"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Rabu, 17 November 2010

Sejarah : Perang Petani 4

EMPAT: VIETNAM

Kami gentar pada keberanianmu, tetapi kami takut Surga lebih daripada kekuasaanmu. Kami berjanji bahwa kami akan bertarung senantiasa dan tanpa berhenti. Ketika kami tak memiliki apapun lagi yang tertinggal, kami akan mensenjatai para prajurit kami dengan ranting-ranting. Bagaimana lagi kau dapat hidup di antara kami?
Manifesto Anti Prancis, 1862

Jika kami harus berperang, kami akan berperang. Kau akan membunuh sepuluh orang-orang kami, dan kami akan membunuh satu dari orang-orangmu, dan akhirnya kaulah yang akan lelah karenanya.
Ho Chi Minh pada para negosiator Prancis, Sainteny dan Moutet, 1946

Orang-orang Vietnam merupakan produk suatu penggabungan penduduk yang tinggal jauh di utara, di mana sekarang merupakan wilayah Cina selatan di bawah Sungai Yangtze, dan penduduk asli di mana mereka bertemu di Vietnam. Penggabungan ini dihasilkan dari ekspansi Cina yang mendesak beberapa unsur penduduk yang menjadi orang Vietnam jauh di selatan, keluar perbatasan Pegunungan Yunan. Dominasi Cina di tanah air yang baru terbawa. Ia hanya terusir pada abad ke sepuluh, meskipun suatu penghormatan simbolis diberikan oleh Kekaisaran Naga Kecil Vietnam pada Kekaisaran Naga Besar Cina berlanjut sampai kedatangan Prancis.
Apa yang diinginkan orang Vietnam sebelum Sinisasi mereka diperlihatkan oleh bahasa dan kebudayaan mereka, Muong, di mana 200.000 orang tetap menempati wilayah tinggi di barat daya pegunungan Lembang Sungai Merah. Mereka terbagi dalam suatu elit keluarga-keluarga bangsawan, tho lang, dan suatu kaum petani. To lang merupakan keturunan pemukim pertama di tanah tersebut. Masing-masing pemukin pertama didewakan sebagai seorang leluhur wilayah yang ia tempati, dan keturunan mereka dalam garis ayah memberi nama tanah tempat tinggal itu dengan nama leluhur mereka. Keluarga-keluarga tho lang menjalankan pemujaan leluhur mereka, dengan altar khusus dan piagam yang dipernis berisi nama-nama leluhur mereka, sebagai suatu tanda bagi pihak luar mengenai keistimewaan-keistimewaan mereka. Para petani tak memiliki kepemilikan tanah; kepemilikan diberikan pada kepala kampung lokal yang mengklaim sebagai keturunan langsung tho lang. Kepala desa lokal dan bangsawan yang lebih tinggi dari suatu hirarki keturunan tuan-tuan seperti pendeta, admintratur, dan para prajurit. Ketika pengaruh Cina menyebar di antara orang-orang Vietnam, mereka dengan teguh memodifikasi pola ini dengan arahan model-model Cina. Seperti di Cina, negara menjadi sponsor dan organisasi utama pengairan. Konsep gentry terdidik diperkenalkan. Suatu hurarki pejabat negara ditetapkan pada tahun 1089; suatu akademi pelatihan pejabat diadakan tahun 1076, dan ujian-ujian dimulai tahun 1075.
Meskipun begitu Vietnam dimunculkan oleh ketegangan berkelanjutan di antara usaha-usaha kaisar dan staffnya untuk memusatkan negara dan usaha-usaha pemilik kekuasaan lokal untuk membuat diri mereka independen. Anggota-anggota kelas atas telah mempelajari cara-cara orang Cina: ini pada akhirnya memberi mereka “kecakapan memerintah dan ambisi mengatur tanpa orang-orang Cina melalui suatu latihan, suatu dunia gagasan-gagasan, dan suatu cara hidup yang diimpor oleh orang Cina” (Buttinger, 1958, 109). Mereka dengan begitu akan mengemnalikan suatu pemerintahan orang Vietnam sendiri dalam suatu usaha memperoleh ekonomi yang lebih besar dari Cina. Tetapi,

hasrat pribadi mereka adalah membebaskan semua pembatasan dalam hubungannya dengan diri mereka sendiri yang ternyata lebih kuat daripada harapan menegaskan klaim negeri pada seluruh yang dihasilkan dan hak orang Vietnam untuk kehidupan dan mengatur urusan mereka sendiri. Struktur masyarakat Vietnam yang diciptakan oleh orang Cina dengan nyata sungguh-sungguh seperti semi feodal dan semi mandarin di mana bos-bos lokal menghapus otoritas pusat negara. Keberatan utama mereka di bawah Cina adalah pada keharusan membayar pajak untuk suatu administrasi nasional, dan pada campur tangan terhadap peraturan lokal mereka dalam masalah ekonomi dan pertahanan nasional. Tetapi apa yang justru ditimbulkan mereka juga melawan monarkinya sendiri setalah Cina pergi, dan mengapa mereka menciptakan suatu negara yang secara politik anarkis penuh dengan bahaya yang membesar bagi Vietnam daripada negara Sinisasi lainnya (Buttinger, 1058, 139-140).

Dan petani di sisi lain,

berpegang pada adat-istiadat dan ide-ide religius pra-Cina-nya, dan ia akan memegang teguh beberapa di antaranya pada hari ini, di bawah suatu mantel tenun barang-barang impor yang lebih baru. Ia terus dengan kebiasaan non-Cina-nya mengunyah buah inang. Ia menjaga jin penunggu desanya dan roh-roh rumah, sungai dan gunung-gunung. Ia bergembira dengan seremoni-seremoni dan filsafat-filsafatnya yang berasal-usul pada suatu masa lalu sebelum Cina. ia melihat pada bentuk pemujaan leluhurnya yang khusus. Dan ia bahkan mempertahankan kenangan-kenangan Van Lang dan Au Lac (kerajaan-kerajaan pra Vietnam Cina di wilayah Sungai Merah sebelum 200 SM), di mana ia mencurahkan kerinduannya untuk suatu kehidupan damai dan makmur, bebas dari kekesalan pada pemerintah luar negeri. Ia, kenyataannya, lebih Vietnam pada tahun 900 daripada di awal abad sebelum masehi (1958, 108).

Kelas atas Sino-Vietnam juga tidak mengganggu pola bidaya petani, selama para petani mengerjakan tanahnya dan membayar iuran pada tuan-tuan mereka. Desa-desa menguasai otonomi dengan sungguh-sungguh; mereka “menjaga kemurnian mereka dan menjadi tempat pemeliharaan bagi suatu bangsa yang terpisah” (1958, 108-109).
Negara di sisi lain mengerahkan usahanya pada pembangunan dan manajemen usaha hidrolik, dan pada akuisisi tanah-tanah baru. Dalam usaha ini, ekspansi ke selatan dilakukan dalam perang berkelanjutan melawan kerajaan Cham dan Kamboja, terbukti merupakan yang paling penting. Wilayah seputar Hué diraih dalam awal tahun 1300-an dan Vietnam Pusat diduduki pada abad keempat belas dan lima belas. Kekuatan Cham pecah tahun 1471. Sungai Bassac diraih pada setengah pertama abad kedelapan belas. Kemajuan yang lamban ini:

diteruskan terutama oleh suatu tipe prajurit-petani di mana orang-orang ini tampak mengembangkan suatu ketangkasan pada suatu waktu yang sangat dini. Petani menjadi seorang prajurit kapanpun seorang musuh mendekat untuk menjarah atau untuk mengendalikan orang-orang Vietnam dari suatu teritori pendudukan baru (Buttinger, 1958, 38).

Populasi musuh juga ditahan atau didorong ke dalam wilayah-wilayah marjinal. Dengan demikian sekarang ini tersisa bekas-bekas penduduk Cham di Vietnam, dan suatu populasi Kamboja sekitar 350.000 orang.
Di samping ekspansi dengan cara militer, penguasa – sebagaimana di Cina – seringkali mencoba memperbaiki nasib petani dan membatasi kekuasaan tuan besar mengenai cara-cara pembagian tanah keluarga-keluarga yang berkolaborasi dengan orang Cina; menyita tanah nganggur untuk diredistribusi pada para penggarap yang akan membuatnya produktif; menjamin redistribusi tanah komunal secara periodik di antara petani-petani yang membutuhkan; dan menciptakan koloni-koloni militer yang akan berkebun di waktu damai dan bertarung di waktu perang. Namun jarang sekali negara dapat menghadang tendensi-tendensi para kapten untuk merebut dan memiliki kekuasaan di provinsi-provinsi, dan mengawasi ekonomi desa-desa Vietnam. Lingkaran pembaruan dan penyatuan terakhir berlangsung di akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas. Pada saat ini, orang-orang Eropa telah datang ...
[HILANG HALAMAN 162-165]
Para tuan tanah baru ini merupakan ahli waris langsung usaha-usaha Prancis menugaskan kembali tanah-tanah lama atau mengkoloni tanah baru, sebagai bagian misi koloni baru mereka.
Beberapa tanah diberikan pada para tuan tanah baru di mana pemiliknya terbunuh dalam pemberontakan tahun 1862, atau ditinggalkan selamanya oleh para pengikut mereka.
Ketika para petani yang terlantar ini, biasanya lama setelah peperangan berhenti, kembali ke desa-desa mereka dan mulai menanami kembali tanah-tanah lama, mereka diherankan dan dikejutkan untuk belajar bahwa tanah-tanah ini sekarang dimiliki orang yang lain lagi. Yang bersikeras pada hak milik mereka diperlakukan sebagai pencuri dan diusir. Mereka hanya bisa tetap tinggal jika mereka menerima tawaran para pemilik baru untuk bekerja di tanah tersebut, atau menyewa sebagian kecil darinya pada suatu harga yang lebih dari biasanya – secara umum tak kurang dari setengah hasil panen (Buttinger, 1967, 164).

Pengambilalihan demikian khususnya karakteristik di Tonkin. Hasilnya adalah di Tonkin 500 tuan tanah besar – baik Prancis maupun Vietnam – memiliki 20 persen tanah; 17.000 lainnya memiliki lebih dari 20 persen. Pemilik kecil sisanya, sekitar satu juta, dibagi di antara mereka sendiri; rata-rata memiliki kurang dari setengah hektar per keluarga.
Sumber kepemilikan lain bagi pemilik tanah besar baru adalah tanah bersaluran dan irigasi oleh Prancis di selatan Vietnam, melalui pembangunan suatu pekerjaan hidrolik baru. Tanah yang menghasilkan kemudian dijual dalam petak-petak dan dalam harga rendah, dengan harapan mengembalikan biaya pengairan. Pada tahun 1938 setengah tanah yang subur di selatan Vietnam ditanami padi. Hampir setengahnya dimiliki 2,5 persen seluruh tuan tanah. Tujuh puluh persen adalah kelas penyewa tak bertanah di Selatan, berjumlah 350.000 keluarga dan merupakan sekitar 57 persen populasi pedesaan. banyak dari para tuan tanah besar Vietnam adalah orang-orang Selatan. Sekitar 7.000 tuan tanah besar di Vietnam sebelum Perang Dunia II, lebih dari 90 persen berlokasi di selatan Vietnam.
Borjuasi baru bertanah ini berinvestasi terutama dalam agrikultur; partisipasinya dalam manufaktur, perdagangan dan perbankan umumnya dibatasi oleh regulasi-regulasi Prancis yang diskriminatif. Pemasukan utamanya datang dari tanah dan dari bayaran sewa oleh penyewa mereka, sebagai bunga dari pinjaman yang diberikan kepada petani, dan dari penjualan beras pada para eksportir Prancis dan Cina di Saigon. Tak berdaya di level nasional, bagaimanapun mereka menjadi “tuan-tuan politik orang-orang Vietnam di level desa dan komunitas” (Buttinger, 1967, 165), sebagai orang terkemukan baru. Sebagai para pewaris pendudukan Prancis, banyak dari mereka memperoleh kewarganegaraan Prancis dan anak-anak mereka belajar di Prancis. Secara politik, mereka menyokong kerjasama dengan Prancis, meskipun mereka mendukung suatu ekonomi yang lebih besar bagi mereka sendiri. Instrumen politik mereka dalam perjuangan kekuasaan setelah Perang Dunia I adalah partai Konstitusionalis yang didirikan pada tahun 1923.
Komersialisasi padi menghubungkan penduduk Vietnam pada pergantian pasar dunia. Demikian harga yang dibayarkan untuk padi di pasar Saigon jatuh sampai dua pertiga antara tahun 1929 dan 1939; daya beli yang diberikan padi melawan barang lain jatuh setengah (Le Chau, 1966a, 55). Selama inflasi yang diikuti pendudukan Vietnam oleh Jepang pada Perang Dunia II dan menghasilkan blokade Sekutu pada negeri itu, harga beras naik lagi 25 persen, tetapi tetap tak dapat menjangkau harga barang-barang lain, yang naik sebanyak 200 persen (1966a, 57). Kita juga harus ingat bahwa keuntungan dari penanaman padi didistribusikan dengan tidak merata. Suatu penelitian yang dibuat tahun 1936 menunjukkan bahwa keuntungan dari penjualan padi yang diekspor dari Saigon dibagi rata secara berurutan; 26 persen pada produser utama, 33,6 persen pada perantara, 21 persen pada pembawa, 5 persen pada orang yang memproses, 14,4 persen pada lumbung umum (Robequain, 1944, 346, catatan kaki 1). Pada saat yang sama, konsumsi beras per kapita jatuh dari 262 kilogram pada tahun 1900 menjadi 226 kilogram pada tahun 1913, dan menjadi 182 kilogram pada tahun 1937. Diperkirakan bahwa antara 220 dan 270 kilogram diperlukan untuk memberi makan orang dewasa.
Usaha agrikultur lain yang didukung oleh Prancis adalah produksi karet dalam perkebunan yang berlokasi di Cina Cochin dan dalam bagian Kamboja, diawali tahun 1897, ketika tanaman karet diperkenalkan dari Malaysia. Karet menjadi ekspor terbesar kedua koloni, menyediakan seluruh karet yang dibutuhkan oleh metropolis. Sebelum Perang Dunia II hasil panen tumbuh pada 1.005 perkebunan; dua puluh tujuh perusahaan, bagaimanapun memiliki 68 persen area tanam; lebih jauh, banyak perusahaan memiliki sejumlah perkebunan, dan sebaliknya, bersangkut-paut dalam kepemilikan perusahaan. Modal dan kredit untuk untuk produksi karet dikonsentrasikan dengan ketat. Semenjak karet menjadi yang utama di selatan Vietnam namun jarang penduduknya, perusahaan-perusahaan baru perlu mengimpor buruh dari mana-mana. Kebutuhan ini dipenuhi oleh rekruitmen buruh yang intensif, khususnya di wilayah berpendidikan padat lembah Sungai Merah di Utara. Pertama, bangsawan lokal dikuasai untuk mendaftar pekerja potensial did esa mereka; kemudian mereka berfungsi sebagai bos-bos buruh atau cai. Cai kemudian menjadi suatu sosok makna sosial yang utama. Menurut Virginia Thompson,

fungsi cai bervariasi – ia mungkin menjadi seorang agen rekruitmen, seorang mandor, atau seorang penjaga toko perkebunan – tetapi ia selalu ditempatkan di antara para pekerja dan majikannya. Sebagai seorang subkontraktor cai menyewakan dan membayar sejumlah pekerja yang dibutuhkan dan ia mengorganisir hasil mereka. Di perkebunan yang lain ia mungkin hanya merekrut para buruh. Dalam kasus-kasus yang lain, ia dengan sederhana menunjuk pekerjaan mereka. Di waktu-waktu tertentu cai hanya penyedia makanan bagi buruh-buruhnya. Tetapi dalam masing-masing kapasitasnya ini ia memiliki kesempatan untuk membuat keuntungan gelap; ia seringkali brutal dan jahat memaksa potongan dari upah, pemotongan pajak yang ditentukan, dan sebagainya. Pemerintah ikut campur hanya untuk mengawasi pelanggaran yang dilakukan oleh cai sebagai agen rekruitmen dan mencegah pencatutan mereka di toko-toko perusahaan. Pemerintah lebih lanjut memberikan toleransi cai dalam kapasitasnya yang lain di mana ia dengan nyata menjadi kepentingan para majikan untuk mengeliminasi keseluruhan sistem di mana cai dapat dengan sengaja dibuang (1947, 201).

Paksaan, bagaimanapun, tetap esensi dari sistem rekruitmen buruh ini, tak hanya dalam keadaan sekali-kali. Kondisi di perkebunan-perkebunan karet Cina Cochin terkenal karena buruknya. Orang-orang bekerja dari subuh sampai petang untuk suatu bayaran sangat sedikit yang dibayarkan oleh cai darimana kemudian mereka membeli makanan. Mereka hidup di barak-barak, dijejer seperti sarden, dan seringkali tunduk pada hukuman denda dan badan untuk dugaan pelanggaran disiplin kerja. Konsekuensinya, tingkat desersi dari perkebunan karet sangat tinggi; setiap detik pekerja ada yang terbebas dari rejim kerja dengan cara melarikan diri. Setiap macam paksaan dan tipu daya dipergunakan untuk menarik pengganti para desersi. Diperkirakan bahwa “dalam rangka mempertahankan suatu tenaga kerja yang setiap waktu tak pernah melebihi 22.000, hampir 25.000 individu direkrut antara tahun 1925 dan 1930” (Goudal, dikutip dari Robequain, 1944, 81). Hanya tahun 1930-an tingkat desersi turun sampai satu atau dua dari lima kasus sebelumnya. Pengaruh depresi di mana-mana pada suatu wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi, sebagaimana Vietnam, menyebabkan kesempatan kerja menjadi lebih sulit. Undang-undang kerja yang diduung oleh pemerintah Front Rakyat dari periode itu mungkin juga membantu memperbaiki kondisi kerja di koloni.
Sebagaimana cai ternyata merupakan sosok kunci dalam rekruitmen buruh untuk perkebunan, maka ia ternyata seroang perantara yang sangat diperlukan dalam menarik para petani ke dalam pekerjaan industrial. Industri tetap memberi sumbangan terbatas pada pembatasan yang ditempatkan di atas pengembangan koloni oleh kota besar. Arus utama sektor industri kolonial adalah penambangan batu bara, seng dan timah; para pekerja di pertambangan dan penggalian diperkirakan secara kasar mencapai 55.000 pada tahun 1928. Banyak dari para penambang – sembilan per sepuluh – datang dari Tonkin atau wilayah timur Annam; 60 persennya datang dari Thai Binh dan Nam Dinh sendiri (Robequain, 1944, 266, 269). 80.000 sa,pai 90.000 pekerja yang lain menempati perusahaan industrial yang tersisa. Di antaranya sekitar 10.000 (untuk tahun 1938) pekerja tekstil, khususnya banyak di Nam Dinh, pekerja di bengkel-bengkel jalan kereta api (10.279 pada tahun 1931); pekerja di perkebunan bertenaga listrik (3.000); sebagaimana para pekerja di tempat-tempat penyulingan dan proses penanaman lainnya. Meskipun tenaga kerja industrialdalam perusahaan industri modern demikian bertambah pada satu tingkat tahunan sekitar 2.500 sejak tahun 1890 (Robequain, 1944, 304), banyak dari mereka tetap berakar kuat sebagai petani. Tak hanya banyak di antara mereka mantan petani, mayoritas dapat kembali mejadi petani. Kebiasaan mudik terus berjalan dengan kuat, menunda timbulnya suatu kelas pekerja yang stabil dari populasi pedesaan, sementara pada saat yang sama meluas pengaruh pekerjaan industri ke sana-sini (Robequain, 1944, 82).
Untuk siapa yang tak dapat atau tak akan menemukan suatu jalan keluar bagi buruh mereka di industri modern, tetap menjadi pekerjaan kerajinan tradisional. Pengrajin penuh waktu mungkin berjumlah 218.000 (Le Chau, 1966a, 46), tetapi populasi kseluruhan terlibat dalam industri kerajinan yang diperkirakan setinggi 1.350.000 (Robequain, 1944, 249). Berbeda dengan di Cina, barang-barang kota besar tidak bersaing dengan produk asli untuk menjatuhkan kubu tradisional keberadaan desa. Meskipun begitu adalah meragukan apakah ia dapat bertahan dalam isolasi dari usaha agrikultur asli. Seorang pengrajin yang bekerja di industri kerajinan hanya memperoleh sepertiga dari yang ia akan dapat sebagai pekerja di sebuah perkebunan. Dan seorang mandarin pemilik dari sebuah toko tekstil, bekerja dengan keluarganya, mungkin memperoleh antara 1,5 sampai 5 kali upah di suatu pekerjaan perkebunan tetapi haris membeli bahan-bahan mentahnya sendiri. Banyak diketahui bahwa pekerjaan kerajinan tetap lebih penting di Utara dan di Tengah, dengan populasinya yang padat, daripada di Selatan yang lebih komersil.
Konsekuensi pemerintahan kolonial Prancis di Vietnam lainnya adalah pertumbuhan suatu beban pajak yang berat pada penduduk pribumi. Pembangunan jalan kereta api dan jalan dibayar dari pajak yang secara luas terus bertambah. Pajak naik dari 35 juta emas franc sebelum penaklukan Prancis sampai lebih dari 90 juta (Chesneaux, 1955b, 155). Garam, alkohol dan opium dibuat dalam monopoli pemerintah, dengan harga enam kali di atas yang biasanya mereka bayarkan sebelum pendudukan. Pajak dari sumber-sumber ini mencapai 70 persen anggaran keseluruhan. Dari zaman dulu, penduduk lokal telah membuat alkohol beras untuk konsumsi keluarga dan seremonial. Sekarang, suatu peperangan berkelanjutan dikembangkan di antara pemerintah yang mencoba mengontrol dan memonopoli produksi alkohol, dan produksi-produksi yang lebih kecil. Lebih penting bagi penduduk pribumi, bagaimanapun, adalah pajak garam. Seluruh garam dijual pada negara dengan harga yang ditetapkan oleh negara; penambak garam harus membayar harga untuk garam yang dibeli di pasar enam sampai delapan kali lebih tinggi dari yang mereka terima atas pesanan. Garam merupakan bahan yang sangat penting dalam nuoc mam, saus ikan berbumbu yang membentuk suatu bagian esensial dalam panganan Vietnam. Banyak tambang garam pribumi bangkrut, padahal banyak nelayan yang memerlukan garam untuk menyegarkan ikan dan memproduksi nuoc mam. Tak sanggup mendistribusikan garam dengan memadai, negara menyewakan hak distribusi pada para pedagang Cina. Sementara itu diperkirakan bahwa seorang Vietnam memerlukan 22 pound per kapita garam untuk memenuhi suatu pangan yang cukup, pada tahun 1937 konsumsi perkapita adalah 14, 8 pound (Buttinger, 1967, 467, catatan kaki 32).
Semua tambahan ini mempengaruhi struktur internal desa Vietnam. Dalam bentuk tradisionalnya, desa dapat dihubungkan pada suatu korporasi kepala-kepala keluarga yang berhak pada tanah dalam lingkaran desa. Nama-nama tuan tanah ini didaftar di dalam suatu daftar desa. Sebagai tambahan pada lahan-lahan yang diberikan pada keluarga-keluarga individual, komunitas demikian juga memiliki tanah komunal; bagaimanapun hanya yang dituliskan di daftar, yang memiliki hak menerima penyerahan tanah demikian. Desa juga berisi orang-orang yang tak memiliki tanah, dan karena itu secara sosial dan politik tak istimewa. Orang tak bertanah desa ini merupakan target dewan kerajaan melawan “gelandangan”, diberi wewenang terutama untuk mengambil mereka sebagai tobang atau pelayan militer, khususnya di dalam koloni-koloni militer dalam perluasan perbatasan Vietnam yang menjadikan mereka sebagai katup bagi prajurit-petani yang lapar tanah.
Desa sendiri diatur oleh suatudewan tokoh terkemuka (hoi dong ky muc atau hoi dong hao muc) terdirid ari orang-orang berstatus tinggi. Status tinggi di sini menandakan juga diploma yang dimiliki sebagai hasil ujian kerajaan yang dilewati atau kehormatan pada usia tua. ampai abad kelima belas kerajaan menunjuk kemunal mandarin (xa guan) untuk mengatur urusan desa; setelah waktu itu, terutama otoritas ada pada dewan. Kepala desa (xa twong) lebih merupakan perantara, menjembatani antara dewan desa dan ketua distrik, daripada sebagai eksekutif dengan hak-haknya sendiri (Nghiem, 1966, 149). masing-masing desa dengan demikian dijalankan dengan suatu oligarki, “ditegaskan oleh fakta bahwa anggota-anggota kelas berkuasa direkrut, tidak dengan pemilihan, tetapi dengan prosedur-prosedur rekruitmen mandarinal, ujian-ujian menulis, atau keistimewaan umur” (1906, 149). Aturan keutamaan di antara beberapa tingkat orang terkemuka terdapat dalam suatu kode atau adat-istiadat desa; beberapa kode memberi keutamaan pada gelar mandarin yang berumur, yang lainnya menegaskan gelar kerajaan.
Dewan-dewan desa tak seluruhnya otonom. Melalui kepala desa mereka menerima permintaan pajak atau tobang dari otoritas yang lebih tinggi, dan masing-masing desa memiliki korporasi sebagai pertanggungjawaban memenuhi permintaan-permintaan ini. Setiap dewan desa bagaiamapun merupakan badan otonom dalam cara tersebut di mana ia menghadapi permintaan-permintaan ini.
Adat istiadat desa tidak sungguh-sungguh merintangi peraturan kerajaan; bagaimanapun, peraturan kerajaan diharapkan hanya untuk menetapkan batas keinginan; merupakan prerogratif desa untuk menemukan cara menyadari batas-batas ini (Nghiem, 1966, 150).

Hubungan antara yuridiksi kerajaan dan otonomi desa ini digambarkan dalam ungkapan bahwa “kekuasaan negara berhenti di pagar bambu desa.” Dewan dapat menggunakan ukurannya sendiri dalam pertimbangan keamanan internal, pembangunan pagoda-pagoda, penggalian kanal-kanal dan pembangunan tanggul-tanggul. Keputusan ini biasanya diambil dalam dinh atau candi komunal desa. Di sini diskusi lokal diadakan dan sumpah pengadilan ditetapkan; di sini roh pelindung mengawasi penuntutan kasus. Di sini seorang petani yang tak dapat membayar pajaknya dicambuk (Le Van Ho, 1962, 87). Di sini kode-kode desa dibacaselama perayaan seremoni-seremoni yang ditujukan kepada wali supernatural desa. Suatu pengawasan atas kekuasaan orang-orang terkemuka adalah institusi dau-bo, atau kepala lembu jantan, juru bicara desa untuk oposisi yang memiliki suatu hak formal bicara dalam dewan desa mendukung kelompok-kelompok yang dirugikan. Dau-bo demikian disebut karena kepala seekor lembu jantan didengar; juru bicara desa “tak takut ancaman orang-orang kaya atau kekuasaan orang mandarin” (Nguyen Huu Khang, 1946, 203), seringkali menggambarkan pihak yang miskin.
Dinh atau candi komunal yang ditinggali roh merupakan “pusat tak terbantah kehidupan desa dalam Vietnam tradisional” (Le Van Ho, 1962, 86). Roh pelindung menampilkan kesatuan moralitas desa; ia mengawasi elaksanaan aturan dan sangsi-sangsi moral. Nguyen Huu Khang menyatakan mengenai hal itu bahwa “aturannya adalah sama secara esensial sebagaimana roh pelindung bumi mandarin” (1946, 59). Seringkali ia merupakan pendiri desa atau seorang penduduk desa terhormat yang sekarang sudah mati, atau seorang pahlawan yang diseleksi dari prajurit lokal atau nasional. Seleksi seorang roh pelindung dikonfirmasikan oleh kaisar. Setlah itu objek-objek keramat dihubungkan pada dihubungkan pada roh dan diputuskan menegaskannya ditempatkan di tengah ruangan candi komunal. Seremoni-seremoni tahunan dilakukan untuk menghormati roh pelindung. Yang paling utama dari seremoni ini – disebut majelis (hoi) – dilaksanakan di munsim semi. Upacara rahasia (hem) memperingati perbuatan-perbuatan roh pelindung; “kurang-lebih dalam kepercayaan mereka yang tatat yakin pada kebahagiaan dan kemakmuran penduduk” (Le Van Ho, 1962, 92, 98-99). Hem selalu disertai oleh pesta desa yang besar, oleh presentasi-presentasi yang dramatik, oleh musik, tinju, adu ayam, pertarungan burung bulbul. Anak laki-laki dan perempuan menyanyikan lagu-lagu; itulah saat bagi orang muda mencari suami atau isteri. Le Van Ho mengatakan, dengan tepat bahwa, “masyarakat tradisional Vietnam, di mana mayoritas penduduk berpartisipasi, tak lain daripada suatu masyarakat festival-festival dinh” (1962, 117).
Lebih lanjut roh pengawas lokal, dikonfirmasikan oleh kaisar, lebih merupakan paktek penyembahan khusus yang dilaksanakan di dinh. Salah satunya adalah penyembahan Konfusius dan disiplin-disiplinnya, dirayakan dalam ritual dua kali setahun oleh pemilik derajat-derajat, diorganisasikan sebagai suatu asosiasi. Asosiasi ini,

membentuk suatu kelompok yang sangat kuat di desa. Ketua asosiasi ini pada saat yang sama adalah tien chi atau thu chi, di mana dikatakan sebagai sosok pertama komunitas yang terutama tak pernah gagal berunding dalam urusan-urusan penting (Nguyen Huu Khang, 1946, 208).

Penyembahan Konfusius lokal ini disejajarkan pada level nasional oleh suatu perayaan kekaisaran pada halaman istana di Hué. Penyembahan-penyembahan desa atas dewa-dewa pelindung dan guru-guru mandarin dihubungkan pada penyembahan langit imperial, dengan magis kosmisnya dan kalender musiman yang demikian membantu sebagai “menobatkan peristiwa masyarakat petani” (Mus, 1952, 237). Paul Mus telah mengatakan mengenai hubungan pemujaan ini bahwa ini tidak menyimbolkan suatu tipe Barat tentang kontrak sosial antar-manusia, sebagaimana Rousseau impikan, tetapi konsep suatu keseimbangan supernatural antara Langit, Bumi dan para Leluhur, dijalankan melalui cara memfungsikan kepatutan menusia. Fungsi kepatutan manusia merupakan pikiran yang menjamin terjadinya tatanan kosmik; karena itu “di mana kita mengatakan sistem, mereka mengatakan kebajikan” (1952, 28). Gangguan sosial mungkin mengancam keseimbangan itu; kejatuhan tatanan menandakan juga kejatuhan kebajikan.
Sebagai tambahan atas asosiasi-asosiasi para pemilik gelar (cactich), juga ada asosiasi-asosiasi para orang tua di atas umur enam puluh tahun, asosiasi prajurit, serikat kerja pedagang dengan raksasa-raksasa dagang dan roh-roh pelindung sendiri, asosiasi penyanyi, asosiasi pemelihara burung berkicau dan ayam aduan, asosiasi pelajar yang berguru pada orang yang sama, asosiasi orang-orang yang dihubungkan oleh garis keturunan atau oleh kedekatan tempat tinggal atau persamaan moral. Masing-masing asosiasi memiliki seorang ketua, mengurus sebuah daftar anggota atau kekayaan, dan bertindak sebagai asosiasi-asosiasi kerjasama dalam kasus pernikahan, pemakaman atau seremoni keagamaan lainnya. Yang paling penting dari seremoni-seremoni ini adalah pesta yang mengikuti ritual-ritual keagamaan formal dan dalam pertunjukan serta pengesahan status dalam komunitas. Pada kesempatan seperti itu masing-masing derajat memiliki satu tempat khusus dalam ritual-ritual dan diberi satu posisi khusus dalam pesta-pesta. Ketika kerbau dikorbankan, bagian-bagian hewan kurban didistribusikan menurut derajat. Adalah ambisi setiap orang desa cepat atau lambat berpartisipasi dalam mensponsori suatu pesta bagi keseluruhan desa.
Pemerintahan Prancis mempengaruhi desa-desa Vietnam dengan dua cara. Kekuasaan kepala desa meluas dengan besarnya membelokkannya menjadi representatif lokal dari hirarki administrasi kolonial. Pada saat yang sama, sistem gelar yang otonom dan rekruitmen orang terkemuka atas dasar status desa internal digantikan oleh norma-norma yang lebih keras yang ditetapkan oleh kekuasaan yang ada. “Secara umum,” kata Nghiem Dang,

modifikasi-modifikasi menyangkut pemilihan atau akhirnya kooptasi sesepuh, sebagai pengganti peningkatan gelar sesepuh otomatis atau pemenuhan kondisi-kondisi khusus gelar umur, akademik atau pangkat mandarinal. Pemilihan atau kooptasi ini tunduk pada restu kepala provinsi, mengingat sebelumnya perolehan tingkat sesepuh karena hak, tidak memerlukan restu apapun. Jumlah sesepuh semakin terbatas, dan fungsi spesifik masing-masing berubah menurut titel yang dianugerahkan kepadanya. Surat kenaikan pangkat otomatis yang pasti dijamin di antara sesepuh yang dikelaskan oleh keutamaan menurut fungsi-fungsi mereka. Secara keseluruhan, tendensi ini terdiri dari penghapusan pemimpin alami dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang dianggap lebih tekun pada masuk pemerintah pusat (1966, 150-151, cetak miring dari saya).

Yang kedua, pemerintah Prancis mempengaruhi pola kepemilikan desa dan akses pada tanah. Tanah yang dikelola di tangan para petani Vietnam menderita suatu kemunduran mutlak sejak penaklukan Prancis. Pada tahun 1930, para kolonis memiliki hampir 20 persen seluruh tanah yang dikelola, banyak di antaranya diambil dari pemilik pribumi. Tanah-tanah komunal juga merosot, atau dipergunakan oleh orang terkemuka lokal untuk memperoleh pembagian sewa. Meskipun pada tahun 1930 tanah demikian tetap mencapai 20 persen dari seluruh tanah di Tonkin dan 25 persen di Annam, di Cina Cochin mereka hanya terdiri dari 3 persen. Bernard Fall telah mengatakan bahwa,

seseorang sekarang dapat melihat bahwa salah satu kesalahan terbesar kebijakan pertanian Prancis adalah membiarkan tanah-tanah komunal jatuh ke tangan para spekulator dan kepala-kepala desa yang tak jujur, meskipun ada nasihat-nasihat para ahli mengenai pentingnya memelihara dan bahkan memperluas pesawahan komunal (1960, 265).

Enam puluh satu persen dari seluruh keluarga tak memiliki tanah apa pun dan bergabung dalam kelas ta dien, atau pemanen bagi hasil yang mulai banyak. Sementara tanggungan pekerja sebelum pendudukan Prancis seringkali diperlakukan sebagai anggota-anggota tanggungan rumah tangga daripada sebagai buruh, ta dien bekerja di atas dasar suatu kontrak tahunan, diperbaharui pada kebijaksanaan tuan tanah. Ia membayar setengah hasil panennya pada tuan tanah; ia juga memberi hadiah pada pemilik dua kali setahun, satu pada tanggal lima di Han kelima, dan kedua pada Tahun Baru Vietnam atau Tet. Diperkirakan bahwa setengah dari keseluruhan tanah yang tersisa di tangan penduduk pribumi dikelola dengan cara bagi hasil panen demikian; seperempat produksi pertanian keseluruhan dihasilkan pada kepemilikan orang Vietnam sewa bagi hasil tersebut (Le Chau, 1966a, 50).
Strata sosial strategis desa-desa terdiri dari pemilik antara 2,5 sampai 10 hektar. Nguyen Huu Khang mengatakan tentang hal itu bahwa mereka,

termasuk kelas terampil desa. Mereka seringkali mengelolakan bagian tanah mereka pada para pekerja buruh upahan di mana mereka membatasi diri hanya untuk menjaga; mereka meminjamkan sisa tanah untuk disewa atau bagi hasil. Mereka umumnya memiliki lembu dan kerbau yang digunakan untuk bekerja, dan meminjamkannya selama setahun atau semusim pada pengelola kecil. Para pemilik tanah berukuran menengah berada dalam situasi yang mengirikan hati. Mereka memiliki uang tunai. Biasanya, merekalah yang berurusan di desa, karena orang-orang terkemuka direkrut dari kelas ini (1946, 169).

Kompetisi kelompok sadar-status ini, sebaliknya, membantu menaikan harga tanah. Hasilnya adalah,

bahwa, dalam suatu desa berpopulasi padat di mana ada sedikit tanah, harga yang mencapai harga tinggi ini di mana tak ditunjang hubungan modal yang diinvestasikan serta hasil yang memungkinkan. Sumbangan untuk hal ini mungkin ditemukan dalam desa-desa yang berdekatan dengan pesawahan berkualitas sama dengan perbedaan hanya dua atau tiga kali banyaknya (1946, 171-172).

Kompetisi demikian tentu saja memperlemah petani, yang semakin tak mampu memperoleh tanah. Pada saat yang sama, rata-rata bunga tinggi membebani lebih berat para penduduk di pedesaan. Para petani Vietnam:

seringkali membawa bibit dan kerbau pekerja untuk keperluan pengelolaan tanahnya. Ketika panen buruk ia juga harus menemukan dana untuk membayar pajak dan memenuhi tugas keagamaan dan keluarganya. Seorang peminjam uang, apakah seorang pedagang atau tuan tanah besar, akan siap memberikan suatu pinjaman, tetapi dalam suatu kata-kata yang kasar. Hutang akan dibayar dengan sangat sulit, seringkali dengan menggadaikan hasil panen, atau bahkan ladang (Robequain, 1944, 168).

Pinjaman diperoleh dari orang terkemuka lokal atau dari tukang kredit Cina yang juga mengatur pasar beras, dengan outlet utama di Cholon, pinggiran kota Saigon yang didiami orang-orang Cina. Di Cina Chocin, tukang kredit India juga aktif. Seringkali para tukang kredit membawa uang dari lembaga-lembaga kredir pemerintah, hanya untuk meminjamkan kembali uang itu pada para petani yang memerlukan kredit. Tingkat bunganya tinggi. Beban berat hutang pedesaan beberapa kali mendorong usaha reformasi; banyak di antaranya, bagaimanapun, terbukti tak efektif.
Seluruh faktor yang disebutkan ditekankan di Cina Chocin. Tanah lebih lengkap dipusatkan di tangan para pemilik besar, termasuk perusahaan-perusahaan asing. Bagi hasil lebih diperkenalkan. Komersialisasi panen beras lebih maju dan kredit uang lebih meluas serta lebih dari biasanya. Ada satu kelompok besar buruh tak bertanah, banyak di antara mereka bekerja dalam kontrak-kontrak yang eksporatif. Tanah komunal hampir tak ada. Pada saat yang sama desa-desa di bekas wilayah-wilayah ini kekuarangan karakteristik penyatuan sosial Utara dan Tengah. Desa-desa dibentuk di bawah kondisi sebelumnya oleh beberapa unsur penduduk, termasuk pengungsi, pengembara, prajurit dan orang terusir. Di sini juga pengaruh Prancis berada pada puncaknya. Desa-desa kekuarangan kedalaman historikal asosiasi di antara karakteristik desa wilayah utara. Selain itu patriliease dan garis keturunan leluhur kurang berfungsi; aturan dinh dalam kehidupan komunal kurang pusat. Pola tempat tinggal lebih menyebar. Ikatan persaudaraan relatif sempit, pemerintahan lokal sering lebih ditentukan dari luar. Barangkali para pemilik tanah luas juga menakutkan kemungkinan enciptaan kelompok penduduk pribumi di wilayah dalam kontrol mereka ini (Robequain, 1944, 72). Apa yang dikatakan James B. Hendry tentang Khanh Hau, sebuah desa di delta selatan, bisa dikatakan semua desa di Cochin: “tidak merupakan suatu desa di mana orang-orang dengan erat berorientasi pada masa lalu atau dengan ddikat oleh tradisi” (1964, 260). Pada saat yang sama, mungkin bukan kebetulan bahwa Cina Cochin juga saksi, pada sepertiga pertama abad kedua puluh, timbulnya gerakan millenarian yang kuat dan besar. Millenarianisme akan memiliki seruan khusus bagi penduduk yang berkonfrontasi dengan perubahan budaya utama, tetapi terpisah dalam hubungan sosial mereka dan karena itu membatasi kapasitasnya untuk merespon kolektivitas pada mereka.
Ada sekitar tujuh tibu orang Vietnam yang menjadi pemilik perkebunan besar; tetapi tak ada kelas menengah Vietnam jenis apa pun, sebagaimana didefinisikan oleh ungkapan yang berhubungan dalam perusahaan ekonomi berskala menengah. Banyak perkebunan indutrial besar dimiliki orang-orang Eropa. Perdagangan beras dan operasi-operasi kredit dihubungkan dengannya secara luas di tangan orang-orang Cina. Orang-orang Cina telah mulai datang ke Vietnam dalam jumlah besar pada awal abad kesembilan belas dan pemerintah kolonial Prancis lebih lanjut mendorong migrasi ini. Prancis – sebagaimana pemerintah Vietnam sebelum mereka – “menemukan bahwa orang Cina sangat diperlukan, pertamasebagai persediaan bagi pendudukan bersenjata dan kemudian sebagai petani berpajak tak langsung, dan akhirnya sebagai tukang kredit dan perantara yang membantu dengan suatu penghubung antara mereka sendiri dan penduduk pribumi” (Robequain, 1944, 183). Sensus tahun 1936 mendaftarkan sekitar 171.000 orang Cina selatan di mana komersialisasi beras lebih maju, 35.000 di Tonkin, dan 11.000 di Pusat. Orang Cina diorganisir ke dalam organisasi yang mengatur diri sendiri atau bang, menurut dialek atau provinsi asal-usul tempat mereka. Bang-bang ini dibuat sebagai asosiasi-asosiasi kerjasama bagi para pendatang baru, mendukung atau menempatkan mereka pada posisi-posisi pekerjaan. Perdagangan beras meluas dalam suatu monopoli orang Cina; mereka juga terkemuka dalam perdagangan ikan, kulit dan hasil hutan. Pos-pos tentara dan marinir di tangan orang-orang Eropa; 10.779 prajurit dan marinir dibentuk lebih dari 50 persen dari seluruh orang Eropa sebelum Perang Dunia II. 3.873 yang lainnya, atau 18,9 persen dari seluruh orang Eropa, menduduki posisi-posisi pemerintahan. Banyak alternatif-alternatif ekonomi terbuka bagi suatu kelas menengah Vietnam potensial yang ditegaskan dalam istilah-istilah ekonomi tertutup.
Apa yang tetap terbuka bagi orang Vietnam dengan latar belakang pendidikan yang layak, bagaimanapun, adalah profesi-profesi dan posisi-posisi rendah dalam birokrasi pemerintahan. Tendensi memiliki posisi kerah-putih ini dalam hirarki profesi dan administratif dierkuat oleh sistem pendidikan Prancis yang menciptakan jaminan suatu diploma gaya Prancis sebagai titik menentukan dalam kehidupan seorang Vietnam muda dalam mencari pekerjaan di bawah kondisi-kondisi baru. Pada saat yang sama, selalu ada lebih banyak aplikasi untuk profesional dan pekerjaan pemerintahan daripada posisi-posisi yang terbuka untuk diisi. Lebih jauh, perbedaan gaji antara pejabat Prancis dan Vietnam seringkali besar; dikatakan bahwa pengurus Universitas Hanoi berkebangsaan Prancis memperoleh lebih dari tiga kali gaji seorang insinyur Vietnam (Le Chau, 1966a, 43).
Kontradiksi-kontradiksi ini memberikan bahan bagi suatu pertumbuhan nasionalisme di antara orang-orang Vietnam. berkenalan dengan penulis-penulis Prancis merangsang selera untuk tahu lebih jauh; tapi banyak penulis Pencerahan Prancis dan tradisi sosialis Eropa menjadi ada pertama kali dalam terjemahan Cina daripada dalam Prancis asli. Anak-anak laki-laki dan perempuan mandarin terdahulu yang pernah merasakan kegemilangan masa lalu namun melihat ayah mereka merosot kalah di depan orang-orang asing, bereaksi melawan gaya mandarin namun sekarang menemukan dalam ajaran Barat suatu senjata baru untuk digunakan melawan kekuasaan kolonial yang tak menjamin mereka kesamaan privilege dengan para kolonialis. Anak-anak keluarga yang telah bersusah-payah mengirim anak-anak mereka ke sekolah tetapi sekarang mendapatkan pekerjaan kecil atau tidak sama sekali dalam struktur di mana pendidikan mereka menjadikannya, segera semakin tak puas dengan kondisi-kondisi kehidupan mereka. Bahkan anak-anak dari keluarga kaya yang telah dikirim sekolah di Prancis sering kembali ke Vietnam.

Mereka mengingkari kewarganegaraan negeri mereka sendiri; ketiadaan seluruh kemerdekaan yang telah mereka nikmati di Prancis, termasuk kemerdekaan untuk berkeliling, membebani mereka lebih berat daripada yang tak pernah meninggakan negerinya. Sebagai ganti persamaan dalam hubungan mereka dengan yang lainnya di mana mereka menikmati hal itu di Prancis, mereka kembali menghadapi cemoohan tuan-tuan kolonial Vietnam di negeri mereka sendiri (Buttinger, 1967, 203).

Munculnya harapan-harapan, berkonfrontasi dengan rintangan-rintangan untuk berkembang di semua sisi, mendorong banyak dari mereka ke dalam beberapa gerakan nasionalis dan sosialis yang mulai tumbuh di Vietnam setelah tahun 1900.
Satu pelopor usaha-usaha ini adalah Phan Boi Chau (1867-1940). Seperti para “pemerkuat diri” Cina pada akhir abad kesembilan belas, ia mengerti bahwa kembali ke masa lalu adalah tak mungkin.

Seluruh warisan intelektual Timur tak akan berguna dalam perjuangan kemerdekaan dan suatu kehidupan yang lebih baik di Asia yang tak kurang direvitalisasi oleh pengetahuan dan gagasan-gagasan yang dikembangkan di Barat selama masa muda ilmu pengetahuan dan industrialisasi modern (Buttinger, 167, 145-146).

Dalam pandangan ini, Chau mengekspresikan aspirasi suatu tatanan wirausahawan baru, tetapi lebih potensial daripada yang telah ada, yang dapat memimpikan suatu masa depan perkembangan ekonomi sebagaimana seperti di Jepang; dan ke Jepanglah gerakan Chau berpaling untuk inspirasi-inspirasi dan dukungan. Tak pernah lebih dari sekedar suatu gerakan elit terdidik, ia mengembangkan sedikit kontak dengan populasi menyeluruh, meskipun menggunakan semacam retorika sosialis Fabiar Asia. Chau sendiri menghabiskan hari-harinya dalam pembuangan. Gerakannya, sebaliknya, memunculkan Dai Viet yang tetap ada di Vietnam Selatan serta mengkombinasikan suatu sikap “Asia untuk orang Asia” yang pro-Jepang dengan suatu ideologi sosialisme otoritarian. Kemungkinannya ia tak pernah berjumlah lebih dari seribu anggota.
Suatu gerakan kedua, partai Nasionalis Vietnam (UNDQQ), diorganisir tahun 1927, dengan model Kuo Min Tang Cina, dengan suatu keanggotaan diambil secara luas dari pelayan-pelayan sipil, pengusaha kecil, pedagang, pejabat perusahaan dalam pelayanan bersenjata. Menurut sumber Prancis, lebih dari 50 persen anggotanya dipekerjakan oleh pemerintah kolonial. Tak pernah lebih dari 1.500 anggota, organisasi ini esensinya merupakan suatu kelompok rahasia nasionalis, bukan sebuah partai massa politik, dan menyandarkan aktivitasnya pada sekelompok kecil calon anggota tanpa menguntungkan efektivitas organisasi. Pada bulan Februari 1930, gerakan melakukan suatu pemberontakan di antara pasukan pribumi Vietnam di Teluk Yen, sebuah pos militer di barat laut Hanoi. Tunduk pada represi Prancis yang sengit, sisanya lari ke Cina di mana mereka hanya bisa bertahan di bawah dukungan Kuo Min Tang Cina.
Gerakan politik terpenting ketiga dibentuk oleh orang-orang Komunis. Bentuk partai Komunis yang sekarang telah diawali oleh organisasi beberapa kelompok Marxis yang terutama memikat para pengajar, mahasiswa dan pejabat kecil di wilayah administrasi Annam (Sacks, 1959, 118-120). Sekitar seperlima anggotanya telah berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas revolusioner di Cina selatan sebelum tahun 1927: kekuatan regional terbesarnya terdapat di provinsi Nghe An dan Ha Tinh. Di sini ia mensponsori suatu pemberontakan tahun 1929. Seperti pemberontakan Teluk Yen, usaha ini juga dipukul mundur oleh Prancis. Tidak seperti partai Nasionalis Vietnam, bagaimanapun para Komunis, selama pemberontakan mencari dukungan para pekerja dan petani, serta mencoba, untuk pertama kali dan di bawah dorongan pemberontakan, mengembangkan oragnisasi-organisasi massa revolusioner.
Nghe An, tempat pemberontakan, memiliki suatu tradisi pemberontakan yang sama. Penduduknya, menyambung kehidupannya dari pertanian, telah sejak masa-masa awal mengambil dua pola kegiatan tambahan untuk menambah penghasilannya. Satu adalah migrasi keluar dengan hasil bahwa penduduknya memiliki pandangan yang lebih luas daripada petani lain di wilayah Vietnam. Yang satunya lagi adalah prestasi pendidikan dalam rangka mendorong anak-anak sebagai cadangan masuk menjadi pegawai kantoran atau mengajar. Pada saat yang sama, istana Hué selalu mendiskriminasi melawan orang melek huruf di wilayah ini; mereka memiliki suatu reputasi yang layak untuk kebebasan berpikir dan suatu kecondongan pada pemberontakan.

Di wilayah yang ditinggali oleh para petani miskin ini telah lahir sejumlah gerakan melawan pendudukan asing atau penindasan oleh kekuasaan pusat: pemberontakan Le-Loi melawan Cina pada abad ke-15, pemberontakan petani pada abad ke-18 melawan para tuan Trinh, pemberontakan orang melek huruf melawan rejim kolonial pada tahun 1885-92 dan kembali pada tahun 1907-1908 (Chesneaux, 1955a, 275).

Di sini Prancis juga memperkenalkan perkebunan kapas, bengkel reparasi jalan kereta api, dan beberapa perusahaan industrial lainnya. Tenaga kerjanya sekitar tiga ribu orang berlokasi di kota-kota Vinh dan Benthy telah direkrut terutama dari para petani lokal. Pada saat yang sama kader partai Komunis di wilayah ini (antara 1.100 dan 1.700 orang) meluas pada asal-usul lokal; Ho Chi Minh dan Vo Nguyen Giap – pemenang masa depan Dien Bion Phu – berasal dari wilayah ini. Banayk dari mereka termasuk “intelektual didikan Prancis, dengan asal-susul kelas secara luas mandarinal, gentry dan borjuis” (Benda, 1965, 430). Mereka pertama kali mengarahkan usaha organisasial mereka pada para pekerja industrial; suatu pemogokan di pabrik korek api memulai demonstrasi-demonstrasi massa yang, sebaliknya, membawa kerusuhan yang menarik dukungan petani, menyumnbang bagian suatu panen buruk di wilayah tersebut, dan “menairk masuk saudara-saudara mereka di pabrik-pabril serta bengkel kereta api. ekitar lima puluh tibu orang lebih dikatakan berpartisipasi, sedikit di bawah 10 persen jumlah populasi (1965, 429). Gerakan membawa keruntuhan otoriras sipil lokal; menggantiannya dengan sovyet-sovyet yang diorganisir kaum Komunis, yang meliputi tujuh belas desa. Penjaga Merah dibentuk dan pejabat-pejabat baru ditunjuk. Ongkos pemakaman, perjudian, dan belanja keagamaan dikurangi. Untuk pertama kali para wanita diperbolehkan bicara pada pertemuan publik (Nguyen Duy Trinh, 1962, 16, 18-19). Pembalasan Prancis begitu cepat; banyak pemimpin Komunis dieksekusi; pada tahun 1932 sebanyak sepuluh ribu tahanan politik dipenjarakan, dan sampai awal Perang Dunia II partai tersebut relatif didorong tanpa bisa bergerak. Pada saat yang sama percobaan pemberontakan menghasilkan simpati luas di antara penduduk, bersama-sama dengan pengetahuan bahwa akan diperlukan suatu basis sosial dan geografis yang lebih luas untuk aktivitas-aktivitas di masa yang akan datang. Ho Chi Minh – yang dikatakan telah menentang pemberontakan Nghe An sejak awal – muncul dengan suatu reputasi personal yang lebih memikat.
Revolusi Vietnam sendiri bisa dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, masa inkubasi, mengambil tempat selama pendudukan Jepang di Vietnam antara tahun 1940 dan 1945. Tahun kedua diawali ketika pasukan bersenjata Prancis kembali di akhir Perang Dunia II, dan berusaha sekali lagi membawa negeri tersebut di bawah yuridiksi Prancis. Tahap ini diakhiri dengan kekalahan dan hengkangnya Prancis pada tahun 1954. Tahap ketiga diawali dengan pembagian Vietnam ke dalam dua bagian, satu didominasi para revolusioner yang menang, dan yang lain oleh suatu rejim anti-Komunis yang menguat disokong Amerika Serikat. Pada tahun 1960 pecah kekerasan di bagian selatan yang memuncak dalam suatu pembaruan medan perang di mana belum berakhir pada saat buku ini ditulis (1969 – penerjemah).
Tahap pertama perjuangan panjang ini – yang telah berlangsung lebih dari sepempat abad – dibuka pada musim panas tahun 1940 ketika Prancis diserbu oleh mesin perang Jerman dan dipaksa memberi tanda gencatan senjata dengan Jerman pada 25 Juni tahun tersebut. Pada titik ini sekuru Jerman, Jepang, meminta Indocina Prancis untuk kontrol umum perbatasan Cina-Indocina. Jepang sangat ingin memotong semua rute pasokan dari selatan untuk mengepung pemerintahan Kuo Min Tang Cina. Ketika sisa rejim Prancis yang diperbaharui di Vicky lambat merespon mengabulkan tuntutan Jepang atas hak transit melalui Vietnam utara, Jepang menyerang kubu-kubu perbatasan Prancis, membom pelabuhan Haiphong, dan mendaratkan pasukan. Pada akhir bulan Juli Jepang memenangkan kontrol seluruh pelabuhan vital dan fasilitas-fasilitasnya; pada saat yang sama Thailand, bertindak sebagai sekutu Jepang, menduduki bagian Kamboja dan Laos. Dari situ kemudian Indocina merupakan bagian dari Asia Timur Raya; bahan-bahan mentahnya dipasok Jepang sepanjang ia memegang kontrol di laut-laut. Prancis bertahan pada kontrol nominal urusan dalam negeri, tetapi di bawah pengawasan dan kemaharajaan Jepang.
Ada beberapa pemberontakan kecil di beberapa lokasi, satu pada tanggal 24 September 1940, did ekat Lang Son, tak lama sebelum serangan Jepang pada pos perbatasan; yang lain di Cina Chocin, dipacu oleh invasi Thailand, di Plaine de Jones di mana veteran Komunis Tran Van Giau telah mengorganisir unit-unit paramiliter selama hari-hari Front Rakyat tahun 1930-an; yang ketiga ketika suatu garnisun pribumi melancarkan suatu pemberontakan di Do-luong. Juga ada beberapa kerusuhan yang disebabkan oleh anen padi yang buruk dan pengambilalihan beras. Semua peristiwa-peristiwa ini, terutama ternyata menjadi sangat penting, tidak dalam kepentingan militernya, tetapi karena dipimpin oleh kerjasama antara kaum Komunis dan suatu penduduk minoritas etnik di wilayah ini, Tho, suatu aliansi yang terbukti strategis dalam kemenangan Komunis di Vietnam utara dan pada pengusiran Prancis di akhir tahap kedua Revolusi.
Pada tahun 1942 Vo Nguyen Giap membentuk sebuah pasukan gerilya di gunung-gunung. Ini menjadi unit pertama Liga bagi Kemerdekaan Vietnam, Viet Minh. Pemberontakan di Bac Son oleh minoritas etnik Tho memberinya suatu kesempatan masuk ke dalam suatu koalisi yang nyata dengan para pemimpin kelompok ini. Tho tak hanya merupakan kelompok etnik minoritas terbesar di Vitenam Utara, mereka juga kelompok yang secara lengkap tunduk pada akulturasi Vietnam. Mereka dipimpin oleh suatu elit turun-temurun, Tho-ti, merupakan keturunan orang-orang mandarin Vietnam yang mengontrol orang-orang gunung, tetapi tetap memelihara kontrol atas penduduk biasa melalui suatu hak turun-temurun berkelanjutan dengan fungsi-fungsi ritual nyata, lebih daripada melalui sistem ujian Konfusian tradisional. Elit Tho-ti ini telah digantikan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk dan dengan demikian sangat kuat anti-Prancisnya serta secara sempurna menerima koalisi politik dengan kelompok gerilya Komunis yang tengah berkembang.

Karena mereka hanya elit Vietnam yang bicara atas nama minoritas gunung, mereka dalam suatu posisi tak tertandingi dalam kerja dengan Viet Minh untuk mengorganisir suatu dasar gerilya di pegunungan di dalam teritori mereka yang ditetapkan secara tradisional. Lebih jauh, karena Tho-ti menderita di tangan rejim kolonial, kepentingan mereka cenderung serupa dengan kepentingan kaum Komunis. Sikap ini berbeda tajam dengan elit-elit kelompok gunung lainnya yang melihat Prancis sebagai pelindung dari gangguan orang-orang Vietnam (McAlister, 1967, 796).

Tiga jenderal Viet Minh berasal dari Tho, dan Tho memasok 20 persen pasukan Viet Minh pada tahun 1954 (McAlister, 1967, 796).
Juga penting dicatat meratanya orang-orang yang ditarik dari kelas menangah Vietnam di dalam tingkat-tingkat Viet Minh. Sebuah Kantor Penelitian Operasi-operasi Khusus yang melakukan studi atas kasus tersebut mengatakan pada titik ini bahwa:

kepemimpinan revolusioner terutama datang dari kemunculan kelas menengah, sebagaimana banyak pada pengikut awalnya. Meskipun tingkat dan arsip gerilya Viet Minh dan kekuatan bersenjata tetap banyak merupakan bagian petani dan pekerja, para pemimpin eselon menengah dan rendah – disebut “kader penghubung” – berasal dari kelas menengah yang lebih rendah dan semuanya memiliki gelar dari pendidikan dan pengalaman Barat. Seringkali para pemimpin ini di level desa merupakan, atau pernah merupakan, pembantu sipil lokal pada administrasi kolonial (1964, 10).

Sama dengan itu, suatu penelitian untuk Rand Corporation melaporkan suatu studi atas komposisi sosial kekuatan Viet Minh yang diprakarsai oleh Prancis dalam kata-kata berikut ini:

Hasil enyelidikan memperlihatkan bahwa 46 persen pasukan terdiri dari petani dan buruh, dengan para buruh sebagai mayoritas ... Menurut penyelidikan, 48 persen merupakan pejabat kecil, dan enam persen sisanya datang dari profesi beragam serta pedagang. Jika perincian ini salah, pejabat kecil meliputi hampir setengah rekruitmen untuk tentara, meskipun petani merupakan mayoritas populasi keseluruhan. Persentase ini khususnya penting, sebagaimana Prancis mengontrol banyak wilayah-wilayah urban di mana sejumlah terbesar pejabat kecil berada. Mereka mengesankan bahwa pejabat-pejabat ini lebih tertarik oleh propaganda Komunis daripada para petani (Tanham, 1961, 58).

Senada dengan itu, suatu studi-mandiri yang diprakarsai oleh partai Komunis setelah perang memperlihatkan bahwa 1.855 posisi kunci, 1.365 dipegang oleh para intelektual atau anak-anak borjuis, 351 oleh para petani, dan 139 oleh para pekerja. Pada tahun 1965 Truong Chinh, seorang anggota pemimpin partai Komunis Vietnam Utara, menunjukkan bahwa:

partai kami lahir di suatu negeri agraris di mana kelas pekerja menurut angkanya lemah. Mayoritas terbesar kader dan militan kami berasal dari para borjuis kecil (dikutip dari Arnault, 1966, 230, catatan kaki 1).

Faktor lain yang menyokong perkembangan perkubuan gubung adalah akses ke Cina di mana sejumlah panglima perang Kuo Min Tang Cina berharap memperoleh sumber-sumber kaya Vietnam untuk mereka sendiri dan diharapkan mendukung suatu gerakan pembelaan bagi mereka sendiri melawan Prancis dan Jepang. Pasukan gerilya yang kecil di gunung-gunung dengan demikian dibiarkan tumbuh dan mengembangkan jaringannya sampai ia menjadi satu-satunya kekuatan di Vietnam yang secara aktif berperang dalam aksi-aksi gerilya melawan Jepang, dalam membantu pasukan udara Sekutu turun di teritori mereka, dan memberi informasi pada Sekutu. Meskipun begitu, skala usaha militer tetap kecil. Satu-satunya serangan bersenjata besar terjadi relatif di akhir perang pada suatu serangan lima ratus orang Viet Minh melawan empat puluh Jepang di tempat istirahat gunung Tam Dao pada tanggal 17 Juli 1945.
Akhir pemerintahan Jepang dengan demikian menempatkan Viet Minh dalam suatu posisi yang lebih memancangkan suatu klaim lebih luas dalam perjuangan kemerdekaan Indocina. Sekutu memutuskan di Teheran bahwa Indocina kembali ke abad enam belas di mana berada dalam kekuasaan pasukan Cina, sementara setengah Vietnam bagian selatan dikuasai oleh Inggris. Pasukan Inggris terlalu jauh untuk mengganggu gerakan Viet Minh yang berkuasa di pedalaman, sementara Cina terutama berkepentingan dalam merampas pedesaan dan menunjukkan sedikit perhatian dalam mengontrol sumber-sumber kekuasaan politik. Di akhir bulan Agustus sebuah pemberontakan dipimpin Viet Minh mengambil tempat di hanoi, dan pada tanggal 29 Agustus sebuah pemerintahan sementara Republik Demokratik Vietnam di mana seluruh posisi dipegang Viet Minh menancapkan kekuasaan di Hanoi. Kuo Min Tang Cina menjual banyak senjata Amerika, Prancis, dan Jepang pada pemerintah baru ditukar dengan emas, opium dan beras. Viet Minh memperoleh emas dari penduduk selama suatu “minggu emas”. Cina bersedia pergi pada bulan Februari 1946. Keadaan jelas bagi kembalinya Prancis. Pada bulan Maret pasukan Prancis memasuki kembali Hanoi.
Pada tahun 1946 perang pecah antara Viet Minh dan pasukan Prancis. Tidaklah penting memberi suatu hitungan bagian demi bagian dari perang itu untuk menyadari bahwa melalui banyak perang wilayah kontrol Viet Minh berada di pegunungan, sementara Prancis terus melanjutkan penguasaan di tanah rendah dan kota-kota. Pola ini menujukkan seawal Meri 1949 ketika suatu misi militer Prancis menganjurkan dengan segera menarik seluruh pasukan Prancis dari pinggiran wilayah-wilayah gunung ke wilayah Vietnam yang lebih rendah, yang lebih berguna, yang akan menjadi harga terakhir dari perang (Fall, 1967, 108). Usulan ini tak diperhatikan; pos-pos luar Prancis terus menempati posisi-posisi pinggiran, posisi-posisi yang meletakkan mereka pada suatu kerugian dan sementara itu memberi seluruh keuntungan pada Viet Minh. Pada bulan Januari 1950 Viet Minh melayari dataran tinggi Thailand darid elta Sungai Merah, dan pada bulan September tahun tersebut memotong delta dari utara dan selatan pegunungan. Viet Minh berusaha mendahului ke tanah dataran itu sendiri, yang bagaimanapun, mengundang kemunduran berdarah pada bulan Januari 1951. Sama dengan usaha Prancis pada bulan Februari untuk merebut Hoa-Binh, yang mengontrol dekat tanah-tanah tinggi di Barat, ternyata sama tidak berhasil, hanya menghabiskan vitalitas pasukan manusia dan materil yang dibutuhkan. Pada titik ini Viet Minh mengangkat tekanannya untuk menaklukan dataran tinggi Thailand, Laos Tengah dan Pegunungan Plateau Selatan, membuat Prancis membubarkan pasukannya di daerah yang sesuai untuk suatu pasukan modern dan lebih menguntungkan bagi pasukan gerilya. Di dataran tinggi Thailand, Prancis mendapat dukungan dari Thailand Putih sementara Viet Minh mendapat bantuan Thailand Hitam dan kelompok minoritas Meo. Peperangan terakhir Dien Bien Phu mengambil tempat di suatu wilayah yang merupakan medan pertempuran tradisional di antara kelompok-kelompok suku yang mendominasi di Zona bahasa Thailand. John T. McAlister telah mengatakan dengan miring bahwa pertempuran Dien Bien Phu “dapat dianggap sebagai suatu pertarungan untuk Sip Song Chau Tai, di mana para antagonis melawan bantuan luar sebagaimana mereka lakukan di masa lalu” (1967, 832). Namun tak pernah sebelumnya pertempuran menjadi peperangan dengan bantuan ekstrenal dalam skala besar, atau dengan sekutu Vietnam yang jauh dari markasnya. Kisah peperangan di Dien Bien Phu dari bulan Maret sampai Mei 1954 adalah sejarah. Prancis menderita suatu kekalahan yang demikian besar sehingga merusak kemampuan mereka untuk melanjutkan perang. Pada bulan Juni Prancis mundur ke Hanoi dan Haiphong. Pada tanggal 21 Juli 1954 kontrol Vietnam secara formal berpindah ke tangan Viet Minh.
Sejak awal perlawanan melawan Prancis, Viet minh menyusun banyak program land reform yang radikal. Ia mengambil pola Komunis Cina dalam meletakkan perjuangan melawan invasi asing di atas pelaksanaan konflik kelas yang segera. Tekanan utama secara ekonomi ditempatkan di atas peningkatan produksi pertanian, secara sosial di atas suatu pengurangan sewa dan tingkat pembayaran bunga. Karena petani pemilik lebih meluas di utara daripada di selatan, sementara keluhan utama petani terpusat pada sewa dan riba tanah yang tinggi, dengan demikian kebijakannya adalah segaris dengan kepentingan segera populasi petani. Lebih jauh, Viet Minh mengakui bahwa suatu perubahan utama struktur sosial dan politik akan mendahului mobilisasi petani miskin dan menengah melawan orang kaya di desa-desa, daripada mengikutinya:

Dalam rangka meneruskan perjuangan anti-feodal di Vietnam, lebih diperlukan memasukannya sebagai suatu prasyarat transformasi struktur sosial yang radikal di mana akan menjadikan para petani yang tereksploitasi pecah ke dalam lingkaran ganas yang dibatasi (Le Chau, 1966a, 72).

Meskipun begitu, sejumlah kecil land reform dilaksanakan, sebagian melalui penyitaan tanah yang dimiliki orang Prancis dan musuh-musuh Viet Minh, sebagian melalui pendudukan tanah yang dikuasai oleh kelompok keagamaan yang bermusuhan pada pemberontak, terutama Katolik. Di antara tahun 1945 dan 1953, Viet Minh mendistribusikan 310.210 hektar, atau 15 persen total tanah garapan di Vietnam Utara, dengan sekitar 17 persen rumah tangga petanu memperoleh tanah (Le Chau, 1966a, 108-109). Penambahan persentase yang dimiliki petani menengah ini dari 30,4 persen pada tahun 1945 ke 34,6 persen pada tahun 1953, oleh petani miskin dari 10,8 persen ke 15,6 persen, dan oleh para buruh pertanian dari 0,0 sampai 2,1 persen (1966a, 110). Sewa dikurangi 25 persen, hutang riba yang dikontrol sebelum Agustus 1945 dihapuskan, dan tingkat bunga ditetapkan pada 13 persen untuk pinjaman moneter dan 20 persen untuk pinjaman setimpal. Pada saat yang sama, produksi pengrajin, yang telah siap menerima dorongan selama periode lama isolasi dari pasar dunia yang ditandai oleh Perang Dunia II, menerima dukungan kuat Viet Minh; penambahan di produksi tekstil terutama tampak. Penambahan demikian mengijinkan Republik Hutan memperdagangkan kelebihan hasil bahkan dengan wilayah yang diduduki Prancis, sebuah perdagangan yang khususnya tampak meningkat dengan cepat dari tahun 1952 sampai 1954 (Le Chau, 1966, 96). Viet Minh juga terbuka pada seluruh pendirian industri di wilayahnya, memindahkan dan mengedarkan para pekerja terampil dan mesin-mesin di dalam pegunungan di mana perlengkapan relatif aman dari serangan musuh.
Secara organisasional, Viet Minh ternyata sama mahir menyesuaikan diri pada keadaan darurat populasi petani. banyak yang telah ditulis tentang dukungan Komunis pada “hirarki sejajar”, di mana unit-unit teritoril – demikian sebagaimana desa, kelompok desa, distrik, provinsi, dan zona – ditarik oleh asosiasi-asosiasi berbasis fungsi – sebagaimana asosiasi petani, pekerja atau intelektual, wanita atau pemuda. Kenyataannya, organisasi teritorial di utara lebih fleksibel daripada yang ditunjukan di meja organisasi formal, sementara pendirian asosiasi-asosiasi fungsional secara sederhana mengikuti pola-pola di selatan dan pusat negeri. Organisasi teritorial,

terutama terdiri dari suatu rantai horisontal komite-komite level desa ... pada saat yang sama unit basisnya adalah desa, dan basis administratif serta organ yudisial adalah komite, apa pun namanya. Komite-komite ini selama perang Viet Minh digabung seperti jari-jari dari sebuah roda komite level provinsi, dan provinsi-provinsi terhubungkan di tahun pertama pada Kementrian Dalam Negeri Vo Nguyen Giap (Pike, 1966, 47).

Komite-komite ini menggunakan kontrol Yudisial, membuka sekolah-sekolah, dilakukan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi Viet Minh, sebagaimana seerti pengurangan sewa dan bunga, dan distribusi tanah, dan mengorganisir usaha-usaha milier serta paramiliter komite-komite. Di selatan – di mana kontrol Prancis lebih kuat – organisasi dibentuk dari suatu jaringan daripada suatu komite-komite revolusioner; ini ternyata berhasil di utara (1966, 47).
Penggunaan pola dan simbol-simbol adat-istiadat desa mengijinkan Viet Minh membangun sebuah jembatan antara masa lalu dan masa yang akan datang, daripada memutuskan masa lalu. Paul Mus, orang Prancis berpendidikan Budhisme yang tercatat telah menunjuk bahwa konotasi-konotasi xa hoi hoa adalah frasa Vietnam untuk sosialisme. Xa adalah:

desa, komunitas desa tradisional, dengan konotasi-konotasi spiritual dan sosialnya ... kata kunci xa memiliki suatu nilai pusat. Ia menggambarkan sebuah pemandangan; bukan suatu pemandangan eksternal, tetapi suatu pemandangan sosiologikal.

Hoi mengkonotasikan “persatuan, majelis, masyarakat”. Kata hoa:

melengkapi gambaran semi Konfusian ini. Jauh dari pernyataan langsung suatu ledakan revolusioner, diterapkan khususnya pada aksi di pedalaman melalui suatu “Amanat Surga”, melalui raja-raja yang merupakan penunjangnya, membudayakan suatu negeri dan membawa ke dalam seluruh karakter sosial manusia yang sedang berbunga.

Kata-kata tersebut dengan demikian,

meletakkan mas depan Vietnam di bawah ketidakleluasaan suatu masa lalu dan tradisinya yang lampau terhadap Prancis (Mus, 1952, 253, 261).

Sama dengan itu, Nguyen Khac Vien menunjuk bahwa:

Marxisme tak pernah membingungkan Konfusian dalam memusatkan pikiran manusia atas masalah-masalah politik dan sosial; sekolah Konfusian tidak berbuat lain. Mendefiniskan manusia dalam pernyataan-pernyataan keseluruhan hubungan-hubungan sosialnya, Marxisme bahkan tak mengejutkan orang melek huruf yang berpikir bahwa pemikiran tertinggi manusia adalah memperbaiki kewajiban sosial ... Indivisualisme borjuis yang meletakkan indivisualismenya di atas masyarakat, anarkisme borjuis kecil yang tak mengakui disiplin sosil yang lain adalah asing baik Konfusian maupun Marxisme. Dalam pergerakan dari masyarakat tradisional ke masyarakat sosialis, orang Konfusian mengambil suatu disiplin sosial baru, tetapi di dasar hatinya ia tak pernah bermusuhan, sebagaimana para borjuis individual, prinsip yang sama disiplin kolektif, mempercayainya menjadi sangat diperlukan mengembangakan personalitasnya (dikutip dari Chesneaux, 1968, 49).

Dengan kekalahan Prancis dan penandatangan Perjanjian Jenewa, Viet Minh mengambil alih Vietnam Utara sejajar dengan abad ketujuh belas, dan terus menjalankan suatu program utama land reform serta reorganisasi sosial di seluruh negeri. Pelaksanaan program jatuh ke dalam dua tahap. Selama tahap pertama, tahun 1954 ke 1958, tanah diambil dari para tuan tanah dan diredistribusikan di antara para petani; pada saat yang sama, kontrol politik diambil dari tuan tanah dan petani kaya dan dialihkan pada petani miskin dan menengah. Rejim karena itu memulai suatu kebijakan perjuangan kelas di desa-desa yang akan:

mendasarkan seseorang tanpa syarat pada petani miskin dan petani menengah berstatus rendah, membatasi ekspolitasi ekonomi petani kaya dalam rangka menghapuskannya sampai akhir, mendidik petani menengah secara ideologis, menjaga para tuan tanah menaikkan kekuasaannya, membiarkan mereka berkesempatan merubah diri mereka menjadi orang baru melalui kerja (Truong Chinh, dikutip dari Le Chau, 1966a, 173).

Pada saat yang sama, kerjasama sekali-sekali yang merupakan suatu pola lama di antara anggota desa yang sama dan desa-desa yang berdekatan, dirubah menjadi tim-tim kerjasama yang teroganisir dan reguler. Di tahap kedua, land reform merupakan kemajuan dari redistribusi tanah sederhana untuk mengorganisasi koperasi-koperasi sebaik pendirian perkebunan-perkebunan kolektif yang diambil dari model Rusia.
Tahap pertama land reform, bagaimanapun, melepaskan suatu gelombang teror yang hampir menghancurkan kesempatan untuk suatu reorganisasi pertanian. Klasifikasi penduduk ke dalam kelompok-kelompok kelas dijalankan oleh kader partai dengan keganasan yang sepenuhnya, dan – seringkali – dengan sewenang-wenang. Pengaduan publik, diorganisir ke dalam keluhan melawan tuan tanah, sering mengadukan orang tak berdoa menjadi bersalah, para petani menengah terus bersama pendudukdesa yang lebih kaya, sampai ketika koran Vietnam Utara Nhan-Dan mengumumkan: “Saudara-saudara dari keluarga yang sama tak berani lagi saling berkunjung, dan rakyat tak berani memberi salam satu sama lain ketika mereka bertemu dijalan” (dikutip dari Fall, 1967, 156). banyak yang dieksekusi, yang lain dipenjarakan; seseorang memperkirakan jumlah orang yang terbunuh mencapai angka 50.000, yang dipenjara 100.000 (1967, 156). Kampanye memprovokasi perpecahan serius di antara para pemimpin Komunis pedesaan, banyak di antaranya para veteran perlawanan, dan eselon-eselon yang lebih tinggi mengisinya dengan melaksanakan program. Mereka, biasanya berasal dari kau, urban, datang ke desa untuk dikenal sebagai “kader dengan gigi dipernis (kebiasaan penduduk yang merupakan simbolis untuk ‘penting’) yang membunuh” (Le Chau, 1966a, 151). Suatu pemberontakan skala penuh pecah di Provinsi Nghe An, “Ibunda Revolusi”. Sementara hal itu dikalukan dengan kekuatan, hal itu juga memberi sinyal bagi rejim untuk menghentikan kampanye, dan “meralat kesalahan-kesalahan” dalam suatu pesta-pora kritik diri.
Percobaan memacu perjuangan kelas di desa-desa hampir merupakan usaha pada reformasi agraria. Produksi turun dan tim-tim kerjasama berkurang lebih dari 50 persen (Le Chau, 1966a, 148). Dalam gelombang “kampanye rektifikasi”, suatu usaha yang dimulai pada tahun 1958 untuk menggerakkan petani ke dalam “semi sosialis” atau koperasi-koperasi “sosialis”. Koperasi semi-sosialis pada tanah yang disatukan, ternak, peralatan anggota-anggota individual, membayar sewa untuk kontribusinya, sebagaimana sebuah pembagian upah yang diterima bagi penduduk keseluruhan. Ini menetapkan suatu kompromi antara pemilik individual dan operasi kolektif. Mempertahankan ketidaksama-rataan dalam kepemilikan tanah dan ternak, dibayar berbeda pada sewa para partisipan. Sebaliknya, dalam koperasi sosialis – atau perkebunan kolektif tipe Rusia – menjadikan hak milik sebagai hak milik kolektif, dan membayar para partisipan dengan upah yang dibayar dalam proporsi pemasukan kerja mereka. Adalah dengan cara koperasi semi-sosialis yang dilaksanakan selama usaha rekonstruksi agraria yang diperbaharui. Di antara tahun 1958 dan 1960, 85 persen unit-unit perkebunan dan 76 persen tanah di Vietnam Utara digarap Kolektif. Tanah yang dikolektifkan pada tahun 1959, 694.800 hektar dimiliki koperasi semi sosialis dan hanya 39.600 hektar oleh koperasi-koperasi sosialis (Le Chau, 1966a, 184-186). Sepanjang sektor sosialisasi ini, kepemilikan individual juga dijalankan. Lebih jauh, diakui bahwa masyarakat tak akan cukup memproduksi tanpa intensif kepemilikan dan derma individual di masa depan yang tak lama. Pada tahun 1959 diperkirakan bahwa sebanyak 50 persen seluruh penghasilan rumah tangga petani tetap diperoleh dari usaha individual, seperti memelihara ternak (16 persen), aktivitas “ambahan” (17 persen), dan mengelola tanah-tanah keluarga (17 persen) (Le Chau, 1966a, 358-359). Berbeda dengan pengolahan yang dibangkitkan oleh kampanye “klasifikasi penduduk”, reformasi agraria sendiri tampak menghasilkan sedikit pengolahan, barangkali karena ia tidak sekaligus pada kolektivisasi dan barangkali karena ia diteruskan dalam suatu atmosfir relaksasi setelah ketegangan yang menurut keputusan yang dianggap berasan dari Ho Chi Minh dengan mengatakan bahwa:

untuk meluruskan sebatang bambu yang bengkok, seseorang harus menekuknya ke arah yang berlawanan, menahannya dalam posisi demikian sejenak. Kmudian, ketika tangan kita lepaskan ia perlahan-lahan akan meluruskan dirinya sendiri (Hoang, 1964, 211).

Kejadian-kejadian tersebut mengambil suatu jalan yang berbeda di Selatan. Sementara Prancis memusatkan usaha militer mereka secara luas di utara, Viet Minh di Selatan datang mengontrol banyak wilayah pedesaan yang secara luas gagal. Pada akhir Perang Dunia II mereka akhirnya memerintah setengah desa-desa Vietnam garis lintang tujuh belas; beberapa memperkirakan desa-desa di bawah kontrol mereka sebanyak 90 persen (Kahin dan Lewis, 1976, 102). Kepentingan terdepan dalam ekspansi tak terintangi ini adalah program bebas mereka dalam distribusi tanah yang dimiliki para tuan tanah Prancis dan Vietnam pada para petani; sebanyak 600.000 hektar disebut telah dialihtangankan dengan cara ini (Le Chau, 1966b, 58).
Namun meskipun keberhasilan-keberhasilan ini terjadi, penguasaan Viet Minh di Selatan tetap lebih lemah daripada di Utara. Ini adalah bagian untuk lebih memecah struktur sosial; organisasi level desa kurang berpadu daripada di Utara. Sementara hal ini memberikan kesempatan bagi penetrasi oleh individu-individu atau kelompok-kelompok kecil yang dapat membentuk bagian suatu jaringan organisasional yang lebih besar, ia juga menyumbangkan kesulitan yang lebih bagi organisasi komunitas desa keseluruhan. Di Selatan, lebih jauh, Viet Minh juga menghadapi persaingan dari dua sekte militer-keagamaan utama yang tak punya maksud menyerah pada kontrol para revolusioner di pedesaan. Kedua sekte ini tumbuh sebagai gerakan yang pura-pura millenarian, menawarkan suatu ideologi dan organisasi padu bagi individualisasi dan kurang solider pada petani zona perbatasan selatan.
Yang pertama dari sekte-sekte ini adalah Cao Dai – nama yang berarti “Tempat Tinggi – sebuah sinonim untuk Tuhan yang memelihara alam semesta. Di Vietnam gerakan ini dikenal sebagai “Amnesti Ketiga Tuhan”. Dua amnesti pertama mempercayakan diri pada Musa dan Yesus; yang ketiga adalah Oriental dan digambarkan oleh Budha dan Lao Tzu. Tuhan, bagaimanapun bicara kepada manusia melalui pola medium roh Vietnam secara luas. Pesan pertama yang dikatakan telah sampai pada seorang mandarin secara sempurna pada tahun 1919; pekerjaannya, mantan pedagang, mengorganisir dan mendirikan gerakan. Seperti Gereja Katolik ia memiliki suatu hirarki yang dikepalai oleh paus, tetapi juga memiliki suatu kekuasaan sekuler yang bertanggung jawab pada administrasi lokal, fungsi-fungsi perang, dan pasukan bersenjata gerakan. Pada tahun 1926 Cao Dai memiliki dua puluh ribu pengikut, banyak di antaranya pemilik pos-pos pada administrasi Prancis; yang lain masuk organisasi-organisasi nasionalis seperti Pemuda Annam, tetapi bergabung dengan Cao Dai ketika organisasi ditekan oleh Prancis. Setelah 1934 gerakan tersebut pecah menjadi beberapa segmen yang berlawanan. Secara umum anti-Prancis sebelum dan selama Perang Dunia II, mereka kembali melawan Viet Minh selama tahun-tahun perlawanan, terutama untuk melindungi kekuasaan indipenden mereka. Bagaimanapun,

unit-unit militer sekte-sekte ini terutama dipusatkan dengan memperoleh fief-fief yang luas. Karenanya, suatu unit militer mnetapkan – sebagaimana sebelumnya dalam kasus panglima-panglima perang di Cina – suatu aset komersial yang sungguh-sungguh tak dapat menghamburkan uang dalam suatu operasi militer yang mendadak. Ini membuat sekte-sekte tersebut enggan berperang melawan Viet Minh secara efektif dan pasukan mereka jarang dapat digunakan selain di atau dekat wilayah tempat tinggal mereka sendiri (Fall, 1955, 241).

Cao Dai mengklaim lebih dari sejuta setengah pengikut, banyak di antaranya berpusat di delta Mekong Selatan, di Provinsi Tay Ninh dekat perbatasan Kamboja; dan di Saigon sendiri.
Sekte utama lainnya adalah Hoa Hua, diorganisir tahun 1939 dengan kubunya yang kuat di Provinsi Mien-Tay. Mengklaim berakar pada gerakan anti-Prancis abad kesembilan belas yang menghasilkan dua pemberontakan lokal – pada tahun 1875 dan 1913 – orientasi utamanya adalah suatu “Protestanisme” Budhis. Penyembahan tak memerlukan candi-candi, pagoda atau objek-objek ritual, membatasi pengeluaran pada pengeluaran ritual sekali-kali seperti pernikahan dan penguburan, dan tak setuju pada perjudian, minum, menghisap opium, dan menjual anak perempuan, serta perkawinan yang diatur. Secara kuat pro-Jepang dan anti-Prancis pada Perang Dunia II, mereka tak sungguh-sungguh berharap menyerahkan wilayah di bawah kontrol mereka pada Viet Minh dan mendukung Prancis selama periode perlawanan. Kekuatan terbesar mereka kembali berada di wilayah selatan dan barat Saigon. Fief-fief Hoa Hao, kata Bernard Fall,

pertama-tama dan terutama merupakan badan ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para pemimpinnya, banyak yang telah berkenalan dalam lingkaran pemerintahan atas. Soai dan para pemimpin teman-temannya [mengontrol kelompok Hoa Hao yang lebih tua], sebagai contoh, mengontrol bagian terpenting pembelian beras dan operasi penggilingan di wilayah Bassac, melalui SOCACI, perusahaannya sendiri, digabungkan oleh pemerintah Vietnam setelah serangkaian ketidakberesan namun sangat berhasil diintervensi oleh person-person yang berpengaruh. Panen dijual oleh para petani pada Soai di bawah harga pasar dan kemudian menyimpannya sampai akhir musin (ketika harga tinggi) serta kemudian menjualnya pada perusahaan-perusahaan besar di aigon pada suatu keuntungan yang sangat tinggi (1955, 249).

Gerakan ini mengklain sekitar sejuta pengikut dan memiliki milisi sendiri sebanyak dua puluh ribu orang.
Kedua sekte militer-keagamaan ini menerima penguatan lebih lanjut setelah Perjanjian Jenewa oleh migrasi ke Selatan yang luas dari 700.000 orang Katolik. Berlokasi terutama di wilayah selatan Sungai Merah sejak pertengahan abad kesembilan belas.

Di sini kau dapat melihat agama dengan seluruh keinginannya untuk kekuasaan dan dominasi. Ini merupakan suatu dunia geometrikal seluruhnya pada kepercayaan, sesuatu di mana tanah, manusia dan segala sesuatu yang lainnya telah diciptakan oleh para pendeta sebagaimana Tuhan menciptakan bumi. Di abad yang lalu tak ada yang eksis kecuali rawa-rawa, suatu arus permanen di mana air muara kemerahan bergabung secara tak terlihat dengan aliran pasang di laut. Tetapi di wilayah ini para misionaris lumpur dan air laut menggali kanal-kanal, mewujudkan suatu papan main pulau hijau dan menaruh suatu populasi di mana mereka dipabpris secara berombongan. Belakangan kependetaan menjadi sepenuhnya Vietnam, dan dengan sangat cepat tetap tumbuh kekuasaan feodal yang lain, suatu eklesiastikal atas nama Tuhan. Lapangannya adalah kependetaan. Setiap lapangan utama, dengan gereja di tengahnya, merupakan suatu jamaah gereja; tuannya adalah Tuhan dan para anggora jamaah adalah hamba-hambanya (Bodard, 1967, 211).

Para petani Katolik pengingsi dari wilayah ini, dipimpin oleh pendeta-pendeta mereka, bermukin di desa-desa baru di Vietnam Selatan, ke selatan sampai garis lintang tujuh belas, yang lainnya di wilayah pegunungan yang ditinggali oleh kelompok-kelompok etnik non-Vietnam, dan yang lainnya lagi tetap di suatu kerumunan di desa-desa yang mengelilngi Saigon. Orang-orang Katolik dengan kemampuan profesional akan memimpin dukungan mereka pada rejim anti-komunis baru di Vietnam Selatan, dan berperang kembali dengan Viet Minh dalam penyamaran barunya ke selatan dalam Front Liberasi Nasional.
Perjanjian Jenewa disusun untuk evakuasi pasukan Viet Minh dari Selatan; sekitar lima puluh ribu orang pergi ke Utara, bersama mereka adalah dua puluh ribu simpatisan sipil, banyak dari mereka datang dari pantai timur, merupakan pendukung kuat Viet Minh (Pike, 1966, 47). Mereka juga mendirikan serangkaian benteng pertahanan yang membantu mereka dengan baik selama perlawanan, dan yang akan datang dari basis-basis gerilya baru yang berusaha mendobrak dengan segera pada tahun 1958. Berlokasi di Provinsi Quang Nghai di pantai timur; di pegunungan di atas kota Nha Trang, utara Teluk Camranh; Provinsi Tay Ninh utara seanjang perbatasan Kamboja, Zona D, di Provinsi Phuoc Tanh dan Binh Duong di sebelah utara Saigon; Ban O Quan di Provinsi Kien Phong di delta Mekong; dan Provinsi An Xuyen di ujung selatan Vietnam (Pike, 1966, 80). Lebih jauh, mereka mempertahankan kenangan mereka akan tanah yang didistribusikan secara bebas dan tanpa pembayaran di benak para petani di semua wilayah di mana mereka telah memenangkan kontrol sebelum tahun 1954. Faktor ini dapat meminkan suatu peran penting di semua peristiwa yang akan datang. Seseoang memberi perkiraan bahwa kaum Komunis tetap di belakang suatu jaringan sepuluh ribu orang yang akan aktif di waktu yang diperlukan (Pike, 1966, 75, catatan 3).
Waktu tersebut datang lebih cepat daripada yang diharapkan, dan ketika ia datang Viet Minh dapat memiliki sekutu-sekutu tak terduga yang sama. Ketika Viet Minh memperoleh pengikut-pengikut dengan mengerahkan orang Vietnam melawan suatu kekuatan luar, Prancis, maka para revolusioner di Selatan akan segera dapat mengerahkan dukungan bagi alasan mereka melawan musuh umum, saat ini rejim baru dikepalai oleh Ngo Dinh Diem. Diem berkuasa sebagai suatu hasil sebuah kekosongan kekuasaan. Ketika itu Viet Minh sedang menarik diri ke utara dalam rangka melaksanakan Perjanjian Jenewa. Diem mewarisi dari Prancis suatu pasukan asing Vietnam, berjumlah 250.000 orang (Shaplen, 1966, 134). Ia telah mengaktifkan dukungan Amerika Serikat; dan ditopang oleh banyak orang Vietnam anti-Komunis, termasuk orang-orang Katolik. Rejim mencatat dua sukses awal. Yang pertama, Diem berhasil dalam mengembalikan pasukannya melawan sekte-sekte keagamaan-militer, Cao Dai dan Hoa Hao, bergabung dengan suatu kelompok “seperti mafia” ketiga di Saigon ke dalam suatu Pasukan Nasional Front Bersatu. Sekte-sekte ini telah siap menantang otoritas pemerintahan baru, tampil dengan dukungan Prancis yang tersembunyi. Kekalahan mereka secara kuat membantu sentralisasi kekuasaan pemerintah. Diem kemudian dapat menyebarkan pasukan barunya ke seluruh Vietnam Selatan, khususnya di semenanjung Camau dan di wilayah Quang Nghai serta Binh Dinh yang bertindak lebih sebagai pengikut setia Viet Minh tradisional.
Keberhasilan militer awal ini, bagaimanapun, memperkuat pendirian rejim bahwa misi utamanya adalah,

mengkonsolidasi kerucut Vietnam yang terpotong ke dalam negara anti-Komunis yang nyata; mendirikan kontrol tak terlawan oleh pemerintah pusat; dan mempersiapkan wilayah non-Komunis untuk suatu pertikaian tak terhindarkan dengan wilayah Komunis. Dengan kata lain, Diem mungkin telah mempertimbangkan posisinya sendiri untuk menyerupai Kekaisaran Gia Long yang, di akhir abad kedelapan belas dan dengan bantuan para penasihat asing, mengalahkan para perebut kekuasaan, menyatukan kembali kerajaan Vietnam, memberinya kode-kode dan undang-undang yang memerintahnya selama lima tahun (Fall, 1967, 238).

Pada tahun 1955, pemerintahan ini menolak melaksanakan pemilihan umum yang bebas, bertentangan dengan klausa Perjanjian Jenewa, yang telah menetapkan pelaksanaan pemilihan umum, dan di mana Viet Minh di utara telah memberi persetujuannya dengan keyakinan bahwa pemilihan demikian akan berakhir untuk kepentingannya. Pada bulan Juni 1956, rejim Selatan bergerak untuk juga menggagalkan pemilihan kepala-kepala desa dan dewan-dewan kota, dengan demikian berakhir dalam satu pukulan pada otonomi tradisional desa-desa Vietnam, serta membuat marah petani pemilih. Alasan nyata untuk gerakan ini adalah bahwa Viet Minh akan memenangkan banyak pemilihan ini. Pejabat lokal dan kota diangkat. Untuk memperkuat lebih lanjut kekuasaan pemerintah pusat, sebuah partai politik baru, Can Lao, didirikan. Fungsi utamanya lebih merupakan sebuah “agen intelektual politik” daripada sebuah partai massa (Shaplen, 1966, 130), dibuat untuk mendeteksi kaum Komunis atau yang tak sepakat lainnya. Pada akhir tahun 1956 lebih dari lima puluh ribu orang dipenjarakan (Kahin dan Lewis, 1967, 100). Untuk memberi minyak pada konaran api lebih lanjut, pemerintahan baru juga mensponsori suatu program agraria yang menimbulkan kebencian petani yang telah menerima lebih dari 600.000 hektar tanah (Le Chau, 1966b, 58) melalui distribusi tanah Viet Minh. Para penyewa tanah termasuk para tuan tanah yang tak membayar sewa selama sembilan tahun tiba-tiba diminta membayar sewa sekali lagi, bahkan meskipun pada suatu tingkat pengurangan 25 persen. Belakangan di tahun 1958, pemerintah memulai suatu program distribusi tanah di mana para petani diminta untuk membeli dalam angsuran enam tahun untuk tanah yang banyak di antaranya telah digarap sebagai milik mereka sendiri. Pmbalikan dalam kebijakan tanah di bawah Diem memiliki suatu akibat khusus pada penduduk non-Vietnam yang tinggal di gunung. Mereka telah menerima perkebunan-perkebunan besar milik Prancis sebagai sebagai milik mereka selama periode Viet Minh. Pada saat yang sama Viet Minh telah membuat sebuah usaha khusus menjamin otonomi administratif dan budaya yang penting bagi kelompok-kelompok minoritas etnik. Rejim Diem mengubah kebijakan ini dengan membatalkan otonomi kelompok etnik dan menurampas tanah yang didistribusikan pada mereka, serta menempatkan 210.000 orang pesisir Vietnam di pegunungan tinggi di mana secara sejarah diperoleh suku-suku sebagai milik mereka sendiri. Akhirnya, pemerintah, dibebani pengungsi Katolik dari Utara, dengan berat menyokong orang-orang Katolik yang merupakan 10 persen dari jumlah penduduk.

Banyak kepala distrik dan provinsi sebagaimana para pemimpin desa adalah Katolik, sepenting para pemimpin militer. Desa-desa Katolik, melalui pengaruh hirarkinya yang berkembang, banyak diuntungkan oleh program-program keringanan dan bantuan. Mereka banyak mengambil tanah-tanah yang disediakan untuk membangun sekolah-sekolah dan rumah sakit dengan bantuan prajurit-prajurit yang diangkat, diberi prioritas hutang di bawah sistem kredit pertanian pemerintah, memperoleh ijin resmi untuk menebang dan menjual kayu dari hutan lindung nasional, dan memperoleh monopoli ekspor-impor, termasuk hak ekslusif untuk transaksi produk-produk baru dan menguntungkan seperti kapuk dan kenaf (Shaplen, 1966, 191).

Sementara para pendukung Diem mengatakannya sebagai “pemerintah demokratik seorang diri”, yang lain menyebut sang rejim sebagai “suatu negara berpolitik pura-pura” (Fishel, dalam Gettleman, 1965; Henderson, bicara tahun 1957, 1968, 183).
Tahun-tahu antara 1857-1958 menjadi saksi suatu kemunculan secara perlahan pasang ketidakpuasan pada rejim; pada tahun 1960 banyak dari wilayah lintang tujuh belas selatan Vietnam memulai pemberontakan. Penyebab pemberontakan ini – dalam perang saudara atau dalam “agresi dari utara” – tak hanya menampilkan pertanyaan-pertanyaan akademik, tetapi berhubungan erat pada banyak diskusi kebijakan Amerika Serikat di Vietnam. Akan diingat bahwa Viet Minh bukan satu-satunya kelompik anti-rejim di Selatan garis batas Vietnam: juga tetap eksis kelompok-kelompok Hoa Hao dan Cao Dai yang tak menerima integrasi ke dalam pasukan Vietnam. Banyak dari mereka ini tidak tentram sampai tahun 1962. Juga ada kelompok-kelompok nasionalis klandestin seperti partai Dai Viet yang memiliki unit-unit bersenjata di perkebunan, biasanya di Provinsi Quang Tri. Pada saat yang sama, kata Douglas Pike, seorang ahli memimpin di Front Liberasi Nasional dan seorang pembela tesis-tesis bahwa pemberontakan secara kuat mendukung dari luar,

dalam ungkapan aktivitas yang jelas demikian sebagai insiden-insiden bersenjata atau distribusi leaflet-leaflet propaganda periode tersebut yang merupakan periode sepi dan kaum Komunis di dalam sisa organisasi Viet Minh relatif tak aktif. Lebih lanjut, banyak aktivitas mengambil tempat yang rupanya merupakan kerja para kader tak sabar yang beroperasi di Selatan secara independen dari pemerintah Hanoi (1966, 75).

Ada fakta-fakta yang lain, bahwa Vietnam Utara – melanjutkan kepercayaan bahwa pemilihan umum yang bebas akan menghasilkan dan mengembalikan suatu mayoritas pada Viet Minh – mendorong para simpatisan, melalui Radoi Hanoi, untuk memenuhi Perjanjian Jenewa dan mempergunakan taktik-taktik damai. Setelah tahun 1956, ketika harapan pemilihan memudar, Vietnam Utara semakin menjalankan program transformasi sosial dan reformasi agrarianya dari markas, serta terlibat dalam seluruh kesulitas yang telah kita bicarakan. Ketika para militan Selatan mulai ramai menuntut aksi, Radio Hanoi mengingatkan melawan pembukaan kembali permusuhan. Hal ini juga menjadi isu tajam dengan tuntutan-tuntutan bahwa suatu pemberontakan baru tak hanya bercita-cita akan menghancuran rejim Diem dan penyatuan nasional, tetapi juga menjalankan suatu program sosialisme radikal (Kahin dan Lewis, 1967, 110-112). Pada tahun 1958, bagaimanapun, ada fakta-fakta dari wilayah-wilayah lokal yang biasa eperti desa Khanh Hau di Provinsi Long An, mengenai suatu gerakan politik baru, disebut Front Nasional untuk Liberasi Vietnam,

disebut oleh pemerintahan Vietnam Selatan sebagai Viet Cong atau Komunis Vietnam ... dan selalu disebut Viet Minh oleh orang-orang desa. Di sekitar Khanh Hau usaha pertama Viet Cong secara luas adalah membatasi pada propaganda anti-pemerintah (Hickey, 1964, 10).

Pada tahun 1959, kelompok-kelompok klandestin memunculkan diri di Quang Nghai, suatu pendukung Viet Minh terdahulu dan selama rejim Diem merupakan suatu wilayah represi yang sengit (Lacouture, 1965, 70). Perpecahan sedang berkembang di antara para pemimpin Utara dan para pemberontak Selatan. Orang-orang Utara,

telah mendengarkan jawaban yang lebih menusuk yang diarahkan pada mereka atas ketidakmampuan Utara untuk melakukan apa pun pada kediktatoran Diem. Penolakan perlunya strategi luas kubu sosialis minim, atau tidak ada, terhadap pasukan gerilya yang dikejar-kejar ... pada tahun 1959, unsur-unsur yang bertanggung jawab atas perlawanan Komunis di Indocina datang untuk menyimpulkan bahwa mereka telah bertindak, apakah Hanoi menginginkan mereka atau tidak. Mereka tak dapat terus diam sementara para pendukung mereka ditangkap, dijebloskan ke penjara dan disiksa, tana mencoba melakukan apa pun sebagai sebuah organisasi, tanpa memberi kepemimpinan pada rakyat dalam perjuangan di mana mereka terlihat. Hanoi lebih suka jalan diplomatik, tetapi hanya menjumpai pemaksaan (Devillers, 1962, 15).

Pada bulan Maret 1960, sebuah kelompok yang menyebut diri Mantan Pejuang Perlawanan Vietnam Selatan melancarkan suatu seruapn pada “seluruh strata sosial, seluruh lingkungan pergaulan” untuk secara intensif berjuang melawan rejim (teks dalam Kahin dan Lewis, 1967, 384-387); pada bulan September 1960, partai Komunis Vietnam Utara memberi ijin suatu “Front Persatuan yang luas diarahkan melawan Amerika Serikat dan Diem serta mendasarkan pada aliansi pekerja-petani”. Pada tanggal 20 Desember 1960, Front Liberasi Nasional Vietnam Selatan (NLF) secara formal didirikan,
Douglas Pike menggambarkan asal-usul keanggotaan Front Liberasi sebagai berikut:

Anggota-anggota NLF asli, dan para pendukungnya yang sangat bersemangat di tahun-tahun awal, datang dari barisan Komunis Viet Minh; sekte Cao Dai dan Hoa Hao; beragam anggota kelompok minoritas, terutama etnis Kamboja, pemuda idealis, direktur dari Universitas dan sekolah-sekolah politeknik; para representatif organisasi-organisasi petani dari bagian delta Mekong, di mana masalah sewa tanah yang serius terdapat; para pemimpin partai politik atau kelompok kecil, atau asosiasi profesional; intelektual yang berselisih dengan GVN [pemerintah Vietnam] (basanya anggota suatu jaringan Komite Damai yang telah ada pada tahun 1954 di Utara maupun di Selatan); pelarian militer, orang-orang yang mencari perlindungan dari pemerintah Diem, seperti yang ditunjuk oleh para penduduk dalam kampanye Pengutukan Komunisme tetapi lari sebelum ditangkap (1966, 83).

Mereka ini dengan segera digabung oleh Viet Minh Selatan yang pergi ke Utara setelah perjanian Jenewa (1966, 83).
Apa yang kita tahu tentang asal-usul sosial dan komitmen-komitmen pekerjaan para pemimpin dan pejabat NLF sebelumnya? Mengenai tiga puluh delapan nama komando tertinggi NLF, saya hanya dapat memastikan asal-usulnya delapan: mereka anak-anak keluarga mandarin, seorang anak manajer perkebunan karet, seorang anak pembantu sipil, seorang anak pengusaha, yang lainnya anak seorang pemimpin nasionalis yang cukup dikenal. Hanya satu berasal dari orang tua kelas pekerja. Kita mengetahui suatu mengenai sejarah pekerjaan sebelumnya dari dua puluh dua di antara tiga puluh delapan; tujuh merupakan guru sekolah, satu seorang dokterm satu seorang ahli farmasi; yang lainnya masing-masing, seorang arsitek, insinyur elektro, pengacara, redaktur koran, organiser buruh, penulis, milisia Prancis, rahib Budha, dan seorang kolonel dalam “mafia” Bin Xuyen.
Beberapa informasi tampak (Pike, 1966) pada pemegang posisi-posisi level yang lebih bawah, meskipun hal itu dibuang dalam kategori-kategori yang tak sebanding. Ketua, wakil ketua, dan sekretaris jenderal level provinsi, sebagai contoh, terdaftar sebagai kader Viet Minh (9), Cao Dai (8), petani (10), pemuda (10), pengikut Budha (4), wanita (4), pekerja (3), guru (2), orang terkemuka desa (2), dan pengusaha (1). Kategori-kategori ini tak meniadakan satu sama lain. Adalah mungkin bagi seorang petani masuk dalam Cao Dai, dan seorang pemuda menjadi seorang guru. Lebih jauh, ini lebih dari sekedar mirip bahwa banyak anggota yang terdaftar sebagai Viet Minh merupakan petani; seruan gerakan yang menonjol pada banyak petani muda adalah justru bahwa mereka dapat terangkat dari situasi mereka yang rendah ke posisi-posisi penting dan berpengaruh. Meskipun begitu, kategori-kategori yang janggal menunjukkan usaha-usaha menjamin representasi untuk kelompok-kelompok yang sekarang menonjol. Hanya menghitung kelompok-kelompok itu yang diwakili oleh 10 persen atau lebih dari kursi-kusi komite-komite pusat provinsi, kami menemukan Cao Dai, 13 persen; kelompok keagamaan lain – Budha, Hao Hoa, Katolik – 23 persen; pemuda, 12 persen; intelektual, 11 persen; wanita, 11 persen. Yang mengherankan adalah rendahnya persentase daftar orang Viet Minh (6 persen) dan petani (6 persen). Di antara kepala distrik 67 persen terdaftar sebagai Viet Minh, 19 persen sebagai petani; di antara wakil kepala, petani terdiri dari 17 persen; Viet Minh, 14 persen; wanita, 13 persen. Sekretaris jenderal kebanyakan pemuda (53 persen), petani (28 persen), dan Viet Minh (11 persen) (Pike, 1966, 222-224). Untuk kepala desa, NLF menunjuk secara khusus bahwa “ia harus termasuk pada kelas petani ... harus memiliki latar belakang politik yang baik ... harus memiliki hubungan yang baik dan erat dengan penduduk desa” (dikutip dari Pike, 1966, 228). Pemberian kualifikasi-kualifikasi di atas, tiga kesimpulan muncul: orang yang digambarkan terutama sebagai petani berkurang ketika kita bergerak dari eselon bawah ke atas; perwakilan menjamin banyak kelompok-kelompok berbeda pada level atas desa; dan Viet Minh ada pada semua level, tetapi khususnya sebagai “kader penghubung” di level distrik.
Sebuah studi akhir-akhir ini yang dikemukakan oleh Rand Corporation (Mitchell, 1967) juga memberi tahu kita sesuatu tentang seruan NLF di beberapa wilayah pedalaman Vietnam Selatan. Edward J. Mitchell telah menemukan bahwa:

Dari sudut pandang kontrol pemerintah, provinsi yang ideal di Vietnam Selatan akan merupakan salah satu di mana para petani menggarap tanahnya sendiri, distribusi kepemilikan tanah tak sama rata, tak ada redistribusi tanah, pemilik Prancis yang dulu masih ada ... Ini mengesankan bahwa kekuasaan tuan tanah lebih besar dan kejinakan kaum petani di wilayah yang terhitung lebih “feodal” untuk fenomena ini (1967, 31).

Bergerak melintasi provinsi-provinsi dan variabel-variabel kekuasaan yang lain tetap, kita menemukan bahwa ketika persentase tanah yang digarap pemilik meningkat, kontrol menurun; ketika koefisien variasi bertambah, kontrol juga bertambah (1967, 15).

Pada titik ini penemuannya sungguh-sungguh konstan dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah kita ambil di mana pun di dalam buku ini. Kita telah menemukan dalam kasus lain yang telah kita diskusikan – Meksiko, Rusia, Cina – bahwa gerakan revolusioner di antara petani tampak dimulai pertama kali di antara petani yang memiliki beberapa akses pada tanah, daripada di antara petani miskin atau yang sekaligus dicabut dari tanah. Kita akan menemukan hal ini juga benar dalam kasus di Aljazair dan Kuba. Kepemilikan beberapa tanah menjamin petani pemilik kekayaan suatu ukuran kemerdekaan yang tak dimiliki oleh petani yang mempertahankan kehidupannya terutama atas para tuan-tuan besar. Petani pemilik kekayaan dengan demikian memiliki beberapa pengungkit yang independen di mana ia dapat menerjemahkannya ke dalam protes yang lebih mudah daripada seseorang yang kebebasannya sama sekali dibatasi oleh suatu situasi independensi penuh. Namun Mitchell menyebut dalam presentasinya sebuah faktor tambahan yang vital, yakni, bahwa tendensi pemberontakan dalam bagian petani Vietnam diperkuat oleh semacam redistribusi tanah yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam Selatan. Program dukungan pemerintah atas distribusi tanah menggantikan distribusi tanah yang lebih dulu dan lebih baik yang dilakukan oleh Viet Minh. Sementara dengan demikian benar bahwa distribusi tanah menambah kebebasan yang ada pada penerima, partisipasi dalam pemberontakan hanya salah satu kebebasan ini. Rupanya jenis pemerintahan yang lain, dijalankan di bawah keadaan yang lain dengan tujuan dan cita-cita di pikiran yang lain, dapat mendukung suatu rancangan distribusi tanah yang akan memberikan suatu jarak yang lebih luas untuk para petani yang dipengaruhi dan pada saat yang sama, menurunkan hasrat untuk berpartisipasi dalam pemberontakan. Pernyataan umum Mitchell yang “menyatakan bahwa redistribusi tanah telah memiliki suatu pengaruh positif atas kontrol tersebut berlawanan secara tajam (1967, 15), karena ituseharusnya tidak dibaca sebagai suatu prediksi untuk semua kasus redistribusi tanah, terutama hanya sebagai suatu deskripsi adekuat kasus Vietnam. Wilayah-wilayah di mana pemerintah dapat merasa terjamin juga merupakan wilayah di mana Viet Minh tidak berhasil di masa lalu dalam menggoyang kekuasaan padu dari tuan tanah yang kokoh.
Di dalam timbunan bermacam-macam unsur yang membentuk NLF, tentu saja kaum Komunis yang memiliki pengalaman organisasional paling luas, diperoleh selama hari-hari Viet Minh, merupakan momentum ideologikal terbesar. Pengalaman demikian yang sebelumnya mengijinkan mereka mengembangkan suatu rancangan organisasional. Hal ini juga memberi mereka dengan bentuk organisasional yang telah siap di wilayah-wilayah di mana tetap selalu kuat. Mereka tak mengawalinya dari suatu luka kecil. Kemampuan menciptakan kerangka organisasional dari permulaan sekali ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai bukti bagi NLF yang berasal-usul Utara; tetapi tak ada yang baru dalam pola organisasionalnya. Dengan sederhana menerapkan konsep hirarki sejajar, dan unit-unit teritorial yang ditarik oleh asosiasi-asosiasi yang beragam, di mana telah membantu Viet Minh dengan baik dalam perjuangan masa lalunya. Apa yang baru mengenai NLF adalah strateginya yang teliti untuk pembangunan organisasi dan pengaruhnya secara khusus pada wilayah sosial Selatan.
Akan diingat bahwa kepaduan sosial desa-desa di Selatan Vietnam ditandai kurang karakteristik daripada di Utara dan di Tengah. Pola pemukiman mereka kurang terpusat dan lebih menyebar. Ada lebih sedikit petani pemilik dan lebih banyak penyewa. Kepemilikan tanah komunal tidaklah penting. Produksi kerajinan hampir tak ada, dan juga gilda-gilda pengrajin desa ditemukan di Utara. Penduduk datang dari mana-mana dan bergerak ke wilayah perbatasan hanya dalam 150 tahun kurang.

Kelompok-kelompok persaudaraan yang berkembang luas memiliki lingkaran perhubungan yang lebih sempit ketika mulai, dan kemudian mengikuti suatu pola kewajiban-kewajiban persaudaraan yang lebih longgar serta ketaatan ritual yang direfleksikan dalam suatu pengabaian yang lebih luas dalam menjaga silsilah keluarga (Hendry, 1964, 260).

Desa merupakan suatu unit administratif, tetapi di Khanh Hau, sebagai contoh, di Provinsi Long An,

peristiwa paling penting dalam kehidupan penduduk yang tinggal di desa ... juga memperluas keluar desa dalam skup atau pembatasan kelompok-kelompok atau aktivitas-aktivitas yang kurang luas daripada batas desa atau bahkan dusun kecil di sana. Dengan demikian, ketergantungan yang kuat pada “ekspor” padi dari desa lain dan pertukaran suatu varietas yang luas tidak tumbuh atau yang dihasilkan di desa telah mengikat penduduk Khanh Hau kepada ekonomi nasional seperti agrikulturis komersial dan antisipasi-antisipasi di luar desa mereka sendiri; piramida penduduk memberikan bukti kuat bahwa orang dewasa muda telah meninggalkan desa ... ikatan persaudaraan sekarang meluas dengan baik keluar desa ... Menambahkan hal ini adalah fakta bahwa tahun-tahun pertempuran dan ketidakamanan di delta telah membangunkan rasa nasionalitas serta identifikasi dengan sesuatu yang lebih luas daripada desa, mereka juga meletakkan ketegangan segala jenis di dalam hubungan desa dan membangkitkan kebencian serta permusuhan yang tak menghilang dengan mudah (1964, 261).

Semua proses ini diintensifkan lebih lanjut oleh kehadiran Prancis, yang lebih dekat di Cina Chocin daripada tempat lain di Vietnam.
Jika perpaduan di desa-desa lemah, perpaduan sama lemah di level elit-elit politik. Ada beberapa sekte-sekte militer-keagamaan, sekarang termasuk Katolik. Ada beberapa “partai-partai” personalistik atau kelompok-kelompok sempalan, yang secara kuat berorientasi regional dengan suatu ketidakmampuan memasuki suatu koalisi-koalisi politik yang jelas. Masyarakat Vietnam Selatan terpragmentasi dengan berat; pemerintahnya, tak menyatu dan lemah.
Ke dalam keadaan sosial yang relatif tercerai-berai inilah NLF meluncurkan usaha organisasionalnya. Selama hari-hari Viet Minh, mereka mengorganisasikan suatu hirarki komite-komite yang menghubungkan desa ke distrik, distrik ke provinsi, provinsi ke zona, zona ke komite pusat. Pada saat yang sama mereka mengorganisasikan asosiasi-asosiasi fungsional, di mana yang terpenting adalah Asosiasi Liberasi Petani, Asosiasi Liberasi Pemuda, dan Asosiasi Liberasi Wanita. Asosiasi Liberasi Petani (FLA) berjuang untuk sewa tanah yang lebih rendah, perlindungan jaminan tanah petani oleh Viet Minh melawan pemerintah, melindungi petani yang telah memperoleh tanahnya sendiri, melawan pedagang beras, memperjuangkan eksasi-eksasi pemerintah untuk pajak, tobang buruh, dan rancangan militer, menentang pasukan keamanan pemerintah, dan pada akhirnya menegakkan prospek penyatuan nasional. Pada tugas-tugas inti ini terdapat “masalah tanah dan sewa tanah” (Pike, 1966, 168). Sama dengan itu, asosiasi wanita berjuang untuk hak-hak wanita dan menjalankan propaganda di sekitar kekuatan yang menentang. Asosiasi pemuda dibentuk untuk mempergunakan energi khusus dan antusiasme pemuda untuk usaha revolusioner. Bersama unit-unit teritorial dan fungsional menyediakan kerangka untuk suatu organisasi pemerintahan alternatif di wilayah-wilayah di bawah kontrol NLF.
Pada tingkat ini tak ada yang baru dalam usaha NLF. Apa yang baru adalah kemampuannya untuk aktif dan memperluas organisasi-organisasi ini ke dalam suatu strategi yang spesifik – perjuangan politik – di mana rakyat perlahan-lahan dimobilisasi untuk mengekspresikan keluhan mereka dalam pertemuan publik, petisi-petisi protes massa. Diorganisasikan dengan suatu rasa realisme yang kuat, sebuah buku panduan NLF menyuruh para organiser untuk:

menyusun maksud yang jelas dan cita-cita yang realistik untuk perjuangan dalam ungkapan-ungkapan yang dimengerti rakyat. Penggunaan slogan-slogan realistik yang mencerminkan tuntutan rakyat. Pilih bentuk perjuangan yang lebih pantas untuk tingkatan pengetahuan rakyat. Pergunakan kekuatan yang tepat di antara rakyat, yakni yang langsung terlibat (dikutip dari Pike, 1966, 96).

Dengan demikian gerakan tersebut melibatkan massa rakyat, mengorganisir mereka sebagaimana mereka teruskan dari target ke target, dan kemudian menggunakan organisasi yang muncul sebagai saluran efektif bagi interpretasi tindakan dan cita-cita NLF. Sebagaimana John Mecklin, seorang mantan pejabat tinggi Agen Informasi Amerika Serikat di Saigon, mengatakan,

ketidakadilan yang ada di suatu dusun kecil Vietnam dilakukan oleh pejabat-pejabat lokal yang korup, atau seorang tuan tanah yang tamak. Seringkali rejim juga memaafkan jenis kesalahan ini, sementara Viet Cong (NLF) berjanji berbuat benar. Rejim Diem tak dapat disalahkan dalam prinsip, tetapi merupakan suatu tandingan yang menyedihkan bagi Viet Cong dalam suatu perjuangan di mana hasil akhir akan ada di sisi yang dapat memenangkan rakyat (1965, 36).

Pada saat yang sama, kekuatan militer dan paramiliter memperluas wilayah-wilayah di bawah kontrol NLF, dan squad teroris menyebar ke seluruh negeri dengan misi khusus membunuh pejabat pemerintah, khususnya kepala-kepala desa dan distrik yang ditunjuk secara baru oleh pemerintah. Ada bukti-bukti bahwa pada awalnya NLF melihat perjuangan politik adalah yang utama, perjuangan militer hanya tambahan.

NLF pada awalnya mendekati seluruh Revolusi tidak sebagai perang skala kecil tetapi sebagai sebuah perjuangan politik dengan senjata, suatu perbedaan yang nyata dan tidak semantik. Berpendapat bahwa pertandingan dengan GVN serta Amerika Serikat seharusnya menjadi pertempuran di level politik dan bahwa penggunaan militer bermassa mungkin merupakan hal yang tak memiliki legitimasinya sendiri (Pike, 1966, 91-92).

Hasil akhir disusun sebagai sebuah pemberontakan umum di wilayah kekuasaan pemerintah maupun di wilayah di bawah kontrol NLF yang akan melumpuhkan pemerintah dan mengijinkan suatu pengambilalihan oleh NLF. Ketika hal itu menjadi semakin jelas, bagaimanapun, bahwa pemerintah menarik dukungan Amerika Serikat yang semakin bertambah dalam alat maupun pasukan perang, tekanan strategi semakin militeris. Pasukan Vietnam Utara di Selatan semakin terhubung, dan tekanan perjuangan politik di atas gerakan militer yang sebelumnya dijadikan terbalik. Namun pada akhir keberhasilan organisasional besar NLF dalam pembangunan basis desa dan organisasi massa yang menjamin berlanjutnya kemampuan usaha pemberontak untuk mempertahankan diri bahkan untuk tumbuh, dalam kenyataan suatu “perang khusus” yang menghebat dengan sangat.
Keberhasilan ini mungkin, kenyataannya, telah menyumbang keadaan NLF sendiri, di antara organisasi-organisasi lain di Selatan, memberi kerangka organisasional dan ideologi untuk suatu masyarakat tercerai-berai yang berjuang untuk mencapai perpaduan sosial yang lebih besar. Pada awalnya beberapa seruan ini mungkin mirip dengan yang dibawa oleh jamaah petani dalam kelompok pemujaan Cao Dai dan Hoa Hao. Hubungan sosial yang tercerai-berai dan tersegmen di desa-desa, berdiri di dalam kontradiksi atas suatu jaringan hubungan sosial di luar desa. Ideologi-ideologi lama tak lagi memberi keamanan dan kemungkinan di bawah suatu keadaan baru. Sebagaimana sekte-sekte keagamaan-militer memberi suatu kerangka organisasional yang lebih luas dan suatu ideologi baru, begitu juga NLF sekarang memobilisasi rakyat dalam hirarki sejajar yang lebih luas dan untuk akhir yang lebih transenden. Tetapi di mana Cao Dai dan Hoa Hao secara esensial tetap tersegmen dan regional, NLF memberi suatu seruan universal. Janji ini, hanya diberikan satu-satunya organisasi tersebut di Vietnam Selatan. Di tengah-tengah perjuangan Viet Minh melawan Prancis, Paul Mus mengungkapkan paradoks besar bahwa seorang Eropa akan menemukan dirinya lebih tentram secara psikologis dan ideologis di antara Marxis Vietnam yang merupakan musuh-musuh politiknya, sementara sekutu-sekutu politiknya – tradisi Konfusian dan anggota sekte-sekte keagamaan-militer – juga merupakan tempat di mana ia akhirnya dapat merasa betah secara emosional dan dalam ungkapan kognitif (1952, 251-251). Pada saat penulisan buku ini – enam belas tahun kemudian – paradoks ini tetap muncul tak terpecahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.