"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Kamis, 08 Desember 2011

Bencana dan Kemiskinan


Oleh : Adriansyah, Mahasiswa Sosiologi, Fisip Universitas Tadulako Palu

“Berserah kepada Tuhan, mungkin ini adalah keinginannya karena manusia semakin  seraka,” begitulah ungkapan yang kerapkali dinyatakan oleh orang-orang ketika mendapat bencana. Lebih tragis lagi, semua orangketika bencana datang harus berseru mempertanyakan hal yang sama, “inilah fakta yang harus kita terima suka atau tidak” Berbagai bencana terus melanda negeri ini. “Bagi kami kaum awam, hanya bisa pasrah dan menerima serta taat terhadap ajaran-anjar kebaikan yang kami peroleh dari keyakinan kami masing-masing.” Gelisah seorang kawan.  Sudah sekian tahun indonesia selalu mengalami bencana mungkin belum hilang dalam benak kita kejadian  pada tanggal 26 desember 2004 sunami yang melanda kota Aceh, semua orang berdoa dan berbondong-bondong memberikan bantuan mulai dari luar negeri hingga ke tingkat daerah di indonesia.


Seperti tak ingin lekang dari ingatan. Pada tanggal 3 desember 2011 kembali terjadi bencana banjir bandang yang menewaskan 6 orang meninggal di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tangisan dan derai air mata menjadi simbol ketidak siapan menerima perlakuan alam yang tiba-tiba merontak meluluhlantahkan Desa Bolapapu dalam sekejapengan kejapan mata.

Haruskah kita salahkan mereka?  walaupun kita mengerti dalam pengelolaan SDA mereka sering mengabaikan nilai-nilai kelestarian Hutan, hingga bersikap sporadis dalam pemanfaatan hasil hutan seperti rotan, dan cara bertani yang kerap sekali menebang pohon. Bahkan mungkin hampir semua orang akan mengatakan bahwa pengrusakan hutanlah yang megakibatkan banjir.  Tapi harus diingat,  bahwa bagi rakyat miskin melakukan itu, karena tekanan-tekanan ekonomis yang sangat berat dan bersifat darurat. Mereka memiliki sedikit sekali pilihan-pilihan untuk melakukan aktifitas.  Hal lain juga adalah posisi ekonomi dan keterbatasan aksesnya terhadap sumber daya alam akibat pembatasan akses masyarakat terhadap alam oleh pemerintah seperti kehadiran hutan Konservasi didataran ini seperti: BTNLL (Balai Taman Nasional Lore Lindu).

Daerah ini juga secara geografis sangat rawan banjir. Dimana, di atas perkampungan terdapat Gunung Wangu dan Gunung Libu dan terdapat lima aliran sungai yaitu sungai Magila, sungai Pangele, Sungai Rarano, Sungai Tamorae, dan Sungai Oo yang melewati Perkampungan. Dalam sejarahnya kampung ini merupakan aliran sungai Magila dan Tamorae terdapat didusun dua dan dusun tiga. Meskipun faktor-faktor lain selain kemiskinan, seperti takhyul dan kepercayaan tradisional, juga seringkali menjadi penghambat kelompok masyarakat untuk bertahan dan tidak ingin dipindahkan.

Dikarenakan orang-orang miskin memiliki sedikit pilihan dan terpaksa mendiami daerah-daerah berbahaya, maka geopolitik kemiskinan punya keterkaitan dengan geografi bencana. Bukankah sudah umum dikatakan, bahwa orang miskin yang punya keterbatasan hanya bisa bergantung kepada kemurahan alam di sekitarnya. Inilah yang terlupakan oleh pemerintah. Alih-alih memikirkan cara untuk memindahkan orang miskin dari daerah-daerah rawan bencana, pemerintah justru menghancurkan sarana-sarana produksi mereka. Sebagian besar orang miskin berpindah dari lahan atau tempat-tempat produktif karena kebijakan pemerintah, seperti PHK massal, penggusuran, dan perampasan tanah. Disamping kebijakan-kebijakan pemiskinan lainnya. sangat sedikit sekali analisis yang mengungkapkan kenyataan bahwa orang miskin merupakan “makanan paling empuk” dari setiap bencana alam. Ada yang mengatakan, bencana alam tidak akan pernah melihat siapa korbannya, entah orang miskin atau kaya. Iya, pernyataan itu ada benarnya. Tetapi, kenyataan menunjukkan fakta bahwa, dalam berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia dan negeri-negeri lain, orang miskin selalu menjadi paling rentan untuk menjadi korban bencana.

Tidak ada yang harus disesali kejadian itu bukanlah keinginan semua orang,  jelas-jelas kejadian serupa hampir terjadi di pelosok negeri ini. Lalu bagaimana kita harus meresponnya dengan akal sehat? Sudah sekian banyak korban haruskah ini terjadi? Lalau bagaimana kita menanggulangi untuk tidak terjadi lagi? Dengan membatasi masyarakat terhadap aksesnya untuk mengelolah SDA (Sumber Daya Alam) disekitar perkampungannya, itu halnya sama dengan kita membunuh mereka dengan bertahap. hutan-hutan yang ada disekitar mereka adalah roh penghidupan, yang menjadi kebutuhan mereka untuk merespon hidup dan mempertahankan hidup.

Lalu adakah kaitannya dengan struktur dalam negeri ini? Melihat negara kita yang kaya raya dan penuh dengan segalah macam kandungan didalamnya tapi miskin dan terbelakang dalam pemanfaatan dan penggelolaan Sumber Daya Alam. Keserakaan segelintiri orang menjadi penting untuk dijadikan latar penalaran untuk mengkaji bencana yang niscaya menenggelamkan negeri ini tanpa ada pengelolaan yang baik dan profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.