"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Rabu, 17 November 2010

Demokrasi Kerakyatan

Sejarah Singkat Partisipasi Individu dalam Masyarakat
Sebelum kita dapat mendisikusikan tentang sebuah bentuk demokrasi, yang benar-benar memberikan kesempatan untuk semua anggota masyarakat terlibat di dalamnya dan kemudian juga sekaligus menegakkannya, paling tidak kita mencoba memahami bagaimana partisipasi anggota masyarakat berkembang hingga sekarang.
Demokrasi dikatakan Abraham Lincoln: "Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Pernyataan ini memang sangat terbuka, dalam arti orang bisa terjebak dalam perdebatan untuk mengartikan siapa itu rakyat. Ataupun, justru kalimat ini menutupi kenyataan yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pada saat Lincoln mengatakan hal itu, demokrasi tak lebih sebuah klaim atas keseluruhan masyarakat. Sementara Lincoln mempromosikan emansipasi kaum kulit hitam, ia sendiri adalah wakil dari elemen masyarakat yang memiliki kendali atas alat-alat pemenuhan hajat hidup mayoritas rakyat (pabrik-pabrik dan perkebunan). Apakah para budak kulit hitam yang "diemansipasikan" kemudian memiliki kendali atas pabrik-pabrik? Apakah para buruh pada saat itu memiliki hak yang sama dengan para manajer dan pemilik saham dalam menentukan kerja di dalam sebuah pabrik?
Demokrasi bukanlah sebatas dunia politik, tetapi juga harus diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kerja-kerja pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam bekerja, dalam menentukan produksi, dan hal-hal yang selama ini dianggap rutin dan remeh-temeh yang justru sebenarnya adalah penentu keberadaan manusia di dunia ini.
Demokrasi Yunani, Demokrasi Para Pemilik Budak
Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan dalam Athena, dan polis-polis lainnya di Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).
Masyarakat Athena dan polis-polis lainnya adalah masyarakat yang terlibat dalam persaingan-persaingan ekonomi yang kemudian melahirkan konflik-konflik bersenjata. Kenyataan sejarah seperti inilah yang mengkondisikan pembentukan sebuah organisasi masyarakat yang bernama polis itu sendiri, di mana segala persoalan-persoalan publik dibicarakan dalam forum-forum yang melibatkan anggota masyarakat. Bentuk seperti ini akan menjamin tersedianya angkatan perang untuk membela kota mereka ataupun menyerang kota lain.
Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli daerah tengah perkotaan. Lalu perdagangan telah dibangun, harga-harga tanah melambung tinggi dan para tuan tanah menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan sudah barang pasti mereka menggunakan posisi dominan mereka untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin yang tinggal dipinggiran dan untuk menambah perbudakan.Semua Negara kota di Yunani dan Romawi dijalankan atas dasar dan prinsip yang sama, seluruh penghuni Negara kota (polis dalam bahasa Yunani ) bersatu untuk menghadapi Negara kota lainnya, tapi sebenarnya terbelah didalam dirinya sendiri, dibedakan menjadi dua kaum: antara wargakota dan budak.
Pada awalnya wargakota yang miskin (mereka disebut Plebeian dalam bahasa Romawi ) sama sekali tidak memiliki hak-hak politik. Perjuangan mereka adalah perjuangan politik, perjuangan untuk meraih posisi yang dapat penentu kebijaksanaan di negara-kota mereka. Kemenangan demokrasi tak terelakkan di Athena, hal ini terjadi setelah warga negara kota yang miskin mampu memenangkan perang laut di Salamis melawan orang persia yang ingin merebut kota itu. Meskipun mereka terlalu miskin untuk mempersenjatai diri mereka sendiri, mereka menyediakan pendayung-pendayung yang handal kepada Armada Laut Athena. Sebuah persatuan yang rapuh telah tebentuk antara warga negara yang kaya dan yang miskin melalui ekspansi keluar dan penaklukan budak-budak. Kemudian penduduk yang miskin tidak terlalu tertekan, karena orang-orang kaya memiliki cadangan tenaga kerja.
Tapi Demokrasi Athena –Demokrasi untuk warga kota – berbasiskan pada eksploitasi terhadap kaum-kaum non warga kota: yaitu para budak yang tidak memiliki hak-hak politik. Demokrasi Athena sebenarnya adalah sebuah mekanisme untuk memaksakan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa kepada kaum-kaum yang tertindas dan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum yang berkuasa di dalam perang.
Negara berpihak kepada kaum yang berkuasa, struktur masyarakat berdiri di atas kerja kaum budak –semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras budak yang dieksploitasi, hal ini menyebabkan para pemilik budak memiliki banyak waktu untuk istirahat, masyarakat kemudian berkembang.
Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa demokrasi model Yunani, demokrasi bagi minoritas untuk menundukkan mayoritas bukanlah demokrasi yang sejati.
Kekuasaan Tirani
Dalam perkembangan masyarakat manusia, telah berulang kali bagian terbesar masyarakat dipaksa untuk tunduk baik secara kesadaran maupun karena penggunaan alat-alat kekerasan seperti senjata. Tak jarang penggunaan kekerasan sebagai alat pemaksa kehendak dilakukan karena kehendak minoritas masyarakat memang bertentangan dengan kebutuhan mayoritas masyarakat.
Sering kali, ketika kita melihat sebuah tirani kita hanya terfokus pada satu orang diktator, seorang tiran. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang Tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat.
Bagi sebagian besar orang Eropa di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Legiun-legiunnya yang membawa pedang dan tameng merah sangat efektif menaklukkan suku-suku primitif di dataran Eropa Barat. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi yang tak terkalahkan itu? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (tuan-tuan tanah dan pemilik budak) Romawi. Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) pun akan kesulitan memperkaya diri karena mereka akan selalu membutuhkan budak-budak untuk mengerjakan colonate mereka.
Gubernur-gubernur jendral Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan reaksioner dan sia-sia para bangsawan Jawa dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan, apakah para prajurit “londo” dan setengah “londo”? Jelas bukan, mereka adalah justru orang-orang yang dipaksa secara ekonomi menjadi prajurit di tanah air mereka. Pendukung kebijakan-kebijakan para gubernur jendral adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan ataupun negara induk mereka. Gubernur Jendral Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat Belanda, para bangsawan dan pemilik modal.
Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jendral-jendral lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para komandan-komandan wilayah militer yang melancarkan jalan Soeharto dengan membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan lainnya!
Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang menginginkan hak-hak khusus dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud kasar kekuasaan minoritas di atas mayoritas.

Kritik atas Demokrasi Liberal dan Demokrasi Indonesia Sekarang
Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Dan ini juga tampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun represi rejim Soeharto, maka gegap gempita rakyat menyambutnya. Saat itulah rakyat bisa ikut campur ke dalam DPR melalui partai-partai yang bisa menawarkan janji perbaikan hidup. Terlepas dari adanya maksud-maksud dalam pendanaan kemeriahan tersebut, gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu bukanlah sesuatu yang berdasar hanya pada bayaran. Lebih jauh daripada itu, itulah ekspresi kebebasan mereka setelah dalam kehidupan normal mereka selalu diwarnai oleh represi militeristik dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru.
Namun ketika kita pertanyakan: Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi. Seorang demokrat liberal akan berteriak, “Tapi itu karena adanya Orde Baru!”
Kenyataan Lemahnya Kontrol Rakyat
Setelah Soeharto tumbang oleh desakan modal dan masyarakat, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang untuk membeli suara rakyat. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan menguntungkan rakyat.
Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Di sinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Dan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.
Dan jika kita melihat negara-negara yang mengedepankan liberalisme, hal yang berbeda secara teknik namun sama pada intinya juga terjadi. Kebijakan-kebijakan peperangan yang menghabiskan pajak untuk persenjataan bukan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat justru terjadi pada negara-negara liberal. Dan justru kebijakan-kebijakan tersebut disahkan oleh lembaga perwakilan rakyat mereka.
Akan tetapi memang tak aneh jika parlemen hanya memperhatikan kaum yang berkuasa secara ekonomi dan politik. Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris, dan di dalamnya sebuah sistem parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama terjadi di revolusi Perancis, meski dengan intervensi rakyat pekerja yang lebih besar. Anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi motor utama revolusi tersebut. Dan bentuk dan isi parlemen seperti ini masih dipergunakan di seluruh negara yang mengusung nama demokrasi.
Dengan bentuk seperti ini, parlemen apapun yang akan dipilih oleh pemilu sebersih-bersihnya, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas di atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.
Pemerintah dan Masyarakat
Ketika desakan untuk terlibat dalam politik dari kaum pekerja Eropa terhadap para penguasa negeri-negeri mereka semakin mendekati garis revolusi, hak untuk ikut memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi diberikan. Ilusi yang ingin dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan negara. Bahkan dalam abad 20 ini, seorang buruh ataupun petanipun dapat masuk ke dalam parlemen. Partai-partai buruh diperbolehkan untuk ikut pemilu dan masuk parlemen. Lalu apakah kemudian ini sudah demokratis?
Contoh Indonesia dapat menjelaskan hubungan pemilu, parlemen, dan pemerintah. Tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menjadi kepala pemerintahan. Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis, baik yang asli ataupun yang gadungan. Namun, apakah negara Indonesia saat ini akan tunduk kepada mayoritas rakyatnya? Meskipun rakyat kemudian bisa masuk ke dalam parlemen, selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat menjadi dagelan populisme belaka. Kabinet di masa tahun 1950an datang dan berganti, anggota parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan pemda-pemda menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak. Mereka memang diisolasikan dari awal dari pengaruh pemilu dan intervensi konstitusional masyarakat lainnya. Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat dan bupati yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat dan selalu menjadi birokrat, pelaksana negara yang tidak dikontrol langsung oleh masyarakat yang ia perintah.
Ketika kita amati metode rekrutmen pegawai negeri, contohnya, kita lihat untuk menjadi pegawai yunior dalam sebuah kementrian, harus melalui sebuah ujian. Aturan ini tampaknya sangat demokratik. Tetapi, tidak semua orang dapat mengikuti ujian apapun untuk tingkat manapun. Ujian untuk menjadi pegawai yunior sebuah biro kecil pemerintahan tidak sama dengan ujian untuk posisi sekretaris jendral sebuah kementrian atau kepala staf tentara. Selintas, ini juga kelihatan normal-normal saja.
Tapi, sebuah tapi yang besar, ujian-ujian ini memiliki tingkat-tingkat yang memberikan ujian-ujian tersebut sifat selektif. Anda harus punya gelar tertentu, anda harus sudah mengambil kursus-kursus tertentu, untuk dapat mengambil posisi-posisi tertentu, khususnya posisi-posisi penting. Sistem seperti itu akan menyisihkan sejumlah besar orang yang tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi ataupun setingkatnya, karena kesempatan yang sama untuk pendidikan sebenarnya tidak ada. Kalaupun ujian pegawai negeri terlihat demokratis di permukaan, ia juga sebuah instrumen yang selektif yang hanya akan menerima orang-orang yang tunduk kepada penguasa atau berasal dari kaum penguasa itu sendiri.
Setelah kita lihat awal dan hasil dari parlemen dan pemilu, dapatlah terlihat dengan nyata di hadapan kita: Tak satupun negara demokrasi liberal ataupun liberal malu-malu seperti Indonesia yang demokratis, tunduk kepada kehendak mayoritas masyarakat. Negara-negara tersebut justru kemudian menjadi alat pemaksa kehendak minoritas terhadap mayoritas.
Penindasan oleh Si Kuat atas Si Lemah
Kita tidak dapat berbicara demokrasi hanya sebatas untuk urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun kita harus jauh lebih dalam, ke dalam keseharian kehidupan masyarakat kita. Tidak demokratisnya demokrasi liberal, bukan terletak hanya sebatas pada parlemen, tetapi justru terletak di pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan, rumah-rumah, pasar-pasar, keluarga-keluarga dalam masyarakat kita.
Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan anggota-anggota masyarakat sebagai sebuah kesatuan dalam memperoleh kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi, dengan kata lain urusan perut. Tetapi ini tidak sesempit urusan perut belaka, justru hubungan-hubungan yang terjadi antar manusia dalam memenuhi urusan perut itulah yang mendirikan masyarakat.
Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya. Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan saat bekerja, saat istirahat, saat berlibur, perencanaan produksi, perencanaan penjualan, dan yang paling penting pembagian upah, adalah pemilik perusahaan yang pada prinsipnya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya dalam keadaan gelombang pemogokkan besar-besaran. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (tentu saja mereka adalah para pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut dan mengkonsumsi seluruh keuntungan yang diperoleh perusahaan. Padahal, seluruh keuntungan itu tak akan ada tanpa adanya kerja kaum buruh.

Demokrasi Kerakyatan
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa manusia ke dalam kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar manusiawi?
Pertama, demokrasi baru ini haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat yang ada. Ia harus menjadi alat keseluruhan masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat, bukan hanya untuk segelintir minoritas masyarakat. Ia harus tidak lagi memisahkan pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat itu sendiri (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (sosial). Tidak ada lagi pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (tentara dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi-fungsi aparat negara.
Kedua, demokrasi ini haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja mental dan kerja manual, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif).
Ketiga, segala hasil keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi itu sendiri, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat. Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh tetap beradu argumen dengan mayoritas lainnya, tetapi mereka harus dengan disiplin dan tanggung jawab menjalankan keputusan yang mereka tentang itu. Perbedaan pendapat yang mereka lakukan boleh mereka propagandakan sebagai bahan pembicaraan dalam proses pengambilan keputusan berikutnya.
Singkat kata, demokrasi jenis baru ini adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata (tidak hanya di atas proklamasi-proklamasi yang indah-indah), yang benar-benar proses keseharian dalam hidup seluruh anggota masyarakat, dan direncanakan sekaligus dijalankan dengan kedisiplinan oleh seluruh rakyat. Karenanya dapat dikatakan sebagai Demokrasi Kerakyatan.
Partisipasi Semua Individu
Dalam mewujudkan dirinya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu. Siapapun yang ingin memastikan terjadinya demokrasi kerakyatan harus memastikan adanya kesempatan dan kemauan untuk setiap individu berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang melandaskan dirinya kepada demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut.
Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Lembaga-lembaga yang dibutuhkan adalah yang dapat membuat hukum sekaligus menegakkannya. Singkatnya, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong antara kekuasaan nyata, yang semakin terkonsentrasi pada lembaga permanen (kepolisian, pemerintahan daerah, dan sebagainya), dengan kekuasaan fiktif yang tersisa pada dewan-dewan (parlemen). Kekosongan ini adalah ciri dari demokrasi liberal. Tidak akan cukup hanya mengganti musyawarah semu dengan musyawarah yang lain, jika tidak satupun yang berubah mengenai kekuasaan kosong ini. Dewan-dewan ini haruslah memiliki kekuasaan eksekutif
Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung, sampai tingkat setinggi-tingginya. Tidak hanya anggota dari dewan yang dipilih. Hakim, pejabat tinggi, perwira milisi, pengawas pendidikan, manajer pekerjaan umum, harus juga dipilih. Tentu saja akan sangat mengejutkan untuk negara seperti Indonesia. Tapi pada negara demokrasi liberal tertentu, AS, Swiss, Kanada, ataupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah peran-peran publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pemilihan pejabat publik harus juga dibarengi dengan hak untuk menarik kembali pada semua kasus, misalnya menurunkan pejabat yang tidak memuaskan setiap saat.
Lalu, kendali permanen dan ketat atas penjalanan peran-peran negara harus dilakukan, dan pemisahan antara yang menjalankan kekuasaan negara dan masyarakat yang diatasnamakan dalam kekuasaan tersebut, dibuat sekecil mungkin. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara konstan dari pejabat terpilih, untuk mencegah orang memegang jabatan secara permanen. Penjalanan peran negara, dalam skala luas, harus dilakukan secara bergantian oleh warga secara keseluruhan.
Lenyapnya Diskriminasi dan Penghargaan Atas Kesetaraan Antar Manusia
Untuk menjamin dirinya tak lagi membiarkan penindasan yang kuat terhadap yang lemah, dalam menjalankan prosesnya demokrasi kerakyatan harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini didiskriminasi oleh sistem penindasan yang ada. Dan ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus dilarang.
Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam proses penjalanan fungsi negara. Tidak ada gaji yang sangat tinggi. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan sebuah kekuasaan negara, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah orang dari mencari jabatan sebagai cara untuk memperkaya diri dan menghisap dari masyarakat, dan tentunya satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemburu karir dan parasit yang ada pada mesyarakat sebelumnya.
Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja, tetapi didorong oleh fasilitas-fasilitas negara. Untuk menjamin arah kesetaraan ini, negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakannya kepada penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dapur bersama, transportasi massal, binatu swalayan, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi di setiap wilayah tinggal yang dibangun dan kemudian dikelola bersama oleh masyarakat di wilayah tersebut. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan.
Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga (mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dimonopoli oleh sebagian kecil masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Mayoritas Di Atas Minoritas
Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.
Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.
Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.
Kesadaran Masyarakat Baru, Kepentingan Bersama Di Atas Kepentingan Pribadi
Setiap anggota masyarakat saat ini bertindak dan berpikir secara individual, hanya tentang diri mereka sendiri dan sebatas untuk diri mereka sendiri. Ini disebabkan oleh kerja-kerja mereka dapat dilakukan secara individu dan ketegangan yang sangat tinggi dari persaingan untuk bertahan hidup. Konflik-konflik sosial yang horisontal selalu terjadi antara dua kepentingan individual yang berbeda. Tapi harus dipahami juga, bahwa mayoritas masyarakat masih sebenarnya bekerja dalam sebuah kekolektifan, yang sudah jauh lebih modern dari kolektivitas “gotong royong”. Di dalam pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan telah terbukti bahwa kerja-kerja dalam group (“teamwork”) baik dalam unit-unit yang kecil maupun unit-unit yang besar mampu mendongkrak produktivitas. Tetapi mereka masih direpresi dan dikecoh oleh ideologi-ideologi usang dan kolot seperti demi kepentingan bangsa, kesatuan dan persatuan, kebajikan relijius, dan beban-beban parasit masyarakat seperti hubungan keluarga tradisional pedesaan.
Namun, inilah landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan: Kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Dari mulai urusan pembersihan lingkungan sampai penyediaan taman kanak-kanak, dari kerja-kerja di dalam pabrik-pabrik sampai berhubungan dengan dunia internasional.
Kolektivisme membuat semua orang menyerahkan segala kemampuan mereka untuk masyarakat dan mendapatkan segala kebutuhan mereka dari masyarakat. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama. Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.

Dewan Rakyat, pewujud Demokrasi Kerakyatan
Kita telah bicara tentang bermacam-macam bentuk demokrasi, tentang perubahan masyarakat, dan tentang demokrasi kerakyatan. Tapi bagaimana mewujudkannya? Apa alatnya? Apakah kita bisa memakai struktur negara yang ada sekarang?
Untuk menjawabnya kita harus membuka kepala kita, singkirkan semua pemahaman-pemahaman kolot dan kuno tentang masyarakat dan negara, lihatlah kenyataan di sekitar kita yang selalu diwarnai oleh penderitaan dan pemaksaan kehendak, dan pikirkan logika yang ditawarkan oleh demokrasi kerakyatan.
Pertama, perubahan bentuk demokrasi ini membutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat, terutama bagian mayoritas yang selalu dipaksa oleh minoritas penguasa negara dan modal.
Kedua, perubahan bentuk demokrasi ini adalah perubahan yang revolusioner sekaligus evolusioner. Pada saat awal pertumbuhannya, proses pendidikannya kepada massa rakyat, dan pengorganisasiannya akan berkembang secara evolusioner dalam pertambahan jumlah massa aktif, terdidik dan terorganisasi. Namun di saat-saat tertentu ia akan berlipat ganda seperti jamur di musim hujan, dan dengan segera, bahkan terkesan dengan sangat mendadak, menjadi kekuatan yang dapat menjadi alat mayoritas rakyat untuk mewujudkan demokrasi sesejati-sejatinya.
Perwakilan dan Partisipasi
Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses permusyawaratan. Sama dengan demokrasi liberal, demokrasi kerakyatan juga menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat sebuah masyarakat. Namun perwakilan ini tidak boleh mengalahkan prinsip partisipasi penuh dan aktif setiap anggota masyarakat dalam mengatur dan mengarahkan kerja-kerja pemenuhan kebutuhan masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terfasilitasi. Ini berbeda dengan konsep perwakilan demokrasi liberal di mana demokrasi langsung lebih bermakna pemilihan dan pemungutan suara tanpa permusyawaratan yang sebenarnya.
Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan oleh yang memilihnya, ia bisa setiap saat digantikan oleh masyarakat yang memilihnya.
Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi-fungsi negara, terutama dalam mengkoordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat secara kolektif, yaitu kesamaan kebutuhan-kebutuhan secara individu.
Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi para pelaksana fungsi-fungsi negara ini sesuai dengan konsep perwakilannya kita namakan saja Dewan Rakyat.
Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat yang ada sekarang. Ia harus dibangun di dalam masyarakat sekarang dan ditegakkan oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahap-tahap awal perkembangannya, ia harus dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, ia harus bisa memasukkan massa yang lebih luas, dan ia bergerak sebagai alat perjuangan mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.
Kekuasaan Legislatif sekaligus Eksekutif
Jaminan kedua atas sifat-sifat kerakyatan dan tetap berjalannya fungsi-fungsi koordinasi masyarakat adalah digabungnya fungsi eksekutif dan legislatif dalam Dewan Rakyat. Sekali lagi, masyarakat di setiap tempat kehidupan mereka harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi.
Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan, baik yang langsung di setiap tempat (lokal) kehidupan masyarakat ataupun yang perwakilan untuk mengkoordinasikan lokal-lokal dan regional-regional yang ada, untuk mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus dijalankan.
Setelah perencanaan masyarakat ini tuntas, maka ia harus dijalankan oleh setiap anggota masyarakat dengan pengawasan orang-orang yang dipilih, para wakil-wakil masyarakat, untuk menjamin dijalankannya rencana bersama tersebut dengan dengan ketepatan dan kedisiplinan. Tanpa adanya pengawasan sangat wajar jika orang lupa menjalankan tugas-tugasnya sehingga program-program bersama kemudian justru terbengkalai dan masyarakat juga yang merugi.

***
Dewan Rakyat dan Demokrasi Kerakyatan adalah satu hal yang tak dapat dipisahkan, seperti tak bisa dipisahkannya teori dan praktek dalam kehidupan sehari-hari kita. Adalah tugas kaum demokrat radikal untuk mengorganisasikan massa rakyat untuk membangun dewan rakyat dan sekaligus mewujudkan demokrasi sejati, demokrasi kerakyatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.