"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Rabu, 23 November 2011

Kesepakatan To i Katu untuk Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.


Kesepakatan To i Katu (2011-2015)
Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah
Februari 2011


Kesepakatan To i Katu untuk Perencanaan Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.

Bagian Kesatu: Pendahuluan
Pada tahun 1999, pihak badan otoritas pengelola Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), melalui Kepala Balai TNLL mengeluarkan Surat Pernyataan No. 35/VI-BTNLL.1/1999, tertanggal 8 April 1999, yang isinya mengakui keberadaan Orang Katu yang berdiam di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah (sebelumnya Kec. Lore Utara), Kabupaten Poso, untuk melangsungkan upaya peningkatan keamanan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam Surat Pernyataan ini disebutkan pula “supaya ada hubungan yang saling serasi antara kepentingan masyarakat Katu dan kepentingan sistem pengelolaan TNLL, perlu dikembangkan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan”. Salah satu wujud kesepakatan yang saling menguntungkan tersebut adalah adanya Kesepakatan To i Katu dalam Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Alam tahun 2000 – 2010.
Pada dasarnya perencanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam pada tingkatan yang berbeda, ditingkat kampung, daerah dan nasional merupakan sebuah usaha yang sistematis untuk menghadapi dan mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat dan lingkungan alamnya secara terencana, berkesinambungan dan berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat di masa datang. Perencanaan pembangunan dikembangkan berdasarkan analisis kondisi dan potensi sumberdaya setempat dan melibatkan berbagai pelaku dan masyarakat, sebagai subjek pembangunan.
Keterlibatan masyarakat secara luas sangat penting karena hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis menentukan dalan berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Hal ini dapat dimaknai bahwa masyarakat memiliki hak untuk berperan dan terlibat secara utuh dalam perencanaan guna menentukan arah dan agenda pembangunan sampai dengan evaluasinya.
Tujuan dan praktik perencanaan pembangunan sedikitnya mencakup, sebagai berikut: (a) menyusun atau memproduksi dokumen perencanaan sebagai alat koordinasi bagi semua pihak pelaku; (b) membuat pedoman atau arahan dan strategi bagi pelaksanaan pembangunan untuk mencapai harapan-harapan dan tujuan pembangunan; (c) mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan melalui monitoring (pemantauan) dan evaluasi (penilaian); serta (d) Memberikan umpan balik dan rekomendasi bagi perencanaan selanjutnya.
Kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah disepakati telah dijalankan dan berakhir pada tahun 2010. Untuk pengembangan selanjutnya maka diperlukan evaluasi dan analisa untuk selanjutnya menjadi dasar pengembangan kesepakatan dan perencanaan pembangunan masyarakat To i Katu di masa datang. Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Tanah Merdeka bekerjasama dengan Pemerintah Desa Katu dan masyarakat Katu melangsungkan Pertemuan Kampung untuk Pengembangan Kesepakatan dan Perencanaan Pembangunan To I Katu dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam, di Baruga Desa Katu, pada tanggal 12 dan 13 Februari 2011.
Dokumen ini memuat hasil-hasil pertemuan dan kesepakatan Toi Katu dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam selama tahun 2011 – 2015.
Bagian Kedua:
Permasalahan dan Isu-isu Pelaksanaan Konsensus Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berdasarkan hasil Dikusi Kelompok dan Diskusi Pleno, diidentifikasi berbagai permasalahan dan isu yang ada dalam pelaksanaan konsensus pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di Kampung Katu pada tahun 2000 sampai dengan 2010. Selain itu, diidentifikan berbagai usaha bersama masyarakat untuk menyelesaikan masalah dan dampak dari konsensus dan program-program yang telah dilaksanakan, sebagai berikut:

I.              Bidang Kependudukan

·           Jumlah penduduk di Desa Katu mengalami pertumbuhan berarti selama periode waktu 10 tahun (2000-2010), yaitu: jumlah penduduk pada tahun 2000 sebanyak 64 KK (Kepala Keluarga) atau sebanyak 338 jiwa dan meningkat menjadi sebanyak 118 KK atau 424 jiwa pada tahun 2010, yang terdiri dari: laki-laki 222 jiwa dan perempuan 202 jiwa.
·           Peningkatan jumlah penduduk ini dikarenakan oleh tingkat kelahiran, penduduk yang baru datang dan berasal dari lingkungan keluarga dan kerabat warga Katu, utamanya berasal dari Desa Toejaya (yang sebelumnya pernah tinggal di Katu dan dipindahkan oleh Pemerintah) dan karena perkawinan yang membawa isteri dan suami ke Katu. Terdapat kasus berkurangnya penduduk Katu yang relatif sedikit dikarenakan kematian penduduk usia lanjut. 
·           Tingkat pendidikan formal penduduk di Katu mengalami perkembangan berarti, hingga kini terdapat warga Katu yang sudah dan sedang mengikuti pendidikan formal, yakni: Perguruan Tinggi sebanyak 14 orang, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 33 orang, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 7 orang dan Sekolah Dasar sebanyak 106 orang.
·           Permasalahan dan isu penting terkait dengan kependudukan di Katu, mencakup:
1.         Pengaturan status penduduk yang masuk dan keluar sebagai warga desa. Penduduk yang baru datang tidak ada kejelasan status administrasi pemerintahan keterangan perpindahan penduduk dari kampung asal dan belum mendaftarkan diri untuk menjadi warga Desa Katu. Ada kecenderungan penduduk yang tidak menetap status dan tempat tinggal di Katu, hanya mempunyai kepentingan untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam di Katu.
2.         Penduduk yang baru datang cenderung tidak terikat dan tidak memenuhi kewajiban dan kepatuhan yang diatur oleh pemerintah dan kesepakatan sosial, misalnya: tidak membayar pungutan iuran untuk pendanaan tertentu dan tidak aktif dalam kegiatan umum gontong royong dan dengan alasan bukan penduduk setempat.
3.         Belum ada tindakan pemerintah dan institusi terkait (seperti Lembaga Adat) untuk aktif mengurus, mengatur dan menegakkan aturan keberadaan penduduk yang baru berdiam dan datang di Katu. Misalnya kasus warga Katu yang kawin dengan warga diluar Katu dan membawa pasangannya ke Katu dan keluarga yang membawa keluarganya yang berasal dari desa lain, belum memperoleh kejelasan administrasi pemerintahan kependudukan KTP (Kartu Tanda Penduduk) sebagai warga Katu dan pengakuan penerimaan bersama warga Katu.
4.         Pemerintah Desa Katu harus mengeluarkan kebijakan dan penegakan aturan penertiban penduduk yang baru datang dan atau keluar masuk (berdima sementara) di Katu. Penduduk yang baru datang dan menetap harus mempunyai kelengkapan administrasi pemerintahan penduduk tetap, misalnya: Surat Keterangan Pindah dan KTP, serta diwajibkan menetap tinggal di Katu dan aktif melakukan kewajiban umum dan pemerintahan (misalnya pembayaran iuran pengurusan penduduk baru datang sebesar Rp. 20.000 per orang).  Demikian pula penduduk yang keluar masuk dan hanya mengambil manfaat ekonomi (pedagang, pembeli perantara, berkebun, mengolah rotan, dan sebagainya) harus ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan kampung dan pemerintahan, serta mendapatkan sangsi-sangsi sesuai kesepakatan dan hasil musyawarah masyarakat.
·           Pada masa mendatang diharapkan penduduk Katu dapat berkembang dari segi jumlah dan kualitas masyarakat serta ketertiban dalam pembangunan di Desa Katu. Dikatakan oleh tokoh masyarakat H. Torae (neneknya Linda): “Kemajuan dapat dilakukan dan bersumber dari manusia dan sejarah pada masa lalu. Selain itu, partisipasi masyarakat sangat menentukan kemajuan dalam desa, tanpa ada partisipasi maka akan terjadi kemunduran dalam kampung.
·           Diusulkan perlu adanya lembaga masyarakat yang mewakili masyarakat untuk menyuarakan kepentingan masyarakat, terlibat menyelesaikan permasalahan warga Katu dan mendukung institusi pemerintahan desa dan lembaga adat di Desa Katu.

II.           Bidang Kewilayahan, Perkampungan dan Pemukiman Penduduk

·           Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif tentang Peta Wilayah Pemanfaatan Orang Katu diketahui luas wilayah pemanfaatan Orang Katu sebesar 1.178 hektar, yang dikelola dan ditata pemanfaatannya berdasarkan fungsinya, sebagai berikut: kawasan Lopontua (hutan tua bekas ladang), Lopelehe (hutan muda bekas ladang), Holu (hutan belukar bekas ladang), Hinoe (ladang padi), Bonde (sawah), kebun tanaman dan kebun palawija dan campuran. Wilayah pemanfaatan ini merupakan bagian dari wilayah adat Orang Katu yang luasnya sekitar 65.000 hektar, dan berbatasan dengan wilayah adat dari komunitas sekitarnya, yakni: Ngata Toro, Kecamatan Kulawi disebelah barat, Lindu disebelah utara, Rompo disebelah timur dan Behoa Ngamba disebelah selatan.
·           Sepanjang tahun 2000 – 2010, luas wilayah pemanfaatan Orang Katu tidak mengalami pertambahan dan perluasan. Sedangkan usaha-usaha pemanfaatan hasil hutan (kayu dan bukan kayu) maupun pengelolaan tanah mengalami perkembangan berarti dan beragam, mencakup:
1.         Pengambilan dan pengumpulan rotan (uwe, bahasa lokal Katu) masih berlangsung di kawasan hutan Lopontua dan Lopolehe. Kegiatan memanen rotan bertujuan untuk dijual kepada  pengumpul setempat di Desa Katu. Kegiatan memanen rotan ini cenderung berlangsung naik dan turun, tergantung musim pertanian dan perkebunan. Selain itu, kegiatan memanen rotan dilakukan pada waktu tertentu untuk tujuan pengumpulan dana pada hari raya keagamaan, kegiatan umum dan penggalangan dana pembangunan rumah ibadah (gereja).
2.         Pengambilan damar (Hulo, bahasa lokal Katu) dari pohon damar (agathis dammara) berlangsung di kawasan hutan Lopontua dan Lopolehe yang berada disekitar kampung. Kegiatan ini baru saja dilakukan dan dijual kepada para pengumpul dan pembeli damar, namun tidak berlangsung lama dan hingga tahun 2010 sudah tidak lagi ada pemanenan damar. Kegiatan ini pernah dilakukan pada era pemerintahan Belanda dan kemudian terhenti. Selain dijual, damar digunakan juga untuk bahan bakar penerangan lampu tradisional.
3.         Kegiatan pertanian palawija, persawahan dan perkebunan tanaman jangka panjang, mengalami perkembangan berarti. Luas lahan pertanian dan perkebunan meningkat. Lahan tersebut diperoleh dari bekas ladang (holu) dan lahan yang sebelumnya hanya lahan palawija menjadi lahan perkebunan tanaman jangka panjang.
·           Luas lahan untuk perkampungan dan pemukiman Orang Katu mengalami peningkatan, hingga kini sudah ada 80 rumah warga dan 7 buah bangunan umum. Sudah ada pembukaan dan perubahan fungsi kawasan hutan Lopolehe disekeliling kampung untuk perluasan kampung dan pemukiman di Salu Biro dan Tokeiso.
·           Perkembangan berarti terkaitan dengan pembangunan sarana transportasi jalan dari Desa Rompo menuju Katu sejauh tujuh kilometer. Semenjak tahun 2009, jalan menuju ke Katu mengalami perubahan dan pelebaran jalan dari jalan setapak diperlebar menjadi jalan tanah yang bisa dilalui kendaraan bermotor dan bahkan dapat dilalui kendaraan mobil beroda empat pada musim kering.  Pekerjaan pelebaran jalan ini dibiayai oleh proyek kerjasama dengan Pemerintah Daerah Poso dan swadaya masyarakat sejauh empat setengah kilometer. Sisa jalan sejauh tiga kilometer yang sudah dibuka diperlebar masyarakat secara swadaya akan ditingkatkan lagi dan sudah ada komitmen pemerintah daerah Poso.
·           Permasalahan dan isu-isu terkait dengan wilayah, perkampungan dan pemukiman penduduk, sebagai berikut:
1.         Wilayah adat Katu belum memiliki batas-batas yang disepakati bersama dengan komunitas sekitar, demikian pula ketidakjelasan batas kepolisian atau wilayah administrasi pemerintah desa dengan desa sekitarnya. Perbatasan dengan komunitas dan wilayah Desa Rompo sudah ada kejelasan batas dan ditandai dengan tanaman perkebunan kopi dan sudah dilangsungkan kerja bakti bersama untuk membersihkan dan memastikan batas wilayah kedua komunitas. Sedangkan dengan Ngata Toro (Kulawi) sudah ada kesepakatan tentang batas wilayah adat dan wilayah pengelolaan kedua komunitas, rencananya kesepakatan ini akan dikukuhkan melalui pertemuan adat yang melibatkan kedua pihak.
2.         Munculnya klaim-klaim hak masyarakat atas lahan yang dikuasai berdasarkan riwayat pemilikan turun temurun dan terkesan klaim hak membatasi warga lain untuk memiliki dan memanfaatkan tanah tersebut, utamanya tanah-tanah yang potensial dan diperuntukkan untuk pengembangan usaha pertanian dan perkebunan. Proyek-proyek bantuan pembangunan usaha budidaya pertanian dan prasarana irigasi yang direncanakan dan diisukan untuk membantu warga Desa Katu mendorong munculnya klaim lahan dan usaha mendapatkan lahan baru yang diperkirakan nanti akan menjadi sasaran proyek. Pemerintah desa dan lembaga adat setempat belum mempunyai perhatian untuk menata penguasaan dan pemilikan tanah sehingga menimbulkan isu-isu dan ketegangan di masyarakat.
3.         Meningkatnya kebutuhan masyarakat, khususnya rumah tangga baru yang semakin meningkat jumlahnya untuk mendapatkan lahan ‘kintal’ pembangunan rumah yang baru di Kampung Katu, sedangkan lahan pemukiman di Kampung Katu sudah tidak ada. Kecuali lahan yang ada dipinggiran kampung dan sedang dikembangkan untuk kampung baru. Lahan-lahan ‘kintal’ yang potensial disekitar kampung untuk perkampungan dan pemukiman penduduk adalah di Salubiro, Tokepepolo, Tokeiso dan Tikala.
4.         Perlu ada lembaga di Katu, selain pemerintah desa dan lembaga adat, yang berfungsi untuk mengurus dan menyelesaikan sengketa tanah.
5.         Penjualan tanah di Katu dalam masyarakat Katu mengalami peningkatan berarti, khususnya lahan ‘kintal’ untuk pembangunan rumah bagi penduduk yang baru datang dan penduduk yang baru berumah tangga. Aksi penjualan tanah ini disadari melanggar isi kesepakatan To i Katu, akan tetapi ada alasan-alasan yang masih diperdebatkan bahwa penjualan tanah dilakukan bukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, melainkan hanya untuk memperoleh kintal, biaya pendidikan dan pesta perkawinan, yang pembayarannya dapat dilakukan dengan menukarkan tanah lain ‘barter tanah’ plus uang. Masyarakat menegaskan tidak boleh ada penjualan tanah kepada orang luar Desa Katu.
6.         Adanya kekhawatiran pemerintah desa dan orang tertentu terhadap otoritas pemerintah dan masyarakat dalam mengurus dan menguasai tanah dan kekayaan alam lainnya. Kasusnya, Pemda Poso dan Dinas Pekerjaan Umum Poso meminta Pemerintah Desa Katu untuk mengurus Surat Rekomendasi dari pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BB TNLL) untuk melaksanakan proyek pembangunan jalan di Katu yang dianggap menjadi kawasan konservasi punya otoritas BB TNLL. Pemerintah dan masyarakat khawatir wilayah dan tanah mereka masih dalam cengkeraman otoritas BB TNLL. Kebutuhan surat rekomendasi ini juga dipicu oleh kepentingan alih fungsi hak atas tanah secara horizontal yang harus didukung surat rekomendasi dari pemerintah.   

III.        Bidang Pertanian dan Perkebunan

·           Orang Katu mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani dan tergantung pada hasil hutan dengan menanam padi, padi ladang, palawija, seperti: sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian, rica, tomat dan lain-lain, yang ditanam  untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dijual ke pasar lokal. Selain itu, masyarakat mengusahakan kebun tanaman tahunan, seperti: kakao, kopi, kemiri, pisang, vanili dan buah-buahan (alpukat, nangka dan durian). Kebun tanaman tahunan kakao dan kemiri masih baru ditanam sekitar tahun 2000.
·           Kegiatan perladangan (mohinoe) sudah dilakukan turun temurun dengan berbagai jenis tanaman padi ladang. Setiap Orang Katu mempunyai pengetahuan dan tehnik mohinoe, yang dilakukan secara turun temurun dan diwariskan, hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga dan tidak dijual. Luas lahan mohinoe tidak mengalami pertambahan, bahkan Orang Katu tidak melakukan kegiatan mohinoe pada tahun 2010 dikarenakan musim hujan yang terjadi sepanjang tahun dan pengalihan kegiatan masyarakat pada kegiatan mengolah sawah (mobonde), pertanian palawija dan tanaman tahunan. Lahan-lahan ladang padi yang sudah ditumbuhi semak belukar (holu) dan menjadi hutan muda (lopolehe) biasanya dialihkan dan dimanfaatkan untuk lahan pertanian palawija dan tanaman tahunan.
·           Kegiatan pengolahan tanah untuk sawah (mobonde) mengalami peningkatan berarti dari segi luas lahan. Setiap kepala keluarga dan pemuda (utamanya laki-laki) yang mampu di Kampung Katu diharuskan untuk memiliki lahan persawahan. Diperkirakan luas lahan pertanian sawah di Katu yang secara intensif terus menerus dikelola sekitar 86 Hektar. Sistem pengelolaan masih campuran dengan menggunakan traktor pengolah tanah dan tenaga manusia sejak pengolahan tanah hingga panen, terkadang menggunakan tenaga kerja sewa dan juga sistem ‘palus’ gotong royong yang dikelola satu sampai dua kali dalam satu tahun. Hasil padi sawah digunakan untuk sumber pangan keluarga dan dijual. Harga lokal padi sawah sebesar Rp. 5.000 perliter.
·           Kegiatan perkebunan tanaman tahunan di Katu mengalami peningkatan berarti. Setiap warga pemuda dan kepala keluarga diharuskan untuk memiliki lahan perkebunan dan tanaman tahunan. Lahan tanaman tahunan diperoleh dan bersumber dari lahan bekas ladang (holu) dan hutan bekas ladang. Diperkirakan luas lahan perkebunan tanaman tahunan sebanyak 150 hektar.  Sistem pengelolaannya masih sederhana berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat, mulai dari pembukaan dan pemilihan lahan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Tanaman tahunan yang diprioritaskan adalah tanaman jangka panjang yang mempunyai nilai ekonomi, utamanya tanaman Cokelat atau Kakao. Tanaman jangka panjang yang sudah sejak lama ditanami masyarakat adalah tanaman Kopi. Tanaman jangka panjang lainnya adalah buah-buahan, seperti: rambutan, durian, jeruk, kelapa, nira dan lain-lain, serta tanaman pohon kemiri yang baru ditanam disekitar kebun. Hasil biji cokelat merupakan sumber pendapatan masyarakat saat ini. Pengolahan biji cokelat masih dilakukan dengan cara sederhana, mulai dari panen dan penjemuran dengan sinar matahari dan disimpan dalam karung plastik. Pemasaran biji cokelat hanya dilakukan pada pengumpul dan pembeli di dalam kampung.
·           Kebun tanaman palawija dan campuran tumpang sari lainnya; kegiatan pada kebun palawija dimulai sejak pengolahan lahan ladang padi (mohinoe) dan jagung (goa, bahasa lokal Katu). Lahan disekitar hinoe ditanami berbagai jenis tanaman sayur-sayuran, ubi-ubian, kacang-kacangan, cabai, tomat, daun bawang, pohon pisang, buah nanas, dan sebagainya. Luas lahan kebun palawija dan tanaman campuran lainnya tergantung pada luasnya hinoe dan intensitas pengelolahan lahan kebun palawija. Hasil kebun palawija dan tanaman campuran untuk pemenuhan kebutuhan makanan warga dan dijual. Tanaman palawija yang dijual dan menjadi perhatian masyarakat pada saat ini, antara lain: tanaman sayur-sayuran, kacang-kacangan, jagung dan cabai (rica). Bahkan hasil dan harga rica yang meningkat pada tahun 2010 dapat mendongkrak pendapatan ekonomi keluarga di Katu.
·           Permasalahan dan isu-isu yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dan perkebunan, sebagai berikut:
1.         Lahan usaha pertanian untuk persawahan (bonde) semakin berkurang dan lahan yang tersedia sudah jauh dari kampung dan tidak ada irigasi teknis maupun tradisional dan jauh dari sumber air ataupun rentan menimbulkan bahaya banjir dan tanah longsor. Daerah potensial yang diusulkan untuk dijadikan sawah, yakni: Maruo, Sambua, Ntadasi dan Potampoa. Terakhir daerah di Sambua ditolak karena perubahan fungsi didaerah ini dapat mengancam terjadinya erosi di daerah Toporarena. Diharapkan ada keswadayaan masyarakat secara bersama untuk pembangunan irigasi tradisional.
2.         Pembukaan lahan sawah baru diharapkan dapat mengakomodir dan mengatasi isu pengadaan lahan bagi mereka yang tidak punya lahan persawahan dan pembagiannya dapat berlangsung secara adil. Keadilan diutamakan dikarenakan tanah yang ada merupakan tanah perjuangan untuk kepentingan bersama, bukan hanya memprioritaskan kepada pemilik lahan atas dasar klaim hak turun temurun. Pembagian dan pekerjaan mengolah lahan didasarkan atas musyawarah dan bergotong royong.
3.         Ada perubahan cara pandang untuk kegiatan perladangan (mohinoe) yang dianggap biayanya terlalu mahal dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses produksi, perubahan ini seiring dengan pemanfaatan lahan untuk tanaman komersial, seperti cokelat. Namun diakui kurangnya kegiatan berladang dan lahan sawah padi yang kurang mengancam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan dapat tergantung membeli dari luar.
4.         Kurangnya penyuluhan dan pengembangan ketrampilan untuk pengembangan usaha pertanian, sehingga berpengaruh pada kurang memadainya hasil dan usaha pertanian. Demikian pula, kurangnya modal (danah) untuk mengembangkan usaha produksi pertanian dengan berbagai tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga hingga pemasaran.
5.         Hambatan berarti adalah perubahan harga dan nilai jual hasil pertanian yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dan harga kebutuhan keluarga sehari-hari.
6.         Masyarakat menginginkan untuk memasarkan sendiri hasil pertanian dan perkebunan hingga ke pasar terdekat sehingga mendapatkan harga nilai jual yang memadai dibandingkan menjual hasil pertanian kepada pedagang dan pengumpul lokal. Salah satu isu untuk pemasaran ini adalah soal sarana dan prasarana jalan dan jembatan, serta alat angkutan. Diharapkan ada perbaikan jalan dan jembatan, serta tersedianya alat angkutan yang dapat membawa hasil pertanian dan perkebunan warga ke pasar.

IV.         Bidang Pengelolaan Hasil Hutan

4.1.       Hasil Hutan Kayu; pengelolaan hasil hutan kayu hanya diperuntukkan untuk tujuan pemenuhan bahan pembuatan rumah dan bangunan umum lainnya, peralatan rumah tangga, pembangunan jembatan dan pagar kebun, serta kayu bakar dari kayu kering yang telah roboh.
·                Orang Katu masih mempunyai komitmen bahwa hasil hutan kayu tidak boleh diperjual belikan.
·                Penebangan dan pengambilan kayu untuk bahan bangunan tidak boleh dilakukan disembarang tempat dan dipinggiran daerah aliran sungai.
·                Penduduk dari luar Katu tidak boleh mengambil dan menebang kayu di wilayah Katu.

4.2.       Hasil Hutan Bukan Kayu; pengelolaan hasil hutan bukan kayu  bertujuan untuk dijual dan pemenuhan bahan keperluan rumah tangga dan kegiatan sehari-hari. Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan hasil hutan bukan kayu, antara lain: pengambilan hasil rotan (uwe), bambu, damar, gaharu dan ramuan obat-obatan tradisional.
·                Pengelolaan dan pengambilan hasil hutan rotan sudah dilakukan sejak lama dalam bentuk rotan basah dengan ukuran tertentu yang dijual kepada pengumpul dan pembeli di kampung Katu dan di Desa Rompo. Rotan diperoleh dari kawasan hutan disekitar kampung (Lopolehe, Lopontua dan Pandulu). Pengambilan rotan pada tempat tertentu dilakukan secara teratur berpindah tempat dari tahun ke tahun, tidak terpusat pada sebuah kawasan tertentu. Pada tahun 2005, Pemerintah Desa pernah merencanakan melakukan pemungutan uang untuk usaha hasil hutan rotan kepada setiap petani pengolah dan pengambil rotan sebagai penghasilan desa, dengan mempertimbangkan skala hasil dan waktu kegiatan mengambil rotan, berjumlah sebesar Rp. 10.000 per ton. Pungutan ini tidak pernah dilaksanakan dikarenakan kurangnya kegiatan masyarakat dalam pengambilan rotan.
·                Pengambilan gaharu dan damar untuk tujuan dijual pernah dilakukan oleh warga Katu dan melibatkan orang luar untuk pencaharian gaharu, akan tetapi kegiatan ini sudah terhenti. Orang Katu tidak punya ketrampilan dalam mencari dan mengolah gaharu. Perlu ada pengaturan jika kegiatan pengambilan gaharu dilakukan kembali. Sedangkan pengambilan damar tidak aktif karena rendahnya harga dan pasar yang terbatas.
·                Permasalahan dan isu-isu yang berhubungan dengan pengelolaan hasil hutan kayu dan bukan kayu, sebagai berikut:
1.             Pengelolaan gaharu tidak boleh lagi dilakukan karena hanya menguntungkan orang luar.
2.             Konsistensi pengelolaan rotan yang terencana dan berotasi pada daerah tertentu yang sudah disepakati harus diawasi.
3.             Tidak adanya kegiatan monitoring kesehatan dan kelestarian hutan sehingga tidak ada penilaian terhadap aktifitas masyarakat dan perubahan dan dampak lingkungan di wilayah Katu. Kegiatan ini pernah dilakukan dan kemudian tidak pernah dilakukan lagi. Karenanya diperlukan monitoring kembali dan evaluasi yang dilakukan enam bulan sekali dan setahun sekali, yang melibatkan masyarakat, taman nasional dan YTM.
4.             Perlu ada koordinasi dan kerjasama dengan pihak taman nasional dan pihak luar lainnya dalam pengelolaan hutan.
5.             Perlu ada komitmen masyarakat dan pemerintah desa untuk penegakan aturan dan sangsi, serta kewajiban dalam membayar dana untuk pendapatan desa.
6.             Ada wadah di desa yang berperan di dalam dan luar masyarakat untuk mengawasai pengelolaan hasil hutan dan penegakkan hukum. Masyarakat menolak keberadaan Lembaga Konservasi Desa (LKD) seperti yang ada di desa lainnya, yang dianggap tidak berpihak dan tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat.
7.             Pengambilan dan penebangan umbut rotan dan umbut enau (mobaru dungka) tidak diperbolehkan selama masa tertentu.
8.             Harus ada aturan yang jelas dalam pengelolaan hasil hutan dan ketegasan dalam pelaksanaan sangsi dan denda bagi warga Katu. Lembaga adat dan pemerintah desa.  

V.            Bidang Pemanfaatan Hewan Liar dan Hewan Peliharaan

·           Kehidupan Orang Katu sangat tergantung pada hutan, hutan berfungsi untuk menyediakan lahan bagi sumber pangan melalui kegiatan berladang, sawah dan berkebun. Disamping itu memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, termasuk sumber protein hewani, yang diperoleh dengan cara dijerat dan diburu berdasarkan pengetahuan setempat yang sederhana. Hanya hewan hutan tertentu yang dapat dikonsumsi dan dipelihara masyarakat, seperti: babi (marari), rusa (lagiwa) dan anoa (tungka), ayam hutan (manu kakau). Sedangkan hewan lainnya yang menjadi hama dan sering terdapat di hutan yang dikenali masyarakat, antara lain: kuskus (kuhe), kera (ibo), musang (hulaku), ular sawah (hawa), biawak (kalia), tikus (walehu), tupai (dou), ular sendok (alimao), bunglon (soko-soko), ular hitam  (leloto), tomoiti, ular berbisa (ule pali), enggang (alo), maleo gagak (ka’a), elang (kongka), kukum (tomumbu), tekukur  hutan (kokou kakau), tekukur biasa (kokou), nuri (kohoe), kakatua  (kea), burung hantu (kalakia), bangau putih (timboko) bangau hitam  (bangko ahu), belibis (mpeluu), pipit (dena) dan Tekutur (kokou).
·           Hewan di hutan, utamanya Anoa (Tungka) dan rusa semakin langka ditemukan masyarakat, sedangkan hewan babi dan monyet semakin banyak dan merusak tanaman kebun masyarakat.
·           Ada gagasan untuk melakukan penangkaran hewan anoa, tetapi tidak ada yang punya ketrampilan untuk melakukan hal tersebut. Situasi ini bisa dirubah dengan cara mengurangi dan melakukan ‘jeda’ kegiatan memasang jerat dan berburu hewan Anoa selama waktu tertentu; hewan Anoa betina yang terkena jerat mesti dilepas kembali.
·           Hewan peliharaan masyarakat Katu, antara lain: ayam kampung dan bebek untuk dimakan telur dan dagingnya; babi untuk dimakan dan dijual; kerbau untuk dimakan, mengolah lahan sawah dan dijual; kuda untuk alat angkutan; anjing untuk dipelihara, menjaga rumah dan berjalan di hutan; berbagai macam ikan di kolam untuk dimakan dan dijual.

VI.         Bidang-bidang Penting Lainnya

6.1.       Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; sungai dan lingkungan sekitarnya memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat katu, mencakup: sumber air bersih, sumber air untuk mandi dan mencuci, sumber air untuk pertanian dan sebagainya. Sungai juga menyediakan berbagai material untuk pembangunan rumah, jalan dan hasil ikan sungai.
·                Isu penting di Katu adanya pengambilan ikan dengan cara di ‘setrum’ yang dilakukan warga yang dapat mengancam sistem kehidupan di sungai. Hal ini perlu diatur, dilarang dan dibatasi. Warga yang kedapatan melakukan pengambilan ikan dengan cara ‘disetrum’ maka dikenakan sangsi denda Rp. 150.000 dan alat setrum disita pemangku adat. Kegiatan mengambil ikan dengan cara disetrum hanya boleh dilakukan satu tahun sekali pada saat upacara adat syukuran padungku.
·                Pengambilan pasir, kerikil dan batu di sungai harus beraturan dan tidak merusak daerah pinggiran sungai yang dapat mengancam lingkungan sekitar dan tidak boleh melakukan penebangan kayu dipinggiran sungai.

6.2.       Usaha Kerajinan Tangan; kebanyakan warga di Katu mempunyai ketrampilan kerajinan tangan untuk membuat peralatan rumah tangga dan peralatan pertanian, yang terbuat dari bahan rotan, kayu, tali hutan, daun pandan dan bambu. Tujuan kegiatan ini hanya untuk digunakan oleh keluarga.
·                Ada keinginan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam usaha kerajinan tangan dan hasilnya dapat dijual ke pasar.

VII.      Isu Penting Lainnya: Keberadaan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan Balai Besar TNLL
·                Orang katu memahami keberadaan TNLL dan Balai Besar TNLL yang memproritaskan perlindungan hewan dan tanaman di kawasan hutan TNLL, sebaliknya Balai Besar TNLL juga harus memahami pengetahuan kearifan dan pengaturan orang Katu dalam pengelolaan hutan. Masih ada kecurigaan dan tudingan yang negatif terhadap pengetahuan Orang Katu dalam pengelolaan hutan, bahwa To I Katu merusak hutan.
·                Proyek-proyek Balai Besar untuk TNLL tidak pernah dilaksanakan di Katu dan bukan untuk kesejahteraan Orang Katu. Tidak pernah ada kolaborasi dan koordinasi antara masyarakat dan Balai Besar TNLL karena posisi Orang Katu dianggap hanya orang tinggal, padahal Orang Katu lebih dahulu ada daripada TNLL.
·                Orang Katu mampu mengelolah hutan, buktinya kegiatan pembalakan liar (ilegal logging) tidak pernah terjadi di Katu, keadaan daerah aliran sungai tidak pernah mengalami perubahan berarti, Orang Katu tidak membuka kawasan hutan alam untuk pengusahaan perladangan. Orang Katu sudah sepakat dan mempunyai aturan untuk tidak menerima orang luar mengolah kekayaan alam dan berburu di Desa Katu dan warga tidak diperboleh menjual tanah.
·                Masyarakat Katu menghendaki pemerintah dan Balai Besar TNLL dapat mendukung pembangunan di Desa Katu, termasuk mendukung pembangunan jalan yang menghubungkan antara Desa Rompo dan Desa Katu, sehingga meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan memperlancar pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, sehingga akhirnya keberadaan Orang Katu tidak di anak tirikan oleh desa-desa tetangga.
·                Masyarakat Katu berharap rencana proyek Balai Besar TNLL untuk melakukan rehabilitasi dan restorasi lahan dengan penanaman tanaman khas (endemik) di wilayah Katu harus di musyawarahkan dan bekerjasama dengan masyarakat Katu.

Kepala Sub Balai Besar TNLL Wilayah III, Yusak Mahasan, yang menghadiri Lokakarya Perencanaan Pembangunan ini menanggapi sikap dan pandangan masyarakat, sebagai berikut:
v    Balai Besar sebetulnya mendukung pembangunan, apalagi dengan melihat kondisi Katu. Rencana pembangunan jalan ada prosedurnya dengan membuat surat permohonan pembangunan jalan dari masyarakat kepada pihak Balai Besar TNLL dan pihak pemerintah kecamatan, Pihak kecamatan menyurat bermohon kepada pihak Balai Besar TNLL. Kami menundukung pembangunan, apalagi seperti lampu. (Bapak Yusak mencontohkan keadaan listrik perumahan TNLL di Wuasa yang tidak stabil, padahal kegiatan di rumah dan di kantor sangat tergantung pada listrik, apalagi perpindahan Bapak Yusak dari Bogor, tempat dengan fasilitas listrik selalu tersedia dibandingkan Wuasa. Demikian pula dengan kebutuhan pembangunan jalan bagi warga Katu)
v    Kawasan konservasi yang ditetapkan sesudah adanya masyarakat, bangunan, hak-hak dan pemanfaatan pada kawasan hutan di wilayah konservasi tersebut dapat diakomodir dalam sistem zonasi, yakni: Zona Khusus.
v    Balai Besar TNLL mempunyai program untuk rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan untuk pemulihan habitat di kawasan konservasi melalui penanaman tanaman endemik yang khas di daerah setempat, seperti: penanaman pohon leda (eucaliptus).



Bagian Ketiga:
Visi dan Misi Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Katu.

Berdasarkan kajian atas permasalahan dan isu diatas serta pandangan-pandangan di masa depan, maka masyarakat Katu bersepakat dan merumuskan visi dan misi Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam selama periode 2011 – 2015, sebagai berikut:

Visi:
Meningkatnya Kesejahteraan Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Teratur dan Lestari.

Misi:
1.        Masyarakat Katu dapat mengusahakan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam secara teratur dan lestari.
2.        Masyarakat Katu dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan usaha yang kurang dan belum ada pada saat ini menjadi lebih baik dan bertambah pada masa datang.




















Bagian Keempat:
Program Rencana Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Katu, Periode 2011 – 2015

Rumusan dan kesepakatan Orang Katu untuk perencanaan program pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam di Wilayah Katu pada periode 2011 - 2015, sebagai berikut:

1.                  Program Peningkatan Pelayanan Administrasi Kependudukan; program ini bertujuan untuk mengkontrol dan menertibkan administrasi kependudukan dan kepastian hak sebagai warga Desa Katu, kegiatan program ini mencakup:  
1.1.            Penertiban status penduduk baru datang dan pengurusan Surat Pindah.
1.2.            Pengadaan Kartu Tanda Penduduk.
1.3.            Pengadaan Kartu Keluarga.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·           Pemerintah Desa bersama lembaga perwakilan masyarakat di Katu (Lembaga Adat dan lain-lain), mewajibkan setiap penduduk baru datang dan tinggal sementara dan menetap di Katu untuk melapor dan membawa Surat Keterangan dari desa asal tentang maksud kedatangan di Desa Katu.
·           Pemerintah Desa berkewajiban mengeluarkan Surat Keterangan untuk memastikan status penduduk yang baru datang dan kewajiban-kewajibannya dalam kampung sebagai warga Katu.
·           Setiap penduduk pendatang baru yang hendak menetap, menetap sementara dan atau bertujuan mengusahakan sesuatu di Desa Katu diwajibkan untuk melapor dan membawa kelengkapan surat perpindahan. 
·           Pemerintah Desa dan lembaga perwakilan masyarakat Katu mempunyai kewenangan memberikan hukuman kepada setiap warga pendatang baru yang hukum dan sangsinya berdasarkan kesepakatan dan hukum adat kebiasaan di masyarakat.

Waktu Pelaksanaan:
Kegiatan ini dilaksanakan sepanjang waktu dan berlaku hingga tahun 2015.

Penanggung jawab:
Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu (KPWK)

2.                  Program Perluasan Wilayah Perkampungan dan Perumahan Penduduk; program ini bertujuan untuk menyediakan lahan untuk pengembangan kampung dan perumahan penduduk. Kegiatannya mencakup:
2.1.            Musyawarah identifikasi lokasi dan menetapkan lahan untuk perkampungan baru dan perumahan penduduk.
2.2.            Negosiasi dan pengaturan pembebasan lahan dan pembagian lahan untuk perumahan sebanyak delapan Kepala Keluarga.
2.3.            Pembuatan aturan pemilikan dan penggunaan lahan ‘kintal’.
 
Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·           Musyawarah diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dan dihadiri oleh Lembaga Adat, Komisi Pengawas Wanua Katu, Tokoh Masyarakat dan pemilik lahan.
·           Pembebasan lahan untuk perkampungan baru dan perumahan penduduk dan bangunan umum dilakukan dengan mengganti sesuai dengan kesepakatan dan saling kesepahaman. Adapun lokasi perkampungan baru yang diusulkan adalah Salubiro, Tikala, Tokepipolo dan Tokeiso.
·           Pembagian lahan untuk kintal perumahan diprioritaskan kepada rumah tangga warga Katu yang belum mempunyai rumah.
·           Pelaksanaan pembangunan rumah penduduk dan bangunan umum dilakukan secara gotong royong dan melibatkan kelompok yang ada dalam kampung.
·           Penduduk yang tidak menggunakan dan atau membiarkan bangunan rumah dan lahan kintal dalam waktu tertentu, maka pemerintah berhak mengambil alih rumah dan kintal di maksud untuk digunakan  warga yang membutuhkan.
·           Penduduk pemilik bangunan rumah dan pemakai ‘kintal’ lahan perumahan tidak boleh mengalih gunakan dan menjual lahan kintal dan perumahan, kecuali melalui musyawarah dan kesepakatan bersama Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu.

Waktu Pelaksanaan:
Kegiatan ini dilaksanakan sepanjang waktu dan berlaku hingga tahun 2015.

Penanggung Jawab:
Pemerintah Desa, Lembaga Adat, Komisi Pengawas Wanua Katu dan Pemilik Lahan.

3.                  Pemeliharaan Sumber dan Sarana Air Bersih; kegiatan ini bertujuan untuk memastikan kesinambungan ketersediaan air bersih yang sehat, menjaga dan memelihara kebersihan sarana air bersih, mandi, cuci dan kakus (MCK) di lingkungan perkampungan. Kegiatannya mencakup:
3.1.            Menjaga kebersihan dan daya dukung lingkungan disekitar sumber air bersih
3.2.            Memelihara dan memperbaiki sarana tempat air bersih yang sudah ada

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·           Melakukan kerja gotong royong secara berkala untuk membersihkan lingkungan disekitar sumber air bersih.
·           Setiap warga dan kelompok kerja di Katu mempunyai kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki sarana tempat air bersih, memperbaiki gantungan pipa air ditebing, jalan dan penyeberangan pipa air yang berada dilingkungan pemukiman selama tiga bulan sekali.
·           Dilarang melakukan penebangan tanaman pohon dan kegiatan yang merusak lingkungan disekitar sumber air bersih.
·           Setiap warga yang tidak aktif dalam gotong royong dan melakukan tindakan yang mengancam dan merusak lingkungan disekitar sumber air bersih akan diberikan sangsi sesuai dengan musyawarah dan kesepakatan.
·           Setiap Kelompok HU (Hasil Usaha) diwajibkan membayar Iuran Air Bersih Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000. Jika kewajiban membayar Iuran tidak ditetapi maka kelompok pengguna air diberikan sangsi yang ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu, dan sangsi-sangsi hingga penutupan aliran air untuk sementara waktu.

Waktu Pelaksanaan:
·           Secara berkala tiga bulan sekali
·           Sepanjang waktu dan berlaku hingga tahun 2015.

Penanggung Jawab:
·           Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu.

4.             Pengelolaan Lahan Perladangan (mohinoe) dan Holu; kegiatan ini bertujuan untuk mengelola lahan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Pembukaan lahan perladangan dilakukan pada kawasan Lopolehe, Lopontua dan atau Holu, yang disepakati oleh kelompok dan dengan mempertimbangkan keadaan tanah dan lingkungan setempat.
·                Pekerjaan pengolahan tanah hingga penanaman dilakukan oleh kelompok secara gotong royong, mulai dari penebangan, pembakaran, pembersihan lahan hingga penanaman padi.
·                Setiap Kepala Keluarga dan warga pemuda yang sudah mampu berladang diharuskan mengusahakan lahan perladangan minimal 50 are hingga 0,5 hektar.
·                Setiap warga wajib menanam dan memelihara benih padi jenis lokal.
·                Setiap warga mengusahakan lahannya untuk menanam padi jenis lokal dan tanaman palawija dengan cara tumpang sari, dengan tanaman, seperti: jagung, sayur-sayuran, kacang-kacangan, ubi-ubian, rica, tomat, pisang, pepaya dan sebagainya.
·                Setiap warga dapat mengusahakan dan merawat tanaman yang tumbuh pada lahan bekas ladang (Holu) hingga panen, dan mengusahakan pengembangan lahan Holu untuk tanaman jangka panjang berdasarkan kemampuan.
·                Setiap warga Katu tidak boleh menjual tanah. Jika ada kebutuhan pembiayaan untuk kepentingan keluarga yang mendesak dan membutuhkan dana, maka akan dibicarakan bersama kelompok tani yang ada dan Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu untuk mengupayakan jalan keluar terbaik.

Waktu Pelaksanaan:
Setiap musim berladang satu kali dalam se tahun dan tergantung keadaan cuaca.

Penanggung Jawab:
Ketua Kelompok dan anggota pemilik lahan.

5.             Pengelolaan lahan persawahan (mobonde); kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pengusahaan lahan persawahan baru. Kegiatannya meliputi:
5.1.                 Pengelolaan lahan sawah, mulai dari mengolah tanah, penanaman, pemeliharan hingga pemanenan.
5.2.                 Pembukaan dan pengusahaan lahan persawahan baru untuk warga yang tidak memiliki lahan sawah.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Musyawarah identifikasi lahan baru dan pembagian lahan sawah kepada warga yang belum memiliki lahan persawahan. Lahan persawahan yang potensial adalah Maruo, Ntadasi dan Potampoa.
·                Pekerjaan pengelolaan sawah dilakukan secara gotong royong oleh kelompok dan atau berdasarkan kebijakan dan menggunakan tenaga masing-masing pemilik lahan.
·                Setiap warga pemilik lahan wajib memprioritaskan penggunaan bibit padi jenis lokal dan pengelolaannya dengan menggunakan pupuk alami (organik).
·                Setiap warga diwajibkan menjaga dan memelihara sumber air dan irigasi tradisional yang mengairi persawahan.
·                Setiap pemilik lahan sawah yang membiarkan dan tidak mengerjakan lahan sawahnya dalam waktu tertentu, maka Pemerintah Desa berhak mengambil alih lahan tersebut dan bermusyawarah dengan Lembaga Adat, Komisi Pengawas Wanua Katu untuk pengalihan dan pemanfaatan lahan tersebut bagi warga yang membutuhkan.
·                Setiap warga Katu tidak boleh menjual tanah. Jika ada kebutuhan pembiayaan untuk kepentingan keluarga yang mendesak dan membutuhkan dana, maka akan dibicarakan bersama kelompok tani yang ada dan Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu untuk mengupayakan jalan keluar terbaik.

Waktu Pelaksanaan:
Setiap musim mengolah sawah satu kali dalam se tahun.

Penanggung Jawab:
·                Pemerintah Desa, Lembaga Adat, Komisi Pengawas Wanua Katu dan Pemilik Lahan
·                Ketua Kelompok dan anggota pemilik lahan.

6.             Pengusahaan Tanaman Tahunan; kegiatan ini bertujuan untuk pengelolaan dan peningkatan hasil tanaman tahunan yang bermanfaat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan daya dukung lingkungan. Kegiatannya mencakup:
6.1.                 Usaha penanaman dan pemeliharaan tanaman tahunan
6.2.                 Penyuluhan peningkatan ketrampilan dalam pemeliharaan tanaman

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Setiap rumah tangga dan pemuda dihimbau untuk memiliki lahan perkebunan tanaman keras minimal 1 hektar.
·                Setiap warga mengusahakan tanaman jangka panjang yang hasilnya dapat dijual ke pasar dan meningkatkan pendapatan keluarga, tanaman yang diusahakan yakni: tanaman cokelat, kopi, kemiri, pohon enau, buah durian dan rambutan.
·                Pemerintah desa berkewajiban untuk meminta dukungan instansi pemerintah dan swasta yang dapat memberikan bantuan teknis ketrampilan dan pengetahuan pengelolaan tanaman kepada warga.
·                Setiap warga dilarang mengambil umbut pohon enau (baru).
·                Setiap warga Katu tidak boleh menjual tanah kebun. Jika ada kebutuhan pembiayaan untuk kepentingan keluarga yang mendesak dan membutuhkan dana, maka akan dibicarakan bersama kelompok tani yang ada dan Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu untuk mengupayakan jalan keluar terbaik.
·           Setiap pemilik kebun yang membiarkan dan tidak mengerjakan lahannya dalam waktu tertentu, maka Pemerintah Desa berhak mengambil alih lahan tersebut dan bermusyawarah dengan Lembaga Adat, Komisi Pengawas Wanua Katu untuk pengalihan dan pemanfaatan lahan tersebut bagi warga yang membutuhkan.

Waktu Pelaksanaan:
Sepanjang waktu 2011 – 2015.

Penanggung Jawab:
Kelompok, Pemilik Lahan, Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu.

7.             Pengembangan Usaha Kerajinan Tangan; kegiatan ini bertujuan untuk mewariskan dan mengembangkan kebudayaan dalam mengusahakan produksi kerajinan tangan yang berbasis pada pengetahuan dan inovasi pengetahuan masyarakat untuk menghasilkan peralatan kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga dan dijual terbatas. Kegiatan ini mencakup:
7.1.       Pembuatan tikar anyaman dari daun pandan hutan dan sejenisnya
7.2.       Pembuatan keranjang dari dari daun pandan hutan dan sejenisnya
7.3.       Pembuatan bakul dan alat-alat dapur dari daun pandan hutan, bambu, kayu dan jenis rumput tertentu.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Kegiatan pembuatan anyaman tikat, keranjang, peralatan dapur, dan sebagainya, semenjak persiapan hingga proses pembuatannya dilakukan secara berkelompok dan masing-masing orang yang berkeinginan.
·                Setiap warga yang mempunyai pengetahuan ketrampilan anyaman kerajinan diwajibkan untuk mengajarkan dan mewariskan pengetahuannya kepada warga lainnya di Katu.
·                Pemerintah Desa bekerjasama dengan pemerintah daerah, LSM dan organisasi lainnya untuk mengusahakan tenaga terampil dari luar Katu dalam memberdayakan dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan pengrajin di Katu, serta dapat dipasarkan hasilnya.

Waktu Pelaksanaan:
Sepanjang waktu 2011 2015

Penanggung Jawab:
Kelompok Pengrajian dan masing-masing pengrajin, serta Pemerintah Desa.

8.             Pengelolaan Hutan; kegiatan ini bertujuan untuk mengelola hutan dan memanfaatkan hasil hutan berdasarkan pengetahuan dan ketentuan yang ada dalam masyarakat Katu dengan mempertimbangkan produksi yang berkesinambungan dan kelestarian lingkungan, serta keadilan sosial.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Pengambilan pohon kayu hanya untuk pembangunan rumah warga, bangunan umum dan keperluan warga lainnya, seperti: pembuatan kerajinan dan kayu api. Pemanfaatan kayu tidak boleh untuk diperjual belikan.
·                Pengambilan rotan dan damar di wilayah Katu hanya boleh dilakukan oleh warga Katu dengan mempertimbangkan kesinambungan produksi rotan dan damar dan kelestarian lingkungan.
·                Setiap warga yang mengambil kayu, rotan dan damar dilakukan secara terencana dan berlangsung pada lokasi yang sudah disepakati pada periode waktu tertentu yang disepakati dalam musyawarah bersama Komisi Pengawas Wanua Katu.
·                Setiap warga yang memasang jerat dan berburu hewan liar dilakukan pada kawasan tertentu disekitar kampung di kawasan hutan bekas kebun Lopontua dan Lopolehe.
·                Setiap hewan tangkapan yang masih muda (anak) dan betina harus dilepaskan kembali.
·                Setiap warga Katu dilarang melakukan penebangan kayu, memasang jerat dan berburu hewan, utamanya hwan anoa, babi dan rusa, disekitar sungai, di kawasan hutan alam (pandulu) dan kawasan hutan bekas ladang yang sudah ditentukan tidak boleh digunakan untuk berburu dan mengambil kayu selama masa waktu lima tahun untuk tujuan memulihkan fungsi dan daya dukung lingkungan. 
·                Warga yang melanggar ketentuan diatas akan diberikan sangsi berdasarkan hasil musyawarah oleh Lembaga Adat, Pemerintah Desa dan Komisi Pengawas Wanua Katu.

Waktu Pelaksanaan:
Sepanjang waktu 2011 – 2015

Penanggung Jawab:
Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu
9.             Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; kegiatan ini bertujuan untuk pengelolaan dan pemanfaatan daerah aliran sungai secara terencana dan teratur serta meningkatnya daya dukung lingkungan.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Setiap warga Katu dilarang melakukan penebangan pohon dan pembukaan lahan disekitar daerah aliran sungai secara sembarangan, tanpa musyawarah dan tanpa mempertimbangkan ancaman dan bahaya erosi banjir dan tanah longsor bagi lokasi dan lingkungan disekitar daerah aliran sungai.
·                Melakukan penanaman tanaman pohon disepanjang daerah aliran sungai dengan tanaman yang khas (endemik), seperti: pohon leda, bambu dan sebagainya.
·                Pemanfaatan potensi air sungai untuk pengairan sawah, air bersih, pembangkit listrik tenaga air dan hasil ikan sungai.   
·                Pengambilan hasil ikan sungai dilakukan dengan menggunakan peralatan tangkap tradisional (monampe, mopeka dan mowuwu) dan dilarang menggunakan setrum listrik dan racun.
·                Warga yang melanggar ketentuan ini dan telah menimbulkan bahaya bagi keselamatan masyarakat dan lingkungan dikenakan sangsi berdasarkan hasil musyawarah mufakat Lembaga Adat, Pemerintah Desa dan Komisi Pengawas Wanua Katu.
·                Melakukan monitoring kelestarian hutan bersama masyarakat dan pihak pendukung masyarakat Katu.

Waktu Pelaksanaan:
·                Sepanjang waktu 2011 – 2015
·                Monitoring kelestarian hutan dilakukan pada tahun 2011

Penanggung Jawab:
Pemerintah Desa, Komisi Pengawas Wanua Katu, Yayasan Tanah Merdeka, Balai Besar TNLL.

10.         Pengembangan Usaha Budidaya Hewan Ternak; kegiatan ini bertujuan untuk pengembangan usaha budidaya hewan ternak dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Setiap warga dihimbau untuk mengembangkan dan mengusahakan budidaya hewan ternak yang hasilnya dapat dipasarkan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga, jenis hewan peliharaan, yakni: ayam kampung, bebek, itik, babi, sapi, kerbau, kuda, dan lain-lain, termasuk ikan air tawar yang dipelihara di kolam.
·                Daerah untuk pengembalaan dan pemeliharaan hewan, selain disekitar kebun dan pinggiran kampung, juga dilakukan di padang Lolea dan Rante.
·                Setiap hewan harus dikandangkan dan jika merusak tanaman orang lain oleh karena kelalaian pemilik hewan maka akan diberikan sangsi dan ganti rugi sesuai dengan musyawarah dan mufakat.

Waktu Pelaksanaan:
Sepanjang waktu 2011 – 2015

Penanggung Jawab:
Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan Komisi Pengawas Wanua Katu.

11.         Pembangunan dan Pengelolaan Sarana dan Prasarana Sosial, Transportasi, Pendidikan, Tempat Ibadah, Seni Budaya dan Kesehatan, serta Sosial Ekonomi; kegiatan ini bertujuan untuk membangun dan mengelola sarana dan prasarana sosial guna pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar penduduk Katu. Kegiatan ini mencakup:
11.1.   Pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan Desa Katu dan Desa Rompo untuk memperlancar pemasaran produksi masyarakat yang dengan sendirinya dapat mendorong usaha produksi masyarakat.
11.2.   Pengadaan tenaga pelayanan kesehatan yakni Bidan Desa dan berbagai fasilitas kesehatan dan obat-obatan.
11.3.   Peningkatan ketertiban dan kehadiran tenaga pengajar di Sekolah Dasar di Katu.
11.4.   Pengumpulan dana untuk penyelesaian pekerjaan pembangunan rumah ibadah (gereja).
11.5.   Pelatihan musik tradisional musik bambu dan pengadaan pakaian adat untuk anak-anak SD di Katu.
11.6.   Merancang unit usaha koperasi dan usaha simpan pinjam.

Langkah-langkah, Aturan dan Sangsi:
·                Pembangunan jalan dan parit sejauh empat kilometer dari Tokedopi hingga Kampung Katu, yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat dan dukungan dana program oleh pemerintah daerah.
·                Pemeliharaan jalan dan parit sejauh tujuh kilometer yang dilakukan secara gotong royong dan dukungan dana Pemerintah Desa.
·                Pemerintah Desa mengirimkan surat dan berkomunikasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Poso tentang tidak adanya tenaga kesehatan dan jauhnya akses masyarakat ke tempat pelayanan kesehatan di Desa Rompo.
·                Pemerintah Desa dan Komite Sekolah melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Kepala Sekolah untuk menertibkan dan menghadirkan guru-guru yang tidak aktif mengajar di SD Katu. Jika tidak ada juga tanda-tanda keaktifan guru-guru dimaksud maka Pemerintah Desa dan Komite Sekolah mengirimkan surat pengaduan kepada Bupati dan ditembuskan kepada Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Poso.
·                Pengusahaan dana pembangunan gereja sebagaimana direncanakan oleh Panitia Pembangunan Gereja.
·                Setiap anak sekolah di Katu diharuskan mengikuti pelatihan Musik Bambu dan sekolah menyediakan pakaian tradisional ‘behoa’, yang bertujuan untuk memperkenalkan dan melestarikan adat istiadat Suku Behoa. Pendanaan kegiatan ini untuk pembelian alat musik dan pakaian adat diusahakan oleh masyarakat secara swadaya sebesar 50 % dari biaya dan sisanya bersumber dari dana ADD (Alokasi Dana Desa) dan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
·                Melakukan musyawarah pembangunan unit usaha koperasi dan simpan pinjam. Kegiatan ini sudah direncanakan dan difasilitasi oleh tenaga teknis dan pendanaan dari program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Kabupaten Poso.

Waktu Pelaksanaan:
·                Berlangsung sepanjang 2011 – 2015
·                Pemerintah Desa mengirimkan surat dan melakukan tatap muka dengan Kepala Dinas Kesehatan Kab. Poso pada akhir bulan Februari 2011.
·                Pelaksanaan pembangunan gereja mengikuti rencana Panitia Pembangunan.

Penanggung Jawab:
·                Pemerintah Desa
·                Komisi Pengawas Wanua Katu.
·                Panitia Pembangunan Gereja.
·                Komite Sekolah, Kepala Sekolah dan Guru
·                Fasilitator PNPM


12.         Pembentukan Organisasi;
Berdasarkan kesepakatan musyawarah disepakati untuk membentuk organisasi masyarakat di Katu yang melaksanakan tugasnya untuk sementara waktu hingga dinyatakan tidak diperlukan lagi. Disepakati nama organisasi tersebut adalah Komisi Pengawas Wanua Katu (KPWK), tujuan pembentukan organisasi ini adalah untuk membantu mendampingi dan memberdayakan Pemerintah Desa dan lembaga-lembaga sosial di Desa Katu dalam penataan ketertiban sosial dan pengelolaan sumberdaya alam dan tanah di wilayah adat Katu.

Peran dan Kewenangan KPWK, sebagai berikut:
·                Membuat arah kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
·                Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan tanah di wilayah adat Katu.
·                Menyelesaikan sengketa-sengketa di dalam dan di luar kampung yang melibatkan warga Katu berdasarkan musyawarah dan kesepakatan yang adil.
·                Menegakan aturan dan sangsi-sangsi terhadap pelanggaran-pelanggaran dari isi kesepakatan dan ketentuan lainnya di Desa Katu.
·                Melakukan pendataan dan penataan pemilikan Tanah yang adil dan melibatkan Pemerintah Desa.
·                Mendata dan menyelesaikan permasalahan pertanahan di lingkungan wilayah adat Katu, termasuk mengusahakan kepastian dan akses atas tanah warga Katu untuk pengadaan perumahan dan kintal, serta alat produksi pertanian dan perkebunan.

Susunan dan Pengurus KPWK:
1.        Titus Todero
2.        Papa Bentunu
3.        Esau
4.        Azar Torae
5.        Y. S. Togasi

Penutup
Dokumen ini merupakan hasil musyawarah dan mufakat Orang Katu untuk dilaksanakan secara konsisten. Penggunaan dokumen ini diharuskan sepengetahuan Kepala Pemerintah Desa dan Lembaga Adat di Desa Katu dan digunakan untuk kepentingan Orang Katu.

Desa Katu, 13 Februari 2011


Terima Kasih


Lembaga Adat Desa Katu





Gane Bago
Kepala Desa





   Ali Pantoli



                

























Lampiran: Peserta Musyawarah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.