08/05/2011
Oleh Ganjar Krisdiyan*
Ketika menerima undangan dari TURC ini, melihat tema diskusinya:
Transformasi Gerakan Buruh Menuju Gerakan Sosial dan Politik,
mengingatkan saya kembali ketika memulai terlibat dalam gerakan, saya
memulai semuanya sejak akhir tahun 1995 sebagai aktivis kampus, dan pada
awal-awal tahun 1996 saya mulai melibatkan diri dalam rencana pemogokan
umum/gabungan buruh di Tandes Surabaya bersama Pusat Perjuangan Buruh
Indonesia (PPBI), pada waktu itu selain menuntut masalah-masalah
normatif seperti cuti haid dan cuti hamil, pembayaran uang lembur,
jamsostek dll PPBI juga menuntut Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar Rp.
7000,-/hari (pada saat itu upah buruhnya hanya Rp. 3500,-/hari,
Pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan Pencabutan 5 Paket UU Politik. Seketika,
pada satu hari setelah dimulainya pemogokan, kehebohan terjadi, hampir
semua koran memberitakan, dengan tema yang hampir mirip, yaitu BURUH
MENUNTUT DEMOKRASI, APA HUBUNGANNYA? Pemberitaan-pemberitaan pun dibuat
sangat berat sebelah, dan yang paling banyak dimuat adalah
pernyataan-pernyataan dari penguasa militer, baik daerah (Pangdam)
maupun nasional (terutama dari Kasospol ABRI), yang inti pendapatnya
kira-kira “BURUH KOK MENUNTUT DEMOKRASI, PASTI ADA YANG MENUNGGANGI”.
Bukan main terbelakangnya pernyataan-pernyataan demikian, di Amerika
Serikat sejak awal tahun 1800-an (awal abad 19), kaum perempuannya sudah
meminta hak pilih, yang secara indah diucapkan dalam film Votes for
Women oleh Aktrisnya –saat membagi-bagi selebaran untuk persiapan sebuah
karnaval—, ketika ditanya oleh seorang buruh perempuan yang baru keluar
pabrik, apa gunanya hak pilih bagi perempuan, apakah bisa memperbaiki
kondisi saya sebagai buruh perempuan? Dijawab: bahwa hak pilih adalah
JEMBATAN untuk memperbaiki kondisi anda. Bahkan dalam pengalaman
perjuangan bangsa Indonesia sendiri, sejak tahun 1920-an (awal abad
ke-20), gerakan buruhnya sudah berhasil mengidentifikasi bahwa sumber
utama kemiskinan dan penderitaan kaum buruh dan rakyat Indonesia adalah
diakibatkan oleh Kolonialisme.
Orde Baru memang telah menghapus ingatan kita tentang sejarah bangsa
sendiri, perjuangan politik dan pemogokan digantikan dengan heroisme
perjuangan bersenjata, yang itupun sebenarnya melibatkan seluruh rakyat
diberbagai pertempuran, bahkan yang lebih celakanya, tentara yang kita
kenal sekarang adalah tentara-tentara yang menjadi musuh rakyat waktu
itu (kalau tidak bekas KNIL ya bekas PETA), yang memang tipis iman
demokrasinya, sehingga wajar jika kemudian selalu mengangkangi kehidupan
sipil, menuntut adanya Dwi Fungsi ABRI dan membuat rakyat buta politik
(floatingmass/massa mengambang) lewat 5 Paket UU Politik. Demokrasi
sipil mereka pahami sebagai pertengkaran, sipil tidak akan becus mengisi
kemerdekaan. Idiologi “Pembangunanisme” yang dikumandangkan oleh Orba
menjadi senjata ampuh untuk mengamankan kekuasaan, rakyat dibuat sibuk
mengurusi ekonominya, kaum perempuannya sibuk mengurusi rumah tangganya,
mahasiswanya di lokalisir didalam kampus, setiap tindakan untuk
mempertanyakan hak kepada pemerintah adalah makar. Orba memang telah
berhasil membuat ketakutan, sehingga kaum taninya, kaum buruhnya tidak
berani melawan sekalipun tanahnya dirampas atau upahnya dibayar sangat
murah.
Sejak berdirinya Orba pula, akselerasi terhadap masuknya modal asing
ke Indonesia menjadi lebih tinggi, negara Orba memang berdiri diatas
landasan sistem ekonomi kapitalistik. Seperti juga sistem kapitalistik
pada umumnya, dia akan melahirkan kelompok masyarakat yang bekerja
kepada pemilik modal, atau yang biasa kita sebut sebagai kaum buruh,
yang hidupnya dihisap/ditindas oleh pemilik modal. Disamping klas buruh,
dalam masyarakat kapitalis kita juga masih menemui kelompok-kelompok
masyarakat yang lain, yang jumlahnya juga besar seperti kaum tani,
pedagang kecil dan sebagainya, kelompok-kelompok masyarakat ini juga
tertindas oleh modal, dalam berbagai macam bentuknya, misalnya kaum tani
yang tertindas karena tanahnya diambil secara paksa untuk kepentingan
pembangunan infrastruktur (jalan atau pelabuhan), dalam rangka menarik
investasi, pedagang kecil yang selalu dikejar-kejar Tibum karena
mengotori kota, dan lain sebagainya, dan bahkan para mahasiswa pun
mengalami hal yang sama, mereka tidak memiliki kebebasan dalam memilih
fakultas atau jurusan, konsep pendidikan dalam sistem kapitalistik
diarahkan hanya untuk memuhi kebutuhan pasar, untuk mencetak
tenaga-tenaga yang siap pakai sebagai pelengkap jalannya roda
kapitalisme (link and match).
Pendeknya, di masa Orba, semua sektor masyarakat ditindas oleh modal
dan oleh kekuasaan yang represif, yang bekerja untuk terus mengamankan
modal, memperkaya segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan ditindas
baik secara ekonomi maupun secara politik.
Tahun 1980-an adalah tahun dimana kebekuan politik rakyat mulai
diganggu, mencair, sedikit demi sedikit, aksi massa dikenalkan sebagai
metode perjuangan, solidaritas antar sektor –sehingga mahasiswanya dapat
bergabung dengan rakyat, entah kaum tani atau buruh— mulai terjadi, dan
tuntutan-tuntutan aksinya pun sudah mulai menohok kekuasaan, DEMOKRASI.
ya, demokrasi adalah “JEMBATAN” untuk mencapai kesejahteraan, seperti
kutipan dalam film diatas, atau saya juga senang dengan kutipan
kata-kata berikut ini, yang saya lupa ada didalam artikel apa:
“Kebebasan politik tidak akan serta merta membebaskan kaum buruh dari
kemiskinan, tetapi ia akan memberikan suatu senjata kepada kaum buruh
untuk melawan kemiskinan, tak ada cara lain dan tidak mungkin ada cara
lain untuk melawan kemiskinan kecuali penyatuan kaum buruh itu sendiri,
tetapi jutaan rakyat tak dapat bersatu jika tak ada kebebasan politik.
Kutipan-kutipan diatas, menjadi sangat relevan, pada saat itu.
Tentu saja kesadaran tersebut (tuntutan demokrasi,
penyatuan/solidaritas antara sektor) ada landasan objektifnya, sehingga
dia diterima menjadi kebenaran, dan diterima menjadi landasan bagi
penyatuan antar sektor masyarakat, selain disebabkan karena mulai
masuknya teori-teori progressif di sekitar tahun-tahun tersebut,
termasuk juga karya-karya Pramudya Ananta Toer, yang menjadi bacaan
wajib bagi aktifis, dan yang terpenting adalah, karena semua sektor
masyarakat mengalami penindasan yang sama, dan sama-sama ingin keluar
dari penindasan tersebut. Mereka juga mengahadapi musuh yang sama pula,
yaitu Orba. Penyatuan-penyatuan pun dibuat, diatas platform bersama, dan
sebagai perekatnya yaitu DEMOKRASI. Mahasiwa yang sadar mulai keluar
kampus, bergabung dengan sektor-sektor masyarakat yang lain untuk
melipat gandakan kekuatan/membentuk persatuan, dan tidak mau
dipecah-pecah lagi. Itulah mengapa pada saat itu, PPBI, sebagai
organisasi buruh, juga memiliki kepentingan yang sama soal demokrasi.
Dan kini, setelah sekian tahun reformasi, persoalan tersebut kembali
mencuat, memang dalam politik, kita tidak mengenal kata usang, entah
metode tersebut sudah mulai digunakan sejak awal abad 19, atau digunakan
sejak 85 atau 15 tahun yang lalu, atau bahkan baru 1 tahun yang lalu,
tidak ada bedanya, sebuah metode politik yang baik, ketika belum
diyakini oleh mayoritas rakyat tetap saja relevan digunakan kapanpun,
sampai rakyat secara mayoritas menggunakannya. Dalam makna itulah saya
fikir, diskusi ini dimaksudkan. Kita mau menyelidiki apakah dengan
tuntutan Jaminan Sosial yang disuarakan oleh kaum buruh, itu berarti
terjadi transformasi gerakan buruh menjadi gerakan sosial – politik dan
yang terpenting, apakah dengan transformasi tersebut menguntungkan atau
tidak bagi rakyat.
Untuk menyelidiki apakah gerakan buruh sekarang, yang menuntut
Jaminan Sosial sudah bertransformasi menjadi gerakan sosial-politik,
menurutku yang pertama-tama harus dilihat dan dikaitkan adalah tentang
bentuk organisasinya, dengan mengaitkan perjuangan kaum buruh dengan
bentuk organisasi perjuangannya maka kita dapat membaginya menjadi
perjuangan ekonomi, perjuangan politik dan perjuangan idiologis.
Perjuangan ekonomi adalah bentuk paling awal dari perjuangan buruh,
biasanya dimulai dengan perjuangan mempertahankan kepentingan ekonomi
sehari-hari, seperti kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan
sebagainya. Dalam perjuangan semacam ini lah organisasi-organisasi
pertama buruh tumbuh, yaitu serikat-serikat buruh. Perjuangan ekonomi
tidak akan mengusik pemilikan kaum kapitalis terhadap alat-alat produksi
dan tidak melenyapkan kekuasaan politik mereka, perjuangan ekonomi
hanya bisa mendapatkan konsesi-konsesi kecil dari klas pemilik modal.
Dengan demikian, jika kita terlalu memuja-muja perjuangan ekonomi dan
membatasi perjuangan klas buruh hanya untuk mendapatkan reformasi dalam
batas-batas sistem kapitalis, maka hal itu akan merugikan kepentingan
klas buruh.
Perjuangan politik adalah bentuk perjuangan klas buruh yang paling
tinggi dalam melawan kekuasaan klas pemilik modal, tujuan akhir dari
perjuangan ini adalah perebutan kekuasaan oleh klas buruh, yang akan
membuka jalan bagi pembebasan sosial melalui penghapusan sistem
penghisapan kapitalis. Perjuangan politik akan menuntut buruh untuk
membentuk partai politiknya sendiri, yang menghimpun kekuatan-kekuatan
yang memiliki pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan klas dan
program yang jelas untuk menjalankannya.
Sedangkan perjuangan idiologis adalah perjuangan teoritik untuk
membebaskan klas pekerja dari kesadaran borjuis. Perjuangan idiologis
ini hanya bisa dicapai jika kaum buruh sudah memiliki partai politiknya
sendiri.
Seperti juga yang disampaikan Marx:
“Gerakan politik kelas pekerja, tentu saja, tujuan akhirnya
adalah merebut kekuasaan politik bagi dirinya, dan untuk itu sudah
seharusnya membutuhkan organisasi kelas pekerja yang berkembang (maju)
hingga mencapai tahap tertentu atau, tepatnya, tidak lagi merupakan
perjuangan ekonomi.
Namun demikian, di sisi lain, setiap gerakan kelas pekerja yang
dilancarkan untuk melawan kelas penguasa, dan mencoba untuk menekan
mereka dengan paksaan dari luar, adalah perjuangan politik. Misalnya,
upaya (di pabrik tertentu atau bahkan dalam perdagangan tertentu) untuk
memaksakan hari kerja yang lebih pendek terhadap individu kapitalis
dengan cara mogok, dan sebagainya, sepenuhnya merupakan gerakan ekonomi.
Di sisi lain, gerakan untuk memaksakan hukum 8 jam kerja, dan
sebagainya, adalah gerakan politik.
Bila kelas pekerja belum begitu maju (dalam organisasinya) untuk
melancarkan serangan menentukan melawan kekuasaan kolektif –yakni
kekuasaan politik kelas penguasa— maka kelas pekerja sebelumnya harus
lah dilatih dengan cara mengagitasikan (terus menerus) perlawanan
terhadap kekuasaan tersebut dan dengan cara menunjukkan permusuhan
mereka terhadap kebijakan-kebijakan kelas penguasa. Bila tidak, kelas
pekerja hanya akan menjadi barang mainan di tangan kelas penguasa”.
Lalu untuk menjawab pertanyaan apakah transformasi tersebut
menguntungkan bagi rakyat atau tidak? Jika kita mencermati kembali
paragraf-paragraf awal tulisan ini, tentu kita akan bersepakat bahwa
transformasi tersebut sangat dibutuhkan, namun transformasi tersebut
harus berbasis pada ketepatan menentukan isu, metode dan arah perjuangan
yang diinginkan rakyat.
Saat ini, rezim Sby-Boediono hanyalah kepanjangan tangan
Imperialisme, maka sudah dapat kita pastikan bahwa, mereka tidak akan
berpihak kepada rakyat, dengan mudah kita bisa memberikan
contoh-contohnya, seperti: menarik subsidi BBM, Listrik dll,
memprivatisasi BUMN, mengobral kekayaan alam negara, meliberalisasi
perdagangan (termasuk hasil-hasil pertanian, seperti beras, kedelai,
cabai dll)), menggusur tanah rakyat dan menembaki petani, mempertahankan
politik upah murah dan outsorcing, menggusur PKL dan lain sebagainya.
Akhirnya menurut saya, dengan situasi demikian, kaum buruh harus lebih
banyak terlibat dalam konsolidasi-konsolidasi gerakan, bersama
sektor-sektor lain yang sama-sama dirugikan oleh kepentingan
Imperialisme beserta agen-agennya.
Sumber: koranpembebasan.com
SEKIAN
*Anggota Partai Pembebasan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.