"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Senin, 18 April 2011

Rakyat Semakin Miskin Ditengah Kekayaan Alam Yang Melimpah

Oleh : Adriansyah

Indonesia adalah Negara yang pada dasarnya memiliki sumber daya alam yang melimpah sehingga memungkinkan menjadi Negara yang mandiri dan berkembang menjadi Negara penyaing di Negara-negara maju secara ekonomi, kelimpahan sumber daya alamnya seperti emas, nikel, batu bara, dll menjadi Negara bersyarat untuk berkembang terlihat diberbagai wilayah di Indonesia misalnya Sulawesi tengah, beberapa wilayah menjadi bagian dari pertambangan. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa, di atas permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di dalam luatan yang luas. Akan tetapi kedudukan geografis, sumber daya alam yang berlimpah tidak berguna bagi seluruh rakyat. Hal ini karena hubungan produksi yang dijaga dengan penuh kekerasan oleh sistem setengah kolonial dengan mesin politik dan budayanya untuk kepentingan imperialis dan klas berkuasa serta klas reaksioner dalam negeri.

Wilayah yang amat luas, berpenduduk besar dipergunakan untuk tenaga kerja produktif dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Akan tetapi sampai saat ini masih hidup dalam keterbelakangan secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Kekayaan alam yang besar dan berlimpah tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat karena seluruh kekayaan alamnya dirampas oleh imperialis melalui kaki tangannya di Indonesia.

Perluasan pertambangan bersakala besar di Indonesia bukanlah kepentingan rakyat atau negeri sendiri tetapi pertambangan ini tidak lain adalah untuk kepentingan Negara imprealis dalam memperkaya dirinya untuk terus mengeruk, mengambil sumber daya yang ada di Indonesia melalui mesin politik yaitu kelas borjuasi besar pemegang kekuasaan terbesar yang pro-imprealis, kelas inilah yang kemudian menjaga ketat berlangsungnya aktifitas imprealis dengan menggunakan alat-alat penindas rakyat demi untuk memuluskan monopolinya, mereka ini tidak segan-segan merampas kebun, persawahan rakyat (tanah-tanah rakyat) dengan penuh kekerasan, rakyat menjadi tertindas terpuruk secara ekonomi kekuasaan penuh ada ditangan Negara dengan kebijakannya kekayaan sumber daya alam adalah milik Negara dimana semua aset-aset produksi dinegara ini seperti tanah, air, udara dan lainya dikuasai Negara secara penuh.

Kesewenang-wenangan negara telah melampau ambang batas, hal ini terlihat ketika investasi mulai ditanamkan di negeri ini eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan Indonesia terjerat utang oleh negara-negara maju AS adalah negara urutan pertama dan Jepang adalah urutan kedua yang mejadi perutangan negeri indonesia sementara rakyat mulai dari buruh, petani, lumpen ploretariat (pengangguran) kelas menangah atas menjadi tertindas, terhisap. Buruh bekerja tidak sesuai dengan jam kerja dibayar sangat murah pula, petani dengan keringat darah bekerja hanya untuk kepentingan negeri tapi tidak dihargai sedikit pun oleh nagara yang terjadi justru perampasan tanah-tanah petani, pengangguran semakin mencuat disebabkan bahwa negara ini lebih mengutamakan kepentingan negara-negara imprealis, akibatnya negeri ini tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, Komitmen presiden (SBY) pun untuk pro-rakyat dan pro-lapangan kerja, tidak tercermin dalam politik anggaran yang kacau balau dan cenderung menjauh dari kepentingan rakyat banyak. Kalaupun kata-kata Presiden SBY dalam pidatonya begitu menyulap suasana, seolah-olah ada banting stir untuk rakyat, tapi kenyataannya malah semakin lengket dengan kepentingan negara imprealis.

Bagaimana pemerintah akan menciptakan lapangan kerja baru? Jika, pada kenyataannya, anggaran yang diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur pun masih sangat kecil, yaitu 56 triliun rupiah. Bagaimana akan memberikan iklim investasi yang kondusif? Sementara syarat untuk ekonomi tak memadai dan hanya untuk kepentingan segelintir orang terutama negara asing. Atau mungkin menyerahkan tanggungjawab pembangunan kepada swasta, terutama setelah dibentuknya Infracture Finance/IIF. Seperti diketahui, atas dasar inisiatif pemerintah bersama ADB (Asian Development Bank) dan bank dunia, Depertemen Keuangan melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero)-(PT.SMI) telah mendirikan anak perusahaaan pembiayaan infrastruktur dengan nama PT. Indonesia Infrastructure Finance (PT.IIF), 15 Januari 2010. PT. IIF sepenuhnya dikelola sebagai perusahaan swasta, dengan pemegang saham dari Asian Development Bank (ADB), International Finance Coporation (IFC), Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbh (DEG), dn PT. SMI. Dan, PT.IIF sangat terbuka untuk partisipasi investor swasta. Word Bank dan ADB akan memberikan pinjaman kepada PT.IIF. (detik.com)

Jika benar demikian adanya, bukankah SBY kembali “memukul air di dulang” yang berarti pembangunan infrastruktur yang sangat vital akan dikelolah oleh pihak asing, dan tentu fasilitasnya nanti akan dijual sangat mahal. Belum lagi, bahwa ini akan menyulitkan soal pembebasan lahan rakyat, karena swasta biasanya masa bodoh untuk memperhatikan hak-hak sosial dan ekonomi penduduk setempat. Lantas, bagaimana dengan nasib pekerjanya nanti, karena sekali lagi ini swasta asing. Apalagi untuk PT. IIF, ADB dan Bank Dunia sudah berkomitmen memberikan suntikan dalam bentuk utang mencapai 1 triliun. Suntikan ini dapat dimaknai sebagai upaya kontrol dan jeratan bagi perusahaan agar patuh atas arahan-arahan." Dan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, terlihat di sana pembangunan berbagai prasaranan dan sarana seperti irigasi, jalan, jembatan, transportasi, pelabuhan, telekomunikasi, migas dll cenderung adalah bersifat berbayar (bertarif) yang orientasinya murni bisnis secara komersial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.