengadilan dan penjara negara telah berfungsi menjadi anjing penjaga dari keberlangsungan sistem kepemilikan pribadi yang menguntungkan kelasminoritas. Klas yang berkuasa secara ekonomi –yang memiliki alat-alat produksi– juga berkuasa secara politik.

Sejak negara sebagai alat melalui salah satu klas yang menentukan dan mempertahankan dominasinya/kekuasannya terhadap klas yang lain, kebebasan sejati bagi sebagian besar yang tertindas tak dapat terwujud.

Negara terwujud untuk menjalankan keputusan-keputusan dari klas yang mengontrol pemerintah. Dalam masyarakat kapitalis negara menjalankan keputusan-keputusan dari klas kapitalis. Keputusan-keputusn tersebut dipola untuk mempertahankan sistem kapitalis dimana klas pekerja harus bekerja melayani pemilik alat-alat produksi.

*

MONOPOLI

Persaingan, sesuai teori, adalah sesuatu yang baik, Tetapi pemodal menemukan bahwa praktek tidak sesuai dengan teori. Mereka menemukan bahwa persaingan mengurangi keuntungan sedangkan penggabungan meningkatkan keuntungan. Bila semua kapitalis tertarik pada keuntungan jadi mengapa bersaing? Lebih baik bergabung.

Melalui penggabungan modal industri dan keuangan berkemampuan untuk berkembang hingga ke tingkat yang begitu besar dimana dalam beberapa industri saat ini sedikit dari perusahaan, secara nyata, menghasilkan lebih dari setengah jumlah keseluruhan produksi atau mendekati jumlah seluruhnya. Misalnya perusahaan sofware komputer Microsoft atau yang lain (kawan-kawan bisa sebutkan contohnya di Indonesia).

Tidak sulit untuk melihat bahwa dengan dominasi yang luas seperti itu, monopoli kapitalis berada di posisi sebagai penentu harga-harga. Dan mereka memang melakukan hal itu. Mereka menetapkannya pada titik dimana mereka dapat membuat keuntungan tertinggi. Mereka menentukannya melalui persetujuan diantara mereka sendiri, atau melalui pengumuman harga perusahaan terkuat dan perusahaan sisanya memainkan peran sebagai “pengikut”, atau, seperti seringkali terjadi, mereka mengontrol paten dasar dan memberikan surat ijin untuk memproduksi hanya sebatas persetujuan yang telah ditentukan.

Monopoli membuat kemungkinan bagi para pemegang monopoli untuk mengerjakan tujuannya – membuat keuntungan yang besar. Industri yang bersifat bersaing menghasilkan keuntungan pada saat-saat yang baik dan memperlihatkan defisit di saat-saat buruk. Tetapi bagi industri yang bersifat monopoli, polanya berbeda – mereka menghasilkan keuntungan yang besar di saat-saat yang baik, dan beberapa keuntungan di saat buruk.

IMPERIALISME DAN PERANG

Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke-20, pertukaran komoditi telah menciptakan internasionalisasi hubungan ekonomi dan internasionalisasi kapital, bersamaan dengan peningkatan produksi sekala besar, sehingga kompetisi digantikan dengan monopoli. Dengan kata lain, dalam persaingan bebas, kenaikan produksi berskala luas akan diambil alih oleh monopoli.

Ciri dominan bisnis kapitalis adalah perusahaan-perusahaan yang tidak bisa lagi berkompetisi baik di dalam negerinya sendiri maupun ketika berhubungan dengan negeri-negeri lain, berubah menjadi monopoli persekutuan pengusaha, semacam perserikatan pengusaha (trust), membagi-bagi pasar dunia bagi kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing.

Ciri khas penguasa berubah menjadi pemilik kapital keuangan, kekuatan yang secara khas bergerak dan luwes secara khas jalin menjalin baik di dalam negerinya sendiri maupun secara internasional yang menghindari individualitas dan dipisahkan dari proses produksi langsung yang secara khas mudah dikonsentrasikan atau suatu kekuatan yang secara khas memang sudah memiliki langkah panjang di jalanan yang menuju pusat konsentrasi, sehingga tangan beberapa ratus milyuner saja dan jutawan saja bisa menggenggam dunia.

Kemampuan produksi sebuah barang telah melampaui jumlah penduduk dalam suatu negeri yang mengkonsumsi barang-barang dagangan ini. Tetapi tuntutan kapitalisme bahwa barang-barang ini harus tetap dijual ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Ini berarti bahwa kaum kapitalis harus menjual barang-barang tersebut keluar negeri. Mereka harus menemukan pasar luar negeri yang akan menyerap kelebihan penjualan pabrik mereka. Inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya penjajahan (kolonialisme) dari suatu bangsa atas bangsa lain. Kepentingan untuk melakukan penjajahan ke negeri lain bukan saja untuk menjual barang-barang dagangan mereka, melainkan juga kebutuhan akan persediaan bahan-bahan mentah yang sangat besar bagi kegiatan produksi mereka seperti karet, minyak, timah, tembaga, nikel. Mereka menginginkan untuk mengontrol sendiri sumber-sumber bahan-bahan mentah yang penting tersebut. Kedua faktor inilah yang kemudian menimbulkan imperialisme, membangkitkan peperangan antar satu negeri dengan negeri lain. Perebutan pasar di negeri-negeri jajahan akhirnya menimbulkan perang. Semua perang-perang yang terjadi baik perang dunia I, II maupun perang dikomandoi oleh AS saat ini tidak terlepas dari kerangka untuk mendapatkan pasar-pasar baru.

Zaman imperilisme, ditandai oleh kendali setiap oligarki keuangan negeri-negeri kapitalis maju, yang menggunakan kekuasaaan paksaan dan kekerasan terorganisir (mesin-mesin negara yang mereka pimpin) untuk mempertahankan dominasi imperialnya terhadap kehidupan ekonomi dan politik negeri-negeri terbelakang, serta untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mengorbankan kelas pekerja di negerinya sendiri dan negeri-negeri lain.



Kapitalisme Neoliberal

Perang dunia II telah berhasil membangkitkan kembali perkembangan modal di negeri-negeri dunia I. Perkembangan ini telah memacu ekspansi modal dari negeri-negeri imperialis dunia pertama bergerak ke negeri-negeri miskin di dunia III. Sejak tahun 1960-an munculnya perusahaan-perusahaan transnasional dunia I di negeri-negeri dunia III terjadi cukup masif. Namun tuntutan perluasan pasar atas tuntutan dari perkembangan modal di negeri-negeri dunia I dirasakan dihambat akibat sejumlah proteksi dari negara-negara dunia III. Oleh karena itu kemudian pemerintah negara-negara imperialis yang tergabung dalam kelompok G7 melihat kebutuhan untuk melakukan sejumlah reformasi strukturural di negara-negara dunia III. Dalam pertemuan tahunan mereka pada tahun 1976 dihasilkan sebuah kesepkatan untuk melakukan reformasi neoliberal yang pada intinya berisi: pencabutan berbagai subsidi negara, kemudahan masuknya investasi asing, privatisasi, liberalisasi perdagangan.

Kekuasaan negara-negara imperialis dalam mengontrol lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia ia telah berhasil mendorong kebijakan neoliberal ini untuk menjadi kebijakan global di seluruh negeri. Lembaga-lembaga keuangan interanasional ini berfungsi tidak lebih sebagai agen pemerintaha negeri-negeri imperialis untuk menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal. Ekspor modal melalui hutang luar negeri dari IMF dan Bank dunia menjadi senjata untuk menekan pemerintah negeri-negeri dunia III untuk menjalakan kapitalisme neoliberal.

Walaupun demikian kebijakan ekonomi neoliberal telah terbukti gagal dipraktekkan di sejumlah negara. Paket reformasi neoliberal telah menyebabkan negara miskin dunia ketiga menjadi lebih miskin lagi. Kaum kapitalis bersama pemerintahan negeri-negeri imperialis mencoba mempertahankan kebijakan ini dengan cara memunculkan sebuah propaganda (ideologi) tentang globalisasi. Dalam pandangan ini, perkembangan ekonomi telah menjadi global. Aturan-aturan sebuah negara tidak lagi relevan dalam situasi perekonomian dunia saat ini. Oleh karena itu globalisasi dunia dalam makna globalisasi neoliberal tidak dapat dilawan oleh siapapun karena merupakan tuntutan dari perkembangan ekonomi dunia.

Kenyataannya justru menunjukkan berlainan. Misalnya saja arus investasi dan jumlah barang dunia justru terkonsentrasi di negeri-negeri imperialis. Yang menjadi kenyataan dalam kebijakan ekonomi neoliberal saat ini adalah GLOBALISASI KEMISKINAN dan krisis global sistem kapitalisme.

Kapitalisme telah terbukti tidak mampu mensejahterahkan rakyat pekerja, dan rakyat miskin bukan saja di negeri-negeri miskin dunia III melainkan juga kini di negri-negeri dunia I. Tingkat kesejahteraan rakyat pekerja di negeri-negeri dunia I telah merosot. Wajar kemudian bila kemudian mulai bangkitnya perlawanan baik dari kaum buruh, pemuda, mahasiswa, perempuan, aktivitis lingkungan menentang keberadaan kapitalisme. Begitu pula halnya di negeri-negeri miskin dunia III, mulai menyadari bahwa perjuangan kaum buruh tidak dapat dilakukan hanya sebatas perjuangan menuntut perbaikan upah semata tanpa menghapuskan akar dari penghisapand dan kemiskinan serta ketidakadilan yaitu sistem kapitalisme. Perjuangan harus ditujukan untuk melakukan perjuangan politik yaitu untuk demokrasi rakyat miskin dan perjuangan untuk sebuah sistem masyarakat yang adil yaitu SOSIALISME********

Pengarang : Anonim
Kontributor : Ismail Barkah, 7 November 2002
Versi Online : Situs Indo-Marxist--Situs Kaum Marxist Indonesia!, November 2002

Sneevliet: Dari Belanda Menebar Benih Radikalisme di Indonesia

Sumber : Arsip Tabloid Pembebasan

Kontributor : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan, Januari 2004

Versi Online : Indomarxist.Net, 3 Februari 2004

* * *

Dalam pustaka sejarah, nama Sneevliet lebih identik sebagai penyemai ‘virus’ ideologi komunisme, yang dibawanya dari Belanda. Sasarannya bukan hanya orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, melainkan juga orang-orang Indonesia. Di negeri asalnya, dia adalah petaka bagi rezim. Kepalanya terlalu keras untuk ditundukkan. Akibatnya, dia masuk daftar buronan, yang siap diseret ke penjara kapan saja.

Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, kita lebih mengenalnya dengan nama nama Sneevliet. Ia lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Proses berpolitiknya dimulai ketika tahun 1901, dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda. Akhirnya, pada usia 20–an, dia mulai berkenalan dengan gelanggang politik. Ia bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) di Nederland hingga tahun 1909, yakni sebagai anggota Dewan Kota Zwolle. Setelah itu dia diangkat sebagai pimpinan serikat buruh kereta api dan trem (National Union of Rail and Tramway Personnel) pada tahun 1911.

Di organisasi baru inilah, Snevlieet menunjukkan watak sejatinya, berani, dan tak pernah menyerah. Dia memimpin pemogokan-pemogokan buruh di Belanda, sehingga membuat namanya masuk dalam ‘daftar hitam’ di Belanda. Keberanian ini pastilah membuat rezim takut. Lewat federasi serikat buruh, yang dikuasai oleh pemerintah, dibuatlah cara untuk menekan Snevlieet. Sehingga, jabatan sebagai ketua serikat buruh kereta api cuma setahun dipegangnya. Pada tahun 1912, ia mengundurkan diri, setelah terjadi konflik yang panas antara serikat buruh yang dipimpinnya dengan federasi serikat buruh. Peristiwa itu terjadi setelah terjadinya pemogokan buruh-buruh kapal, di mana Sneevliet berdiri sebagai pimpinan aktif dalam pemogokan itu. Lepas dari aktivitasnya di Serikat Buruh, sempat membuat Sneevliet bimbang, ia bahkan berniat untuk mundur dari ranah pergerakan. Beralihlah dia ke dunia perdagangan, dan inilah jalan yang membawanya berkelana sampai ke Indonesia

Tahun 1913, untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Tepat pada saat itu, dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah bersemi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik untuk kembali berpolitik. Namun saat itu kondisi kerjanya masih belum mapan, ia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.

Mendirikan ISDV

Hasrat politiknya rupanya tak bisa ditahan-tahan. Dia sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota dari kaum bumi putra. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).

Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis.

Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini?Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.

Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi mereka untuk merekrut massa dari SI. Pengaruhnya yang kuat ternyata mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab pada saat yang sama, pemogokan-pemogokan buruh bertambah kuat dan meluas. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaun dan teman temannya.

Kemenangan revolusi Rusia makin banyak jadi bahan perbincangan rakyat. Agar pengaruh ISDV tidak semakin mengeruhkan situasi, yang dikhawatirkan memberi kemungkinan terjadinya pemberontakan rakyat, maka pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana untuk menangkap Sneevliet dan menyeseretnya ke pengadilan. Sneeliet pun, pada bulan Desember 1918, akhirnya diusir dari Indonesia karena aktivitas politiknya.

ISDV pun mulai kehilangan kendali akibat para pimpinannya diusir dari Indonesia. Juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun terpilih sebagai ketua.

Akan halnya dengan Snevlieet, ia diproses oleh jaksa dan hakim Belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis. Di depan pengadilan yang terjadi pada bulan November 1917, ia membacakan pidato pembelaannya setebal 366 halaman. Pidato pembelaanya itulah yang merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno ayang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917.


Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx.

Berbagai literatur tersebut mulai mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, pemuda cerdas yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Hal tersebut diakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941:

“Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”

Terinspirasi oleh gerakan revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik, ISDV mulai mengorganisir kalangan militer dengan membentuk dewan-dewan tentara dan pelaut. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sekitar tiga ribu prajurit dan pelaut menjadi anggota gerakan yang kemudian dikenal dengan nama tentara merah. Akan tetapi, tanpa diduga, waktu kemudian berjalan bertolak belakang dengan semangat revolusioner yang tengah berkembang. Revolusi Rusia yang menjadi perspektif bagi tumbuhnya revolusi Eropa dan negeri-negeri lain di Eropa, di belahan Eropa lainnya justru mengalami kekalahan dan diberangus, termasuk di Belanda. Akibatnya kemudian berimbas pula pada pergerakan di Indonesia. Reaksi juga menjalar ke Hindia Belanda, anggota-anggota tentara merah dan anggota ISDV ditangkap dan dipenjara, seiring dengan kekalahan dan gerakan revolusi Belanda.
Langkah Sneeviet pun masih belum terhenti. Pada 1920 dia hadir pada Kongres Kedua Komintern di Moskow sebagai perwakilan dari ISDV. Dan dari 1921 hingga 1923 menjadi perwakilan dari Comintern di China. Sekembalinya ke Belanda, dia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada tahun 1929, dia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah penggabungan partainya berubah nama menjadi Revolutionary Socialist Workers' Party, dimana Sneevliet menjadi sekretaris pertama dan kemudian kemudian menjadi ketua hingga 1940. Dia juga sempat menjadi anggota Parlemen dari 1933 hingga 1937. Pada saat perang Dunia Kedua dia memimpin grup pertahanan bernama Marx-Lenin-Luxemburg-Front. Dia kemudian tertangkap dan dieksekusi pada tahun 1942.

Filsafat Cinta

Cinta bisa disembunyikan, tapi..cinta tidak bisa dibungkam,
maka..katakanlah selagi ada kesempatan..atau kau akan kehilangan dan menyesal...
Cinta menerima apa adanya..mencintai karena adanya perubahan, bukan cinta namanya..melainkan perjanjian.

Dalam cinta tidak ada perjanjian,melainkan keikhlasan. Cinta penuh maaf dan rela berkorban demi yg tercinta bahagia .
Mencintai karena ingin balasan, bukan cinta namanya..melainkan pamrih.Dalam cinta tidak ada pamrih melainkan ketulusan. Cinta penuh keindahan meskipun..hanya dalam khayalan.

Jangan mencari jawaban cinta dengan logika, tapi..tanyalah hati tentang perasaan cinta dan carilah pembenarannya melalui logika.
Jika terus memaksakan keyakinan untuk diterima, Tanya pada diri..apa itu benar cinta..? cinta tidak bermain dengan logika, tapi rasa untuk selalu membuat bahagia, apapun bentuknya.

Jangan salahkan perasaan cinta seseorang terhadapmu..karena ia pun tidak pernah tau tentang rasa cinta yg tumbuh itu.
Jangan kau benci karena cintanya padamu..karena ia pun tersiksa..karena rasa cinta itu padamu.

Jangan kau ambil kesempatan karena cintanya terhadapmu, karena
sesungguhnya kau telah berbuat dzolim karena cintanya terhadapmu
Cinta adalah anugrah Allah yg diberikan kepada hambaNya..yg penuh
keindahan dan hanya bisa dirasakan.....

Dengan cinta orang bisa menutupi luka
Dengan cinta orang bisa menyembuhkan luka
Dengan cinta orang masih bisa berharap
Karena cinta manusia masih mempunyai mimpi
Karena cinta manusia bisa terluka
Karena cinta manusia bisa bahagia
Cinta sejati adalah cinta yg tidak pernah mengharap untuk dibalas.
Cinta sejati hanya memberi walau tanpa menerima. Cinta sejati bisa terluka, tapi tidak kuasa memberikan luka.

Hanya cinta Sang Pencipta yg tak pernah mengharap balasan.
Hanya cinta Sang Khalik yg tak pernah pamrih.
Hanya cinta Sang Pencinta itu sendiri yg selalu setia. Maka cintailah Dia..maka engkau tak akan dikecewakan.

Cintailah Dia, karena cintamu akan terbalas. Cintailah Dia..karena Dia selalu setia. Cintailah Dia..karena kau akan bahagia....

Sumber : Marah Bangun's Site

Tujuan dan Manfaat Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Generasi Penerus Bangsa Indonesia

Masyarakat dan pemerintah suatu negara berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognotif dan psikomotorik). Generasi penerus melalui pendidikan kewarganegaraan diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para mahasiswa calon sarjana/ilmuwan warga negara Republik Indonesia yang sedang mengkaji dan akan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.
Berkaitan dengan pengembangan nilai, sikap, dan kepribadian diperlukan pembekalan kepada peserta didik di Indonesia yang dilakukan melalui Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Alamiah Dasar (sebagai aplikasi nilai dalam kehidupan) yang disebut kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam komponen kurikulum perguruan tinggi.
Setiap warga negara Republik Indonesia harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang merupakan misi atau tanggung jawab Pendidikan Kewarganegaraan untuk menumbuhkan wawasan warga negara dalam hal persahabatan, pengertian antar bangsa, perdamaian dunia, kesadaran bela negara, dan sikap serta perilaku yang bersendikan nilai–nilai budaya bangsa .
Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
Rakyat Indonesia, melalui MPR menyatakan bahwa : Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa “.
Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Undang–Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kompetensi diartikan sebagai perangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggung jawab yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia mampu melaksanakan tugas–tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.
Kompetensi lulusan Pendidikan Kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara, dan memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menerapkan konsepsi falsafah bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “.
Dalam perjuangan non fisik, harus tetap memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan, khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.

Sumber : Klik Here

Pengertian Spritual

Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.

Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek :

1) Berhubungan dengan sesuatau yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan,

2) Menemukan arti dan tujuan hidup,

3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,

4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.

Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep multidimensi, suatu kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan bisa mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai suatu prestasi dan berorientasi kedepan. Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Agama adalah suatu sistem ibadah yang terorganisir atu teratur.

Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Adapun unsur-unsur spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan kesadaran spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu kesatuan antara unsur psikologikal, fisiologikal, atau fisik, sosiologikal dan spiritual.

Kata spiritual sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Untuk memahami pengertian spiritual dapat dilihat dari berbagai sumber. Menurut Oxford English Dictionary, untuk memahami makna kata spiritual dapat diketahui dari arti kata-kata berikut ini : persembahan, dimensi supranatural, berbeda dengan dimensi fisik, perasaan atu pernyataan jiwa, kekudusan, sesuatu yang suci, pemikiran yang intelektual dan berkualitas, adanya perkembanga pemikiran danperasaan, adanya perasaan humor, ada perubahan hidup, dan berhubngan dengan organisasi keagamaan. Sedangkan berdasarkan etimologinya, spiritual berarti sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin cara berpikir dan bertingkah laku seseorang.

Berdasarkan konsep keperawatan, makna spiritual dapat dihubungkan dengan kata-kata : makna, harapan, kerukunan, dan sistemkepercayaan (Dyson, Cobb, Forman,1997). Dyson mengamati bahwa perawat menemukan aspek spiritual tersebut dalam hubungan dengan seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain dan dengan Tuhan. Menurut Reed (1992) spiritual mencakup hubungan intra, inter, dan transpersonal. Spiritual juga diartikan sebagai inti dari manusia yang memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam ,dan Tuhan (Dossey & Guazetta, 2000).

Para ahli keperawatan menyimpilkan bahwa spiritual merupakan sebuah konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga merupakan aspek yang menyatu dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki dimensi spiritual. Dimensi ini mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia.

Sumber : http://nezfine.wordpress.com/2010/05/05/pengertian-spiritual/

Rabu, 17 November 2010

Demokrasi Kerakyatan

Sejarah Singkat Partisipasi Individu dalam Masyarakat
Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi, yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga sekarang.
Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka, dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan" kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan kerja di dalam sebuah pabrik?
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Demokrasi Yunani, Demokrasi Para Pemilik Budak
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).
Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang.
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa demokrasi model Yunani, demokrasi bagi minoritas untuk menundukkan mayoritas bukanlah demokrasi yang sejati.
Kekuasaan Tirani
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Jelas bukan, mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jendral-jendral lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para komandan-komandan wilayah militer yang melancarkan jalan Soeharto dengan membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan lainnya!
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.

Kritik atas Demokrasi Liberal dan Demokrasi Indonesia Sekarang
Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini juga tampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi rejim Soeharto, maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa ikut campur ke dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji perbaikan hidup. Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan tersebut, gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu yang berdasar hanya pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi kebebasan mereka setelah dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh represi militeristik dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”
Kenyataan Lemahnya Kontrol Rakyat
Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.
Pemerintah dan Masyarakat
Ketika desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap para penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun petanipun dapat masuk ke dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk ikut pemilu dan masuk parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
Contoh Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan pemerintah. Tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan. Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun yang gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada mayoritas rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen, selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak. Mereka memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi konstitusional masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat dan bupati yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu menjadi birokrat, pelaksana negara yang tidak dikontrol langsung oleh masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita lihat untuk menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui sebuah ujian. Aturan ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang dapat mengikuti ujian apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai yunior sebuah biro kecil pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi sekretaris jendral sebuah kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki tingkat-tingkat yang memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus punya gelar tertentu, anda harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk dapat mengambil posisi-posisi tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem seperti itu akan menyisihkan sejumlah besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak ada. Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga sebuah instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk kepada penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu, dapatlah terlihat dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi liberal ataupun liberal malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk kepada kehendak mayoritas masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian menjadi alat pemaksa kehendak minoritas terhadap mayoritas.
Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah
Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.
Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah yang mendirikan masyarakat.
Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi, perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya kerja kaum buruh.

Demokrasi Kerakyatan
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar manusiawi?
Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat negara.
Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi Kerakyatan.
Partisipasi Semua Individu
Dalam mewujudkan dirinya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut.
Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan eksekutif
Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia. Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.
Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstan dari pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen. Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian oleh warga secara keseluruhan.
Lenyapnya Diskriminasi dan Penghargaan Atas Kesetaraan Antar Manusia
Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat terhadap yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh sistem penindasan yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi negara. Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari jabatan sebagai cara untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan tentunya satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang ada pada mesyarakat sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja, tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin arah kesetaraan ini, negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu swalayan, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal yang dibangun dan kemudian dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan.
Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga (mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dimonopoli oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Mayoritas Di Atas Minoritas
Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.
Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.
Kesadaran Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan Pribadi
Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir secara individual, hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri mereka sendiri. Ini disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara individu dan ketegangan yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Konflik-konflik sosial yang horisontal selalu terjadi antara dua kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus dipahami juga, bahwa mayoritas masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah kekolektifan, yang sudah jauh lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan telah terbukti bahwa kerja-kerja dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit yang kecil maupun unit-unit yang besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi mereka masih direpresi dan dikecoh oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti demi kepentingan bangsa, kesatuan dan persatuan, kebajikan relijius, dan beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan keluarga tradisional pedesaan.
Namun, inilah landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan: Kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dari mulai urusan pembersihan lingkungan sampai penyediaan taman kanak-kanak, dari kerja-kerja di dalam pabrik-pabrik sampai berhubungan dengan dunia internasional.
Kolektivisme membuat semua orang menyerahkan segala kemampuan mereka untuk masyarakat dan mendapatkan segala kebutuhan mereka dari masyarakat. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama. Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.

Dewan Rakyat, pewujud Demokrasi Kerakyatan
Kita telah bicara tentang bermacam-macam bentuk demokrasi, tentang perubahan masyarakat, dan tentang demokrasi kerakyatan. Tapi bagaimana mewujudkannya? Apa alatnya? Apakah kita bisa memakai struktur negara yang ada sekarang?
Untuk menjawabnya kita harus membuka kepala kita, singkirkan semua pemahaman-pemahaman kolot dan kuno tentang masyarakat dan negara, lihatlah kenyataan di sekitar kita yang selalu diwarnai oleh penderitaan dan pemaksaan kehendak, dan pikirkan logika yang ditawarkan oleh demokrasi kerakyatan.
Pertama, perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat, terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara dan modal.
Kedua, perubahan bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus evolusioner. Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa rakyat, dan pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam pertambahan jumlah massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat tertentu ia akan berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan segera, bahkan terkesan dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat menjadi alat mayoritas rakyat untuk mewujudkan demokrasi sesejati-sejatinya.
Perwakilan dan Partisipasi
Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan juga menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip partisipasi penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan mengarahkan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan demokrasi liberal di mana demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan pemungutan suara tanpa permusyawaratan yang sebenarnya.
Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh yang memilihnya, ia bisa setiap saat digantikan oleh masyarakat yang memilihnya.
Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi-fungsi negara, terutama dalam mengkoordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat secara kolektif, yaitu kesamaan kebutuhan-kebutuhan secara individu.
Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi para pelaksana fungsi-fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita namakan saja Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang ada sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus bisa memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.
Kekuasaan Legislatif sekaligus Eksekutif
Jaminan kedua atas sifat-sifat kerakyatan dan tetap berjalannya fungsi-fungsi koordinasi masyarakat adalah digabungnya fungsi eksekutif dan legislatif dalam Dewan Rakyat. Sekali lagi, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi.
Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan, baik yang langsung di setiap tempat (lokal) kehidupan masyarakat ataupun yang perwakilan untuk mengkoordinasikan lokal-lokal dan regional-regional yang ada, untuk mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus dijalankan.
Setelah perencanaan masyarakat ini tuntas, maka ia harus dijalankan oleh setiap anggota masyarakat dengan pengawasan orang-orang yang dipilih, para wakil-wakil masyarakat, untuk menjamin dijalankannya rencana bersama tersebut dengan dengan ketepatan dan kedisiplinan. Tanpa adanya pengawasan sangat wajar jika orang lupa menjalankan tugas-tugasnya sehingga program-program bersama kemudian justru terbengkalai dan masyarakat juga yang merugi.

***
Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan massa rakyat untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi sejati, demokrasi kerakyatan.

Sejarah : Perang Petani 7

KESIMPULAN

Bukanlah komunisme yang radikal,
tapi kapitalisme
Bertolt Brecht

Revolusi-revolusi dan pemberontakan-pemberontakan yang menyediakan bahan baku untuk enam kasus sejarah kita semuanya terjadi pada abad kedua puluh; namun ketegangan-ketegangan yang memunculkan mereka semua memiliki akarnya di masa lalu; dan kita telah mencoba menampilkannya, dalam masing-masing kasus, suatu garis besar masa lampau. Kami telah berusaha untuk melakukannya bukan dalam ungkapan-ungkapan kategori abstrak – sebagaimana seperti penyimpangan “tradisi” atau kemunculan “modernitas” – tetapi dalam ungkapan suatu pengalaman historis yang konkrit yang hidup di masa sekarang dan terus menuju bentuk dan tujuannya. Di mana-mana, pengalaman historikal ini melahirkan stigma trauma dan perselisihan, gangguan dan kegairahan dengan masa lampau, sebaik hikmah kesinambungan, adaptasi dan penyesuaian diri yang berhasil – kenangan-kenangan peristiwa-peristiwa tidak dengan mudah terhapus dan seringkali hanya tersembunyi dalam kenangan kultural sampai beberapa peristiwa besar membantu menariknya ke depan lagi. Dalam seluruh enam kasus kita pengalaman historikal ini merupakan, sebaliknya, endapan dalam suatu fenomena kultural besar yang saat ini diabaikan, meluas keseluruh dunia dan menyebarkan sistem budaya yang khusus, yakni kapitalisme Atlantik Utara. Sistem budaya ini – dengan ekonominya yang berbeda – memiliki sejarah perkembangannya perbedaannya sendiri di dalam suatu wilayah geografis yang berbeda. Tak hanya apakah sosok karakteristiknya berbeda dari sistem-sistem budaya yang lain baik sebelum maupun sesudahnya, sangat asing terhadap banyak wilayah yang diliputi dalam penyebarannya.
Tanda resminya adalah kepemilikannya atas suatu organisasi sosial “di mana buruh dijual, tanah disewakan, modal dengan bebas ditanam” (Heilbroner, 1962, 63). Hal ini,

tidak eksis sebagai kategori-kategori organisasi sosial yang abadi. Tak dapat disangkal, mereka merupakan kategori-kategori sifat dasar, tetapi aspek-aspek proses roduksi abadi ini – tanah, usaha manusia, dan artefak yang dapat diterapkan untuk produksi – tidak menerima, di setiap masyarakat, pemisahan spesifik yang membedakan mereka di suatu masyarakat pasar ... Ekonomi modern dengan demikian menggambarkan cara di mana suatu masyarakat seperti itu, dengan suatu sejarah akulturasi spesifik dan evolusi institusional, menyelesaikan masalah-masalah ekonominya. Ini mungkin benar bahwa di wilayah yang lain tak akan lagi menjadi “tanah”, “buruh” dan modal (1962, 63).

Fiksi pembimbing masyarakat demikian ini – salah satu prinsip kunci ideologinya – adalah bahwa tanah, buruh dan kekayaan adalah komoditi, yakni, barang-barang yang dihasilkan bukan buat digunakan, tetapi untuk dijual. Tanah, buruh dan uang dapat,

tentu saja, tidak sungguh-sungguh dirubah ke dalam komoditi-komoditi sebagaimana mereka sungguh-sungguh tidak diproduksi untuk dijual di pasar. Tetapi fiksi keberadaan mereka demikian diproduksi menjadi prisip masyarakat yang diorganisir. Dari ketiganya, satu yang menonjol: buruh adalah ungkapan teknik dipergunakan untuk manusia, sejauh mereka bukan majikan tetapi pekerja; terjadi bahwa untuk selanjutnya organisasi buruh akan berubah bersamaan dengan organisasi sistem pasar. Tetapi ketika organisasi buruh hanyalah kata lain untuk bentuk-bentuk kehidupan rakyat biasa, ini berarti bahwa perkembangan sistem pasar akan disertai oleh suatu perubahan dalam organisasi masyarakat itu sendiri. Sepanjang garis ini, masyarakat manusia menjadi suatu aksesoris sistem ekonomi (Polanyi, 1957, 75).

Tanah, juga, hakekatnya bukan suatu komoditas; ia menjadi demikian hanya ketika didefinisikan sebagai hal itu oleh suatu sistem budaya baru bersungguh-sungguh meniptakan suatu jenis ekonomi baru. Tanah sebagai bagian pemandangan alamiah tidak diciptakan untuk dijual dan dibeli, dan ia tidak dianggap sebagai suatu komoditas di banyak jenis kemasyarakatan ketika hak-hak atas tanah merupakan aspek-aspek kelompok sosial yang spesifik, dan pemanfaatan unsur hubungan sosial yang spesifik. Pada orang Indian Meksiko, pada petani Rusia atau Vietnam, tanah merupakan suatu atribut komunitasnya. Sebelum kedatangan Prancis, petani Aljazair memiliki akses pada tanah oleh sifat keanggotaan spesifiknya di dalam suatu suku atau melalui hubungan politik dengan bey sebagai kepala negara. Bahkan petani Cina, lama terbiasa menual-belikan tanah, menganggap tanah lebih sebagai suatu pusaka keluarga daripada sebagai suatu komoditas. Kepemilikan tanah menjamin kelangsungan keluarga, menjualnya mengganggu “perasaan etis” (Fei, 1939, 182). Hanya di Kuba, telah berdiri sebagai suatu koloni perkebunan di bawah bantuan-bantuan kapitalis, tanah relatif tak dibebani oleh ikatan sosial dan syarat-syarat. Dan di semua kasus yang lain, jika tanah menjadi suatu komoditas dalam suatu pasar kapitalis, ia pertama kali melucuti obligasi-obligasi sosial ini. Hal ini diselesaikan oleh kekuatan yang mencabut para penduduk asli dari sumber-sumber penghidupan pada tanah – sebagaimana terjadi khususnya di Meksiko dan Aljazair; atau melalui kolonisasi tanah baru, tak dibebani oleh ikatan-ikatan sosial yang biasa, sebagaimana di Cina Chocin; atau akan dijalankan secara langsung oleh berlanjutnya kemunculan pengusaha “kuat dan bijaksana” di dalam komunitas-komunitas petani, yang dapat membebaskan ikatan mereka untuk bertetangga dan berkerabat dan mempergunakan keuntungan mereka secara budaya untuk cara-cara baru untuk meneruskan keberadaan mereka sendiri di pasar. Dengan demikian kapitalisme perlu menghasilkan revolusinya sendiri.
Revolusi dar awal ini, bagaimanapun, mengambil bentuk suatu pertemuan yang tak sama antara masyarakat-masyarakat yang pertama kali mengandungnya dan masyarakat-masyarakat yang diliputi olehnya di dalam bagian penyebarannya. Kontak antara pusat kapitalis, metropolis, dan periferi pra-kapitalis atau non-kapitalis merupakan suatu pertemuan budaya skala luas, tak hanya suatu yang bersifat ekonomi. Sering tak disadari bagaimana perluasan kapitalisme Eropa berhutang petumbuhannya pada keadaan historis dan geografikal khusus di mana orang Eropa barbarian dari barat laut mengambil repertoire teknologikal Roma tanpa kerangka kerja organisasionalnya yang memaksa.

Pengalaman aktual rakyat Eropa merupakan suatu komunitas perbatasan yang diberkahi dengan suatu komplemen penuh alat-alat dan material yang dicabut dari suatu budaya leluhur dan kemudian hampir secara sempurna diputuskan dari sistem kekuasaan institusional orang tuanya. Hasilnya unik. Adalah meragukan jika sejarah menghasilkan contoh lain setiap wilayah dan penduduk sebanding yang diberkahi begitu kaya dan penduduk yang secara sempurna diputuskan (Ayres, 1955, 137).

Eropa muncul sebagai suatu wilayah yang secara teknologi diberkahi dengan baik untuk perdagangan seberang laut dan penggeropyokan, namun relatif tak dikendalikan oleh institusi-institusi mengelilingi dan mengatasi “seremonial” mereka. Berorientasi pada penaklukan seberang lautan, hal itu dapat menguntungkan baik dari barang rampasan negara kuno yang berlokasi sepanjang jejak-jejak eksplorasi lautannya, dan dari perdagangan budak, prasyarat untuk “terutama akumulasi”, kesempatan-kesempatan unik tak sama mengulang diri merka setelah abad kesembilan belas. Akhirnya, keberhasilan dalam perampasan dunia mengganti kerugian perpindahan internal yang disebabkan oleh konversi manusia, tanah dan uang ke dalam komoditi-komoditi di dalam negeri dan memberi warga negara suatu pancang dalam ekspansi seberang lautan. Meskipun perkembangan ini secara sensial predator dalam karakter, ia tak banyak mempergunakan kekuatan dan kecenderungannya untuk eksploitasi yang merupakan kayu sula dalam diskusi ini, namun karakter mode operasinya yang spesifik. Kapitalisme secara murni tidak menciptakan eksploitasi. Di mana-mana ia berkembang di dunia, ia mempertemukan sistem-sistem sosial dan budaya telah lama tergantung pada hasil kerja petani. Tidak juga dapat dikira bahwa petani tidak memberontak secara berulang melawan pemindahan keuntungannya pada pemilik kekuasaan yang lebih superior; catatan sejarah penuh dengan pemberontakan petani. Ini penting, bagaimanapun, bahwa sebelum kelahiran kapitalisme dan tatanan ekonomi baru yang berdasar padanya, keseimbangan bergantung pada panjang-pendeknya perjalanan pada suatu keseimbangan transfer keuntungan petani pada ukuran dan pembagian keamanan minimal untuk penggarap tanah. Membagi sumber-sumber kehiduan di dalam organisasi komunal dan kepercayaan pada ikatan dengan patron-patron kuat yang merupakan cara-cara pengulangan di mana para petani berusaha untuk mengurangi resiko dan untuk memperbiki stabilitas mereka, dan dimaafkan serta seringkali didukung oleh negara. Memang, “banyak praktek-praktek desa yang ganjil tidak benar-benar membuat rasa sebagai bentuk-bentuk penyamaran jaminan” (Lipton, 1968, 341). Apa yang penting adalah bahwa kapitalisme memotong melalui bungkus adat-istiadat, memutuskan rakyat dari acuan sosial mereka yang biasa dalam rangka menggantnya menjadi aktor-aktor ekonomi, mandiri dari komitmen-komitmen sosial yang lebih dulu untuk kekerabatan dan bertetangga. Mereka telah belajar bagaimana memakimalkan pemasukan dan meminimalkan pengeluaran, untuk membeli murah dan menjual mahal, tanpa menghiraukan obligasi-obligasi dan biaya-biaya sosial.

Masyarakat pasar tidak, tentu saja, menciptakan gerakan ini. Barangkali ia bahkan tidak mengintensifkan itu. Tetapi ia membuatnya suatu aspek perilaku sosial yang ada di mana-mana dan sangat diperlukan ... Dengan pembuatan uang dari buruh, tanah dan modal, transaksi menjadi aktivitas-aktivitas universal dan kritikal (Heilbroner, 1962, 64).

Di mana perilaku pasar sebelumnya telah menjadi tambahan pada masalah-masalah subsistansi eksistensial, sekarang eksistensi dan masalah-masalahnya menjadi tambahan untuk perilaku pasar. Namun hal ini hanya dapat berfungsi jika kerja, tanah dan kekayaan diganti ke dalam komoditi-komoditi, danhal ini, sebaliknya, hanya merupakan suatu formula yang kurang tenaga untuk likuidasi yang membebani institusi-institusi sosial dan budaya. Kapitalisme “meliberasi” manusia sebagai suatu agen ekonomi, namun proses konkret liberasi memerlukan akumulasi manusia yang menderita melawan kritik-kritik anti-kapitalis, tidak seperti para penganut konservatif dan radikal, akan mengarahkan kritik sosial dan moral mereka. Liberasi dari ikatan dan pemisahan sosial yang biasa ini yang merupakan pengalaman historikal di mana Karl Marx akan menerangkand alam ungkapan “alienasi”. Alienasi manusia dari proses-proses produksi yang sebelumnya telah menjamin eksistensinya; alienasi mereka dari produk kerja mereka yang disembunyikan ke dalam pasar hanya untuk mengembalikan mereka dalam bentuk uang; alienasi mereka dari diri mereka sendiri dengan kekuasaanya di mana mereka sekarang melihat kemampuan mereka sendiri sebagai komoditi-komoditi yang menguntungkan; alienasi mereka dari teman-teman dekatnya yang menjadi pesaing sebenarnya atau potensial di pasar: ini hukan hanya konsep-konsep filosofis; itu semua menggambarkan tendensi nyata dalam pertumbuhan dan perluasan kapitalisme. Di dalam kerja di mana-mana, mereka terbukti sangat kejam di koloni-koloni baru, dianggap oleh para kolonis sebagai depot-depot pasokan ikhlas untuk pasar metropolitan. Ada prasangka rasial dan budaya penakluk baru yang mengijinkan mereka suatu kebebasan dalam memperlakukan penduduk pribumi sebagai buruh “murni” di mana mereka tak menikmatinya di negeri mereka sendiri.
Di mana-mana tarian komoditi membawa suatu krisis ekologi. Di mana di masa lalu petani mengerjakan suatu kombinasi stabil sumber-sumber penghidupan untuk menjamin suatu kehidupan minimal, pemisahan dan pembedaan mobilisasi sumber-sumber penghidupan sebagai objek jual dan beli ini membahayakan hubungan minimal tersebut. Demikianlah di Rusia land reform dan komersialisasi bersama-sama mengancam keberlangsungan akses petani terhadap padang rumput, hutan dan tanah bajakan. Di Meksiko, Aljazair dan Vietnam komersialisasi mengancam akses petani terhadap tanah komunal; di Meksiko dan Kuba ia menghalangi petani dari klaim tanah publik yang tak terklaim. Di Aljazair dan Cina, ia mencairkan institusi lumbung-lumbung publik. Di Aljazair, ia menggairahkan keseimbangan antara penggembala dan penduduk pemukim. Di Meksiko, Vietnam, Aljazair dan Kuba, akhirnya, perampasan tanah oleh para kolonis dan pengusaha asing yangmemulangkan petani atas suatu wilayah tanah yang tak lagi cukup bagi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Secara paradoksal, proses-proses pengurungan, subversi, dan pengambilan paksa kembali petani ini bertepatan dengan suatu percepatan pertumbuhan penduduk yang cepat. Percepatan ini sebagian besar merupakan suatu efek samping banyak proses ekspansi komersial yang mengancam stabilitas keseimbangan petani. Sampai sekarang ini hasil panen makanan Amerika mengurung ke Dunia Baru – seperti maisena, manoik, buncis, kacang, dan ubi jalar – memulai suatu penyebaran ke seluruh dunia dalam kebangkitan penaklukan antar samudera, dan berakar di banyak bagian dunia di mana mereka menyediakan suatu minimum eksistensial meluas untuk menambah jumlah penduduk. Komunikasi yang bertambah baik mengijinkan transportasid an enjualan kelebihan bahan makanan untuk wilayah-wilayah yang kekurangan. Kolonisasi seringkali membuka wilayah-wilayah baru, memberi relung-relung yang tak tersedia sampai sekarang ini untuk pengembangan populasi. Agak belakangan, industrialisasi yang baru mulai menawarkan alternatif-alternatif baru untuk mendukung, dan perbaikan perawatan kesehatan memotong tingkat moralitas. Namun, generasi baru seringkali menemukan diri mereka dalam situasi-situasi di mana banyak sumber penghidupan, dan khususnya tanah, telah dibicarakan dan di mana keberasaan struktur-struktur sosial sering gagal menahan beban tambahan penuntut ekstra. Berapa besarnya tekanan-tekanan yang dihasilkan dapat diukur dari sosok-sosok yang memperlihatkan keseluruhan penduduk bertambah. Di awal abad kesembilan belas Meksiko memiliki penduduk berjumlah 5,8 juta; pada tahun 1910 – pada waktu pecahnya revolusi – ia telah berjumlah 16,5 juta. Rusia Eropa memiliki penduduk 36 juta pada tahun 1796; pada awal abad kedua puluh ia telah berjumlah 129 juta. Cina berjumlah 265 juta pada tahun 1775, 430 juta tahun 1850, dan mendekati 600 juta di saat Revolusi. Vietnam diperkirakan telah menyokong penduduk antara 6 juta dan 14 juta pada tahun 1820; terhitung 30,5 juta penduduk pada tahun 1962. Aljazair memiliki penduduk pribumi 3 juta pada tahun 1830, 10,5 juta tahun 1963. Penduduk Kuba meningkat dari 550.000 penduduk pada tahun 1800 menjadi 5,8 juta tahun 1953. Petani dengan demikian melawan suatu pertumbuhan yang tak seimbang antara jumlah penduduk dan sumber penghidupan. Dalam suatu situasi demikian resiko-resiko petani berlipat-lipat, dan mekanisme untuk pengurangan resiko-resiko ini tumbuh lebih tidak dapat dipercaya. Suatu ketidakseimbangan demikian tak dapat, dalam waktu yang lama, terus-menerus: fiksi manusia, tanah dan kekayaan tersebut tak ada kecuali komoditi-komoditi yang memerlukan keruntuhannya sendiri. Untuk penerapan lengkap ideologi ini tak dapat lain kecuali,

menghasilkan penghancuran masyarakat. Karena komoditi yang menyatakan “tenaga buruh” tak dapat didorong, dipergunakan tanpa pandang bulu, atau bahkan tetap tak berguna, tanpa mempengaruhi juga manusia individual yang kebetulan saja menjadi pemikul komoditi khusus ini. Dalam menentukan entiti fisik, psikologikal dan moral “manusia” dilampirkan terhadap label tersebut. Perampokan pelindung institusi-institusi budaya, manusia dapat binasa dari pengaruh-pengaruh pembukaan sosial (Polanyi, 1957, 73).

Dengan demikian, secara paradoksal, perkembangan luas prinsip-pasar kapitalis juga mendorong manusia untuk mencari perlawanan melawannya. Mereka dapat menemukan ini dan yang lainnya dengan membelah menjadi institusi-institusi tradisional mereka, terus ditumbangkan oleh kekuatan-kekuatan di mana mereka sedang mencoba untuk menetralisasi; atau mereka dapat mendorong diri mereka sendiri untuk mencari suatu bentuk-bentuk sosial baru yang akan menjamin tempat perlindungan bagi mereka. Dalam suatu pengertian seluruh enam kasus kita dapat dilihat sebagai hasil reaksi bertahan demikian, berangkai dengan suatu pencarian tatanan sosial baru dan lebih humanis.
Namun kelahiran kapitalisme teta menghasilkan – dan sama seriusnya – reaksi yang lain. Ia mengawali suatu krisis dalam penggunaan kekuasaan.
Kepala suku, orang mandarin, bangsawan bertanah – para ahli waris dan agen-agen suatu tatanan sosial yang lebih lama – menyerah pada pengusaha, pedagang kredit, broker politik, inteltual, profesional. Beban sosial petani dan pengrajin menurun, sebagaimana kelompok-kelompok lain – penambang, pekerja rek kreta ai, pekerja industrial, buruh agrikultur, penghasil agrikultur komersial – memperolehnya dalam tingkat kepentingan yang relatif. Para pengatur sumber-sumber penghidupan sosial yang tetap menyerah kepada para pengatur sumber-sumber penghidupan yang “mengambang-bebas”. Kelompok-kelompok berorientasi pada pengurangan produksi sumber penghidupan, dan kelompok-kelompok dijalankan terhadap produksi komoditi atau terhadap penjualan tenaga kerja yang tumbuh dalam ukuran serta kepadatan sosial. Suatu sirkulasi elit dan kelompok-kelompok demikian merupakan karakteristik seluruh perubahan budaya dalam suatu masyarakat yang kompleks: proses-proses baru kerja yang menimbulkan respon-respon positif di beberapa kelompok, reaksi-reaksi defensif di sisi lain. Namun kapitalisme luar biasa baik dalam kecepatan maupun intensitas operasinya, ketika ia menciptakan sumber-sumber penghidupan yang “mengambang-bebas” yang sebelumnya dijalankan cepat oleh suatu tisu koneksi-koneksi sosial dan politik. Ia memobilisasi sumber-sumber ekonomi dan membuat mereka setuju pada bentuk-bentuk alokasi dan penggunaan baru; namun dalam menjalankan itu juda memotong ikatan antara sumber penghidupan ini dan banyak koneksi yang mungkin mereka telah miliki dengan hak istimewa sosial dan hak-hak istimewa politik tradisional. Hal ini ternyata suatu pelarut bungkus kekuasaan yang kuat, memperburuk ketegangan tak hanya melalui aksi-aksinya sendiri, tetapi juga membebaskan ketegangan-ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang sebelumnya diisi oleh sistem kekuasaan tradisional. Ketika sumber penghidupan ekonomi para kepala suku, orang-orang mandarin, dan para bangsawan bertanah menjadi subjek untuk pergerakan pasar, klaim-klaim mereka pada perintah sosial dan politik semakin dipertanyakan dan dipertanyakan. Banyak gelar turun-temurun mereka berakhir dalam berkas pelelangan.
Proses-proses ini tidak, tentu saja, dimulai pada suatu langkah dalam seluruh alam masyarakat dan di seluruh wilayah-wilayahnya. Untuk suatu waktu, para pemilik kekuasaan tatanan lama koeksis dengan pemilik kekuasaan tatanan baru; kelompok-kelompok sisial yang suatu ketika mengontrol dasar masyarakat hanya mundur perlahan-lahan sebelum kelompok-kelompok dimanfaatkan terhadap proses-proses baru. Beberapa wilayah negeri yang terlibat tetap berlabuh dalam tradisi, sementara yang lainnya dikejar secara lengkap dalam cengkraman perubahan. Koeksistensi strata lama dan baru ini, di wilayah-wilayah yang didominasi oleh masa lalu serta wilayah-wilayah dalam cengkraman masa depan, berarti kesulitan untuk masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Komitmen-komitmen dan cita-cita menuju arah yang berbeda-beda: yang lama belum ditanggulangi dan tetap menantang yang baru; yang baru belum menang. Perpindahan-perpindahan yang disebabkan oleh perubahan cepat tetap tampak bagi semuanya; luka-luka yang disebabkanya, lecet dan terbuka. Kekayaan baru belum memiliki legitimasi, dan kekuasaan lama tak lagi memerintah dengan penuh hormat. Kelompok-kelompok tradisional telah melemah, namun belum kalah, dan kelompok-kelompok baru belum cukup kuat untuk menggunakan kekuasaan yang menentukan. Hal ini terutama ditandai di dalam situasi-situasi kolonial, di mana kapitalisme diimpor dari luar negeri oleh kekuatan bersenjata. Para penakluk mendorong suatu irisan besar ke dalam tubuh masyarakat yang ditaklukkan, tetapi jarang mereka dapat menjadi percabangan khusus aksi-aksi mereka, dari cara-cara di mana gelombang guncangan sosial memperbanyak diri mereka melalui strata tradisional masyarakat, dari reaksi pokok di pedalaman dan di wilayah-wilayah bawah tatanan sosial. Lebih jauh, baik rintangan budaya dan kesulitan-kesulitan logistik yang menopang kekuasaan cenderung meninggalkan wilayah-wilayah masyarakat luas yang tak terkontrol di mana menjadi perlindungan untuk kelompok-kelompok yang mencari pengungsian di waktu yang menekan. Akhirnya, penurunan takhta untuk keputusan akhir bagi “tangan tak terlihat” pasar mempengaruhi baik harapan dan kapasitas untuk mengambil responsibilitas bagi konsekuensi-konsekuensi lokal. Mekanisme kontrol turun-temurun gagal, namun mekanisme baru jarang digunakan, dengan kelicinan yang sungguh-sungguh.
Suatu situasi lawan-lawan lemah demikian, tak sanggup menetralisasi setiap kekuasaan lain, rupanya mengundang kemunculan atau pengekalan suatu eksekutif pusat yang dominan, mencoba berdiri “di atas” partai-partai dan kelompok-kelompok kepentingan yang bertanding, dan untuk mengkonsolidasi negara dengan memainkan satu kelompok memerangi kelompok yang lain. Semua kasus kita memperlihatkan suatu fenomena demikian sebelum revolusi: Diaz memerintah Meksiko, otokrasi tsaris menjalankan Rusia dalam cengkramannya; Chiang Kai-shek berusaha keras menerapkan kediktatoran demikian di Cina; Prancis menjalankan pemerintahan otokrasi di Vietnam dan Aljazair melalui gubernur jenderalnya, sangat lebih otokratif daripada kepala pemerintahan di dalam negeri; dan Kuba didominasi oleh Batista. Namun karena kediktatoran relatif didasarkan pada kelemahan kelompok-kelompok kelas dan kekuatan-kekuatan politik yang mendirikan masyarakat, ia tampak kuat mengambil dari kelemahan, dan ia akhirnya lemah menjadi jelas dalam perjuangan pentingnya melawan penentang dari dalam, tak kurang ia dapat menemui sekutu-sekutu yang cukup kuat untuk menopangnya melawan penentang.
Dua contoh memperlihatkan bahwa hal ini mungkin, namun kondisi-kondisi untuk konsolidasi demikian cocok menjadi unik. Baik di Jerman maupun di Jepang eksekutif bersekutu dengan dirinya sendiri tidak dengan kelompok-kelompok baru, tetapi dengan suatu bagian aristokrasi feodal tradisional yang menyediakan tulang punggung suatu birkrasi tersentralisir yang efisien. Kelompok-kelompok komersial dan profesional, lebih dari berusaha keras untuk akhir yang mandiri, mengambil nilai-nilai feodal sebagai milik mereka sendiri, dengan demikian menyetujui untuk dibimbing oleh para aristokrat. Kaum petani dengan cara yang sama menjalankan puasa pada seremonial obligasi-obligasi budaya turun-temurun antara superior dan inferior sosial, dan oleh perkembangan suatu ideologi nasional kekerabatan atau berdasar-kekerabatan gemeinschaft. Struktur keseluruhan memperoleh penyatuan lebih lanjut melalui integrasinya dengan suatu mesin militer, dan proyeksi ketegangan di dalam masyarakat keluar melawan musuh-musuh nyata dan yang diduga. Suatu mobilisasi hubungan-hubungan dan nilai-nilai feodal demikian membantu sebagai suatu tanda atas keterlepasan sosial yang dihasilkan oleh perluasan pasar, namun dijalankan juga pada biaya militerisme yang terus bertambah serta akhirnya kekalahan militer (lihat Moore, 1966, 313).
Di mana pemisahan-pemisahan sosial yang dihasilkan oleh pasar menjadi tak tercegah, bagaimanapun, krisis kekuasaan juga mengacaukan jaringan-jaringan di mana hubungan penduduk petani pada masyarakat yang lebih luas, seluruh struktur penting mediasi yang menghalangi antara pusat dan pedalaman. Pertambahan komersialisasi dan kapitalisasi sewa menghasilkan pemisahan-pemisahan dan ketegangan-ketegangan yang sering melemahkan agen-agen proses itu sendiri. Contoh yang baik diperlihatkan oleh kondisi Ch’uhsien, suatu kota pasar di Anhwei, dipelajari oleh antropologis Morton Fried tak lama setelah pengambilalihan Komunis pada tahun 1949. Para tuan tanah Ch’uhsien bergantung secara luas pada suatu sistem di mana penyewa membayar sewa 40 persen hasil panen bahan pokok di masa panen. Ini mengijinkan untuk beberapa fleksibilitas dalam menentukan jumlah untuk dibayar, dan argumen-argumen antara tuan tanah serta penyewa mengenai selisih yang berselisih dimediasi oleh suatu bentuk standarisasi “keinginan baik” secara kultural, disebut kan-ch’ing. Dengan memberikan “keinginan baik” pada penyewanya, tuan tanah secara sensial menjamin suatu potongan sewa bagi penyewa yang tampak meyakinkan dalam membayar sewa; penyewa menjual janji kepercayaannya untuk perlindungan oleh tuan tanah dalam kasus beberapa peristiwa tak diharapkan, seperti suatu panen buruk atau keluarga yang sakit. Dalam kondisi Anhwei Cina yang tak tentu, tuan tanah dengan demikian meminta pada panyewa selisih keuntungan di mana sebaliknya ia dapat peroleh untuk membayar agen-agen atau pemilik kekuasaan politik dalam rangka mengambil sewa dengan paksaan. Namun bahkan sistem fleksibel ini segera menghadapi pembatasan-pembatasan. Tidak semua penyewa dapat memiliki kan-ch’ing yang baik dengan tuan tanah-tuan tanah mereka, ketika para tuan tanah ditekan keras, kan-ch’ing dicabut; dan para penyewa di beberapa wilayah pedalaman,

jauh dari kekuasaan polisi pusat kabupaten, menantang para tuan tanah dan tak membayar sewa. Dalam hal demikian ini sewa seringkali dikumpulkan oleh suatu squad bersenjata milisia lokal, atau bahkan, pada kesempatan khusus, oleh suatu unit Tentara Nasional, dengan disertai agen atau tuan tanah (Fried, 1953, 196).

Yang terbaik yang dapat dilakukan gentry dalam keadaan demikian “adalah mendirikan kan-ch’ing baik dengan beberapa orang sementara hubungan-hubungan dengan yang lain memburuk” (Fried, 1953, 224). Dalam merespon situasi demikian, para tuan tanah Ch’uhsien, selama lima puluh tahun terakhir, telah mulai bergerak ke kota. Di mana-mana di Cina proses telah ditempatkan di antara mereka sendiri dan suatu korps petani pembela agen-agen yang mengumpulkan sewa atau bunga, dan gaji atau upah kerja atas suatu dasar impersonal. Mereka dengan demikian mampu merespon untuk mendorong pasar, tetapi pada biaya mengisolasi diri mereka sendiri secara sempurna dari populasi dan dari isyarat non-ekonomi berkenaam demham kondisi tersebut.
Kasus Cina ini namun merupakan suatu paradigma untuk suatu proses umum, pada karya dalam seluruh enam kasus yang telah kita pertemukan. Para mediator ekonomi merupakan penopang proses pembuatan uang dan agen-agen disolusi sosial; pada saat yang sama kepatuhan mereka pada tuntutan pasar yang mereka bayar maksimal, tanpa memperhatikan konsekuensi-konsekuensi segera aksi-aksi mereka. Dengan memberi proses birokrsi bentuk-komoditi dan impersonal, mereka menghilangkan diri mereka secara fisik dari konsekuensi-konsekuensi ini; pada saat yang sama mereka kehilangan kemampuan untuk merespon isyarat-isyarat sosial dari populasi yang terpengaruh. Malahan, mereka merangkai ekonomi tanpa perasaan dengan sesuatu yang khusus yang secara struktur menyebabkan kebodohan, semacam kebodohan dengan menganggap rakyat sendiri sebagai pertanggungjawaban bagi iblis-iblis di mana mereka adalah subjek. Stereotif bertahan mengambil tempat dalam kecerdasan analitis, di mana salah satu kasus-kasus klasikal kebutaan di mana para dewa mencapai apa-apa yang mereka harap hancurkan.
Pada waktu yang sangat sama, para mediator politik yang merupakan orang yang menyiarkan kekuasaan menghubungkan negara dan desa juga menghadapi ketidaktentuan yang terus bertambah. Pemilik kekuasaan tradisional – bisa jadi mereka para mandarin atau aristokrat – telah memiliki kekuasaan mereka yang dibatasi, kecuali kalau mereka masuk ke dalam kolusi dengan agen-agen ekonomi untuk keuntungan mereka dan untuk merugikan negara. Dalam kasus yang lain, bagaimanapun, mereka tak dapat lagi melindungi penduduk lokal melawan gangguan dari luar, suatu aturan di mana di masa lalu sering berakhir pada kepentingan mereka sendiri. Para pemilik kekuasaan baru, di sisi lain, menemukan latihan kekuasaan mereka siap memotong keefektifan oleh aksioma bahwa transformasi ekonomi yang ditempatkan lebih tinggi daripada tatanan sosial. Jika mereka sadar perubahan sosial dikarenakan oleh pelebaran pasar, mereka mungkin dapat mengangkat suara mereka dalam protes, tetapi mereka tak bisa – dengan resiko kehilangan posisi mereka – menghentkan mereka dari persetujuan mereka sendiri. Mereka dengan demikian kekurangan kontrol atas proses-proses menentukan yang mempengaruhi masyaratat; hal ini akan meliputi mobilisasi ketidakpuasan penduduk melawan suatu negara di mana mereka terutama merupakan para ahli waris. Mereka dengan demikian menyusul dalam konflik karakteristik antara birokrasi “formal” dan “substantif”, antara operasi-operasi suatu birokrasi yang semata-mata mengatur perintah-perintah, dan operasi-operasi yang menjawab isu-isu strategis koordinasi dan konflik sosial. Sebagaimana pemilik kekuasaan ekonomi mereka mundur dari partisipasi dalam masalah-masalah eksistensial penduduk ke dalam wilayah protektif yang diberikan oleh mesin administrasi. Akhirnya mereka dapat menjaga telinga mereka “di tanah” melalui penggunaan mata-mata dan informan polisi, bukan untuk menanggulangi dengan penyebab kegelisahan, tetapi untuk membatasi gejala-gejalanya. Dalam suatu situasi di mana mereka telah melepaskan kekuasaan untuk memformula cita-cita baru dan untuk menyusun sumber-sumber penghidupan sebagai cara untuk cita-cita ini, mereka retreat ke dalam administrasi. Tanda sosial mereka menjadi penuh perhatian, slogan mereka, sebagaimana di Vietnam, untuk menyendiri, “membungkus diri mereka sendiri dalam selimut mereka” (trum men).
Namun mereka segera berhadapan dengan kompetisi dari kelompok-kelompok sosial baru yang mulai menegaskan masalah-masalah substantif melawan pihak yang murni administratif. Beberapa darinya dicocokkan untuk melayani tatanan ekonomi baru: saudagar komprador, “ahli-ahli finansial”, bos-bos buruh, mandor. Tetapi dalam tambahan untuk eksekutif-eksekutif yunior pasar kapitalis dalam negeri yang tergantung ini, muncul juga kelompok-kelompok lain, sama disponsori oleh kontak budaya dan menjawab syarat-syarat barunya: pejabat-pejabat kecil birokrasi negara, para profesional, guru sekolah. Bagian ini beberapa karakteristik. Karena satu hal, mereka tidak dilibatkan dalam pengiriman dan penjualan barang-barang; mereka merupakan para penyetor kecakapan. Kecakapan-kecakapan ini hanya dalam kasus-kasus tradisional yang sangat jarang di dalam masyarakat; mereka lebih banyak dipelajari dari Barat atau dari institusi-institusi pendidikan gaya Barat yang didirikan di dalam kemandirian. Lebih jauh, kecakapan-kecakapan ini didasarkan pada tulis-menulis, pengetahuan yang terspesialisasi dengan suatu dasar-dasar literer yang menyimpang dari tradisi-tradisi negeri serta mengusulkan alternatif-alternatif baru. Di dalam masyarakat tradisional tulis-menulis dalam banyak kasus merupakan suatu tanda status tinggi. Orang melek huruf baru merupakan bagian dari cahaya yang terpantul dari evaluasi tradisional tulis-menulis ini, namun pada saat yang sama pengetahuan mereka dengan sumber-sumber non-tradisionalnya membuat mereka menjadi partisipan dalam suatu proses komunikasi yang jauh melebihi meriam pengetahuan yang diwariskan. Mereka beroperasi dalam suatu lapangan komunikasi yang lebih besar sekali daripada di masa lalu, dan penuh pelajaran di mana memberi pandangan-pandangan kuat yang tak termimpikan dalam ideologi turun-temurun.
Pada saat yang sama, mereka disusul dalam keadaan sulit pofesional. Banyak di antara mereka tak menemukan pekerjaan, atau banyak menambah pekerjaan profesional mereka dengan sumber-sumber usaha keras lainnya. Namun jika mereka bekerja mereka menemukan dirinya dalam komunikasi langsung dengan klien-klien di mana untuk beberapa tingkat masalah-masalahnya harus mereka ciptakan sendiri; mereka disusul dalam ketegangan antara tuntutan yang dibebankan pada mereka dn kemampuan terbatas mereka untuk “melakukan apapun” mengenai hal itu. Pejabat kecil dibatasi kemerdekaannya dalam beraksi oleh kendali birokrasi; profesional, guru, dan pengacara segera menjadi sadar bahwa mereka dibatasi untuk menanggulangi gejala-gejala, namun tak memiliki suatu pegangan dalam kondisi-kondisi yang menghasilkan gejala-gejala ini. Lebih jauh, klien-klien mereka berasal dari masyarakat luas, lebih daripada membatasi setiap kelompok khusus di mana mereka mungkin diikat oleh keturunan atau tradisi. Mereka dengan demikian menentang suatu situasi di mana mereka menjawab terhadap suatu bidang masyarakat dan jaringan komunikasi yang begitu luas daripada pemilik kekuasaan lokal, dan masih setiap hari mengalami pembatasan yang sangat nyata pada kekuasaan mereka. Akhirnya, mereka menderita langsung dari krisis kekuasaan dan orotitas. Suatu anggota dari suatu kelompok demikian sangat jelas diperlihatkan,

suatu keasyikan mendalam dengan otoritas. Bahkan meskipun ia mencari dan nampak benar-benar melepaskan diri dari otoritas tradisi-tradisi kuat di mana ia dibesarkan, intelektual negeri-negeri terbelakang, tetap lebih banyak daripada pertemuannya di negeri-negeri yang lebih maju, memelihara kebutuhan untuk menggabungkan ke dalam beberapa entiti mementingkan diri sendiri dan otoritatif. Memang, perjuangannya yang lebih besar untuk emandipasi dari kolektivitas tradisional, kebutuhannya yang lebih besar untuk bergabung ke dalam suatu kolektivitas baru dan alternatif. Polisisasi hebat menemukan kebutuhan ini (Shils, 1962, 205).

Karena gerakan politik “orang-orang marginal” demikian sering memberi suatu “tempat tinggal”, di mana mereka sebaliknya dicabut oleh kemampuan mereka sendiri, posisi-posisi sosial mereka, dan mencerai mereka dari sumber-sumber kekuasaan tradisional. Secara terus bertambah, “para intelektual” tatanan baru ini mendesak menuntut mereka melawan baik pemilik kekuasaan ekonomi maupun politik. Apa yang mereka perlukan adalah sejumlah pemilih; dan bahwa para pemilih pada pokoknya diberikan oleh para pekerja industrial dan para petani yang tak terpuaskan yang diciptakan oleh pasar, namun di mana masyarakat tak menciptakan ketentuan sosial yang adekuat. Dalam seluruh enam kasus kita menyaksikan suatu penggabungan antara intelektual “tak berakar” demikian dengan para pendukung pedalaman mereka.
Namun penggabungan ini tidak berpengaruh dengan mudah (lihat Hindley, 1965). Petani khususnya dirintangi dari pengakuan kesalahan-kesalahan pasif untuk partisipasi olitik sebagai suatu cara untuk menata hak mereka. Pertama, seorang petani bekerja seringkali melakukannya sendiri, di tanahnya sendiri, kemudian bersama dengan teman-temannya. Lebih jauh, seluruh petani untuk beberapa tingkat merupakan para pesaing, untuk sumber-sumber yang nyata di dalam komunitas sebaik bagi sumber-sumber kredit yang tidak nyata. Kedua, tirani kerja membebani seorang petani dengan beratnya: kehidupannya disesuaikan pada suatu rutinitas tahunan dan perencanaan untuk setahun mendatang. Perubahan-perubahan rutinitas yang sebentar-sebentar mengancam kemampuannya menerima rutinitas selanjutnya. Ketiga, kontrol atas tanah memungkinkannya, lebih sering daripada tidak, mundur ke dalam produksi penghidupan yang seharusnya merugikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pasar hasil panennya. Keempat, ikatan persaudaraan meluas dan kerja sama di dalam komunitas mungkin melindungi goncangan perubahan. Kelima, kepentingan petani – khususnya di antara petani miskin – sering memotong penjajaran kelas. Petani kaya dan miskin mungkin bersaudara, atau seorang petani mungkin pada satu dan waktu yang sama adalah pemilik, penyewa, pemanen bagi hasil, pekerja bagi tetangganya dan pekerja musiman pada suatu perkebunan terdekat. Masing-masing keterlibatan yang berbeda meluruskan dia secara berbeda dengan sahabat-sahabatnya dan dengan dunia luar. Akhirnya, pengeluaran masa lampau petani dari partisipasi dalam mengambil keputusan di luar pagar bambu desanya mencabut mereka semua juga dari pengetahuan yang diperlukan untuk mengemukakan kepentingannya dengan bentuk-bentuk aksi yang tepat. Karena itu, para petani seringkali hanya merupakan para penonton perjuangan politik pasif atau jauh dari suatu kemunculan millenium yang mendadak, tanpa menetapkan bagi diri mereka sendiri dan tetangga mereka anak-anak tangga ti tangga menuju surga. Tetapi, akhirnya, faktor yang menentukan dalam membuat suatu pemberontakan petani mungkin terdapat dalam hubungan petani dengan medan kekuasaan yang mengelilinginya. Suatu pemberontakan tak dapat dimulai dari sebuah situasi yang secara lengkap impoten; ketiadaan kekuasaan dengan mudah menjadi korban. Kekuasaan, sebagaimana Richard Adams berkata (1966, 3-4),

menunjuk pada kontrol bahwa satu kelompok memiliki lingkungan kelompok lain ... kekuasaan menunjuk pada suatu kontrol fisik nyata di mana satu kelompok mungkin memilikinya dengan rasa hormat dari kelompok lain. Alasan bahwa banyak hubungan tidak direduksi terhadap perjuangan fisik adalah bahwa kelompok-kelompok bagi mereka dapat membuat keputusan-keputusan rasional yang didasarkan pada penilaian-penilaian kekuatan tatikal mereka serta faktor-faktor lain. Kekuasaan biasanya dilatih, karenanya, melalui pengakuan umum oleh dua kelompok kontrol taktik yang dimiliki masing-masing, dan melalui keputusan oleh salah satu untuk melakukan apa yang diinginkan oleh yang lainnya, dan menentukan ia boleh atau tak boleh menjadi superior.

Petani miskin atau buruh tak bertanah yang tergantung pada seorang tuan tanah atau atau pada bagian terbesar kehidupannya, atau totalitasnya, tak memiliki kekuasaan taktis: ia secara sempurna di dalam kekuasaan majikannya, tanpa cukup sumber penghidupannya sendiri untuk membantunya sebagai sumber dalam perjuangan kekausaan. Petani miskin dan buruh tak bertanah, karenanya, tidaklah sama untuk mengikuti jalannya pemberontakan, kecuali kalau mereka mampu bersandarkan pada beberapa kekuatan eksternal untuk menantang kekuasaan yang mendesak mereka. Kekuasaan eksternal demikian digambarkan dalam kasus Meksiko oleh pasukan Konstitusionalis di Yacatán yang membebaskan para peon dari ikatan hutang dengan aksi “dari atas”; digambarkan oleh kebangkrutan Tentara Rusia pada tahun 1917 dan keadaan yang kembali mengalir prajurit petani, senjata di tangan, ke desa-desa; digambarkan oleh penciptaan Tentara Merah Cina sebagai sebuah instrumen yang idrancang untuk memecah kekuasaan tuan tanah di desa-desa. Di mana kekuasaan eksternal demikian muncul, petani miskin dan buruh tak bertanah memiliki kebebasan gerakan; ketika ia tak ada, mereka di bawah paksaan yang nyaris lengkap. Petani kaya, sebaliknya, tak mungkin memulai jalannya pemberontakan. Sebagai majikan buruh yang lainnya, sebagai pengkredit uang, sebagai tokoh yang dikooptasi oleh mesin negara, ia melatih kekuasaan lokal dalam aliansi dengan pemilik kekuasaan eksteral. Kekuasaannya di dalam desa tidaklah asli: ia tergantung pada keadaan kekuasaan lain di luar desa. Hanya ketika suatu dorongan eksternal, sebagaimana Tentara Merah Cina, ternyata mampu menghancurkan kekuasaan superior lain, petani kaya akan memberikan dukungannya pada suatu pemberontakan. Satu-satunya komponen petani yang memiliki beberapa pengaruh internal merupakan “petani menengah” pemilik tanah yang lain atau seorang petani yang berlokasi di suatu wilayah pinggiran di luar kekuasaan kontrol tuan tanah. Petani menengah menunjuk pada suatu populasi petani yang telah memperoleh akses pada tanahnya sendiri serta mengelolanya dengan buruh keluarga. Di mana kepemilikan petani menengah ini terdapat di dalam kekuasaan suatu superior, memiliki sumber penghidupannya sendiri yang memberi pemiliknya dengan kebebasan taktis yang minimal yang mengharuskan untuk menentang tuan besar mereka (lihat Alavi, 1965). Bagaimanapun, pegangan-pegangan yang sama bagi seorang petani, miskin atau “menengah”, yang tinggal hanya di bawah kontrol marjinal dari luar. Di sini kepemilikan tanah mungkin tak cukup untuk mendukung rumah tangga petani; tetapi aktivitas tambahan sebagaimana kerja tak tetap, penyelundupan, pengembangbiakan ternak – tidak di bawah constraint langsung suatu kekuasaan eksternal – tambahan tanah dalam kuantitas cukup untuk menjamin petani beberapa kebebasan gerakan. Kita telah menandai keberadaan suatu petani yang secara taktis mobil demikian di desa-desa Morelos, di komune-komune Wilayah Agrikultur Tengah Rusia; di benteng utara yang didirikan oleh kaum Komunis Cina setelah Long March; sebagai suatu dasar pemberontakan di Vietnam; di antara fellahin Aljazair; dan di antara penghuni liar Oriente di Kuba.
Namun rekruitmen suatu “petani yang secara taktis mobil” ini di dalam petani-petani menengah dan petani-petani “bebas” di wilayah-wilayah pinggiran menampilkan suatu paradoks yang aneh. Ini juga petani di mana para atropologis dan sosiologis pedalaman telah cenderung untuk melihat penopang utama tradisi petani. Jika catatan kita tepat, kemudian – ganjil untuk dikatakan – adalah tepat strata koservatif ini secara kultural di mana merupakan instrumental dalam menggemparkan tatanan sosial petani. Paradoks ini larut, bagaimanapun, ketika kita menganggap bahwa ia juga petani menengah yang relatif banyak mudah diserang dalam perubahan ekonomi yang ditempa oleh komersialisasi, sementara hubungan sosialnya tetap dibungkus di dalam rancangan tradisional. Ia merupakan tindakan penyeimbang di mana keseimbangannya terus-menerus diancamoleh pertumbuhan penduduk; oleh gangguan tuan tanah saingan; oleh hilangnya hak-hak atas tempat penggembalaan, hutan, dan air; oleh pembayaran bunga dan penyitaan. Lebih jauh, adalah tepat strata ini yang banyak tergantung pada hubungan-hubungan sosial tradisional persaudaraan dan kerja sama antara tetangga; para petani menengah menderita banyak ketika hal ini dicabut, hanya ketika mereka akhirnya mampu untuk menahan pembinasaan para pengumpul pajak atau para tuan tanah.
Akhirnya – dan ini kembali paradoksal – petani menengah juga sangat terbuka bagi pengaruh-pengaruh dari perkembangan proletariat. Petani miskin dan buruh tak bertanah, yang pergi ke kota atau pabrik, juga biasanya memotong ikatannya dengan tanah. Petani menengah, bagaimanapun, tetap di tanahnya dan mengirim anak-anaknya untuk bekerja di kota; ia tersangkut dalam suatu situasi di mana satu bagian keluarga menagan suatu pijakan dalam agrikultur, sementara yang lain menjalani “latihan kota” (Germaine Tillion). Hal ini membuat petani menengah juga suatu pemancar kegelisahan irban dan ide-ide politik. Titik tersebut menunjang perluasan. Mungkin tak terlalu banyak pertumbuhan suatu proletariat industrial sebagaimana juga menghasilkan aktivitas revolusioner, sebagaimana perkembangan suatu tenaga kerja industrial tetap erat mencocokkan pada kehidupan di desa-desa.
Dengan demikian merupakan usaha keras petani menengah dan petani bebas untuk tetap tradisional yang membuatnya revolusioner.
Jika kita sekarang mengikuti hipotesis bahwa adalah petani menengah dan miskin namum merupakan petani-petani yang “bebas”, tidak dipaksa oleh kekuasaan manapun, yang merupakan kelompok-kelompok sumbu untuk pemberontakan petani, kemudian mengikuti bahwa setiap faktor yang membantu menambah kebebasan dijamin oleh mobilitas taktis tersebut yang memperkuat potensi revolusioner mereka. Salah satu faktor-faktor ini adalah lokasi pinggiran yang menganggap terhadap pusat kontrol negara. Kenyataannya, wilayah-wilayah pelopor sungguh-sungguh sering mempertunjukkan suatu tendensi untuk membeontak kembali pada otoritas pusat, bagaimanapun apakah mereka didiami oleh petani atau tidak. Cina Selatan telah merupakan suatu jantung pemberontakan di dalam negara Cina, sebagian karena ia sebuah wilayah pelopor pertama di gerakan orang-orang Han ke selatan, dan kemudian karena ia menyediakan zona utama kontak antara peradaban Barat dan Cina. Utara Meksiko sama merupakan suatu zona pembangkang dari pusat Mexico City, sebagian karena ekonominya didasarkan pada pertambangan dan pembudidayaan ternak lebih dari pertanian maisena, sebagian karena ia membuka pada pengaruh-pengaruh dari Amerika Serikat ke utara. Di selatan Cina adalah gentry pembangkang dengan suatu kaum petani mengikuti di mana seringkali membuat kesulitan bagi pusat; di utara Meksiko adalah pengusaha baru, pekerja ranch, dan para koboi. Namun di mana kau memiliki suatu petani miskin yang berlokasi di suatu wilayah pinggiran demikian di luar kontrol normal kekuasaan pusat, mobilitas taktis petani demikian ditambahkan oleh lokasinya. Ini terjadi dengan kasus dengan Morelos, di Meksiko; Provinsi Nghe An di Vietnam; Kabylia di Aljazair; dan Oriente di Kuba. Efekivitas taktis wilayah demikian diperkuat lebih jauh jika mereka mengandung kubu pertanahan gunung: ini benar di Morelos, Kabylia dan Oriente. Hasil tersebut diperkuat di mana penduduk perkubuan ini dibedakan secara etnis atau bahasa dari penduduk sekelilingnya. Dengan demikian kita menemukan bahwa desa-desa Morelos berbahasa Nahuatl, penduduk Kabulia berbahasa Berber. Provinsi Oriente tak memperlihatkan perbedaan bahasa dengan pembicara Spanyol di Kuba, tetapi ia berisi suatu elemen Afro-Kuba yang signifikan. Perbedaan etnik memikat solidaritas para pemberontak; memilikisuatu kode bahasa khusus yang menyediakan suatu sistem komunikasi otonom.
Ini penting, bagaimanapun, untuk mengakui pemisahan tersebut dari negara atau penduduk sekeliling yang tak dibutuhkan hanya fisik atau budaya. Kasus Rusia dan Meksiko keduanya mendemonstrasikan hal itu mungkin untuk mengembangkan suatu populasi daerah kantong petani yang solid melalui persekutuan negara pada suatu kombinasi otonomi komunal dengan ketentuan pelayanan komunitas pada negara. Organisasi petani ke dalam komune-komune yang mengatur diri sendiri dengan responsibilitas yang ditentukan pada negara dan tuan tanah dihasilkan dalam kedua kasus benteng tradisi petani yang sesungguhnya di dalam badan negeri itu sendiri. Dikuasai dengan erat oleh struktur sekeliling, mereka bertindak sebagai panci pemasak kegelisahan yang, pada saat eksposi, melepaskan kekuatan mereka keluar untuk menjamin ruang kehidupan yang lebih banyak untuk cara hidup adat kebiasaan. Dengan demikian kita dapat menambahkan suatu pengaruh tambahan berkali-kali pada yang lainnya yang disebutkan. Keberadaan dari setiap kasus ini akan memunculkan potensi petani untuk memberontak.
Tetapi apakah transisi dari pemberontakan petani pada revlusi, dari suatu gerakan yang bercita-cita menanggalkan kesalahan-kesalahan dalam usaha menggulingkan masyarakat itu sendiri? Kaum Marxis memiliki bantahan panjang bahwa para petani tanpa kepemimpinan dari luar tak dapat menciptakan sebuah revolusi; bahan kasus kita akan menyokong mereka. Di mana petani berhasil memberontak melawan tatanan yang ada – di bawah bendera dan pemimpinnya sendiri – kadang-kadang mampu untuk membentuk struktur sosial pdesaan lebih erat pada kehendak hatinya; namun ia tidak menempatkan kekuasaan negara, kota-kota yang merupakan tempat tinggal pusat kontrol, sumber-sumber non-agrikultural strategis masyarakat. Zapata tinggal di Morelos; “migrasi orang desa” Pancho Villa menyusut setelah kekalahan di Torreón; Nestor Makhno dihentikan dengan cepat di kota-kota; dan petani Rusia di Wilayah Agrikultural Pusat dengan sederhana menggali lebih dalam ke dalam kekebalan lokal mereka. Dengan demikian suatu pemberontakan petani yang mengambil tempat dalam suatu masyarakat yang kompleks siap mengejar dalam komersialisasi dan industrialisasi yang cenderung menjadi pembatasan-diri, dan, karena itu, menyalahi zaman.
Utopia petani adalah desa bebas, terbebas dari pengumpul pajak, rekruitmen buruh, tuan tanah besar, dan para pejabat. Berkuasa, tetapi tak pernah memerintah, mereka juga kekurangan pengetahuan dengan operasi negara sebagai suatu mesin kompleks, mengalaminya hanya sebagai sebuah “monster dingin”. Melawan kekuatan bermusuhan ini, mereka telah belajar, bahkan pemilik kekuasaan tradisional mereka memberi suatu perisai namun lemah, bahkan meskipun mereka pada saat harapan untuk mempertahankannya jika ia diberikan untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan demikian, bagi petani, negara merupakan suatu kuantitas negatif, suatu iblis, yang digantikan dalam belas kasihan oleh tatanan sosial “buatan sendiri” mereka sendiri. Aturan ini, mereka percaya, dapat berjalan tanpa negara; karenanya, para petani dalam pemberontakan merupakan para anarkis alami.
Sering sudut pandang politik ini diperkuat lebih lanjut oleh suatu pandangan ideologis yang lebih luas. Pengalaman petani cenderung menjadi dualistik, yakni ia ditarik antara pemahamannya tentang mengapa dunia sebaiknya diperintah dengan pantas dan kenyataan suatu eksistensi keduniawian, dikelilingi oleh kekacauan. Melawan kekacauan ini, petani selalu menata mimpi-mimpi pembebasannya, pandangan suatu Mahdi yang akan membebaskan dunia dari tirani, seorang Anak Surga yang akan sungguh-sungguh menjelmakan amanat surga, seorang “tsar putih” sebagai lawan “tsar hitam” kekacauan yang ada (Sarkisyanz, 1955). Di bawah kondisi-kondisi perpindahan modern, keadaan yang kacau seluruhnya seringkali juga dialami sebagai tatanan dunia yang terbalik, dan karenanya jahat. Dualisme masa lampau yang dengan mudah menyatu dengan dualisme masa sekarang. Tatanan yang benar belum datang, apakah melalui intervensi keajaiban, melalui pemberontakan, atau keduanya. Anarkisme petani dan suatu pandangan dunia yang apokaliptik, bersama-sama, memberi bahan bakar ideologis yang mengendalikan petani pemberontak.
Tetapi pemberontakan-pemberontakan petani abad kedua puluh tak lagi sederhana merespon masalah-masalah lokal, jika memang mereka melakukannya. Tetapi hal itu merupakan reaksi-reaksi picik pada perubahan sosial utama, digerakkan oleh perubahan kemasyarakatan yang besar sekali. Penyebaran pasar telah menyobek manusia dari akarnya, dan menggoncang mereka dilepas dari hubungan-hubungan sosial dari mana mereka dilahirkan. Industrialisasi dan perluasan komunikasi telah memunculkan tandan sosial baru, sampai sekarang tak percaya pada posisi-posisi dan kepentingan sosial mereka sendiri, tetapi dipaksa oleh ketidakseimbangan kehidupan mereka untuk mencari suatu tambahan baru. Otoritas politik tradisional terkikis atau ambruk; para pesaing baru untuk kekuasaan sedang mencari para pemilih baru untuk dimasukkan ke dalam arena politik yang kosong. Dengan demikian ketika protagonis petani menerangi obor pemberontakan, bangunan besar masyarakat telah menyala kecil dan siap mengambil api. Ketika perang berakhir, stuktur tak akan sama.
Tanpa sistem budaya – tanpa ekonomi, masyarakat, kebijakan dan ideologi yang kompleks – adalah statis; semua bagian-bagian komponennya adalah di dalam perubahan yang konstan. Namun sejauh perubahan-perubahan ini teta di dalam batas-batas yang dapat ditahankan, bagaimanapun, atau jika komponen lain tiba-tiba diperkenalkan dari luar, sistem tersebut memancarkan kerusakan. Bagian-bagian sistem tersebut dibuat tak konsisten dengan yang lainnya; sistem tumbuh membingungkan. Manusia dalam suatu situasi demikian tersangkut penuh penderitaan antara beberapa jalan keluar lama untuk masalah-masalah yang tiba-tiba mengubah bentuk dan arti, dan jalan keluar baru untuk masalah-masalah yang mereka sering tak dapat dipahami. Karena kengawuran jarang muncul semua dalam sekali waktu, dalam seluruh bagian sistem, mereka mungkin untuk beberapa kali kadang-kadang mengikuti satu alternatif, kadang-kadang sesuatu yang lain dan berkontradiksi; tetapi di akhir pelanggaran, suatu pemisah utama akan membuat kemunculannya di mana-mana pada sistem tersebut (Wilson dan Wilson, 1945, 125-129). Suatu pemberontakan petani di bawah keadaan demikian, untuk beberapa yang telah kita goreskan, dapat, tanpa maksud yang sadar, membawa seluruh masyarakat pada keruntuhan negara.
Tetapi dalam kasus-kasus yang telah kita analisis, kita tak hanya menemui pemberontakan petani, muncul untuk “tanah dan kemerdekaan.” Di medan perang, para petani juga menghadapi kelompok-kelompok lain, seringkali para intelektual-bersenjata, siap untuk mengambil keuntungan dari kekacauan umum dalam rangka menjatuhkan di atasnya suatu tatanan baru milik mereka sendiri. Dua fenomena organisasional, di atas dan di bawah kelompok petani bersejata, membuat kemunculan mereka dalam sejarah-sejarah kasus kita; satu adalah organisasi militer; yang lainnya adalah kelompok para-militer yang diorganisasikan di sekeliling pandangan jelas masyarakat baru seperti apa yang diinginkan. Namun kasus-kasus kita juga sekarang menandai perbedaan-perbedaan dalam cara kedua bentuk organisasional ini ditafsirkan satu sama lain.
Dalam kasus Meksiko, kemenangan akhir tidak dimenangkan oleh gerilya Zapata maupun juga oleh koboi dorados Villa. Wajah keberhasilan jatuh pada suatu kepemimpinan militer-sipil dalam kontrol suatu tentara yang terspesialisasi – terpisah dan berbeda dari setiap levée en masse kaum petanu; dilengkapi dengan suatu pengalaman elementer dalam manajemen birokratik; dan dlam kepemilikan sumber-sumber strategis perdagangan ekspor Meksiko. Sebagai suatu hasil “keluarga revolusioner” orang-orang sipil yang menjadi jenderal-jenderal ini ternyata mampu membangun suatu aparatur kontrol pusat baru yang merubah dirinya sepanjang waktu dari suatu koalisi para komandan militer menjadi suatu kelompok pejabat persatuan. Kelompok ini, sebaliknya, mempergunakan negara untuk memberi dukungan pada kemunculan tandan wirausahawan dan para profesional, sementara pada saat yang sama mengalokasikan suatu andil hasil dari perkembangan kapitalis pada kelompok-kelompok agrikultur dan industrial yang sebelumnya tak tergambarkan dalam kepentingan “keadilan sosial”. Sesuatu yang sama terjadi di Aljazair. Meskipun para nasionalis Aljazair memulai perang sebagai suatu operasi gerilya yang secara erat terhubung ke desa-desa di pedalaman, Prancis berhasil dalam mengurangi ancaman gerilya di dalam negeri yang akhirnya menempatkan tentara eksternal di Tunis dan Maroko dalam komando negeri tersebut, sebagai badan terorganisasi yang tersisa dalam kebijakan kemerdekaan baru. Usaha-usaha untuk mengorganisasikan koalisi perang para nasionalis melawan Prancis ke dalam suatu partai monolitik “setelah segala sesuatunya” menemui kegagalan. Dengan demikian ia jatuh pada tentara untuk menstabilkan masyarakat. Sementara suatu retorika sosialis dipergunakan untuk menjanjikan beberapa ganjaran pada para petani dan pekerja, sebagaimana di Meksiko, negara telah menempatkan kepercayaannya dalam suatu pembatasan usaha pribadi yang terbimbing. Dalam kedua kasus ini, kemudian, pemberontakan-pemberontakan petani di pedalaman memberi api pada struktur yang belum ada; tetapi ia jatuh pada tentara dan pemimpinnya menempa roda penyeimbang organisasional yang akan memungkinkan masyarakat paska revolusi untuk terus di jalannya.
Di Rusia, Cina dan Vietnam, bagaimanapun, kita harus mencatat bahwa peran tentara dan partai dibalik. Dalam ketiga kasus ini, adalah partai-partai politik para revolusioner kelas menengah yang memberi kekuatan pada perampasan kekuasaan dan menciptakan instrumen-instrumen sosial dan militer yang menaklukkan negara, dan menjamin transisi pada suatu tatanan sosial baru. Ini mungkin bukan suatu kebetulan bahwa adalah juga ketiga negara yang dikarakteristikkan oleh pola-pola konspirasional dan kelompok-kelompok rahasia sebelum kemunculan revolusi. Lebih jauh, suatu ideologi Marxis umum – dan khususnya konsep kepemimpinan revolusioner Leninis, memimpin massa dalam kepentingan massa – memberi idiom yang siap-pakai untuk memberi pengalaman penggabungan mereka sendiri antara prajurit pemberontak dan pemimpin revolusioner. Sebutan persamaan demikian juga memfasilitasi pembelajaran dan tranfer pola-pola keberhasilan yang cepat dari satu situasi ke situasi yang lain. Di sinilah – dan hanya di sini – bahwa partai sebagai suatu badan terpisah datang untuk mendominasi organisasi-organisasi lain yang dibangun secara terburu-buru oleh revolusi.
Namun juga ada perbedaan penting antara pengalaman Rusia di satu sisi, dan pengalaman Cina serta Vietnam di sisi lain. Di Rusia partai Komunis merampas kekuasaan pada puncak pemberontakan pekerja di kota-kota dan mengorganisasi negara untuk suatu perang dalam mempertahankan revolusi. Kaum petani, sementara itu, melakukan pemberontakannya sendiri di pedesaan, paralel dengan pemberontakan industrial di kota-kota, tetapi dalam kemandirian yang esensial darinya. Menghubungkan dewan-dewan desa mereka sebagai soviet-soviet desa pada struktur soviet dalam nama, mereka kenyataannya secara sederhana memperluas ruang kehidupan mereka serta organisasi-organisasi tradisional di seluruh pedesaan. Perang mempertahankan revolusi kemudian mengikuti perampasan kekuasaan; hal itu tidak menyertainya. Perbedaan yang tampak di Cina dan Vietnam, Tentara Merah – dengan menempatkan suatu pelindung militer sekeliling wilayah-wilayah petani pusat, dalam bertahan melawan wilayah pinggiran – diperkuat lebih jauh “mengatur” proses para petani pemberontak.
Di Cina dan Vietnam, bagaimanapun, kita tak hanya menemukan perang yang dilaksanakan oleh partai, tapi semacam perang yang diorganisasikan populasi petani sebagaimana hal itu diteruslam. Kembali kecenderungan budaya khusus muncul dalam hal itu: yakni wilayah-wilayah di mana asosiasi-asosiasi desa yang bermacam-macam selalu tradisional di desa-desa. Di bawah kontrol Komunis hal ini membantu sebagai suatu wadah bagi tentara dan petani yang menyatu ke dalam suatu badan umum. Jaringan organisasional umum ini – menghubungkan tentara tersentralisasi yang terutama direkrut dari petani, pasukan gerilya paruh-waktu yang ditempatkan di desa-desa, dan penduduk desa – menyingkirkan perkembangan pemberontakan petani yang tak terkoordinasi dan pertahanan otonom petani yang telah terjadi di Rusia. Ini ternyata menjadi suatu sistem yang mampu tak hanya bertahan dalam perang yang berkepanjangan, tetapi bahkan berkembang di atasnya. Ini dapat dibantah bahwa jaringan organisasional ini memperoleh kekuatan sebagaimana hal itu melawan dalam pertempuran, sebagaimana ditunjukkan baik oleh perlawanan Komunis Cina pada invasi Jepang dan oleh pengalaman Vietnam selama dua puluh tahun terakhir.
Akhirnya, dalam kasus Kuba, kita menemukan sebuah pulau yang tidak idtempati terutama oleh petani, tetapi oleh suatu proletariat tebu kerja-upahan. Diorganisasikan ke dalam persatuan-persatuan dagang oleh para Komunis – dan di bawah pengaruh berkelanjutan mereka – proletariat tebu, bagaimanapun, mengerjakan sedikit bantuan pemberontakan. Partai Komunis dan organisasi-organisasi yang bersekutu, bersama-sama dengan kelompok lain, tersangkut dalam suatu kebuntuan politik di mana tak datu kelompok pun memiliki pengaruh mandiri yang cukup untuk memecah sistem pemerintahan yang merusak. Pengaruh ini malahan diberikan oleh satu kelompok kecil pemberontak bersenhata yang, sangat kebetulan, membentuk diri mereka sendiri dalam satu bagian pulau yang ditinggali oleh suatu kaum petani yang secara taktis mobil. Sekali dalam kekuatan, kelompok pemberontak ini dapat mempergunakan aparatur partai Komunis untuk memberi suatu jaringan organisasional baru bagi negeri dan di bawa melalui suatu revolusi sosial dalam suatu simbiosis tentara pemberontak dan organisasi partai yang tak biasa.
Pertanyaan mengapa dalam beberapa kasus tentara yang membangkitkan kontrol-kontrol politik baru, sementara dalam situasi-situasi yang lain tugas ini jatuh pada partai, tidak mudah untuk dijawab. Kita menemukan kontrol-kontrol tentara penting di Meksiko dan Aljazair. Barangkali ini tidak sama bahwa dua masyarakat ini terus beroperasi di atas dasar pasar: kontrol harus jatuh pada masyarakat lebih daripada pada ekonomi. Tentara menyediakan sumbu organisasional untuk tatanan sosial, tetapi eknomi tetap tak dibebani untuk berkembang menurut arahan pasar. Sementara baik masyarakat maupun ekonomi bersandar ada perintah, bagaimanapun, sebagaimana di Rusia, Cina, Vietnam, dan Kuba, pasar dicabut, dan pertimbangan serta seruan-seruan ideologikal mengambil tempat dari “tangan tak terlihat” dalam menggerakan manusia untuk beraksi. Untuk suatu waktu yang lama Rusia tetap kasus model kekuasaan partai atas cara dan tujuan komando; namun sekarang ini Cina telah bergerak dalam suatu arah yang sungguh-sungguh berbeda. Di Rusia, partai tetap secara jelas dominan atas tentara; ia bahkan ternyata berhasil dalam memberi tanda pertumbuhan suatu tentara-pura-pura baru di dalam pangkat-pangkatnya sendiri, ketika ia membatasi kekuasaan-kekuasaan polisi rahasia. Di Cina, setelah suatu periode penggabungan awal partai dan tentara selama tahun-tahun perang yang berlarut-larut dan dalam tahun-tahun awal konsolidasi setelah revolusi, partai dan tentara masuk ke dalam konflik selama Revolusi Kebudayaan Besar, dan dominasi partai telah dibatasi. Kita mungkin mengambil resiko suatu dugaan bahwa perbedaan ini merupakan suatu fungsi perkembangan berbeda dari dua revolusi, termasuk dasar dukungan sosial mereka yang sangat berbeda (lihat Lowenthal, 1976, 387-388; Schram, 1967, 325, 341-342).
Revolusi Rusia memperoleh dukungan utamanya dari para pekerja industrial wilayah-wilayah industrial kunci, dan bukan dari kaum petani. Pada orang-orang Komunis Rusia, kontrol puncak ekonomi strategis tetap suatu cita-cita utama; dan ekpansi yang cepat dalam skala dan skup puncak-puncak strategis ini melalui industrialisasi yang cepat, jaminan utama keberlanjutan Soviet. Beberapa hal bahwa industrialisasi juga membantu keefektifan di medan perang, tujuan Partai dan tentara dengan terang serupa. Industri dan sekolah dilihat sebagai dua wadah-wadah di mana Manusia Sovyet ditempa, dan ideologi dipergunakan terutama untuk mengipasi nyala api proses industrialisasi yang dirancang terpaksa. Industrialisasi berjalan bergandengan tangan dengan pertumbuhan suatu kelas manajerial yang efektif dan suatu populasi pekerja industri yang cakap. Tekanan berada dalam ganjaran berbeda untuk kecakapan dan kerja. Hasilnya adalah suatu masyarakat yang secara kuat hirarkis, dioperasikan oleh para teknokrat, “yang ahli dan Merah”, tetapi di atas semua para ahli. Cina, juga, dimulai pada suatu program industrialisasi yang cepat, tetapis ejak awal rupanya ada tegangan antara kelompok-kelompok di dalam partai yang menyokong model pembangunan Rusia, dan, yang selama tahun-tahun perang yang berlarut-larut, telah belajar meletakkan kepercayaan mereka pada suatu tentara petani dengan suatu ideologi egaliterian. Pengalaman perang di pedalaman telah meletakkan mereka jauh dari kota-kota dan wilayah-wilayah industrial; telah mengajari mereka keuntungan pengusiran, suatu distribusi kecakapan dasar lebih daripada suatu konsentrasi padat kecakapan yang maju. Prajurit-warga negara tentara gerilya, menjalani kehidupan di mana peran-peran petani, pekerja, prajurit dan intelektual yang bercampur-baur pada titik penyatuan. Lebih jauh, pengalaman bersenjata – lebih dari industri dan sekolah – telah memberi inspirasi untuk disiplin dan inisiatif, pengorbanan dan komitmen. Di Rusia petani dapat menjadi suatu anggota tatanan baru yang efektif hanya melalui kompor-kompor industrialisasi yang berapi-api, di Cina hubungan petani dan tentara-warga negara merupakan sesuatu yang dekat dan konkrit. Barangkali ini untuk alasan tersebut bahwa Tentara Pembebasan Rakyat yang terus muncul sebagai suatu kekuatan penghalang yang efektif pada partai yang lebih manajerial dan birokratik. Sementara banyak interpretasi Revolusi Kebudayaan Besar dari luar tetap merupakan tebakan, hal ini akhirnya jelas bahwa peran partai di Cina telah banyak dikurangi menyetujui suatu koalisi kekuatan bersenjata dengan komite-komite non-partai lokal. Tidak juga trend ini membatasi Cina. Suatu trend yang serupa jelas di Kuba di mana Castro dengan hati-hati menjauhi instalasi suatu aparatur manajerial permanen, bersumbu pada partai Komunis, dan malahan bersandar pada mobilisasi terus-menerus suatu wara negara-di dalam-pasukan bersenjata. Sebagaimana di Cina, adalah wilayah pedalaman yang memberi energi untuk tentara-sebagai-partai ini, sementara pusat urban tradisional, Havana, terlepas dari kepentingan organisasional. Di dalam kedua kasus, terlalu dini untuk mengetahui apakah hal ini menggembarkan suatu kesakitan dalam romantisme pedalaman, atau apakah militerisasi politik populasi demikian dapat memimpin – dengan bantuan cara-cara komunikasi modern – pada bentuk organisasi rakyat yang baru dan bersemangat.
Pertimbangan-pertimbangan ini telah meletakkan kita jauh daro pemberontakan-pemberontakan picik petani di mana kita memulai studi ini. Namun menjadi argumen bab ini bahwa petani merupakan suatu agen pendorong yang lebih besar daripada dirinya sendiri, kekuatan yang dihasilkan oleh suatu masa lalu yang kacau sebanyak suatu masa kini yang kacau. Tak ada fakta untuk pandangan bahwa jika hal itu bukan karena “para agitator luar”, para petani akan menjadi tidur. Berbeda dengan itu, para petani muncul memperbaiki kesalahan; tetapi ketidakadilan-ketidakadilan yang dilawan di mana mereka memberontak, tetapi sebaliknya, manifestasi-manifestasi picik perpindahan sosial yang besar. Dengan demikian pemberontakan keluar dengan mudah ke dalam revolusi, gerakan-gerakan masif merubah struktur sosial sebagai suatu keseluruhan. Medan pertempuran menjadi masyarakat itu sendiri, dan ketika perang berakhir, masyarakat akan telah berubah dan petani berada bersamanya. Peran petani dengan demikian secara esensial adalah tragis: usahanya untuk menggagalkan suatu masa kini yang menyedihkan hanya pelayan dalam suatu kemahaluasan, masa depan yang lebih tidak pasti. Namun jika ini tragis, ia juga penuh dengan harapan. Untuk pertama kali dalam milenia, manusia bergerak ke arah suatu jalan keluar masalah lama mengenai kelaparan dan penyakit, dan di mana-mana monopoli kekuasaan kuno dan kebijaksanaan yang diterima dihasilkan pada usaha manusia untuk memperluas partisipasi dan pengetahuan. Dalam usaha-usaha demikian – bagaimanapun tak pasti, bagaimanapun ditimpa dengan kesulitan-kesulitan, bagaimanapin tak terpahami – ada prospek untuk menambah kehidupan, untuk menambah kemanusiaan. Jika pemberontakan petani meminum tragedi, mereka juga meminum harapan, dan di banyak pemberontakan mereka adalah partai kemanusiaan. Diatur melawan mereka, bagaimanapun, sekarang tak melulu para pembela hak-hak istimewa leluhur, tetapi Aliansi Suci apa yang – dengan teknologi dan organisasi superior – akan mengubur harapan itu di bawah suatu kelongsoran kekuasaan. Mesin-mesin kekuasaan baru ini menyebut dirinya para realis, tetapi ia merupakan tanda realisme mereka bahwa tak mengakui fakta-fakta dan interpretasi yang lain daripada yang membantu maksud mereka. Kaum petani menghadapi tragedi, tetapi harapan ada di sisinya; tragis ganda adalah musuh-musuh mereka yang akan mengingkari bahwa harapan baik untuk petani maupun untuk diri mereka sendiri. Ini juga merupakan dilema Amerika di dunia sekarang ini: untuk bertindak dalam membantu harapan manusia atau menghancurkannya, tak hanya untuk nasib dunia tetapi juga nasibnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

MEKSIKO
Barrera Fuentes, Florencio, 1955, Historia de la Revolutión Mexicana: la etapa precursora, Biblioteca del Instituto Nacional de Estudios históricos de la Revolución Mexicana, Talleres Gráficos de la Nacióm, Mexico.
Berzunza Pinto, Ramón, 1956, “Las vísperas yucatecas de la Revolución”, Historia Mexicana, Vol. 6, hlm. 75-88.
__________, 1962, “El constitucionalismo en Yacatán,” Historia Mexicana, Vol. 12, hlm. 274-295.
Bulnes, Fransisco, 1904, Las grandes mentiras de nuestra historia: la nación y el ejército en las guerras extranjeras, Libería de la Vda. de Ch. Bouret, Paris.
__________, 1920, El Vedadero Díaz y la Revolución, Editorial Hispano-Mexicana, Meksiko.
Chevalier, François, 1959, “Survivances seigneuriales et présages de la révolution agraire dans le Nord du Mexique,” Revue Historique, Vol. 122, hlm. 1-18.
__________, 1961, “Le soulévement de Zapata (1911-1919),” Annales, Vol. 16, hlm. 66-82.
Cué Cánovas, Agustín, 1947, Historica social y económica de México: la Revolución de Independencia y México Independiente hasta 1854, Editorial América, Meksiko.
Cumberland, Charles C., 1952, Mexican Revolution: Genesis under Madero, University of Texas Press, Austin.
__________, 1960, “Sonora Chinese and the Mexican Revolution,” Hispanic American Historical Review, Vol. 40, hlm. 191-211.
__________, 1968, Mexico: The Struggle for Modernity, Oxford University Press, New York.
Diez, Domingo, 1967, Bosquejo Histórico Geográfico de Morelos, Editorial Tlahuica, Cuernavaca.
Dillon, Richard H., 1956, “Del rancho a la presidencia,” Hostoria Mexicana, Vol. 6, hlm. 256-269.
Figueroa Domenech, J., 1899, Guía general descriptiva de la Republica Mexicana: Historia, Geografíca, Estadístia, 2 volume, Ramón de S.N. Araluce, Meksiko.
Friedrich, Paul, 1966, “Revolutionary Politics and Communal Ritual,” dalam Marc J. Swartz, Victor W. Turner, dan Arthur Tuden, ed., Political Anthropology, Aldine Publishing Co., Chicagi, hlm. 191-220.
Gonzáles Navarro, Moises, 1957, El Porfiriato: La Vida Social, Vol. 4 dari Daniel Casío Villegas, ed., Historia Moderna de México, Editorial Hermes, Meksiko.
Itturiaga, José E., 1951, La Estructura Social y Cultural de México, Fondo de Cultura Económica, Meksiko.
Katz, Friedrich, 1964, Duetschland, Díaz, und die mexikanische Revolution, VEB Duetscher Verlag der Wissenschaften, Berlin.
Lewis, Oscar, 1951, Life in a Mexican Village: Tepoztlan Restudied, University of Illionis Press, Urbana.
Lister, Florence C., dan Robert H. Lister, 1966, Chihuahua: Storehouse of Storms, University of New Mexico Press, Albuquerque.
McBride, George McCuthen, 1923, The Land Systems of Mexico, American Geographical Society Research Series No. 12, American Geographical Society, New York.
Meyer, Michael C., 1967, Mexican Rebel: Pascual Ororzco and the Mexican Revolution 1910-1915, University of Nebraska Press, Lincoln.
Molina, Eníquez, Renato, 1932, “Ka Revolución y los ferrocarriles en México,” El Economista, Vol. 9, No. 113 (8 Desember), hlm. 291-292.
Mora, José M.L., 1837, Obras sueltas, 2 volume, Libería de Rosa, Paris.
Nava Otero, Guadalupe, 1965, “La Minería,” dalam Daniel Casío Villegas, ed., Historia Moderna de Mico, Vol. 7, Bagian 1: El Porfiriato, La Vida Económica, Editorial Hermes, Mexico, hlm. 179-310.
Paz, Octavio, 1961, The Labyrinth of Solitude, Grove Press, New York.
Pfeifer, Gottfried, 1939, “Sinola und Sonora,” Mitteilungen der Geograpischen Gesellschaft in Hamburg, Vol. 46, hlm. 289-460.
Phipps, Helen, 1925, Some Aspects of the Agrarian Revolution in Mexico: A Historical Study, University of Texas, Austin.
Pimentel, Fransisco, 1866, La economía política aplicada á la propriedad territorial en México, Imprenta de Ignacio Cumplido, Mexico.
Pinchon, Edgcumb, 1941, Zapata, te Unconquerable, Doubleday, Doran and Co., New York.
Quirk, Robert E., 1953, “Liberales y Radicales en la Revolución Mexicana,” Historia Mexicana, Vol. 2 hlm. 503-528.
__________, 1960, The Mexican Revolution, 1914-1915: The Convention of Aguascalientes, Indiana University Press, Bloomington.
Sierra, Justo, 1950, Evolución politica del pueblo Mexicano, Fondo de Cultura Económica, Meksiko.
Simpson, Eyler, 1937, The Ejido, University of North Carolina Press, Chapel Hill.
Sotelo Inclán, Jesús, 1943, Raíz y razón de Zapata, Editorial Etnos, Meksiko.
Southworth, John R., 1910, El Directorio oficial de las minas y haciendas de Mexico, Meksiko.
Tannenbaum, Frank, 1937, Peace by Revolution: An Interpretation of Mexico, Colombia University Press, New York.
Whetten, Nathan L., 1948, Rural Mexico, University of Chicago Press, Chicago.
Wolf, Eric R., 1958, “The Virgin of Guadalupe: A Mexican National Symbol,” Journal of American Folklore, Vol. 71, hlm. 34-39.
__________, 1959, Sons of the Shaking Earth, University of Chicago Press, Chicago.
Zapala, Silvio, 1940-41, “México. La Revolucíon. La Independencia. La Constitución de 1824,” dalam Ricardo Levene, ed., Historia de América, Jackson, Buenos Aires, Vol. 7. hlm. 3-96.

RUSIA
Anweiler, Oscar, 1958, Die Rätebewegung in Russland 1905-1921, Studied zur Geschichte Osteuropas V, Brill, Leiden.
Avich, Paul, 1967, The Russian Anarchists, Princeton University Press, Princeton.
Berdiaiev, Nikolai A., 1937, The Origin of Russian Communism, Centenary Press, London.
Bill, Valentine T., 1959, The Forgotten Class: The Russian Bourgeoisie form the Beginning to 1900, Praeger, New York.
Chamberlin, William H., 1957, The Russian Revolution 1917-1921, 2 volume, Macmillan, New York.
Confino, Michael, 1963, Domaines et seigneurs en Russie vers la fin du XVIIIe siécle: Etude de structures agraires et de mentalité économique, Institute d’Etudes Slaves de l’Université de Paris, Collection Historique, Vol. 18, Paris.
Deutscher, Isaac, 1954, The Prophet Armed: Trotsky 1879-1921, Oxford University Press, New York dan London.
Dunn, Stephen P., dan Ethel Dunn, 1963, “The Great Russian Peasant: Culture Change or Cultural Development,” Ethnology, Vo. 2, No. 3, hlm. 320-338.
__________, 1967, The Peasants of Central Rusia, Holt, Rinehart and Winston, New York.
Elisséeff, Serge, 1956, “The Ortodhox Chruch and the Russian Merchant Class,” Harvard Theological Review, Vol. 49, hlm. 185-205.
Fainsod, Merle, 1958, Smolensk Under Soviet Rule, Harvard University Press, Cambridge.
Fischer, George, 1960, “The Intellegentsia and Russia,” dalam Cyril E. Black, ed., The Transformation of Russian Society, Harvard University Press, Cambridge, hlm. 253-274.
Footman, David, 1962, Civil War in Russia, Praeger, New York.
Gordon, Manya, 1941, Workers Before and After Lenin, Dutton, New York.
Gorer, Geoffrey, dan John Rickman, 1951, The People of Great Russia, Chanticleer, New York.
Harcave, Sudey S., 1964, First Blood: The Russian Revolution of 1905, Macmillan, New York.
Hobsbawm, Eric J., 1962, The Age of Revolution 1789-1848, Weidenfield and Nicolson, London.
Inkeles, Alex, 1960, “Summary and Review: Social Stratification in the Modernization of Russia,” dalam Cyril E. Black, ed., The Transformation of Russian Society, Harvard University Press, Cambridge, hlm. 338-350.
Leroy-Beaulieu-Beaulieu, Anatole, 1962 [selections from writing 1991-1889], The Russian Peasant, Coronado Press, Sandoval, New Mexico.
Lukacs, John, 1967, “A Dissenting View of the Day That Shook the World,” The New York Times Magazine, 2 Oktober, hlm. 32-33, 70-79, 82-89.
Luxemburg, Rosa, 1940, The Russian Revolution, Workers Age Publishers, New York.
Lyashchenko, Peter I., 1949, History of the National Economy of Russia to the 1917 Revolution, Macmillan, New York.
Male, D. J., 1963, “The Village Community 1924-1930,” soviet Studies, Vol. 15, hlm. 225-246.
Malia, Martin, 1961, “What Is the Intelligentsia?” dalam Richard Pipes, ed., The Rusian Intelligentsia, Columbia University Press, Nwe York, hlm. 1-18.
Maynard, Sir John, 1962, Russia and Its Crisis, Collier, New York.
Mitrany, David, 1961, Marx Against the Peasant: A Study in Social Dogmatism, Collier, New York.
Owen, Launcelot A., 1963, The Russian Peasant Movement 1906-1917, King, London.
Prawdin, Michael, 1961, The Unmentionable Nechaev: A Key to Bolshevism, Allen and Unwin, London.
Radkey, Oliver H., 1958, The Agrarian Foes of Bolshevism: Promise and Default of the Russian Socialist Revolutionaries February to October 1917, Columbia University Press, Nwe York.
__________, 1963, The Sickle under the Hammer: The Russian Socialist Revolutionaries in the Early Months of Soviet Rule, Columbia University Press, New York.
Raeff, Marc, 1966, origins of the Russian Intelligentsia: The Eighteenth-Century Nobility, Harcourt-Brace and World, New Yor.
Robinson, Geroid T., 1949, Rural Russia under the Old Regime: A History of the Landlord-Peasant World and a Prologue to the Peasant Revolution of 1917, Longmans, Green and Co., New York.
Tompkins, Stuart R. 1957, The Russian Intelligentsia: Markers of the Revolutionary State, University of Oklahoma Press, Norman.
Treadgold, Donald W., 1957, The Great Siberian Migration: Government and Peasant in Resettlement from Emancipation to the Forst World War, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.
Trotsky, Leon, 1932, The History of the Russian Revolution, The University of Michigan Press, Ann Arbor.
Ungern-Sternberg, R. von, 1956, “Die Struktur der russischen Gesellschaft zu Beginn des XX Jahrhunderts,” Schmollers Jahrbuch, Vol. 76, hlm. 169-197.
Vakar, Nicholas P., 1962, The Taproot of Soviet Society: The impact of Russia’s culture upon the Soviet State, Harper and Brothers, New York.
Volin, Lazar, 1940, “The Peasant Household under the Mir and the Kolkhoz in Modern Russian History,” dalam Caroline Ware, ed., The Cultural Approach to History, Columbia University Press, New York, hlm. 125-139.
__________, 1960, “The Russian Peasant from Emancipation to Kolkhoz,” dalam Cyril E. Black, ed., The Transformation of Russian Society, Harvard University Press, Cambridge, hlm. 292-310.
Wallace, Sir Donald Mackenzie. 1908, Russia, Holt and Co., New York.
Wesson, Robert G., 1963, Soviet Communes, Rugers University Press, New Brunswick.
Yaresh, Leo, 1957, “The Peasant Wars’ in Soviet Historiography,” American Slavic and East European Review, Vol. 16, hlm. 241-258.

CINA
Balazs, Etienne, 1964, Chinese Civilization and Bureaucracy, Yale University Press, New Haven dan London.
Buck, John Lossing, 1930, Chianese Farm Economy, University of Chicago Press, Chicago.
__________, 1937, Land Utilization in China, University of Nanking, Nanking.
Casneux, Jean, 1962, La Mouvement Ouvrier Chinoise de 1919 a 1927, Mouton, The Hague.
Chow, Yung-the, 1966, Social Mobility in China, Status Careers among The Gentri in a Chinesse Community, Atherton Press, New York.
Crook, Isabel, And David Crook, 1959, Revolution in a Chinesse Village, Ten Mile Inn, Routlege and Kegan Paul, Londin.
Ebarhard, Wolfram, 1965, Conquerors and Rulers; Social Forces in Medival China, Methuen, London.
Elegant, Robert S., 1963, The Centre of the World, Communism and The Mind of China, Methuen, London.
Fei, Hsao-Tung, 1939, Peasant Live in China: A File Study of Country Live in the Yangtze Valley, Kegan Paul, Trench, Trubner and co., London.
Fei, Hsao-Tung, and Chang Cih-I 1945, Earthbound in China: A study of Yunnan, Chicago University Press.
Feverwerker, Albert, 1958, China’s Industri Industrialization: Sheng Hsuan-huai (1844-1916) and Mandarin Enterprises, Harvard University Press, Cambridge.
___________, 1968, The Chinese Economy, 1912-1949, Michigan Papers dalam China Studies No.1, Center for Chinese Studies, University of Michigan, Ann Arbor.
Fred, Morton H., 1952, “Chinese Society: Class as subculture,” Transaction of the New York Academy of Sciences, ser.II, Volume 14, hlm. 331-336.
__________, 1953, Fabric of Chinese Society, A Study of the Social Life a Chinese County Seat, Preager, New York.
__________, 1964, “Ideology, Social Organization, and Economic Development in China: A Living Test of Theories,” in Robert A. Manners, ed., Process and Pattern in Culture, Essay in Honor of Julian H. Steward, Aldine Publishing Co., Chicago, hlm. 47-62.
Gamble, Sidney D., 1963, North China Villages, social, political, and economy activities before 1933, University of Carolina Press, Berkeley.
Hafheinz Jr., Roy Mark, 1966, The Peasant Movement and Rural Revolution: Chinese Communists in the Countryside (1923-7), Ph.D., Thesis, Departement of Government, Harvard Univesity.
Institute of Pacific Relations, 1939, Agrarian China, Selected Source Materials from Chinas Authors, George Allen and Unwin, London.
Isaacs, Harold R., The Tragedi of the Chinese Revolution, Atheneum, New York.
Israel, John, 1966, Student Nationalism in China 1927-1937, Standford University Press, Standford.
Karol, K. S., 1967, “Why the Cultural Revolution” Monthly Review, Volume 19, No. 4, hlm. 22-34.
Laai fi-faai, Franz Michael, and John C. Sherman, 1962, “The Use of Maps in Social Reseach: A Case Study in South China” The Geographical Review, Volume 52, No.1, hlm. 52-111.
Landis, Richard B., 1964, “The Origin of Whampoa Graduates Who Served in the Northern Expedition” dalam Robert K. Sakai, ed., Studies on Asia, University of Nebraska Press, Lincoln, Volume 55, hlm.149-163.
Lang, Olga, 1946, Chinese Family and Society, Yale University Press, New Haven.
Lattimore, Owen, and Eleanor Owen, 1944, “The Making of Modern China,” The Infantry Journal, Washington, D. C.
Levenson, Joseph R., 1964, Modern China and Its Confusians Past, Anchor Books, Doubleday and Co., Garden City, N.Y.
Lindbeck, J. M. H. 1967, “Transformation in The Chinese Communist Party,” dalam Donald W. Treadgold, Soviet and Chinese Comunism, Similarities and Differnces, University of Washington Press, Seattle hlm. 73-104.
Loh, Pichon P.Y., ed 1965, The Koumintang Debacle of 1949, Collaps or Conquest?, D. C. Heath and co., Boston.
McColl, Robert W., 1964, The Rise of Territorial Communism in China in 1921-1934: The Geographi Behind Politics, Ph.D. Thesis, Departement of Geography, University of Washington, Seattle.
__________, 1967, “the Oyuwian Soviet Area, 1927-1932,” Journal of Asian Studies, Volume 27, hlm. 41-60.
Mao Tse Tung, 1965, Selected Works, Volume 1, Foreign Language Press, Peking.
Michael, Franz, 1964, “State and society in Nineteenth-Century China,” dalam Albert Feuerwerker, ed., Modern China, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, N.J., hlm. 57-69.
__________, 1966, The Taiping Rebellion, History and Documents, Volume 1, University of Washington Press, Seattle.
Miyakazi, Ichisida, 1963, “The Reform of Wang An-Shih” dalam John Meskill, ed., Wang An-shih-Practical reformer? D. C. Heath and Co., Boston, hlm. 82-90.
Moise, Edwin, 1967, The Economic Basis of Chinese Communism, research paper written for Dr. Norma Diamond, Anthropology 458, Universuty of Michigan, typescript.
Murphey, Rhoads, 1962, “The City as a Centre of Change: Western Europe and China,” dalam Phillip L. Wagner and Marvin W. Mikesell, ed., Readings in Culture Geography, University of Chicago Press, Chicago, hlm. 330-341.
North, Robert C., dengan kolaborasi bersama Ithiel the Sola Pool, 1965, “Kuomintang and Chinese Communist Elites,” dalam Harrold D. Lasswell and Daniel Lerner, eds, World Revolutionary Elites, M.I.T. Press, Cambridge, hlm. 317-455.
Rowntree, Joshua, 1905, The Imperial Drug Trade, Methuen, London.
Rue, John E., 1966, Mao Tse-tung in Opposition, 1927-35, Stanford University Press, Standford.
Schurmann, Franz, 1966, Ideology and Organization in Communist China, University of Carolina Press, Berkeley and Los Angeles.
Shih, Vincent Y. C., 1967, The Taiping Ideology: Its sources, Interpretations, and Influences, University of Washington Press, Seattle.
Simedley, Agnes, 1956, The Great Road: The Life and Times of Chu Teh, Monthly Review Press, New York.
Snow, Edgar, 1938, Red Star Over China, Random House, New York.
Tawney, R. H., 1932, Land and Labour in China, George Allen and Unwin, London.
Tayler, J. B., 1928, Farm and Factory in China, apects of the Industrial Revolution, Student Christian Movement, London.
Wales, Nym, 1939, Inside Red China, Doubleday, Doran and Co., New York.
Vitfogel, Karl A., 1957, Oriental Despotism, Yale University Press, New Haven.

VIETNAM
Arnault, Jacques, 1966, Du colonialism au socialisme, Editions sociales, Paris.
Benda, Henry J., 1965, “Peasent Movement in Colonial Southeast Asia,” Asian Studies, volume 3, hlm. 420-434.
Bodard, Lucien, 1967, The Quicksand War, Prelude to Vietnam, Little, Brown and co., Boston.
Buttinger, Joseph, 1958, The Smaller Dragon, Preager, New York.
__________, 1967, Vietnam: A Dragon Embattled, Preager, New York.
Chesneaux, Jean, 1955a, Contribution a l’Histoire de la Nation Vietnamienne, Edition Sociales, Paris.
__________, 1955b, “Satges in the Development of the Vietnam National Movement 1862-1940,” Past and Present, No.7, hlm. 63-75.
__________, 1968, Le Vietnam, Maspero, Paris.
Devillers, Phillipe, 1962, “The Struggle for Unification of Vietnam,” China Quarterily, No.9, hlm.2-23.
Fall, Bernard B., 1955, The Political-Religious Sects of Viet-Nam,” Facific Affairs, Volume 28, hlm. 235-253.
__________, 1960, La Viet-Minh, La Republique Demoratique du Vietnam 1945-1960, Cahiers de la Foundation Nationale des Sciences Politiques, No. 106, Librarie Armand Colin, Paris.
__________, 1967, The Two Viet-Nams, A Political And Military Analisys, Preager, New York.
Fishel, Wesley R., 1965, “Vietnam Democratic One-Man Rule,” dalam Marvin E. Gettleman, ed., Viet Nam, Fawcett Publications, Greenwich, Conn, hlm. 195-204.
Henderson, William, 1968, “South Vietnam Finds Itself,” dalam Wesley Fishel, ed., Vietnam: Anatomy in a Conflict, Peacock Publisher, Itasca, Ill., pp181-194.
Hendry, James B., 1964, Village in Vietnam, Yale University Press, New Haven.
Hoang Van Chi, 1964, From Colonialism to Communism, A Case Story of North Vietnam, Preager, New York.
Jumper, Roy, dan Nguyen Thi Hue, 1962, Notes on the Political and Administrative History of Vie Nam 1802-1962, Michigan State University Vietnam Advisory Group, Saigon (mimeo.).
Kahin, George McT., dan John W. Lewis, 1967, The United Atates in Vietnam, Dial Press, New York.
Lacouture, Jean, 1965, Le Vietnam entre deoux paix, Editions du Seuil, Paris.
__________, 1968, Ho Chi Minh, A Political Biography, Random House, New York.
Le Chau, 1966a, Le Viet Nam socialiste, une economie transition, Maspero Paris.
__________, 1966b, La revolution paysenne du Sud Viet Nam, Cahiers Libres No. 88, Maspero, Paris.
Le Thanh Khoi, 1955, Le Viet-Nam, Histoire et Civilisation, Les Editions de Minuit, Paris.
Le Van Ho, 1962, ”Introduction a l’ethnologie du Dinh,” Revue du sudest asitique, No.2, hlm.85-122.
MCAlister, John T., 1966, The Origins of the Viatnmese Revolution, Ph.D. Thesis, Departmant of Political Science, Yale University, New Haven (available through University Microfilms, Ann Arbor, Michigan).
__________, 1967, ”Mountain Minorities and the Viet Minh: A Key to the Indochina War,” dalam Peter Kunstadter, ed., Southeast Asian Tribes, Minorities, and Nations, Princeton University Press, Princeton, Volume 2, hlm. 77-844.
Mecklin, John, 1965, Mission in Torment, Doubleday and co., Garden City, N.Y.
Mitchell, Edward J., 1967, Land Tenure and Rebelion: A Statistical Analysis Of Factors Affecting Government Control in South Vietnam, Memorandum RM-5181-ARPA Order No .189-1, June, Rand Corporation, Santa Monica, Calif.
Mus, Paul, 1952,Viet-Nam, Sociologie d’une Guerre, Editions du Seuil, Paris.
Nghiem Dang, 1966, Viet-Nam, Politics and Public Administration, East-West Center Press, Honolulu.
Nyugen Duy Trinh, 1962, “A Highlight of Movement,” dalam In the Enemy’s Net: Memoirs from the Revolution, Foreign Langage Publishing House, Hanoi, hlm. 9-42.
Nguyen Huu Khang, 1946, La Commune Annamite: Etude Hgistorique, Juridique et Economique, Libraire du Recueil Sirey, Paris.
Pike, Duglas, 1966, Viet Cong: The Organization and Technicques of the National Liberation Front of South Vietnam, M.I.T.Press, Cambrige.
Robequain, Charles, 1944, The Economic Development of French Indochina, Oxford University Press, New York.
Sack, I. Milton, 1959, “Marxism in Viet Nam”, dalam Frank N. Trager, ed., Marxism in Siutheast Asia, Stanford University Press, Standford,hlm.102-170.
Shaplen, Robert, 1966, The Lost Revolution: The United States in Vietnam, 1946-1966, Harper & Row, New York.
Special Operation Research Office, 1964, Case Studies in Insurgency and Revolutionary Warfare : Vietnam 1941-1954, American University, Washington,D.C.
Tanham, George K., 1961, Communist Revolutionary Warfare: The Vietminh in Indochina, Praeger, New York.
Thompson, Virginia, 1947, Labor Problems in Southeast Asia, Yale University Press, New Haven.

ALJAZAIR
Aron, Robert, Francois Lavagne, Janine Feller, dan Yvette Garnier Rizet, 1962, Les Origines de la Guerre d’Algerie, Fayard, Paris.
Bernard, Augustin, 1930, L’Algerie, dalam Gabriel Hanotaux and Alfred Martineau, ed., Histoire des Colonies Francaises et de L’Expansion de la France dans les Monde, Volume 2, Plon, Paris.
Berque, Jaques, 1956, “Vers une etude du comportement en Afrique du Nord,” Revue Africaine, No. 100, hlm. 523-536.
Bourdieu, Pierre, 1960, “Guerre et Mutation Sociale en Algerie,” Etudes Mediterraneennes, No.7, hlm. 25-37.
Boyer, Pierre, 1960, L’Evolution de Algerie Mediane (Aneien Departement d’Alger) de 1830 a 1956, Libraire d’Amerique et d’Orient, Adrien-Maisonneuve, Paris.
Bromberger,serge, 1958, Les Rebelles Algeriens, Plon, Paris.
Charnay, Jean-Paul, 1965, La Vie Musulmane en Algerie d’apres la jurisprudence de la premiere moitie du XX siecle, Presses Universitaires de FraNCE, Paris.
Daniel, Jean, 1962-63, “Echec Algerien ou desillusion francaise,” La Nef, Tahun 19, No.12-13, Nomor Khusus, hlm.125-138.
Delisle, Rene, 1962-63, “Les Origines du F.L.N.,” La Nef, Tahun 19, No.12-13, Nomor Khusus, hlm. 19-32.
Fall, Bernard B., 1967, The Two Viet-Nams, Paeger, New York.
Fanon, Frantz, 1963, The Damned, Presence Africaine, Paris.
Favret, Jeane, 1967, “Le tradionalisme par exes de modernite ,” Archives Europeennes de Sociologie, Volume 8, hlm. 71-93 .
Favrod, Charles-Henri, 1962, La F.L.N. et l’Algerie, Plon, Paris.
Gellner, Ernest, 1963, “Saint of the Atlas,” dalam Julian Pitt-Puvers, ed., Mediterranean Countrymen, Mouton, The Hague, hlm.145-157.
Gordon, David C., 1966, The passing of French Algeria, Oxford University Press, New York.
Humbaraci, Arslan, 1966, Algeria: A Revolution That Failed, Praeger, New York.
Julien, Charles-Andre, 1947, “Bugeaud”, dalam Charles-Andre Julien, ed., Les Techniciens de la Colonisation (XIX-XX siecles), Presses Universitaires de France, Paeis, hlm. 55-74.
Lacheraf, Mostafa, 1965, L’Algerie: nation et societe, Maspero, Paris.
Launay, Michel, 1963, Paysans Algeriens: La Terre, La Vigne et les Hommes, Editions du Seuil, Paris.
Luethy, Herbert, 1957, France Againts Herself, Meridian Books, New York.
Mrizot, Jean, 1962, L’Algerie Kabylisee, Cahiers de l’Afrique et l’Asie, Volume 6, Peyronnet, Paris.
Murray, Roger, dan Tom Wengraf, 1963, “The Algerian Revolution,” New Left Revuew, No.22 , hlm. 14-65.
Nouschi, Andre, 1961, Enquete sur le niveau de vie des populations rurales Constantinoises de la conquete jusqu’en 1919: Essai d’histoire economique et sociale, Presses Universitaires de France, Paris.
__________, 1962, La Naissance du Nationalisme Algerien, Les Editions de Minuit, Paris.
Ouzegane, Amar, 1962, Le Milleur combat, Rene Juillard, Paris.
Soustelle, Jaques, 1956, Aimee et Souffrante Algerie, Plon, Paris.
Tillion, Germaine, 1961, France and Algeria: Complementary Enemies, Knopf, New York.
Yacono, Xavier, 1955, La colonisation des Plaines du Chelif (De Lavegerie au confluent de la Mina), 2 volume, Universite de Paris Faculte des Letters, Impremerie E. Imbert, Alger.

KUBA
Alvares Diaz, Jose A., ed., 1965, A Study on Cuba, University of Miami Press, Coral Gables.
Arnault, Jaques, 1966, Du colonialisme au socialisme, Editions sociales, Paris.
Blackburn, Robin, 1963, “Prologue to the Cuban Revolution,” New Left Review, No. 21, hlm. 52-91.
Blanksten, George I., 1962, ”Fidel Castro and Latin America,” dalam Morton A. Kaplan, ed., The Revolution in World Politics, Wiley & Sons, New York,hlm.113-136.
Carvajal, Juan F., 1950, “Observaciones sobre la clase media en Cuba,” dalam Theo R. Crevena, ed., Mateariales para el estudio de la clase media en la Amerika Latina, Voume 2, Departamento de Asuntos Culturales, Union Panamericana, Washington, D.C., hlm. 31-44.
Coser, Lewis, 1956, The Functipons of Social Confict, Free Press, Glencoe, Ill.
Draper, Theodore, 1965, Castroism: Theory and Practice, Praeger, New York.
Economic and Technical Mission oaf the International Bank for Reconstruction and Development, 1951, Report on Cuba, Johns Hopkins Press, Baltimore.
Gil, Federico G., 1962, “Antecedents of the Cuban Revolution,” The Centennial Review of Arts and Science, Volume 6, hlm. 373-393.
__________, 1966, “Cuban Politics and Political Parties: 1933-1953,” dalam Robert F.Smith, ed., Background to Revolution: The Development of Modern Cuba, Knopf, New York, hlm. 149-156.
Goldenberg, Boris, 1965, The Cuban Revolution and Latin America, Pareger, New York.
Guerra y Sanchez, Ramiro, 1964, Sugar and Society in the Caribbean: An Economic History of Cuban Agriculture, Yale University Press, New Haven.
Guevara, Ernesto “Che”, 1968a, Reminiscences of the Cuban Revolutionary War, Monthly Review Press, New York dan London.
__________, 1968b, Che Guevara Speaks: Selected Speeches and Writings, Grove Press, New York.
Harbron, John D., 1965, “The Dilemma of an Elite Group: The Industrialist in Latin America,” Inter-American Economic Affairs, Volume 19, hlm. 43-62.
Hennessy, C.A.M., 1966, “The Roots of Cuban Nationalism,” dalam Robert F. Smith, ed., Background to Revolution: The Developoment of Modern Cuba, Knopf, New York, hlm. 19-29.
Klein, Herbert S., 1967, Slavery in Americas: A Comparative Study of Virginia and Cuba, University of Chicago Press, Chicago.
Lopez Valdes, Rafael L., 1966, “La Sociedad Secreta ‘Abacua en un grupo de obreros portuarios,” Etnologia y Folklore (La Habana), No. 2, hlm. 5-26.
MacGaffey, Wyatt, dan Clifford R. Barnet, 1962, Cuba: Its People, Its Society, Its Culture, Prepared under the auspices of the American University (survey of world cultures, 10).
Mintz, Sidney W., 1964, “Foreword,” dalam Ramiro Guerra y Sanchez, Sugar and Society in the Caribbean: An Economic History of Cuban Agriculture, Yale University Press, New Haven, hlm.xi-xliv.
Nelson, Lowry, 1966, “The social Cl,ass Structure,” dalam Robert F. Smith, ed., Background to Revolution: The Development of Modern Cuba, Knopf, New York, hlm. 195-200.
O’Connor, James, 1964a, “On Cuban Political Economi,” Political Science Quartterly, Volume 79, hlm. 233-247.
__________, 1964b, “The Foundations of Cuban Socialism,” Studies on the Left, Volume 4, hlm. 97-117.
Ortiz, Fernando, !947, Cuban Counterpoint : Tobacco and Sugar, Knopf, New York.
Portell Vila, Herminio, 1966, “The Nationalism of Cuban Intellectuals,” dalam Robert F. Smith, ed., Background to Revolution: The Development Of Modern Cuba, Knopf, New York, hlm. 68-73.
Raggi Ageo, Carlos Manuel, 1950, “Contribucion al estudio de las clases medias in Cuba,” dalam Theo R. Crevenna, ed., Materiales para el estudio de la clase media en la America Latina, Dept. of Cultural Affairs, Panamerican Union, Washington, D.C., Volume 2, hlm. 73-89.
Seers, Dudley, ed., 1964, Cuba: The Economic and Social Revolution, University of North Carolina Press, Chapel Hill.
Smith, Robert F., ed., 1966, Background to Revolution: The Develovement of Modern Cuba, Knopf, New York.
Stokes, William S., 1953, “National and Local Violence in Cuban Politics,” Southwestern Social Science Quarterly, Volume 34, hlm. 57-63.
Suarez, Andres, 1967, Cuba: Castroism and Communism, 1959-1966, M.I.T. Press, Cambridge.
Villarejo, Donald, 1960, “American Investment in Cuba”, New University Thought, Volume 1, hlm. 79-88.
Wallich, H.C., 1950, Monetery Problem of an Export Economy, Harvard University, Cambridge.
Williams, William A., 1966, “The Influence of the United States on the Development of Modern Cuba”, dalam Robert F. Smith, ed., Background to Revolution, The Development of Modern Cuba, Knopf, New York, hlm. 187-194.
Zeitlin, Mauricie, 1967, Revolutionery Politics and The Cuban Working Class, Princton University Press, Princton, N.J.
Zeitlin, Mauricie, and Robert Scheer, 1963, Cuba: Tragedy of Our Hemisphere, Grove Press, New York.

KESIMPULAN
Adams, Richard N., 1966, “Power and Power Domains,” America Latina, Tahun 9, hlm. 3-21.
Alavi, Hamza, 1965, “Peasant and Revolution,” dalam Ralph Millband dan John Saville, ed., The Socialist Register, Merlin Press, London, hlm. 241-277.
Ayres, C. E. 1944, The Theory of Economc Progress, Univesity of North Carolina Press, Chapel Hill.
Fei, Hsiao-Tung, 1939, Peasent Life in China, A Field Study of Country Life in the Yangtze Valley, Kegan Paul Trench, Trubner and co., London.
Fried, Morton H., 1953, Fabric of Chinese Society: A Study of the Social Life of a Chinese County Seat, Preager, New York.
Heilbroner, Robert L., 1962, The Making of Economic Society, Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J.
Hindley, Donald, 1965, “Political Conflict Potential, Politicization, and the Peasantry in Underdeveloped Countrcies,” Asian Studies, Volume3, hlm. 470-489.
Lipton, Michael, 1968, “The Theory of The Optimising Peasent,” Journal of Development Studies, Volume 4, hlm. 327-351.
Lowenthal, Richard, 1967, “Soviet and Chinese Comunist World Views,” dalam Donald W. Treadgold, ed., Soviet and Chinese Communism, University of Washington Press, Seattle, hlm. 374-404.
Moore, Barrington, Jr., 1966, Social Origins of Dictatorships and Democracy, Lord and Peasant in the Making of the Modern World, Bacon Press, Boston.
Polanyi, Karl, 1957, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, Beacon Press, Boston.
Sarkisyanz, Emanuel, 1955, Russland und der Missianismus des Orientes, J.C.B. Mohr, Tubingen.
Schram, Stuart, 1967, Mao Tse-tung, Penguin Books, Baltmore.
Schils, Edward, 1962, “The Intelectuals in the Political Development of the New States,” dalam John H. Kautsky, ed., Political Change in Underdeveloped Countries, Wiley & Sons, New York, hlm. 195-234.
Wilson, Godfrey, dan Monica Wilson, 1945, The Analysis of Social Change, Cambridge University Press, Cambridge.