Oleh : Adriansyah, Mahasiswa Sosiologi, Fisip Universitas Tadulako Palu
“Berserah kepada Tuhan, mungkin
ini adalah keinginannya karena manusia semakin
seraka,” begitulah ungkapan yang kerapkali dinyatakan oleh orang-orang
ketika mendapat bencana. Lebih tragis lagi, semua orangketika bencana datang
harus berseru mempertanyakan hal yang sama, “inilah fakta yang harus kita
terima suka atau tidak” Berbagai bencana terus melanda
negeri ini. “Bagi kami kaum awam, hanya bisa pasrah dan menerima serta taat
terhadap ajaran-anjar kebaikan yang kami peroleh dari keyakinan kami
masing-masing.” Gelisah seorang kawan.
Sudah sekian tahun indonesia selalu mengalami bencana mungkin belum
hilang dalam benak kita kejadian pada
tanggal 26 desember 2004 sunami yang melanda kota Aceh, semua orang berdoa dan
berbondong-bondong memberikan bantuan mulai dari luar negeri hingga ke tingkat
daerah di indonesia.
Seperti tak ingin lekang dari
ingatan. Pada tanggal 3 desember 2011 kembali terjadi bencana banjir bandang
yang menewaskan 6 orang meninggal di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten
Sigi, Sulawesi Tengah. Tangisan dan derai air mata menjadi simbol ketidak
siapan menerima perlakuan alam yang tiba-tiba merontak meluluhlantahkan Desa
Bolapapu dalam sekejapengan kejapan mata.
Haruskah kita salahkan mereka? walaupun kita mengerti dalam pengelolaan SDA
mereka sering mengabaikan nilai-nilai kelestarian Hutan, hingga bersikap sporadis
dalam pemanfaatan hasil hutan seperti rotan, dan cara bertani yang kerap sekali
menebang pohon. Bahkan mungkin hampir semua orang akan mengatakan bahwa
pengrusakan hutanlah yang megakibatkan banjir. Tapi harus diingat, bahwa bagi rakyat miskin melakukan itu, karena
tekanan-tekanan ekonomis yang sangat berat dan bersifat darurat. Mereka memiliki
sedikit sekali pilihan-pilihan untuk melakukan aktifitas. Hal lain juga adalah posisi ekonomi dan
keterbatasan aksesnya terhadap sumber daya alam akibat pembatasan akses
masyarakat terhadap alam oleh pemerintah seperti kehadiran hutan Konservasi didataran
ini seperti: BTNLL (Balai Taman Nasional Lore Lindu).
Daerah ini juga secara geografis
sangat rawan banjir. Dimana, di atas perkampungan terdapat Gunung Wangu dan
Gunung Libu dan terdapat lima aliran sungai yaitu sungai Magila, sungai
Pangele, Sungai Rarano, Sungai Tamorae, dan Sungai Oo yang melewati
Perkampungan. Dalam sejarahnya kampung ini merupakan aliran sungai Magila dan
Tamorae terdapat didusun dua dan dusun tiga. Meskipun faktor-faktor lain selain
kemiskinan, seperti takhyul dan kepercayaan tradisional, juga seringkali
menjadi penghambat kelompok masyarakat untuk bertahan dan tidak ingin
dipindahkan.
Dikarenakan orang-orang miskin
memiliki sedikit pilihan dan terpaksa mendiami daerah-daerah berbahaya, maka
geopolitik kemiskinan punya keterkaitan dengan geografi bencana. Bukankah sudah
umum dikatakan, bahwa orang miskin yang punya keterbatasan hanya bisa
bergantung kepada kemurahan alam di sekitarnya. Inilah yang terlupakan oleh
pemerintah. Alih-alih memikirkan cara untuk memindahkan orang miskin dari daerah-daerah
rawan bencana, pemerintah justru menghancurkan sarana-sarana produksi mereka.
Sebagian besar orang miskin berpindah dari lahan atau tempat-tempat produktif
karena kebijakan pemerintah, seperti PHK massal, penggusuran, dan perampasan
tanah. Disamping kebijakan-kebijakan pemiskinan lainnya. sangat sedikit sekali analisis
yang mengungkapkan kenyataan bahwa orang miskin merupakan “makanan paling
empuk” dari setiap bencana alam. Ada yang mengatakan, bencana alam tidak akan
pernah melihat siapa korbannya, entah orang miskin atau kaya. Iya, pernyataan
itu ada benarnya. Tetapi, kenyataan menunjukkan fakta bahwa, dalam berbagai
bencana alam yang terjadi di Indonesia dan negeri-negeri lain, orang miskin
selalu menjadi paling rentan untuk menjadi korban bencana.
Tidak ada yang harus disesali
kejadian itu bukanlah keinginan semua orang,
jelas-jelas kejadian serupa hampir terjadi di pelosok negeri ini. Lalu
bagaimana kita harus meresponnya dengan akal sehat? Sudah sekian banyak korban
haruskah ini terjadi? Lalau bagaimana kita menanggulangi untuk tidak terjadi
lagi? Dengan membatasi masyarakat terhadap aksesnya untuk mengelolah SDA
(Sumber Daya Alam) disekitar perkampungannya, itu halnya sama dengan kita
membunuh mereka dengan bertahap. hutan-hutan yang ada disekitar mereka adalah
roh penghidupan, yang menjadi kebutuhan mereka untuk merespon hidup dan
mempertahankan hidup.
Lalu adakah kaitannya dengan
struktur dalam negeri ini? Melihat negara kita yang kaya raya dan penuh dengan
segalah macam kandungan didalamnya tapi miskin dan terbelakang dalam
pemanfaatan dan penggelolaan Sumber Daya Alam. Keserakaan segelintiri orang
menjadi penting untuk dijadikan latar penalaran untuk mengkaji bencana yang
niscaya menenggelamkan negeri ini tanpa ada pengelolaan yang baik dan
profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.