"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Jumat, 11 Maret 2011

Laba-laba sedang memasang jaring :”Tower Bukan Pohon pisang” (Serpihan Catatan Dari Peura)

Andika

Bukan hanya minggu, juga bulan, tapi telah bertahun-tahun perempuan itu tak lagi tidur nyenyak dimalam hari. Siang pun demikian, wajahnya yang nampak pucat mewakili tubuhnya yang tak terlalu kekar telah menitipkan tanah garapannya pada seorang lelaki, saudara kandung. Lantaran, separuh penduduk desa menitipkan “segunung tanggung jawab” padanya. Ia adalah Betti, perempuan ini sedang berusaha jadi penyambung lidah keresahan warga sekampung, desa Peura. Lantaran itu, ia pun kini telah pandai menulis surat, menyatakan kecaman moral, walaupun mungkin, tak terlalu memikat bagi para akademisi, apalagi si pembuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Betty sebutan wanita diatas tentu jadi pertanyaan? yang tak mungkin bersaudara dengan kabel listrik, apalagi tower, yang senyawa baja. Orang lain boleh berkata dan membicarakan adanya manfaat atau tidak. Bagi warga Peura, menolak pembangunan Tower yang melintasi desa mereka merupakan manifestasi hidup, yang secara sederhana tak memerlukan banyak teori, apalagi fatwa untuk membenarkannya. Lebih jelas lagi, ibu Betti berkata”Tanam Tower tidak sama dengan tanam pohon pisang. Kalau pohon pisang sewaktu-waktu bermasalah, atau berdampak, dengan muda saja pindahkan, kalau tower Sutet yang sudah beraliran listrik bermasalah, bagaimana cara memindahkannya?”.

Sembari mengusap-ngusap matanya yang digenangi air , sesekali juga memijit jidat. Itu bukan sebuah pandangan drama, malam itu bersama Sinto, Betti mendatangi kami yang tengah berkumpul di sebuah kantor LSM lokal Tentena. Kebetulan drama menegangkan sedang berusaha diorbitkan oleh para tetua mesin, calon-calon juragan listrik, yang tanpa permisi seenaknya menganiaya sungai Sulewana. Siang hari pertemuan kesekian kalinya antara pihak poso energi dengan masyarakat Peura dilakukan.

Naasnya, kali ini perusahaan tak lagi berbujuk rayu dan bermanis komitmen, tapi justru berusaha membangun suasana tak sedap. Warga diprovokasi dengan upah 35.000 untuk sehari angkat material, yang ditahan warga dipintu desa. Bukan hanya itu, uang 35.000 ini juga telah berhasil membangun kelompok drumband tanpa latihan, berjalan seirama, sambil memukul ember. Sebagai sebuah petanda konfrontasi pada kelompok penolak pembangunan Tower. Tidak hanya itu, dipintu desa juga dipasang sebuah spanduk atas nama warga Peura cetakan printing bertulis”LSM dilarang masuk karena telah menciptakan dishamorniasi dan memecah persatuan antar warga”.

Sejak tahun 2006, saat masa-masa konflik bermasker agama mulai redah ditanah Poso Kawat-kawat telah diulur memanjang dari arah hulu sungai. Melintasi pepohonan khas hutan tropis, yang nampak seakan-akan jadi spesies baru dibibir danau Poso. Itu adalah instalasi listrik, PT Poso energi memilikinya secara mutlak setelah para pejabat Sulawesi Tengah memberikan konsesi bendung air (DAM) bagi produksi energi perusahaan keluarga Kalla tersebut.

Dan sejak itu pula, rencana pelintasan transmisi didalam perkampungan Peura dipaksakan oleh Poso Energi. Alasan ekonomi tentu saja, konon kabarnya milyaran rupiah akan ditelan percuma oleh Poso energi jika hendak memindahkan tower seperti saran warga Peura. Inilah ciri khas investasi yang katanya padat modal, tak ingin berencana rugi, sekalipun jiwa penduduk dianggap tak lebih mahal apalagi sepadan dengan gulungan kawat, atau pun rangka baja yang menuding kelangit.

Proyek yang telah memperkosa hal ulayat warga pamona secara murah tanpa kompensasi ini, tak pernah menyodorkan fakta temuan Amdal, apalagi memberikan pengakuan aspirasi pada warga Peura. Sejauh ini Ibu Betty dan kawan-kawan dibawa dalam komunikasi negatif khas Public Relations (PR) meliputi: pertemuan ke pertemuan, ancaman pidana, pencemaran nama baik, dan saling sikut antar warga. Dan sama sekali tidak peduli dengan alasan-alasan sosial penolakan warga.

Bagaimana dengan pemangku jabatan pemerintahan, mungkin itu sudah pertanyaan usang bagi pencari keadilan seperti Ibu Betti. Kemana lagi aspirasi ini akan dibawah? jika saja tak dituduh sebagai provokator dengan ancaman pasal-pasal, mungkin negara tak lagi merasa punya hubungan dengan rakyat. Untung sekali bagi mereka yang dilahirkan ditanah itu, desa Peura, mereka telah memahami betapa penguasa (modal-politik) negeri ini setiap waktu hanya menyuburkan penderitaan. Jika pun demikian, maka kita yang masih menjadi manusia tak perlu banyak analisis untuk mendukung perjuangan ini, cukup bertanya saja, kenapa kita tak bersama-sama mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.