"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Minggu, 25 Desember 2011

Pengantar Marxisme Althusser


Oleh: Martin Suryajaya

Harry Cleaver, dalam Reading Capital Politically, menyatakan bahwa proyek pemikiran Althusser adalah “rekonstruksi atas dogmatisme usang” dan karenanya Althusser ditempatkan dalam kategori “Ortodoksi Baru”.1 Bagi kita yang membaca sejarah secara terbalik—yakni membaca dari teori-teori trendi masa kini untuk lalu membaca ke belakang, ke sumber teori-teori tersebut—intuisi yang pertama kali muncul adalah kebingungan. Bagaimana bisa Althusser, sang Bapak Marxisme Prancis kontemporer yang pengaruhnya beranak-pinak hingga pemikir yang sering dikutip seperti Žîžek, Badiou, Ranciere, Laclau-Mouffe, bagaimana bisa orang seperti itu diklasifikasikan sebagai Ortodoksi Baru? Bukankah, misalnya, post-Marxism nya Laclau dan Mouffe amatlah jauh dari kesan yang ditimbulkan dari ungkapan “ortodoksi”? Lantas apa yang ortodoks dari seorang pemikir yang memungkinkan lahirnya sejumlah keragaman tradisi teoritik? Tak ada jawaban untuk pertanyaan ini selama kita tidak mempelajari sejarah ide Marxisme di Prancis yang melatar-belakangi kemunculan Althusser dan Althusserianisme. Tulisan singkat ini adalah pengantar umum tentang Marxisme khas Althusser.


1. KONTEKS NASIONAL-INTERNASIONAL KEMUNCULAN ALTHUSSER2

1.1. Sejarah Perkembangan Marxisme di Prancis pada Paruh Pertama Abad ke-20
Walaupun wacana Marxisme di Prancis memiliki sejarahnya yang panjang3, dari segi akademik Marxisme selalu menempati posisi pinggiran sampai dekade 30-an abad yang lalu. Konservatisme yang kuat di Sorbonne—sebagai pemegang kedudukan kehormatan dari sistem pendidikan tinggi di Prancis—menghalangi penetrasi Marxisme ke dalam kampus-kampus Prancis pada umumnya. “Cangkang mistis” ini dipatahkan oleh disertasi dari Sorbonne yang ditulis oleh seorang akademisi Marxis yang namanya menjadi termashyur semenjak itu, August Cornu, di tahun 1934.4 Sikap pada umumnya yang dinyatakan oleh para Marxis pada masa ketika Marxisme belum memiliki posisi kuat di universitas tercermin dalam ungkapan Paul Nizan di tahun 1932 dalam Les Chiens de garde (Anjing-Anjing Penjaga) tentang apa yang dibutuhkan oleh filsafat Prancis hari itu: “ini bukan soal penemuan, suatu kreasi yang luar biasa, melainkan soal pengerahan [sic!] filsafat Marx dan Lenin.”5 Ini sesuai juga dengan temperatur politik ketika itu, yakni perlawanan atas rezim fasis Franco di Spanyol. Perubahan atmosfer zaman dari sikap kaum intelektual Marxis ini—perubahan yang mengantarkannya kepada pendalaman dimensi teoretik dari Marxisme—didukung juga oleh naiknya Maurice Thorez sebagai sekjen Partai Komunis Prancis (PCF) di tahun 1930. Sekjen yang baru ini sangat menekankan pendalaman teoritik atas kajian Marxisme di Prancis. Melaluinya dimulailah inisiatif untuk mengembangkan publikasi teoretik, kuliah-kuliah umum dan pembentukan kelompok-kelompok studi yang disponsori oleh Partai.6
Tak dapat dilupakan adalah peran yang dipegang oleh kuliah-kuliah Alexandre Kojève tentang Hegel selama 1933-1939 di Êcole des Hautes Êtudes. Kuliah-kuliah ini penting dalam dua aspek. Pertama, dari segi peserta, di sana nampak sederet nama intelektual Prancis ternama seperti Georges Bataille, Jacques Lacan, André Breton, Raymond Aron, Merleau-Ponty, Emmanuel Levinas dan intelektual PCF seperti Jean Desanti. Artinya, kita tak bisa mengabaikan pengaruh kultural dari kuliah-kuliah itu. Kedua, dari segi materi presentasi, kuliah ini menjadi penting bagi resepsi Prancis terhadap ide-ide Marxis karena Kojève hendak menunjukkan, secara implisit, bahwa Marxisme adalah konsekuensi logis dari Hegelianisme, atau dari segala filsafat. Bagi Kojève, sejarah dimulai ketika terjadi pertarungan pertama antar kesadaran-diri yang memunculkan Tuan-budak, dan sejarah berakhir pada momen ketika oposisi antara Tuan-budak menghilang.7 Meleburnya dikotomi Tuan-budak ke dalam sintesis akan menghasilkan Manusia secara menyeluruh dan menyatu. Peleburan semacam itu mengandaikan adanya suatu wadah yang disebut Kojève sebagai “Negara homogen-universal” (the universal and homogenous State).8 Universal artinya Negara itu tak dapat diperluas lagi (nonexpandible); homogen artinya Negara itu tak dapat dirombak atau terfragmentasi lagi (nontransformable).9 Warganegara yang satu tak bersifat eksternal dari yang lain; tak ada eksternalitas absolut, semuanya berada di dalam. Namun, mengikuti logika Hegelian, jika Negara mencakup segala-galanya dan tak ada lagi yang bukan merupakan bagian dari Negara itu, maka apakah Negara tersebut masih bisa disebut sebagai “Negara”? Mungkinkah ada Negara yang masih mungkin sebagai Negara ketika ia tidak dibatasi oleh Negara yang lain? Dengan kata lain, Negara universal-homogen itu pada akhirnya tak dapat dibedakan dari non-Negara yang universal-homogen. Kojève juga menyatakan bahwa dalam Negara macam itu, tak ada lagi pertentangan antara Tuan-budak, tak ada lagi yang terasing satu sama lain. Dengan demikian, (non-)Negara universal-homogen yang merekonsiliasikan pertentangan kelas dan keterasingan manusia ini tak lain daripada tatanan komunis dunia. Kojève seolah mengantarkan pembacanya, via Hegel, tepat pada jantung Marxisme-Leninisme. Kesimpulan implisit dari kuliah Kojève inilah yang membuatnya penting dalam setiap penelitian tentang akar-akar Marxisme kontemporer di Prancis.
Perkembangan wacana Marxisme ini terhenti secara institusional oleh pendudukan Jerman-Nazi dan pembentukan rezim-boneka Vichy di Prancis. Pada bulan September 1939, PCF dibubarkan dan seluruh aktivitasnya dinyatakan ilegal. Pada titik ini, para intelektual Marxis mengambil jalan bersenjata dengan masuk mengorganisir perlawanan anti-fasis dalam wadah Résistance. Sederet inteektual Marxis yang gugur dalam perlawanan anti-fasis itu adalah, untuk menyebut di antaranya, Georges Politzer, Paul Nizan, Jacques Decour dan Jacques Solomon. Namun kematian sederet intelektual tersebut tidak terjadi dengan sia-sia. Pada momen Pembebasan Paris di tahun 1945 dan sesudahnya, Marxisme mendapatkan angin segar di Prancis. Saat itu, Marxisme dipandang sebagai ideologi pembebasan di kalangan orang Prancis pada umumnya yang telah selamat dari penindasan rezim Nazi berkat kepemimpinan militan sejumlah besar Marxis di dalam Resistance. Namun, seperti dicatat Michael Kelly dalam surveinya tentang perkembangan Marxisme di Prancis, euforia pasca-Pembebasan yang menempatkan Marxisme di atas angin ini tidak segera direspon oleh PCF dengan upaya pendalaman teoretik di kalangan para kader dan simpatisannya.10 Satu-satunya upaya kolektif para intelektual Marxis yang dapat dicatat dalam jangka waktu itu adalah rencana pembuatan sebuah “ensiklopedia dialektis” yang meneruskan Ensiklopedia yang dibuat Diderot dan kawan-kawan di masa Pencerahan. Ensiklopedia baru ini diproyeksikan akan merangkum seluruh ilmu pengetahuan dalam kerangka dialektika materialis. Namun pengerjaan proyek besar ini tidak dibarengi dengan edukasi massal tentang Marxisme yang jauh lebih dibutuhkan oleh PCF secara strategis pada masa itu, melihat antusiasme publik terhadap Marxisme yang terejawantah dalam semangat gerilya Resistance. Akibatnya, ketika “bulan madu politik” pasca-Pembebasan yang terjalin di antara berbagai pandangan politik disudahi dengan munculnya Perang Dingin, PCF tidak berhasil melakukan perekrutan massal yang semestinya mampu ia lakukan. Konkritnya, PCF tak bisa melakukan apa-apa ketika, pada tanggal 5 Mei 1947, orang-orang komunis mulai dibersihkan dari pemerintahan koalisi Prancis. Dan pembersihan ini terjadi serentak pula, hanya dalam jangka waktu beberapa hari, di Finlandia dan Italia. Perang Dingin telah mulai merebak. Pada titik inilah pula, proyek ensiklopedia dialektis itu ditinggalkan dengan alasan problem pendanaan dan juga hilangnya momentum strategis dari penerbitan ensiklopedia itu di hadapan isu-isu lain yang lebih mendesak.

2. Problem Ideologis dalam Tubuh Partai Komunis Prancis di awal Tahun 60-an
Pada akhir tahun 50-an ada angin besar yang menerpa PCF dan memaksanya mengubah haluan strategisnya: angin de-Stalinisasi. Semuanya bermula dari Moskow di tahun 1956, dalam keputusan kontroversial Kongres ke-20 CPSU. Dalam kongres yang digelar setelah wafatnya Stalin tersebut, Khrushchev berpidato di mimbar tentang bagaimana Stalin dan warisan politik Stalinisme telah “melanggar legalitas sosialis” dengan menguatnya “kultus atas kepribadian” Stalin. Dalam kerangka de-Stalinisasi inilah Soviet mengusulkan kepada gerakan-gerakan progresif di seluruh dunia untuk mengadopsi jalan demokratis dalam pemenangan kekuasaan, yakni jalan elektoral. Tidak hanya itu. Pembacaan yang baru atas tradisi Marxisme-Leninisme pun kian menguat, yakni pembacaan atas Marxisme sebagai suatu humanisme universal. Ini tercermin dalam pernyataan Kongres ke-22 CPSU yang menyatakan bahwa Uni Soviet adalah “negara seluruh umat manusia” yang diresapi oleh ideologi Marxisme sebagai ideologi yang mengutamakan “segalanya di dalam nama manusia” (everything in the name of man).11 Garis baru inilah yang diadopsi oleh PCF. Demi pemenangan pemilu inilah, lantas PCF mencari-cari apa kesamaan di antara komunisme dan pemikiran sosial-demokrat beserta Katolik—sebagai agama mayoritas orang Prancis. Ditemukanlah bahwa kesamaan itu terletak pada humanisme yang dianut oleh semuanya. Dikatakan oleh seorang peneliti filsafat Althusser tentang sikap PCF pada masa itu:

Kebutuhan untuk memenangkan suara kaum sosial-demokrat dan Katolik, dimaksudkan [oleh PCF] agar mengatur perubahan doktrinal dan organisasional. Adalah penting, khususnya, untuk menekankan kesamaan di antara pemikiran Marxis dan pemikiran progresif non-Marxis, untuk mengadvokasi transisi damai, gradual, parlementer, menuju sosialisme, dan menyingkirkan rintangan birokratis yang masih mengikat para pemikir dan seniman Komunis. Politik tangan terbuka [ini] […] menemukan penerjemahan spontannya dalam bahasa humanisme dan evolusionisme. ‘Kesatuan aksi dengan para pekerja Katolik,’ kata salah satu pemimpin partisan Komunis, Gilbert Mury, ‘adalah momen yang penting dalam perjuangan kita menuju demokrasi dan sosialisme; ini berarti humanisme Kristiani tidak sepenuhnya asing bagi kita [sic!]’12
Dampak langsung “Reformasi Khrushchev” bagi PCF adalah ini: dalam jangka pendek, bangkitnya tradisi elektoral dalam Partai Komunis Prancis (dan partai-partai di luar Prancis yang tunduk pada ideologi Western Marxism secara umum) dan, dalam jangka panjang, menjadi semakin moderatnya PCF sebagai efek dari kompromi intensif (baik di tataran ideologi maupun strategi-taktik) dengan borjuasi dan sosialis-kanan (kelompok sosial-demokrat) dan dengan sisa-sisa dari elemen feodal (Katolisisme). Efek jangka panjang ini terbukti destruktif terhadap Partai. Buktinya adalah impotennya Partai menanggapi Revolusi Mei ’68—dengan justru berjabat-tangan dengan rezim De Gaulle— yang digerakkan oleh mahasiswa dan buruh yang mengakibatkan kekecewaan mendalam bagi segenap intelektual muda Marxis (dari generasi pasca-Althusser) terhadap PCF.
Inilah konteks historiko-ideologis dari munculnya Althusser. Baginya, tesis bahwa Marxisme adalah humanisme merupakan sebuah contradictio in terminis. Tesis itu berarti mencampur-adukkan Marxisme dan Hegelianisme. Padahal Hegelianisme adalah puncak filsafat borjuis—sesuatu yang seharusnya justru sudah dipatahkan oleh Marx. Oleh karena itu, Marxisme mesti diceraikan dari humanisme borjuis yang memandang manusia sebagai “sumber segala kesejahteraan alam material”13, sebagai ia yang merealisasikan-dirinya dalam proses menghasilkan komoditas. Tujuan politik yang hendak disasar oleh Althusser di sini jelas: kritik atas de-Stalinisasi. PCF tentu saja merasa terancam dengan retorika teoretik Althusser di saat dirinya tengah menikmati “bulan-madu ideologis” (dalam label humanisme transendental) dengan borjuasi. Keterancaman PCF ini juga memiliki latar belakang historis yang lain. Latar belakang itu adalah bahaya “sektarianisme” Beijing.
Cina, di bawah Mao, adalah negara sosialis yang menentang keras keputusan Kongres ke-20 CPSU. Inilah yang tercermin dalam, misalnya, editorial koran Harian Rakyat (Renmin Ribao) danBendera Merah (Honqi) pada tanggal 6 September 1963. Di sana dinyatakan dengan jelas:

Kongres ke-20 CPSU adalah langkah pertama yang diambil oleh kepemimpinan CPSU dalam jalan revisionisme. Sejak Kongres ke-20 hingga sekarang, garis revisionis dalam kepemimpinan CPSU telah melalui proses kemunculan, formasi, pertumbuhan dan sistematisasi. Dan melalui proses gradual pula rakyat telah menyadari lebih mendalam lagi garis revisionis dari kepemimpinan CPSU. […]

Kritisisme atas Stalin dalam Kongres ke-20 CPSU adalah keliru baik dalam prinsip maupun metode. […]
Adalah perlu untuk mengkritik kekeliruan Stalin. Namun dalam laporan rahasianya kepada Kongres ke-20, Kamerad Khrushchev sepenuhnya menegasi Stalin, dan dengan itu mengolok-olok kediktatoran proletariat, mengolok-olok sistem sosialis, CPSU yang besar, Uni Soviet yang akbar dan gerakan komunis internasional.14

Sino-Soviet split inilah yang menjadi konteks kekhawatiran PCF dalam memandang perkembangan pemikiran kadernya, Louis Althusser. Untuk itulah pada tahun 1963, Althusser disidang secara teoretik oleh Partai untuk dicek apakah ia menyembunyikan aspirasi Maois.15Namun Althusser lolos dari dakwaan teoretik yang diajukan, walaupun PCF tetap tidak mempedulikan seruan teoretiknya tentang bahaya aliansi antara Marxisme dan humanisme serta “anti-humanisme teoretik” yang diusungnya. Menanggapi seruan “anti-humanisme” Althusser itu, Sekjen Partai, Waldeck Rochet menyatakan: “Tak ada pertanyaan tentang itu, kita berniat untuk berjuang bagi humanisme yang sekonsisten mungkin.”16 Untuk menanggulangi bahaya Althusser dan Althusserianisme, PCF segera menugaskan Biro Politiknya untuk mengatur sebuah debat teoretik tentang “anti-humanisme” Althusser yang diproyeksikan akan menjadi ajang untuk menghabisi secara teoretik pembacaan Marxis yang ditawarkan Althusser. Debat ini kemudian direalisasikan oleh Biro Politik dalam media bulanan Partai, Kritik Baru (Nouvelle Critique), pada awal tahun 1965. Di sana Althusser berdebat dengan serangan bertubi-tubi dari sederet intelektual Partai yang lain seperti Jorge Semprun dan Roger Garaudy. Namun efeknya tidak seperti yang diharapkan. Althusser justru berhasil memperkuat pengikut-pengikut mudanya melalui kuliah-kuliahnya, seperti Etienne Balibar, Jacques Rancière muda, Alain Badiou dan Pierre Macherey. Adalah di kalangan para muridnya inilah “bahaya kuning” yang ditakuti PCF muncul, yakni dengan banyaknya jumlah murid Althusser yang secara terbuka memproklamirkan-diri sebagai Maois seperti misalnya Alain Badiou dan organisasinya, Kesatuan Komunis Muda Prancis Marxis-Leninis (Union des jeunesses communistes de France marxistes-léninistes).

Atas dasar konteks historis inilah kita mesti memahami pemikiran Althusser yang akan kita uraikan berikut ini.


2. KONTRIBUSI ALTHUSSER TERHADAP MARXISME

2.1. Pembabakan Tahap Pemikiran Marx
Salah satu kontribusi Althusser yang paling dikenal adalah pembabakannya atas pemikiran Marx ke dalam tahap “Marx muda” dan “Marx matang”. Sesungguhnya pembabakan yang dibuat Althusser tidaklah sesederhana dikotomi di muka. Namun, sebelum melihat detail pembabakan itu, kita mesti memeriksa terlebih dahulu prinsip pembabakan itu sendiri. Bagi Althusser, prinsip pembabakan ini terletak dalam sebuah pertanyaan krusial: Apa problemnya? Dengan kata lain, apabila Marx menawarkan kepada kita sebuah gugus pengetahuan yang baru, lantas apa problem yang hendak dijawab olehnya, sebuah problem yang secara spesifik dipermasalahkannya (dan tidak dipermasalahkan oleh para pemikir sebelumnya)? Bagi Althusser, pendirian sebuah gugus pengetahuan yang baru mengandaikan adanya cara mengajukan pertanyaan yang baru pula, atau kerangka problem yang sepenuhnya berbeda dari kerangka problem yang diusung oleh gugus pengetahuan yang lama. Agar teori Marx dapat dikatakan sebuah teori yang baru, maka kita harus dapat membuktikan kebaruan itu melalui investigasi tentang apakah problem spesifikyang dipersoalkan oleh Marx. Dalam kerangka inilah Althusser berbicara tentang “patahan epistemologis” (coupure epistémologique)—sebuah kategori yang dipinjamnya dari filsuf epistemologi, Gaston Bachelard.17 Patahan epistemologis atau patahan pengetahuan adalah kondisi yang disyaratkan oleh kemunculan setiap pengetahuan baru. Suatu pengetahuan dikatakan baru apabila ia berhasil merumuskan problemnya sendiri terlepas dari perumusan problem oleh pengetahuan sebelumnya. Begitu problem yang hendak dijawab berubah, maka terjadilah patahan epistemologis. Inilah yang akan kita saksikan dalam pembabakan Althusser atas tahap pemikiran Marx.
Althusser memang membagi sejarah pemikiran Marx ke dalam dua periode utama: periode “ideologis” pra-1845 dan periode “saintifik” pasca-1845.18 Kita perlu mengklarifikasi arti term-term yang dipakai Althusser itu. Term “ideologi” mengacu pada superstruktur yang dibicarakan Marx dalam pandangan materialisnya tentang sejarah. Term ini digunakan Althusser untuk menunjukkan periode ketika Marx masih berkubang dalam medan problematik Idealisme Jerman yang menjadi konteks sejarahnya. Dengan kata lain, dalam periode ini pemikiran Marx masih bercampur dengan ideologi pada masa itu. Term “saintifik” digunakan Althusser untuk menunjukkan periode ketika Marx telah berhasil merumuskan problem spesifiknya sendiri lepas dari horizon problematik Idealisme Jerman yang ideologis. Dengan kata lain, periode saintifik ini adalah masa di mana Marx telah berhasil merumuskan sains tentang sejarah atau materialisme historis yang menyatakan bahwa bukan ideologi (ide, agama, norma, dst.) yang menentukan sejarah melainkan kontradiksi pada modus produksi.
Pentahapan ini lalu dirinci ke dalam empat tahap. Berikut adalah bentuk skematik dari empat tahap tersebut:19
I. 1840-1844 : Karya Awal
II. 1845 : Karya Patahan
III. 1845-1857 : Karya Transisional
IV. 1857-1883 : Karya Matang
Kita akan memeriksa detail pentahapan ini satu persatu.
1840-1844 atau Karya Awal
Dalam periode ini Althusser mengelompokkan semua karya Marx sejak Disertasi Doktoralnya tentang Epikuros sampai Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1844 (atau Manuskrip Paris) danKeluarga Suci. Althusser juga membagi periode “Karya Awal” ini ke dalam dua tahap:
Tahap “humanisme liberal-rasionalis” yang tampak dalam artikel-artikel Marx dalam Die Rheinische Zeitung (sampai dengan tahun 1842). Konteksnya adalah kritik terhadap sensor pemerintah despotik Prusia, hukum feodal Rhein dan kebebasan pers. Althusser merumuskan pandangan Marx dalam periode ini: “Hanya esensi manusia lah yang menciptakan sejarah, dan esensi ini adalah kebebasan dan rasio.”20 Oleh karena penekanan pada kebebasan dan rasio inilah Althusser mendeskripsikan juga periode ini sebagai periode “Kantio-Fichtean”—sebab masih kental dengan nuansa filsafat Immanuel Kant dan Fichte. Seruan filsafat, sebagaimana dinyatakan Marx, adalah: “Filsafat menuntut agar Negara menjadi Negara kodrat manusia [the State of human nature].”21 Jadi sifatnya masih sebatas “seruan moril” atau kritik yang berbasis pada sentimen kemanusiaan.
Tahap “humanisme komunalis-rasionalis” yang tampak dalam tulisan-tulisan Marx antara tahun 1842-1845. Althusser mengartikan periode ini sebagai periode “Feuerbachian” oleh sebab Marx berkutat dalam medan problematik Feuerbach. Ini nampak dalam pengertian baru Marx tentang esensi manusia, kini tak lagi sebagai kebebasan dan rasio, melainkan sebagai “makhluk komunal” (Gemeinwesen) dan sejarah adalah sejarah alienasi esensi komunal ini—sebuah sejarah yang akan ditebus oleh revolusi komunis, yakni komunisme sebagai realisasi esensi-diri manusia sebagai makhluk komunal.22 Medan problematik ini dikatakan bersifat Feuerbachian karena Feuerbach lah yang melihat esensi manusia pada dimensi organis-komunalnya: manusia sebagai species (Gattung), sebagai totalitas eksistensi individual.23 Komunisme Feuerbach, dengan demikian, lebih menyerupai “komunisme” jemaat Kristen purba yang tersusun oleh komunitas-komunitas kecil yang mendasarkan diri pada prinsip cinta kasih dan persaudaraan.24 Marx, tentu saja, tidak menerima mentah-mentah elaborasi nostalgis-romantik Feuerbach ini. Namun medan problematiknya masih serupa. Upaya Marx selanjutnya, oleh karenanya, adalah menggeser medan problematik ini: problemnya bukan lagi realisasi esensi manusia, realisasi species manusia, yang mana sejarah nampak sebagai sejarah penebusan umat manusia, melainkan sesuatu yang akan menjadi ciri spesifik teori Marx.
1845 atau Karya Patahan25
Periode patahan ini mencakup dua karya, yakni Tesis-Tesis tentang Feuerbach dan Ideologi Jerman. Dalam kedua karya inilah, menurut Althusser, Marx mengajukan medan problematik yang baru, yang berbeda dari yang dirumuskan oleh para pemikir sebelumnya. Pergeseran medan problematik ini mewujud dalam pergeseran dari titik pijak humanis ke titik pijak “anti-humanis”. Ini terlihat, misalnya, dalam Tesis VI tentang Feuerbach:
Feuerbach mengubah esensi agama menjadi esensi manusia. Namun esensi manusia bukanlah abstraksi yang inheren dalam setiap individu. Sejatinya, ia adalah kumpulan relasi sosial [ensemble of social relations].
Feuerbach, yang tak masuk ke dalam kritisisme atas esensi riil ini, kemudan terpaksa:
1. Mengabstraksikan dari proses historis dan menetapkan sentimen religius sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya dan mempostulatkan suatu individu manusia yang abstrak, terisolasi.
2. Esensi hanya dipahami sebagai ‘Gattung’, sebagai generalitas internal yang bodoh yang secara alami mempersatukan banyak individu.26
Artinya, Marx mulai mengkritik visi komunal-spekulatif Feuerbach dengan menggeser medan problematiknya dari problem realisasi esensi manusia (humanisme) ke problem relasi sosial. Selanjutnya, dalam Ideologi Jerman, problem relasi sosial ini diolah dengan memecahnya ke dalam konsep-konsep yang khas Marxis: konsep formasi sosial, kekuatan produktif, relasi produsi, superstrukur, ideologi dan sebagainya.27 Singkatnya, dalam konsep-konsep saintifik yang melampaui kategori etis-normatif humanisme.
1845-1857 atau Karya Transisional
Dalam periode ini tercakup karya-karya berikut: Kemiskinan Filsafat, Kerja Upahan dan Kapital,Manifesto Partai Komunis, artikel-artikel dalam Neue Rheinische Zeitung, Sambutan Komite Sentral kepada Liga Komunis, Perjuangan Kelas di Prancis, Brumaire Kedelapan-belas Louis Bonaparte dan terakhir Grundrisse. Apabila dalam periode sebelumnya, rumusan Marx atas medan problematik yang khas Marxis masih bersifat negatif—dalam arti, diwujudkan masih dalam batas kritik atas pandangan sebelumnya—maka dalam periode ini, bagi Althusser, Marx mulai mengkonstruksi secara positif medan problematiknya sendiri. Mulai tahap inilah “patahan epistemologis” itu dinyatakan secara positif: tidak lagi sebagai kritik melainkan sebagai bangunan teoretik. Menurut Althusser, patahan ini menjadi positif dalam pendirian “dua disiplin teoretik yang berbeda namun berkelindan”28, yakni materialisme historis dan materialisme dialektis (lebih lanjut tentang pengertian Althusser mengenai dua disiplin ini akan kita lihat dalam bagian selanjutnya).
1857-1883 atau Karya Matang
Tahap terakhir ini mencakup karya-karya seperti Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi-Politik,Kapital I-III beserta berbagai draf dan revisinya, Upah, Harga dan Laba, Perang Saudara di Prancis, Kritik atas Program Gotha dan seterusnya. Pada tahap ini, konsepsi utuh tentang materialisme historis dan materialisme dialektis tampil menggantikan keseluruhan sisa ideologi borjuis (humanisme). Artikulasi paling utuh dari konsepsi ini adalah Kapital.
Jika hendak diringkaskan, keseluruhan periodisasi yang distruktur oleh patahan epistemologis ini dapat diterangkan dalam dua aspek:29
Transisi dari ideologi tentang sejarah (sejarah sebagai horizon penebusan esensi manusia) menuju sains sejarah (materialisme historis—sejarah yang ditentukan, pada pokok terakhir oleh kontradiksi pada modus produksi).
Transisi dari “idealisme rasionalis Neo-Hegelian” (Hegel yang dibaca dalam kerangka Kantian), melalui “materialisme humanis Feuerbach” (1842), lantas ke “empirisisme historisis” dalam Ideologi Jerman (1845-1846), dan akhirnya (mulai 1857), ke filsafat yang baru secara radikal, yakni materialisme dialektis.
Dengan demikian, sejarah pemikiran Marx adalah sejarah penemuan histomat dan diamat. Kepada dua displin teoritik yang menurut Althusser “berbeda namun berkelindan” inilah kita akan menoleh.

2.2. Pandangan Baru tentang MDH
Kita dapat meringkaskan, sebagai catatan pendahuluan, pengertian Althusser mengenai histomat dan diamat: materialisme historis adalah sains Marxis sejarah, tentang relasi antara basis dan superstruktur, sementara materialisme dialektis adalah filsafat atau Teori Marxis tentang praktik-praktik teoretik.30 Konteks dari pengertian Althusser ini adalah keperluan untuk menseparasikan sains Marxis dari ideologi borjuis (misalnya Hegelianisme), singkatnya, separasi sains dari ideologi. Upaya ini diperlukan agar efek teoretis dari ideologi tidak menghambat elaborasi tentang sains sejarah. Oleh karena ranah artikulasi ideologi adalah teori, maka diamat—atau Teori tentang praktik teoretik—mesti bekerja mempurifikasi medan teoretik Marxisme dari ideologi borjuis dan, dengan demikian, melapangkan jalan menuju konstruksi sistematik atassains sejarah, atau histomat. Jadi ada relasi yang khas antara histomat dan diamat: agar histomat mungkin sebagai sains yang koheren—dan karenanya, agar revolusi dimungkinkan—diamat mesti mempurifikasi kategori-kategori teoretik dari efek-efek teoretik ideologi borjuis. Dengan kata lain, diamat mengamankan basis teoretik histomat. Dalam arti inilah Althusser menulis: “masa depan teoretik dari materialisme historis kini bergantung pada pendalaman atas materialisme dialektis, yang pada akhirnya bergantung pada kajian kritis dan ketat terhadap Kapital.”31

Sedikit catatan tentang pembagian teori Marx ke dalam dua disiplin teoretik, histomat dan diamat, perlu kita perhatikan di sini. Mesti kita ingat: tidak semua Marxis mengakui pembagian teori Marx ke dalam histomat dan diamat. Bagi Lucio Colletti, misalnya, diamat tidak berasal dari Marx, melainkan dari filsafat alam Engels (Anti-Dühring dan Dialektika Alam) yang dimaksudkan untuk memperluas ranah kajian Marxisme ke luar ranah sosial, yakni ke dalam ranah perkembangan alam semesta.32 Bagi Colletti, tafsir diamat inilah yang dipegang teguh oleh ortodoksi Internasional Kedua, terutama Kautsky, tetapi juga Bernstein dan Plekhanov.33 Perlu kita ingat pula bahwa sentralitas diamat ini—sebagai pandangan-dunia universal yang mencakup perkembangan alam—bagi generasi intelektual pada akhir abad ke-19 diperkuat pula oleh fakta bahwa Engels merupakan eksekutor seluruh tulisan Marx dan bahwa ia sendiri menjalin kontak yang sangat dekat dengan Kautsky. Melihat kuatnya pengaruh Kautsky dan Plekhanov terhadap Lenin dan kaum intelektual revolusioner Rusia di awal abad ke-20, bukannya tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa pengakuan atas histomat dan diamat sebagai teori Marx dalam komunisme Uni-Soviet merupakan kelanjutan dari tradisi pembacaan Kautsky dan generasinya. Maka, ketika kita membaca pembukaan naskah filsafat yang ditulis oleh Stalin dengan judulDialectical and Historical Materialism, kita akan menemukan skema yang sangat akrab:

Materialisme dialektis adalah pandangan dunia partai Marxis-Leninis. Ia disebut materialisme dialektis sebab pendekatannya atas fenomena alam, metode kajian dan pemahamannya, bersifatdialektis, sementara interpretasinya atas fenomena alam, konsepsinya tentang fenomena tersebut, teorinya, bersifat materialistik.
Materialisme historis adalah perpanjangan dari prinsip-prinsip materialisme dialektis untuk mengkaji kehidupan sosial, penerapan prinsip-prinsip materialisme dialektis kepada fenomena kehidupan masyarakat, kepada kajian sosial dan sejarahnya.34

Skema ini saya katakan akrab sebab skema ini pulalah yang terdapat dalam pemahaman histomat-diamat dalam tradisi pemikiran Kiri kita. Hal ini dapat kita lihat, umpamanya, dalam kuliah Njoto yang berjudul, Filsafat Proletariat, di mana ia menyampaikan: “Seperti diketahui, materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metode-nya. […] Materialisme historis, seperti diketahui, adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia.”35 Pemahaman Althusser atas teori Marx yang terbagi ke dalam dua disiplin teoretik juga sebangun dengan kerangka yang dipaparkan oleh Stalin dan Njoto sebelumnya. Itulah sebabnya, bagi seorang anti-Stalinis seperti E.P. Thompson, Althusser secara esensial adalah seorang “imam Stalinis”: “Althusserianisme adalah Stalinisme yang dipadatkan dalam paradigma Teori. Ia merupakan Stalinisme yang diteorikan sebagai ideologi.”36 Walaupun demikian, rekonstruksi Althusser atas histomat dan terutama diamat—sebagaimana akan kita lihat—tidaklah identik dengan rekonstruksi Stalin atasnya. Ada pergeseran dimensi yang ditawarkan Althusser atas diamat: tidak lagi berfokus pada filsafat alam, melainkan pada praktik produksi pengetahuan emansipatoris.

Kita mulai dari diamat—sebagai prolog teoretik menuju histomat. Konteks pembahasan Althusser atas diamat adalah kerangka kesatuan teori-praktik. Dengan berangkat dari maksim Lenin yang terkenal—“Tanpa teori revolusioner, tak akan ada praktik revolusioner”—Althusser mulai dengan pertanyaan: ke dalam bentuk macam apakah kesatuan teori-praktik ini terwujud? Kesatuan itu, bagi Althusser, adalah kesatuan praktis: teori adalah bagian dari praktik.37 Materialisme dialektis adalah filsafat tentang praktik teoretik Marxis. Dalam kerangka inilah Althusser menafsirkan maksim Lenin di muka: “Tanpa diamat, tak akan ada histomat.”38 Dengan kata lain, tanpa filsafat Marx yang spesifik tak akan ada sains tentang transformasi historis menuju komunisme. Maka pertanyaan utama diamat adalah: seperti apakah filsafat Marx itu?
Agar ada sesuatu yang secara spesifik disebut “filsafat Marx”, maka ia mesti dapat ditunjukkan perbedaannya dari filsafat-filsafat sebelumnya. Dalam konteks Marx yang hidup di era pasca-Hegelian, filsafat sebelumnya yang mesti dibedakan dari filsafat Marx, tentu saja, adalah filsafat Hegel. Nah, dalam Dialektika Alam-nya, Engels menyebutkan tiga hukum pokok materialisme dialektis atau filsafat Marx: 1) perubahan dari kuantitas ke kualitas, 2) negasi atas negasi, 3) kesatuan segala ikhwal yang bertentangan (coincidentia oppositorum).39 Ketiga hukum itu jelas berasal dari Hegel., tepatnya dari buku “Ilmu Logika” (Wissenschaft der Logik). Althusser berupaya mengklarifikasi bahwa walaupun peristilahan yang digunakan Marx dan Engels serupa dengan peristilahan Hegel, namun di antara kedua penggunaan istilah tersebut ada perbedaan yang sangat tajam.40 Bagi Althusser, keberadaan filsafat Marxis (atau diamat) mengandaikan demonstrasi atas perbedaan radikalnya dari filsafat Hegel. Itu artinya, demonstrasi atas perbedaan dialektika Marx dari dialektika Hegel.
Kita masuk ke dalam problem tentang “pembalikan” (inversion), tentang “inti rasional” (rational kernel) dan “cangkang mistis” (mystical shell). Dengan kata lain, kita masuk ke dalam problem penafsiran atas Catatan Penutup atas Edisi Kedua Kapital jilid I. Di sana Marx mengatakan:

Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran. […] Dengannya [maksudnya Hegel] dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.41

Dalam penafsiran umum atas teks terkenal ini, dialektika Marx adalah kebalikan dari dialektika Hegel: sementara dalam Hegel dialektika adalah gerak perjalanan Roh atau Ide untuk menyadari-dirinya, dalam Marx dialektika adalah gerak materi dalam sejarah yang menentukan gerak kesadaran. Bagi Althusser, persoalannya tidak sesederhana itu. Baginya, kalaupun Marx menggunakan kata “kebalikan” (reverse) itu hanyalah penggunaan yang sifatnya metaforis dan bukan substansial, sementara apa yang dipraktikkan Marx melalui dialektikanya adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari praktik dialektika Hegel—dialektika Marx mengacu pada medan problematik yang lain dari Hegel.42 Kita akan lihat perbedaan itu.

Dalam rekonstruksi Althusser, dialektika Marx dan dialektika Hegel adalah dua metode yang berbeda. Perbedaan metodologis di antara dialektika Marx dan Hegel terletak dalam pengertian tentang proses produksi pengetahuan. Problemnya, bagi Althusser, adalah soal: Where to begin? Hegel selalu bermula dari ikhwal yang sederhana dan konkrit menuju yang kompleks melalui proses diferensiasi internal.43 Yang sederhana dan konkrit itulah yang menjadi motor dari gerak dialektika sebab di dalam yang sederhana itu telah diandaikan terkandung seluruh benih bagi kontradiksi yang akan melahirkan ikhwal selanjutnya. Dengan demikian, keseluruhan proses dialektika telah diantisipasi di dalam ikhwal paling awal dan paling sederhana dari proses tersebut. Inilah yang Althusser sebut sebagai “penciptaan-diri konsep” (the auto-genesis of the concept).44 Seolah-olah konseplah yang menciptakan dirinya dan melahirkan konsep-konsep lain. Dalam hal ini Althusser mengacu pada teks draf Pengantar untuk Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi Politik yang diterbitkan sepeninggal Marx dalam Grundrisse. Di sana Marx secara eksplisit membahas perkara metode ekonomi-politik. Ia mengkritik pendekatan yang menyatakan bahwa “gerak kategori nampak sebagai laku produksi yang riil […] yang produknya adalah dunia”.45 Tesis yang mendasari oto-genesis konsep ini, menurut Althusser, adalahidentifikasi antara pikiran dan Ada.46 Oleh karena kenyataan diandaikan identik dengan pikiran itu sendiri, maka gerak penciptaan konsep dalam pikiran adalah sama dengan gerak kenyataan dalam sejarah itu sendiri. Dalam dialektika Hegel, oleh karenanya, dialektika konsep adalah dialektika realitas. Dalam dialektika Marx, sesuatu yang berbeda terjadi.

Dalam rekonstruksi Althusser atas draf Pengantar di muka, Marx bermula dari sesuatu yang abstrak untuk kemudian memproduksi sesuatu yang konkrit dalam pikiran.47 Sebabnya, apa yang dikira konkrit di awal mula pengetahuan sejatinya hanyalah “konsentrasi dari beragam determinasi”, sebagaimana dinyatakan Marx:
Nampaknya tepat untuk memulai dari yang riil dan konkrit, dengan prakondisi nyata, dan karenanya untuk memulai, dalam ekonomi, dengan populasi […] Namun dalam pengamatan lebih dekat ini terbukti keliru. Populasi adalah sebuah abstraksi apabila kita meninggalkan, misalnya, kelas-kelas yang menyusunnya. Kelas ini pada gilirannya merupakan frase kosong bila kita tidak akrab dengan elemen-elemen yang mendasarinya. Misalnya kerja upahan, modal, dst. Yang terakhir ini pada gilirannya mengandaikan pertukaran, pembagian kerja, harga, dst.48

Artinya, apa yang konkrit dan sederhana sesungguhnya merupakan bagian dari jalinan prakondisi yang kompleks. Tidak ada atom—sebuah kesatuan sederhana yang tak terbagi lagi. Metode dialektika pengetahuan Marx bermula dari kesadaran ini, yakni bermula dari sesuatu yang umum dan abstrak (misalnya komoditas dalam Kapital) untuk kemudian menghasilkan pengetahuan yang konkrit di dalam pengertian kita.
Althusser memformalisasi dialektika materialis Marx ini dengan merumuskannya dalam skema “Generalitas I  Generalitas II  Generalitas III”.49 Apa yang disebutnya “Generalitas I” adalah pengetahuan umum yang masih bercampur dengan pengaruh-pengaruh ideologi borjuis, misalnya konsep demokrasi. “Generalitas III” adalah pengetahuan umum yang saintifik, yang telah bebas dari pengaruh ideologi borjuis, misalnya konsep sentralisme-demokratik atau demokrasi terpimpin. Nah, agar ada transformasi dari Generalitas I ke Generalitas III, maka dibutuhkan “Generalitas II”, yaitu pengertian tentang konteks umum dari sarana produksi pengetahuan pada masa itu, misalnya situasi ekonomi-politik nasional, tingkat pengetahuan rakyat, peta distribusi pengetahuan di pusat dan daerah, dan seterusnya.

Kekhasan utama skema proses produksi pengetahuan ini terletak pada sifat general-nya: pengetahuan tidak bermula dari objek empirik sederhana, melainkan dari gugus pengetahuan umum yang kompleks—sebab “objek empirik sederhana” itu tadi sejatinya merupakan konstruksi pengetahuan juga. Maka ketika Marx berbicara tentang komoditas pada awal mula Kapital I, ia tak bermula dari komoditas sebagai objek empirik melainkan dari komoditas sebagai konstruksi teoretik—yang oleh karena secara langsung melibatkan pula gugus pengetahuan yang kompleks tentang nilai, kerja dan seterusnya. Konteks filosofis dari penekanan Althusser ini adalah perlawanannya atas pandangan klasik tentang kebenaran, yakni kebenaran sebagaikorespondensi antara subjek dan objek, antara pikiran dan Ada—ataupun dalam versi radikal pandangan ini, yakni versi Hegelian, identitas antara subjek dan objek. Dalam pandangan klasik tersebut, pengetahuan adalah soal abstraksi, tepatnya: abstraksi atas hal yang esensial dalam objek dengan mengesampingkan atribut-atributnya yang sekunder (misalnya, abstraksi atas kualitas empirik sebuah kursi—variasi ukuran, warna, dst.—ke dalam definisi formal tentang kursi). “Laku abstraksi di mana esensi murni disaring dari individu konkrit adalah sebuah mitos ideologis.”50 Berlawanan dengan pandangan klasik tersebut, Althusser mengajukan sebuah pendekatan yang lebih materialis: “Pengetahuan bukanlah visi melainkan produksi, bukanabstraksi melainkan apropriasi.”51 Dalam arti inilah, titik mula pengetahuan (titik mula diamat) bukan benda konkrit melainkan gugus pengetahuan ideologis tentang benda itu yang kemudian dikritik berdasarkan gugus pengetahuan tentang sarana produksi pengetahuan tentang benda itu untuk kemudian menghasilkan sains tentang benda itu. Artinya, bagi Althusser, seperti diungkapkan seorang komentator, “pengetahuan merupakan sebuah proses produksi yang intra-teoretik”.52 Proses produksi pengetahuan dalam skema diamat tidak membutuhkan jaminan konfirmasi yang transenden atau eksternal terhadap pengetahuan itu sendiri—prinsip verifikasi bagi kebenaran pengetahuan itu terdapat di dalam pengetahuan itu sendiri. Di sini Althusser seperti menggemakan kembali filsafat Spinoza: kebenaran adalah ukuran bagi dirinya sendiri (index sui).53

Pandangan Althusser tentang diamat ini memancing reaksi keras, terutama di Inggris di mana letupan kemarahan segera bertransformasi-diri menjadi sebuah disiplin teoretik baru: Marxisme-analitik. Keberatan utama kaum Marxis-analitik terutama berkenaan dengan klaim Althusser tentang metode dialektika materialis yang intra-teoretik dan bermusuhan terhadap empirisisme—sedangkan kekhasan tradisi filsafat Inggris adalah empirisismenya. Telah kita lihat respon E.P. Thompson yang segera mengutuk teori Althusser sebagai “Stalinisme yang dipadatkan dalam paradigma Teori”. Reaksi serupa juga dapat kita temukan dalam tulisan G.A. Cohen (pendiri mazhab Marxisme-analitik, bersama dengan John Roemer dan Jon Elster) yang segera mendefinisikan kubunya—Marxisme-analitik—sebagai non-bullshit Marxism.54 Yang terakhir ini menarik untuk kita perhatikan. Cohen, bersama dengan seluruh eksponen Marxisme-analitik yang terkumpul dalam “Grup September” (mencakup sederet intelektual Kiri seperti Robert Brenner, Adam Przeworski, Erik Ollin Wright, Philippe van Parijs, Robert Van der Veen, dkk.), menyebut alirannya non-bullshit Marxism dalam kontradistingsinya dengan “the bullshitter”. Menariknya, deskripsi yang diberikan tentang “the bullshitter” ini adalah mereka yang percaya pada dialektika sebagai metode spesifik Marx!55 Tentu saja ini merupakan sebuah klaim antagonistik yang mengejutkan. Artinya, mereka hanya mengakui histomat sebagai satu-satunya kontribusi Marx dan mengesampingkan diamat sebagai desas-desus belaka. Lebih luas lagi, klaim mereka adalah menghapuskan klaim tentang adanya metodologi Marxis: “Operasi mendasar yang mencipta Marxisme-analitik adalah penolakan atas klaim bahwa Marxisme memiliki metode intelektualnya sendiri.”56 Erik Ollin Wright juga menyatakan bahwa Marxisme tidak memiliki metodologi khas yang terpisah dari “sains sosial borjuis” dan bahwa kalaupun Marx berbicara tentang dialektika itu sebaiknya dipahami sebagai “idiom yang sugestif” saja dan bukan sebagai metodologi dalam arti yang ketat.57 Seluruh tradisi Marxisme-analitik ini, dengan demikian, menolak upaya rekonstruksi diamat oleh Althusser. Teori tentang proses produksi pengetahuan yang bertolak dari gugus pengetahuan tentang objek beserta prinsip verifikasi internalnya juga mereka tolak sebagai tautologi atau sirkularitas berpikir yang tak berpijak pada fondasi empirik apapun, dengan kata lain: diamat Althusser ibarat dongengan tentang kuda sembrani.

Namun tuduhan kaum Marxis-analitik atas Althusser terlalu berlebihan. Bahkan kepercayaan mereka pada fakta empirik yang diperlakukan sebagai data positif (ibarat ilmu-ilmu alam) justru gagal menangkap penekanan Althusser bahwa pengertian tentang hal yang paling konkrit dan empirik sekalipun tidak pernah sederhana melainkan senantiasa tersituasikan dalam konteks gugus pengetahuan yang kompleks. Tidak ada korespondensi yang transparan antara seorang subjek dan suatu objek sederhana. Objek yang konon “sederhana” itu selalu merupakan bagian dari konteksnya yang tak sederhana. Problemnya kemudian apakah Althusser—dengan memberikan penekanan pada konstruksi subjektif atas objek—tidak terjatuh ke dalam idealisme Hegelian yang justru mau ia kritik sendiri? Althusser telah mengantisipasi ini dengan mengeksplisitkan pembedaan Marx, dalam Pengantar (1857) untuk Kontribusi bagi Kritik atas Ekonomi Politik, antara konkrit-riil (ikhwal empirik) dan konkrit-dalam-pikiran (pengetahuan tentang ikhwal empirik). Ia menuliskan tentang proses produksi pengetahuan yang intra-teoretik(non-empirisis, non-korespondensi) dalam keinsyafan akan distingsi di muka:

Proses yang memproduksi pengetahuan-konkrit bertempat sepenuhnya dalam praktik teoretik: tentu saja, ia berhubungan dengan konkrit-riil, namun konkrit-riil ini ‘selamat dalam independensinya seperti sebelumnya, di luar pikiran’ (Marx), tanpa dicampur-adukkan dengan ‘konkrit’ yang lain yang adalah pengetahuan tentangnya.58

Anak kalimat pertama di kutipan tersebut penting, sebab itulah yang membedakannya dari idealisme Hegel. Sementara Hegel mempostulatkan identitas antara Ada dan pikiran sehingga apa yang dipikirkan dalam praktik teoritik sama saja dengan apa yang konkrit dalam kenyataan, Althusser menolak klaim idealis itu dengan menyatakan bahwa proses produksi pengetahuan terjadi di dalam pengetahuan dan tidak boleh diandaikan inheren dalam alam kenyataan ibarat kategori-kategori logis yang internal dalam alam. Itulah sebabnya, Althusser mengatakan bahwa ikhwal empirik atau konkrit-riil tetap independen di luar pikiran tanpa tereduksi oleh proses pengetahuan. Artinya, dengan pendekatan intra-teoretiknya Althusser justru tidak memaksakan kategori berpikir ke dalam realitas.

Setelah memahami konteks metodologis ini, kita dapat menyatakan bahwa lingkup kajian materialisme dialektis adalah ranah praktik teoretik. Fungsinya adalah sebagai perangkat filosofis untuk memerangi pengaruh ideologi borjuis dalam sebuah situasi. Politiknya adalah politik pengetahuan: ia mesti mengartikulasikan separasi sains terhadap ideologi borjuis sehingga melapangkan jalan bagi kediktaturan proletariat. Fungsi diamat atau filsafat Marxis inilah yang dimaksud oleh Althusser ketika ia memproklamirkan: “Filsafat adalah perjuangan kelas pada ranah teoretik.”59 Dalam arti politik pengetahuan ini pulalah, diamat berperan menyediakan fondasi saintifik bagi histomat, yakni dengan membersihkan histomat dari pengaruh-pengaruh ideologi borjuis.

Salah satu pengaruh ideologi borjuis yang mesti disikat habis oleh diamat, menurut Althusser, adalah konsepsi Hegelian tentang kontradiksi. Hegel melihat kontradiksi sebagai diferensiasi internal dalam diri suatu entitas yang paling sederhana menuju pluralitas entitas yang kompleks. Konsepsi semacam ini tidaklah baru. Nyatanya, ia telah bermula sejak fase-fase awal sejarah pemikiran.60 Tak jarang, proses artikulasi kontradiksi dalam suatu ikhwal sederhana ke dalam diferensiasi internalnya dipandang sebagai suatu gerak eksternalisasi-diri—atau seperti disebutkan dalam tradisi Kristen purba, kenosis. Intuisi purba tentang perkembangan hal-ikhwal inilah yang dirumuskan kembali oleh Hegel. Dalam konsepsi ini sejarah menjadi sebuah proses eksternalisasi (Entäusserung) atau alienasi (Entfremdung) diri Roh ke dalam berbagai manifestasi diferensiasi imanennya—sebuah proses yang akan berakhir dengan pengenalan-diri Roh akan jati dirinya yang sesungguhnya.61 Di sini seluruh peperangan, konflik dan perjuangan kelas hanya muncul sebagai fenomena dari gerak pengenalan-diri Roh—sesuatu yang disebut Hegel sebagai “muslihat Akal Budi” (Liszt der Vernunft). Konsekuensi dari konsepsi ini bagi pengertian tentang kontradiksi adalah bahwa semua kontradiksi sama saja bagi Hegel, yaitu tak ada suatu kontradiksi yang lebih utama daripada kontradiksi yang lain. Itu karena, dalam Hegel, kontradiksi hanya ditampilkan agar dapat direduksi kembali dalam rekonsiliasi pengenalan-diri Roh.62

Bagi Althusser, kontradiksi Marxis tidak dapat direduksi ke dalam model kontradiksi Hegelian. Artinya, kontradiksi Marxis:

tidak bermula dari entitas yang paling sederhana bukan merupakan eksternalisasi-alienasi—bukan merupakan fenomena—dari suatu esensi tersembunyi (misalnya Roh, Ide) memiliki perbedaan tingkat kontradiksi.
Dengan pembahasan tentang kontradiksi ini kita masuk ke dalam rekonstruksi Althusser tentang materialisme historis. Di sini diamat (pembersihan atas ideologi borjuis, misalnya Hegelianisme) berjalan berdampingan dengan histomat (sains tentang sejarah). Kita mulai dari pokok pertama: kontradiksi Marxis tidak bermula dari entitas yang paling sederhana. Hal ini telah kita singgung ketika kita membahas diamat sebagai metodologi Marxis (bahwa komoditas, sebagai titik mula dalam Kapital, bukanlah entitas empirik yang sederhana melainkan bagian dari jaringan kompleks struktur ekonomi-politik). Bagi Althusser, kontradiksi tak pernah hadir sendirian, ia selalu hadir bersama kontradiksi-kontradiksi lain dalam suatu “akumulasi kontradiksi”. Althusser mencontohkan Rusia menjelang Oktober 1917: kontradiksi dalam rezim feodal di awal abad ke-20 dengan bantuan struktur gerejawi yang menindas para petani yang tak terdidik, kontradiksi antara kemajuan kapitalisme industri di perkotaan dan kondisi nyaris “Abad Pertengahan” di pedesaan, kontradiksi tidak hanya antara borjuis-proletar melainkan juga dalam tubuh borjuasi itu sendiri (dengan borjuis-borjuis besar yang beroposisi terhadap Tzarisme yang tak cukup kondusif bagi spekulasi bisnis, dengan borjuis-kecil yang terombang-ambing antara konformisme dan “kekiri-kirian” yang anarkhistik), kontradiksi di antara kepentingan kapitalis internasional (upaya-upaya borjuasi Inggris dan Prancis untuk menyingkirkan Tzar) dan seterusnya.63 Dengan kata lain, tak ada sesuatupun yang terberi (given) dalam kesederhanaannya. Inilah yang dikemukakan Althusser dalam pembacaannya atas “teks metodologis” Pengantar 1857 untukKontribusi bagi Kritik atas Ekonomi Politik:
Pengantar tidaklah lebih dari demonstrasi panjang-lebar tentang tesis berikut ini: yang-sederhana hanya dapat eksis dalam suatu struktur yang kompleks; eksistensi universal dari sebuah kategori sederhana tak pernah asali, ia hanya muncul sebagai hasil akhir dari sebuah proses historis yang panjang; maka, mengenai realitas, kita tak pernah berhadapan dengan eksistensi kesederhanaan murni, entah itu esensi ataupun kategori, melainkan dengan eksistensi ‘ikhwal konkrit’ yang kompleks dan menstruktur kenyataan dan proses-proses. Inilah prinsip dasar yang sepenuhnya menepis kontradiksi Hegelian.64
Dengan lain perkataan, entitas sederhana hanyalah bagian dari kompleksitas struktur yang “mendahului yang-terberi” (ever-pre-given structure). Penolakan atas tesis Hegelian tentang awal-mula yang sederhana, tentang suatu kontradiksi asali yang sederhana (misalnya kontradiksi metafisis purba antara Kebaikan dan Kejahatan dalam Manikheisme), kemudian dilanjutkan Althusser dengan kritik atas konsepsi sejarah sebagai alienasi-diri Roh.
Kini kita masuk ke pokok kedua. Kontradiksi Marxis bukan eksternalisasi atau alienasi ataupun fenomena dari suatu esensi terselubung. Di sini Althusser kembali menegaskan kritiknya atas model tafsir yang melihat proyek pemikiran Marx sebagai “pembalikan” (inversion) atas filsafat Hegel. Kontradiksi bukanlah fenomena dari Ide tanpa sekaligus juga berarti kebalikannya: kontradiksi juga bukan fenomena dari ekonomi. Marx tidak sekedar “membalik” filsafat Hegel: dari filsafat Roh ke filsafat ekonomi, dari idealisme ke ekonomisme. Sebab pembalikan macam itu tetaplah terjebak dalam “muslihat Akal Budi” yang digariskan Hegel: seolah-olah ada suatu esensi terselubung yang menjadi dalang di balik “wayang-wayang fenomena”.65 Ini merupakan sebuah pembacaan yang berani dari Althusser. Yang ia tolak adalah pembalikan dari determinasi Idea terhadap realitas ekonomi ke determinasi ekonomi terhadap Idea—sebuah pembalikan yang bagi banyak penafsir Marx merupakan inti dari histomat itu sendiri. Bagi Althusser, pembalikan itu masih Hegelian dan belum sungguh-sungguh Marxis. Dengan Marx, menurut Althusser, “bukan hanya term-termnya yang berubah” melainkan juga “relasi di antara masing-masing itu sendiri” pun berubah.66 Artinya, yang penting bukanlah membalik arah determinasi dari Idea ke ekonomi (basis mendeterminasi superstruktur), melainkan mengubah relasi determinasi itu sendiri: dengan kata lain, memikirkan relasi determinasi basis-superstruktur di luar kerangka determinasi linier (siapa menjadi dalang atas siapa). Ini berarti juga, dalam kerangka Althusser, kita mesti meninggalkan distingsi hakikat-fenomena atau dalang-wayang samasekali.67 Distingsi itu merupakan distingsi Kantian (antara benda-pada-dirinya dan benda-bagi-aku) yang diinternalisasikan oleh Hegel sebagai momen dalam perjalanan Roh untuk menyadari jati-dirinya (Roh, sebagai hakikat, menyadari-dirinya dalam alam materi sebagai fenomena dari hakikat dirinya sehingga Roh mengenali-dirinya kembali dalam alam materi).
Bagi Althusser, Marx telah menggantikan determinasi linier tersebut dengan menunjukkan tegangan antara: “di satu sisi, determinasi pada pokok terakhir oleh modus produksi ekonomis; di sisi lain, otonomi relatif superstruktur dan efektivitas spesifiknya.”68 Pandangan tentang “determinasi pada pokok terakhir” (détermination en dernièr instance; determination in the last instance) ini ia dasarkan pada surat Engels kepada Joseph Bloch di tahun 1890:
Menurut pandangan materialis tentang sejarah, elemen penentu terakhir dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi kehidupan riil. Lebih dari ini tidak Marx tidak juga saya pernah berbicara. Makanya, jika seseorang memelintir ini menjadi perkataan bahwa elemen ekonomi adalah satu-satunya penentu, maka ia mentransformasi proposisi itu menjadi frase yang tak berarti, abstrak dan tak masuk akal. Situasi ekonomi adalah basis, namun berbagai elemen superstruktur: bentuk politik perjuangan kelas dan hasil-hasilnya […] juga mempengaruhi laju perjuangan historis dan dalam banyak kasus berperan dalam menentukan bentuk-nya. Ada interaksi antar seluruh elemen ini yang mana, di antara arus aksiden tanpa akhir […] gerak ekonomi akhirnya menampilkan-dirinya sebagai sesuatu yang niscaya.69
Dari surat ini, Althusser menyimpulkan bahwa dalam konsepsi Marxis, ekonomi memang merupakan “pokok penentu” (determining instance), namun dalam jangka panjang, dalam sejarah dan, Althusser menambahkan: “sejarah ‘mewujudkan-dirinya’ melalui dunia superstruktur-superstruktur yang multi-bentuk, mulai dari tradisi lokal hingga kondisi internasional.”70 Dengan kata lain, basis ekonomi memang menentukan superstruktur ideologis namun, sekaligus, ditentukan oleh superstruktur tersebut pada gilirannya. Sebab superstruktur, sekali ia tercipta, dapat memiliki konsistensi internalnya sendiri71: ia dapat mereproduksi-dirinya sendiri dalam struktur yang koheren (misalnya dalam ajaran sistematik agama, atau dalam doktrin humanisme borjuis). Dalam konsistensi internalnya itulah “otonomi relatif”nya terletak: ia tak harus ditentukan terus-menerus oleh basis namun dalam aktivitasnya, secara tak disadari, mengkonfirmasi dan melegitimasi kondisi basisnya. Determinasi balik superstruktur terhadap basis itulah yang disebut Althusser sebagai “overdeterminasi” (surdétermination). Dalam overdeterminasi inilah watak spesifik kontradiksi Marxis terletak dan di sini pulalah pokok ketiga yang membedakannya dari kontradiksi Hegelian mengemuka, yakni adanya perbedaan tingkat antar kontradiksi.
Untuk merumuskan perbedaan tingkat antar kontradiksi ini, Althusser memakai elaborasi teoretik Mao dalam makalahnya, Tentang Kontradiksi, dari tahun 1937 .Elaborasi teoretik ini mencakup tiga tesis utama:
distingsi antara kontradiksi pokok dan kontradiksi tidak pokok atau sekunder
distingsi antara aspek pokok dan aspek sekunder dari masing-masing kontradiksi
perkembangan tak-mesti (uneven development) dari kontradiksi.
Ketiga tesis Mao tersebut, bagi Althusser, menawarkan suatu konsepsi pembacaan yang orisinal atas Marx, suatu pembacaan yang bersih dari pengaruh Hegel.72 Ketiga tesis itu dapat dijelaskan secara sederhana demikian: di antara sederet kontradiksi yang beragam (mulai dari kontradiksi psikologis sampai ekonomis) mestilah ada satu kontradiksi yang dominan, yang memegang pengaruh utama dalam menentukan kontradiksi-kontradiksi yang lain; dalam sebuah kontradiksi yang dominan itu terdapat pula beragam aspek, dan di sana terdapat aspek utama yang konstitutif bagi adanya kontradiksi tersebut (yang mana aspek-aspek lain hanya bersifat atributif semata); dalam proses perkembangannya, dalam sejarah, aspek-aspek itu dapat bertukar peran satu sama lain (apa yang tadinya aspek pokok, kini menjadi aspek sekunder) dan watak kontradiksi itu sendiri berubah-ubah (kontradiksi yang tadinya sekunder, kini menjadi pokok). Dalam makalahnya, Mao menjelaskan dengan gamblang:
[…] apapun yang terjadi, tak diragukan lagi bahwa pada setiap tahap perkembangan dari sebuah proses hanya ada satu kontradiksi pokok yang memegang peran pimpinan. […] Begitu kontradiksi pokok ini dipegang, semua permasalahan dapat diselesaikan. Inilah metode yang diajarkan Marx dalam kajiannya tentang masyarakat kapitalis. […] Namun situasi ini tidak statis; aspek pokok dan tidak pokok dari sebuah kontradiksi mentransformasi-dirinya satu sama lain dan hakikat sebuah ikhwal ikut pula berubah. Dalam sebuah proses tertentu atau pada tahap tertentu dalam perkembangan sebuah kontradiksi, A adalah aspek pokok dan B adalah aspek tidak pokok; pada tahap yang lain atau dalam proses yang lain peran itu bertukar73.
Althusser memberikan penekanan ekstra pada tesis ketiga, yakni perkembangan tak-mesti dari kontradiksi, sebab di sanalah terletak kunci dari relasi antar kontradiksi. Karena setiap kontradiksi dapat bertukar peran seturut konjungtur situasi, maka setiap kontradiksi sekunder juga merupakan syarat bagi adanya kontradiksi pokok, begitu pula sebaliknya. Itulah mengapa sesuatu yang tadinya dideterminasikan, pada suatu saat tertentu dapat balik mendeterminasi apa yang menciptakannya: superstruktur dapat memberikan overdeterminasi pada basis.74 Atau, seperti diungkapkan Mao tentang pertukaran peran antar kontradiksi (tentang perkembangan tak-mesti dari kontradiksi):
Beberapa orang berpikir bahwa ini [maksudnya, tesis perkembangan tak-mesti] tidak tepat untuk kontradiksi-kontradiksi tertentu. Misalnya, dalam kontradiksi antara kekuatan produktif dan relasi produksi, kekuatan produktif adalah aspek pokok; dalam kontradiksi antara teori dan praktik, praktik adalah aspek pokok; dalam kontradiksi antara basis ekonomi dan superstruktur, basis ekonomi adalah aspek pokok; dan tidak ada perubahan dalam posisi masing-masing itu. Ini adalah pandangan materialis-mekanis, bukan pandangan materialis-dialektis. Betul bahwa kekuatan produktif, praktik dan basis ekonomi umumnya memainkan peranan pokok dan penentu—siapapun yang menolaknya bukanlah seorang materialis. Namun mesti diakui juga bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, aspek seperti relasi produksi, teori dan superstruktur pada gilirannya memanifestasikan dirinya dalam peran pokok dan penentu. Ketika tidak mungkin bagi kekuatan produktif untuk berkembang tanpa perubahan dalam relasi produksi, maka perubahan dalam relasi produksi memainkan peranan pokok dan penentu. […] Ketika superstruktur (politik, kebudayaan, dll.) menghalangi perkembangan basis ekonomi, perubahan politis dan kultural menjadi pokok dan menentukan. […] Tak ada sesuatupun di dunia ini yang berkembang secara sepenuhnya niscaya [Nothing in this world develops absolutely evenly]; kita mesti melawan teori tentang perkembangan yang niscaya atau teori tentang keseimbangan.75
Demikianlah doktrin histomat yang direkonstruksi Althusser berdasarkan metodologi diamat yang dielaborasinya bersama dengan sumbangan teoretik Mao. Histomatnya bukanlah pembacaan tentang detail transformasi empiriko-historis dari modus-modus produksi—sebuah pembacaan yang jamak kita temui dalam tradisi Anglo-Saxon, semisal dalam The Making of English Working Class-nya E.P. Thompson atau Karl Marx’s Theory of History-nya G.A. Cohen. Histomat Althusser lebih berkenaan dengan prinsip-prinsip transformasi sejarah. Dalam kelonggaraannya inilah terletak sumbangan sekaligus keterbatasannya.


3. PENGARUH DAN IMPLIKASI ALTHUSSERIAN

Slavoj Žižek menyebutkan sederet nama pemikir Kiri yang dapat ditempatkan dalam tradisi “pasca-Althusserian”: Jacques Rancière, Alain Badiou, Etienne Balibar dan Ernesto Laclau.76 Di luar Rancière,77 para murid yang pernah mengikuti kuliah Marxisme di bawah bimbingannya tetap meneruskan proyek teoretik Althusser. Salah seorang murid yang paling lama bertahan dalam garis pemikiran Althusser adalah Etienne Balibar. Pada tahun 1974, ia menerbitkan Lima Kajian tentang Materialisme Historis dan dua tahun kemudian, pada tahun 1976, ia menerbitkan esai Tentang Kediktatoran Proletariat.78 Namun dekade 80-an adalah masa yang sulit bagi elaborasi teoretik Marxis: Revolusi Kebudayaan telah lama berakhir, “Mei ‘68” telah jadi kenang-kenangan dari masa yang jauh, perang patriotik Vietnam telah usai, semuanya seolah telah kembali “normal”, tenang, seperti suasana kalem menjelang badai, hingga akhirnya, di penghujung dekade, Tembok Berlin runtuh dan Perestroika menjelma jadi black propagandatentang “kehancuran komunisme”. Ini adalah masa yang luar biasa sulit bagi para intelektual Kiri, khususnya bagi seluruh generasi “pasca-Althusserian”. Pada periode inilah kita menyaksikan, misalnya, André Glucksman yang dulunya pada era ’68 merupakan seorang Maois yang sejalan dengan kelompok Althusser kini bertobat jadi pendukung liberalisme seraya mengutuki kaum Marxis sebagai “Pemikir-Tuan” (Master Thinker) yang totaliter. Pada periode inilah pula kita saksikan sebagian besar dari generasi “pasca-Althusserian” mulai tersapu ke tengah dengan peralihan fokus kajian yang kentara, yakni ke arah teori egalitarianisme dan demokrasi. Inilah yang terjadi dalam arah pemikiran Rancière dan Balibar. Sementara Ernesto Laclau, yang tak pernah menjadi mahasiswa langsung Althusser walau mendapatkan pengaruh darinya, tetap mengolah tema-tema Marxisme klasik namun dengan kerangka teori yang asing terhadap Marx, yakni dekonstruksi.79 Fenomena yang serupa juga terjadi di tradisi Marxis yang lain. Pendiri Marxis-analitik seperti G.A. Cohen sekalipun terpaksa mengambil jalan memutar ini pula, misalnya ketika ia menerbitkan kajian tentang kebebasan dan egalitarianisme di tahun 1995.80Bahkan salah seorang anggota “Grup September” dalam mazhab Marxisme-analitik, Philippe van Parijs, bergerak lebih jauh dengan menulis buku berjudul Recycling Marxism yang seolah merekomendasikan agar Marxisme diruntuhkan saja dan didaur-ulang sisa-sisa komponen teoretiknya yang masih berguna.81 Efek yang paling merusak yang ditimbulkan oleh masa paceklik bagi teori-teori Marxis ini—yang masih bertahan hingga menjelang pergantian abad—adalah diterimanya semacam konsensus umum yang disemai oleh media kapitalis bahwa Marxisme sama dengan totalitarianisme, sama dengan pelanggaran HAM, sama dengan Gulag dan ladang pembantaian. Namun, dalam proses delegitimasi teoretik yang terjadi secara berlarut-larut ini, muncul pula serangan-serangan balik yang makin lama makin menguat seiring pergantian abad. Serangan balik itu terwujud misalnya, pada konteks tradisi “pasca-Althusserian”, dalam elaborasi teoretik Alain Badiou yang kembali meneguhkan proyek separasi sains dari ideologi yang khas Althusserian. Ia jugalah yang akhir-akhir ini menerbitkan buku,Hipotesis Komunis, yang tetap optimistik bahwa komunisme adalah satu-satunya hipotesis emansipatoris yang benar.82
Apa implikasi dari tradisi Althusserian ini? Dengan penekanannya pada dialektika-overdeterminasi antara basis dan superstruktur, antara objektivitas dan subjektivitas, Althusser telah membukakan jalan bagi pemahaman teoretik baru tentang relasi antara kesadaran massa dan organisasi dalam konteks transformasi ke arah kediktatoran proletariat. Sebagaimana basis tidak mendeterminasi superstruktur secara searah, demikian pula organisasi, sebagai representasi, tidak sepenuhnya menentukan kesadaran massa, sebagai presentasi. Ketika kesadaran massa dibiarkan berjalan tanpa kendali organisasi, maka, bagi Althusser, massa akan jatuh ke dalam anarkhisme.83 Sebaliknya, organisasi menentukan sepenuhnya apa yang seharusnya dimaui massa, maka organisasi akan menjadi representasi kosong tanpa kejelasan apa yang direpresentasikan olehnya—tanpa kejelasan presentasi. Dengan demikian, bagi Althusser, presentasi absolut adalah sia-sia dan representasi total adalah kosong. Yang penting adalah mengartikulasikan dialektika-overdeterminasi di antara prinsip presentasi (kesadaran massa) dan representasi (organisasi). Kita dapat melihatnya dalam contoh historis berikut ini.84
Kita akan mendiskusikan dua peristiwa dalam sejarah politik Prancis Modern. Jarak waktu di antara keduanya relatif pendek—sekitar 30 tahun—jika dibandingkan dengan perbedaan besar dari segi implikasi yang ditimbulkannya. Dalam kedua peristiwa ini, kita akan melihat pelaksanaan dari representasi politik yang dimainkan oleh Parti Communiste Français (PCF). Peristiwa pertama adalah strategi representasi PCF dalam gerakan anti-fasis di tahun 1930-an dan peristiwa kedua adalah strategi representasi PCF di sekitar aksi massa akbar selama bulan Mei 1968. Walaupun dalam kedua peristiwa tersebut, PCF menjalankan kebijakan representasi (dalam bentuk front, aksi bersama, ikut pemilu dan seterusnya), namun kesenjangan dalam hasilnya layak kita cermati.
Front Populer (Front Populaire) pada mulanya diusulkan oleh Maurice Thorez di tahun1934 sebagai aliansi bersama partai-partai kiri dan tengah untuk menghadang kekuatan fasisme di Prancis yang didanai oleh jaringan fasis Mussolini dan dalam kaitannya dengan kemunculan Nazi di Jerman. Front ini berhasil mempersatukan PCF, SFIO (Organisasi Pekerja Internasional—Seksi Prancis), Partai Sosialis-Radikal, Liga Hak Asasi Manusia, Persatuan Republikan-Sosialis dan sederet partai-partai kecil lainnya. Melalui taktik persatuan inilah Front Populer memenangkan pemilu 1936 dengan naiknya Léon Blum sebagai Perdana Mentri Prancis. Kunci dasar dari keberhasilan taktik Front Populer—sebuah kunci yang kerapkali dilupakan—adalah kerja organisasional PCF di kalangan petani Prancis. Sementara di perkotaan, basis buruh PCF sulit mengungguli basis lumpenproletariat yang diorganisasikan oleh kekuatan ultra-kanan, di pedesaan, terutama di Prancis selatan, kampanye PCF—yang memperjuangkan hak-hak dasar berdemokrasi dan tuntutan ekonomi rakyat—berhasil menggerakkan para petani untuk memilih Front Populer pada waktu pemilu 1936.85 Keberhasilan pengorganisasian PCF di kalangan tani nampak dari membengkaknya jumlah anggota FNTA (Fédération Nationale des Travailleurs de l’Agriculture) dari 7000 di bulan April 1936 hingga 180.000 di akhir tahun yang sama.86 Dengan basis massa ini, PCF melalui organ-organnya melancarkan aksi massa yang beruntun menjelang pemilu dan berhasil menguatkan sentimen anti-fasis di kalangan rakyat. Melalui kerja organisasional ini dicapai dua poin penting: di satu sisi, kalangan tani disadarkan akan pentingnya perjuangan elektoral melalui representasi Front Populer dan, di sisi lain, perjuangan elektoral PCF dan Front Populernya menjadi memiliki basis material (yakni, massa petani di Prancis selatan) untuk bertarung di parlemen. Keberhasilan taktik Front Populer (dengan 60% suara yang diperoleh dalam pemilu 1936) yang diusung oleh PCF inilah yang menghindarkan Prancis dari bahaya fasisme, sebelum akhirnya takluk secara militer oleh Jerman Nazi dalam Perang Dunia kedua.
Kita akan bandingkan dengan peristiwa Mei ’68. Sejarah peristiwa ini, terutama dalam kaitannya dengan peran PCF di dalamnya, tak dapat dipisahkan dari perang rekolonialisasi Aljazair di tahun 1950 yang dijalankan oleh pemerintahan De Gaulle. Waldek Rochet, seseorang yang akan menjadi Sekjen PCF dalam periode ’68, memberikan pernyataan resmi tentang perang di Aljazair pada tahun 1956: PCF mendukung keberadaan Prancis di Aljazair.87 Tentu saja, posisi ini berseberangan dengan posisi politik mahasiswa kritis di Prancis yang melihat perang di Aljazair sebagai perang kolonial. “Perang jalanan” mulai terjadi jalanan Prancis—yang terjadi sampai dengan awal tahun 1960-an. Mahasiswa berhadapan dengan resimen paramiliter pro-kolonialisasi Aljazair, Organization de l’armée sècrete (OAS), dan polisi Prancis. Di akhir tahun 1961, sekitar 40.000 warga Prancis asal Aljazair, yang dikoordinasikan oleh FLN (Front de Libération Nationale Algérien), menggelar aksi massa damai secara besar-besaran menolak pemberlakuan jam malam bagi warga keturunan Aljazair di Prancis—sebuah aksi damai yang disambut dengan tembakan resimen polisi anti-huru-hara dan menewaskan sekitar 200 warga keturunan Aljazair.88 Ketika Mei ’68 terjadi, memori tentang perjuangan pembebasan Aljazair masih kuat di kepala para mahasiswa dan, bersamaan dengannya, ingatan tentang betapa konservatifnya PCF.
Demikianlah, ketika para mahasiswa menduduki Universitas Paris di Nanterre pada bulan Maret 1968 dan mengkritik kesenjangan kelas masyarakat Prancis dan politik pendidikan di universitas-universitas Prancis, maka dimulailah serangkaian aksi massa di berbagai universitas yang meluas hingga ke jalanan. Dengan pukulan balik yang reaksioner dari pemerintahan De Gaulle—polisi menembaki para demonstran dengan peluru tajam dan gas air mata—aksi massa malah kian menguat. Sejak tanggal 6 Mei, kaum buruh mogok kerja dan terjun ke jalan bersama mahasiswa dan pelajar menuntut dibubarkannya pemerintahan kanan De Gaulle.89 Dengan polarisasi yang kian meruncing di antara rakyat dan pemerintah seperti ini, PCF kembali keliru menempatkan posisinya. Posisi awal PCF terhadap gelombang aksi massa ini adalah justru mengkritik gerakan mahasiswa sebagai gerakan anarkhis yang hanya akan menjustifikasi penegakan ketertiban oleh rezim De Gaulle.90 Posisi ini justru membuat PCF nampak seperti kolaborator Gaullis di mata gerakan mahasiswa. Walaupun memang PCF beralih mendukung gerakan mahasiswa menghadapi reaksi keras aparat kepolisian rezim De Gaulle, namun dukungan ini datang terlambat, yakni pada tanggal 12 Mei, jauh setelah gelombang aksi massa berjalan tanpa putus tanpa dukungan PCF. Taktik PCF adalah merangkul keseluruhan gerakan mahasiswa dan berhadapan dengan rezim De Gaulle sehingga rakyat Prancis hanya disodori dua pilihan: meneruskan kediktatoran De Gaulle atau mendukung sosialisme-demokratis yang dipromosikan oleh PCF dengan pembentukan pemerintahan baru yang didominasi oleh PCF.91 Sejatinya, taktik ini sebangun dengan taktik serupa yang digunakan PCF dalam Front Populer, yakni menempa aliansi politik tengah ke kiri untuk menghalau kekuatan politik kanan (melalui organ Federasi Demokratik Kiri dan Sosialis—FGDS). Namun berbeda dari era Front Populer, PCF di era Mei ’68 justru membelakangi gerakan massa, yakni dengan berupaya menertibkan gerakan mahasiswa demi transaksi politik dengan De Gaulle. Penertiban ini dilakukan karena PCF mengira bahwa pemerintahan De Gaulle—yang sudah kewalahan menghadapi gerakan massa—akan bersedia bernegosiasi dengan PCF sebagai representasi gerakan Mei ’68. Untuk melaksanakannya, pada akhir bulan Mei, Confédération Général du Travail (CGT)—sebagai organ serikat buruh PCF yang terbesar di Prancis—mengarahkan kaum buruh untuk kembali bekerja di pabrik sembari menjelaskan bahwa aksi massa sudah usai.92 Sekjen Partai, Waldek Rochet, bahkan menyatakan secara eksplisit bahwa PCF mau berpartisipasi dalam pemerintahan De Gaulle.93 Namun dengan berhentinya pemogokan buruh, yang kemudian disusul dengan berhentinya aksi mahasiswa dan pengambil-alihan universitas oleh kepolisian Prancis, De Gaulle tidak jatuh. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam pemilu legislatif di bulan Juni, partai De Gaulle menang telak dan PCF justru kehilangan 600.000 suara dan 39 kursi legislatif dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.94 Dan sejak peristiwa ini jugalah sebagian besar intelektual Marxis Prancis, seperti Alain Badiou, Michel Foucault, Jacques Ranciere, menjadi anti terhadap PCF.
Apa yang bisa kita simpulkan dari kedua peristiwa ini berkaitan dengan problem representasi? Keduanya sama-sama berproses dalam aras politik representasi. Mengapa representasi yang satu dapat mewujudkan emansipasi sementara yang lain gagal? Di sini, kembali perlu ditekankan, representasi itu sendiri bukanlah konsep yang niscaya bermasalah. Apa yang membuatnya bermasalah adalah cara menempatkan representasi itu dalam konteks dialektika-overdeterminasi dengan presentasi massa. Sebagaimana ditunjukkan dengan keberhasilan PCF dalam Front Populer, representasi hanya dapat mewujudkan politik emansipatoris apabila ia digiring dalam koridor presentasi langsung kerakyatan—para petani di Prancis selatan dalam kasus Front Populer. Dalam kerangka inilah presentasi tampil sebagai yang melindungi, sekaligus dilindungi oleh, struktur representasi (PCF dan Front Populer) sehingga jalan menuju emansipasi dilapangkan. Maka pertanyaan mendasar bagi politik emansipatoris dalam tradisi Althusserian adalah: Di manakah “pokok penentu”-nya (determining instance)? Dengan kata lain, di manakah massanya, di manakah presentasinya—sebab di sanalah representasi mestinya tampil melindungi sekaligus memperluasnya. Sebaliknya, apabila representasi semata yang ditinggikan tanpa kaitan langsung dengan presentasi—atau ketika kaitan ini hanya disimbolkan melalui klaim kerakyatan yang sejatinya imaterial—maka representasi akan semakin menjauh dari jalan emansipasi demokratik, sebagaimana terjadi dengan PCF dalam peristiwa Mei ’68, yakni ketika PCF tampil sebagai makelar gerakan massa di hadapan rezim otoritarian.

Kini kita dapat kembali ke pertanyaan kita di awal tulisan ini: Dalam arti apakah Althusser seorang Marxis ortodoks seperti yang dituduhkan Harry Cleaver secara peyoratif? Melalui filsafatnya, Althusser menunjukkan kesetiaan pada garis yang menghubungkan Marx, Engels, Lenin, Stalin dan Mao. Ia adalah pembela ortodoksi dalam arti itu. Adalah keliru untuk menafsirkan Althusser sebagai seorang Western-Marxist dan menaruhnya dalam kotak yang sama dengan orang-orang Neo-Marxis dalam Mazhab Frankfurt, para Nabi kritik ideologi. Althuser melampaui kritik ideologi yang dipahami sebatas kritik atas totalitarianisme dan penegakan HAM. Tak pelak lagi, klaim tertinggi yang ia ajukan—bahwa Marxisme adalah sains yang terpisah dari ideologi (multikulturalisme, humanisme, dst)—membuatnya dekat dengan Stalin dan bisa mengingatkan kita pada Lysenko dengan teori “dua sains”-nya (separasi sains proletar dari sains borjuis). Dalam arti ini, ia merupakan seseorang yang percaya bahwa Marxisme adalah sesuatu yang ilmiah dan tak bisa dikompromikan dengan ideologi borjuis tanpa menghancurkan keilmiahan Marxisme dan mereduksinya jadi ideologi sehari-hari dalam wujudcommon sense tentang humanisme dan anti-totalitarianisme yang banal dan moderat. Dengan Althusser, musuhnya jelas: bukan totalitarianisme, bukan pelanggar HAM, apalagi alienasi, melainkan kapitalisme—yang mana segala yang lain merupakan konsekuensi logis darinya.
—o 0 o—
1 Lih. Harry Cleaver, Reading Capital Politically, hlm. 47 & 50.
2 Bagian ini pernah dipresentasikan dalam kegiatan diskusi kelompok basis PRP di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat.
3 Ini dapat dilacak sejak zaman ketika Marx sendiri masih hidup. Misalnya dalam pemikiran yang berkembang semasa Komune Paris 1871, dalam sosok seperti misalnya Léo Fränkel. Lih. Charles Rihs, La Commune de Paris 1871: Sa Structure et Ses Doctrines (Paris: Éditions de Seuil), 1973, hlm. 70-71
4 “Whatever the shortcomings of the work, Cornu’s thesis played an important role in introducing Marxism into the French University. […] It therefore occupied a central place in the reapprasial of Marxisst philosophy which was beginning to emerge in the middle 1930s.” Michael Kelly, Modern French Marxism (Oxford: Basil Blackwell), 1982, hlm. 28.
5 «[I]l n’est pas question d’une invention, d’une création miraculeuses, mais d’un ralliement à la philosophie de Marx et de Lénine.» Seperti dikutip dalam ibid., hlm. 27.
6 Lih. Ibid., hlm. 25.
7 Alexandre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel disusun oleh Raymond Quenau, diedit dalam edisi bahasa Inggris oleh Allan Bloom, diterjemahkan oleh James H Nichols, Jr. (Ithaca: Cornell University Press), 1996, hlm. 43.
8 Ibid., hlm. 44.
9 Ibid., hlm. 95.
10 “But Marxists were, intially at least, ill eqipped to take full advantage of their sudden popularity. […] Even as late as the autumn of 1947, the PCF was deploring the low level of theoretical training among many of its members, even some in senior positions.” Michael Kelly,op.cit., hlm. 53.
11 Lih. Pengantar yang ditulis G.M. Goshgarian dalam Louis Althusser, The Humanist Controversy, and Other Writings diterjemahkan oleh G.M. Goshgarian (London: Verso), 2003,hlm. xxiii.
12 Ibid., hlm. xxv.
13 Bdk. Kritik Marx terhadap Program Gotha, terutama kritik atas kalimat pertama dari Program tersebut.
14 The Polemic on the General Line of the International Communist Movement (Peking: Foreign Language Press), 1965, hlm. 59-61.
15 Louis Althusser, op.cit., hlm. xxvi.
16 Seperti dikutip dalam ibid.
17 Lih. Louis Althusser, For Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster (London: Verso), 1997 (aslinya: 1965), hlm. 32.
18 Ibid., hlm. 34.
19 Ibid., hlm. 35.
20 Ibid., hlm. 223-224.
21 Pernyataan Marx dalam Rheinische Zeitung tanggal 14 Juli 1842, sebagaimana dikutip dalamibid., hlm. 224.
22 Ibid., hlm. 226.
23 Louis Althusser, On Feuerbach dalam The Humanist Controversy, op.cit., hlm. 142.
24 Lih. Ibid., hlm. 148.
25 Penempatan tahun 1845 sebagai tahun patahan dalam sejarah pemikiran Marx adalah kontribusi spesifik Althusser untuk wacana periodisasi pemikiran Marx. Althusser sendiri menyadari kebaruan kontribusinya ini, sebagaimana nampak dalam perbandingannya dengan Lucio Colletti dan Galvano Della Volpe, dua orang Marxis besar dari Italia, yang menempatkan patahan itu “terlalu dini”, yakni pada tahun 1843 yang ditandai dengan tulisan Marx, Pengantar menuju Kritik atas Filsafat Hukum Hegel. Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 37-38.
26 Karl Marx, Early Writings diterjemahkan oleh Rodney Livingstone dan Gregor Benton (London: Penguin), hlm. 423.
27 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 227.
28 Ibid., hlm. 33.
29 Louis Althusser, The Humanist Controversy, op.cit., hlm. 231.
30 Mengenai terminologi yang dipakai ini, lih. Louis Althusser, For Marx, op.cit., misalnya hlm. 13-14, 33 &162.
31 Louis Althusser dan Etienne Balibar, Reading Capital diterjemahkan oleh Ben Brewster (London: Verso), 1979, hlm. 77.
32 Lih. Pengantar Lucio Colletti untuk Early Writings, op.cit., hlm. 10.
33 Kautsky, misalnya, pernah menyatakan: “Marx’s Capital is the more powerful work, certainly. But it was only through Anti-Dühring that we learnt to understand Capital and read it properly.” Seperti dikutip dalam ibid., hlm. 9.
34 Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism dalam History of the Communist Party of the Soviet Union (Bolshevik): Short Course diedit oleh Komisi Komite Sentral C.P.S.U. (B.) (New York: International Publishers), 1939, hlm. 105.
35 Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Harian Rajat), 1962, hlm.18 & 27.
36 E.P. Thompson, The Poverty of Philosophy, or an Orrery of Errors (London: Merlin Press), 1995, hlm. 245-246.
37 “By theory, in this respect, I shall mean a specific form of practice, itself belonging to the complex unity of the ‘social practice’ of a determinate human society. Theoretical practice falls within the general definition of practice.” Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 167.
38 Lih. ibid., hlm. 168-169.
39 Lih. Frederick Engels, Dialectics of Nature dalam Karl Marx and Frederick Engels: Collected Works, Vol. 25 (New York: International Publishers), 1987, hlm. 356 (Dialektika Alam) & 99-134 (Anti-Dühring)
40 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 93.
41 Karl Marx, Capital Vol I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London: Penguin Books), 1979, hlm. 102-103.
42 Lih. Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 93.
43 Misalnya, Ada murni dalam Ilmu Logika dan pengetahuan indrawi dalam Fenomenologi Roh.
44 Ibid., hlm. 189.
45 Karl Marx, Grundrisse diterjemahkan oleh Martin Nicolaus (London: Allen Lane), 1973, hlm. 101.
46 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 189.
47 Lih. ibid., hlm. 185.
48 Karl Marx, Grundrisse, op.cit., hlm. 100.
49 Mengenai hal ini, selengkapnya dapat dibaca: Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 183-186.
50 Ibid., hlm. 191.
51 Gregory Elliott, Althusser: The Detour of Theory (Leiden: Brill), 2006, hlm. 81.
52 Ibid.
53 “[T]he theoretical practice of a science is its own criterion. Its products require no prior guarantees or external confirmation. Verification is internal to the theory. As for Spinoza, truth is its own standard.” Ibid., hlm. 82.
54 G.A. Cohen, Karl Marx’s Theory of History: A Defense (Expanded Edition) (New Jersey: Princeton University Press), 2000, hlm. xxvi.
55 Ibid., hlm. xxvi (dalam perbandingan dengan hlm. xxii-xxiii).
56 Ibid., hlm. xvii
57 Erik Ollin Wright, et.al. Reconstructing Marxism: Essays on Explanation and the Theory of History (London: Verso), hlm. 5-6.
58 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 186.
59 Seperti dikutip dalam Gregory Elliott, Althusser, op.cit., hlm. 366.
60 Kita dapat melihat, misalnya, dalam tulisan Proklos, Stoikheiōsis Theologikē, dari sekitar abad ke-5 M. di mana ia mengawali teksnya dengan memikirkan hubungan dialektis antara Satu dan Banyak dengan menyatakan bahwa yang-Satu mesti diandaikan ada mendahului yang-Banyak. Lih. Proclus, The Elements of Theology diterjemahkan oleh E.R. Dodds (Oxford: Oxford University Press), 1971, hlm. 5 (A, Prop. 5)
61 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 103.
62 Lih. Ibid., hlm. 203-204.
63 Lih. ibid., hlm. 96-97.
64 Ibid., hlm. 196-197.
65 Ibid., hlm. 108.
66 Ibid., hlm. 111.
67 “We have seen that one could nevertheless attempt to maintain a Hegelian relation (the relation Hegel imposed between civil society and the State) between the two groups of categories [maksudnya, economic base and superstructure]: the relation between an essence and its phenomena, sublimated in the concept of the ‘truth of…’. […] Unfortunately for this neat schema, this is not Marx. For him, this tacit identity (pheomenon-essence-truth-of…) of the economic and the political disappears in favour of a new conception of the relation between determinant instances in the structure-superstructure complex which constitutes the essence of any social formation.” Ibid.
68 Ibid.
69 Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume II (Moscow: Foreign Language Publishing House), 1958, hlm. 488.
70 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 112.
71 Lih. ibid., hlm. 100.
72 Sebab Hegel memang tak pernah berbicara tentang ketiga tesis tersebut. Lih. ibid., hlm. 94 (catatan kaki no. 6).
73 Mao Tse-tung, On Practice and Contradiction diedit oleh Slavoj Žižek (London: Verso), 2007, hlm. 88-89.
74 Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 205.
75 Mao Tse-tung, On Practice and Contradiction, op.cit., hlm. 92.
76 Slavoj Žîžek, Afterword dalam Jacques Rancière, The Politics of Aesthetics diterjemahkan oleh Gabriel Rockhill (London: Continuum), 2004, hlm. 73.
77 Rancière menjadi pengkritik Althusser yang keras selepas sikap Althusser menghadapi peristiwa Mei ’68 yang bagi Rancière justru menunjukkan esensi filsafatnya sebagai “filsafat ketertiban”. Kritik ini menjadi eksplisit dalam buku yang ia terbitkan di tahun 1974, La Leçon d’Althusser. Gregory Elliott meringkaskan pandangan Rancière atas Althusser itu demikian: “Before 1968 Althusser ha concealed his ‘heterodoxy’ behind ‘orthodoxy’; after May, vice versa.” Gregory Elliott, Althusser, op.cit., hlm. 221.
78 Bahkan pada tahun 1995 ia masih menerbitkan buku pengantar, Filsafat Marx, yang tetap kuat dipengaruhi oleh konstruksi teoretik Althusser..
79 Lih. misalnya, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (London: Verso), 2001 (asli: 1985).
80 Lih. G.A. Cohen, Self-Ownership, Freedom and Equality (Cambridge: Cambridge University Press), 1995.
81 Lih. Erik Ollin Wright et.al., Reconstructing Marxism, op.cit., hlm. ix.
82 Alain Badiou, The Communist Hypotheses diterjemahkan oleh David Macey dan Steve Corcoran (New York: Verso), 2007.
83 “[T]he ‘spontaneous’ ideology of workers, if left to itself, could only produce utopian socialism, trade-unionism, anarchism and anarcho-syndicalism”. Louis Althusser, For Marx, op.cit., hlm. 24.
84 Bagian selanjutnya ini diolah dari sebagian makalah saya yang akan dipublikasikan dalamoccasional paper yang diterbitkan oleh Demos dengan judul, Apa yang Demokratis dari Demokrasi?, pada bulan September mendatang.
85 “Many farm workers thus viewed the election of the Popular Front as an opportunity to win an independent relationship with society. Alongside issues relating to wages and conditions arose the demand for the rights of citizenship: the right to vote privately, to practice or not to practice a religion, to socialise freely; in short, to live with dignity without intrusion from employers.” John Bulaitis, Communism in Rural France: French Agricultural Workers and the Popular Front, (London: I.B. Tauris), 2008, hlm. 92.
86 Ibid., hlm. 9.
87 Lih. Kristin Ross, May ’68 and Its Afterlives (Chicago: The University of Chicago Press), 2002, hlm. 39.
88 Ibid., hlm. 44.
89 Ibid., hlm. 72.
90 Lih. Gino G. Raymond, The French Communist Party during the Fifth Republic: A Crisis of Leadership and Ideology (Hampshire: Palgrave Macmillan), 2005, hlm 144.
91 Ibid., hlm. 146-147.
92 Dalam salah satu perdebatan di televisi Prancis pasca-Mei ’68, seorang buruh yang aktif dalam gerakan ketika itu mengatakan: “Problemnya pada waktu itu bukan soal mengadakan revolusi, melainkan soal apakah CGT tidak memperjual-belikan aksi massa. [Menoleh pada Guy Hermier, seorang pimpinan PCF yang sepanel dengannya:] Kau datang ke kantin-kantin pabrik, dari pabrik ke pabrik, mengatakan pada kami bahwa [para pekerja] yang lain telah kembali bekerja, bahwa segalanya sudah selesai…” Seperti dikutip dalam Kristin Ross, op.cit., hlm. 67.
93 Gino G. Raymond, op.cit., hlm. 147.
94 Ibid., hlm. 148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.