"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Toi Katu I'behoa Kakau

Orang Katu kerap menjadi korban dari berbagai kambing hitam. Dituding sebagai peladang berpindah dalam konotasi negatif (UNDP/FAO, 1977, World Wildlife Fund, 1981), pemasok hasil hutan (rotan) secara illegal (Lamangkona, 1998,Wibowo, 1997). Seperti daerah-daerah dataran tinggi lainnya di Indonesia yang secara negatif dikaitkan dengan keterbelakangan, kebodohan kemiskinan, ketidakaturan, keras kepala dalam menolak kehidupan yang disebut ‘normal’ (Murray Li, 1999:2), Orang Katu juga sering mendapatkan perlakuan dan stereo type yang sama.

Jika menggunakan cara pandang yang lain, Orang Katu adalah sebuah contoh mengenai kemampuan masyarakat sendiri dalam mengelola sumber daya agraria, yang berlandaskan pada alasan-alasan ekonomi, budaya, hukum, ekologi, bahkan politik mereka sendiri. Berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun kemampuan ini berkembang dan dipertahankan di tengah-tengah pengaruh kuat kekuatan yang datang dari luar kemampuan mereka.

Pemahaman terhadap Orang Katu mesti dimulai dengan mengenali beberapa aspek seluk-beluk kemampuan mereka di dalam pengelolaan sumber daya agraria. Aspek-aspek itu antara lain tercermin pada sistem land tenure dan pola-pola penggunaan sumber daya agraria (pertanian dan pemanfaatan hasil hutan). Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respon mereka terhadap ancaman-ancaman yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya agraria.

Menurut Wiradi (1984:290) land tenure memperoleh arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah-masalah yang pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, pacht, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk kepada pendekatan juridis. Artinya, penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

Dalam analisa tenurial aspek penting yang diperhatikan adalah pemilikan dan penguasaan yang berbasis public dan private. Public adalah label legal yang digunakan untuk pemilikan dan penguasaan oleh pemerintah atau negara. Sedangkan private berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh entitas non-negara, baik individu maupun sebagai kelompok. Dalam analisa tenurial, terdapat kemungkinan 4 (empat) kombinasi ; private indivual ; private communal ; public individual ; public communal (Lynch & Janis, 1994).

Dalam kontek politik agraria di Indonesia, analisa tenurial sangat berguna untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara pemerintah (negara) dan masyarakat dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria. Dengan analisa ini akan bisa dilihat bagaimana pemerintah dan masyarakat memberikan lebel terhadap pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria, dan implikasi yang ditimbulkan dari pelebelan itu. Diskursus mengenai “tanah negara” atau “hutan negara” dan “tanah adat” atau “hutan adat”, sebenarnya merupakan contoh betapa kompleknya hubungan negara dan masyarakat dalam pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria.

Kecuali menggunakan analisa tenurial, maka untuk memahami Orang Katu secara lebih baik mesti dilakukan dengan mengerti sistem perladangan mereka Karena perladangan merupakan bagian penting dari siklus kehidupan Orang Katu. Seperti dikatakan Dove (1988:1) tanpa mengenal sistem perladangan, kita tidak akan mengenal sebagian besar penduduk dan sumber daya di Indonesia.

Meskipun banyak pendapat yang menyatakan perladangan dalam konotasi yang negatif, antara lain, misalnya dijalankan di tanah tropis yang gersang ; tidak adanya konsep pemilikan tanah pribadi ; penggundulan dan ersoi tanah yang serius (lihat Geertz, 1983:15). Tetapi, disini akan menguraikan gambaran yang berbeda dari sistem perladangan Orang Katu dan kekuatan-kekuatan yang mereka punyai dalam sistem itu.

Selain mengerti sistem perladangan, aspek penting lain yang tidak kalah pentingnya adalah memahami hubungan antara Orang Katu dengan hutan. Orang Katu dan hutan di sekeliling mereka mempunyai hubungan kesejarahan yang panjang. Hubungan-hubungan itu tercermin pada pola pengelolaan sumber daya alam (hutan) atas dasar kepentingan Orang Katu. Fakta hutan yang terjaga sebelum adanya penetapan kawasan yang dilindungi oleh pemerintah memperlihatkan bahwa dari sudut Orang Katu, tidak ada praktik destruktif dalam pengelolaan sumber daya hutan. Orang Katu adalah tulang punggung dari kelestarian sumber daya hutan di sekitar mereka.

Pengalaman Orang Katu merupakan salah satu contoh dari pandangan ekologi sosial, yang menganggap penjaga terbaik hutan tropik adalah masyarakat di sekitar hutan mereka sendiri (lihat Gray, 1991). Sebagai paralelnya adalah pandangan ekopopulis yang menghargai pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat di sekita hutan (lihat Dietz, 1996). Pandangan-pandangan ini meyakini bahwa masyarakat di sekitar hutan memiliki pola-pola hubungan dengan sumber daya alam di sekitarnya, yang sama sekali tidak merusak lingkungan. Karenanya, mereka harus diakui eksistensinya untuk melangsungkan kehidupannya di sekitar hutan-hutan mereka.

Sebaliknya, selama ini stigma yang kerap ditimpakan kepada Orang Katu sebagai perusak hutan sebenarnya berakar pada pandangan-pandangan konservasionis klasik (lihat Gray, 1991), yang pada dasarnya menutup pintu masuk bagi masyarakat terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi. Atau pandangan lain yang berakar pada eko-fascisme, yang melihat konservasi lingkungan sebagai hal yang penting dibanding kehidupan rakyat miskin (lihat Dietz, 1996). Pandangan-pandangan semacam ini tercermin pada aturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan yang dilindungi,seperti taman nasional. UU No/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya secara tegas tidak memperkenalkan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam di kawasan itu.