MENJELANG
KEMAJUAN
Menyambut penerbitan edisi kolektor JURNAL
PROBLEM FILSAFAT
Pada mulanya adalah laporan
kerja. Bukan komunikasi. Dari kerja membaca buku dan perkembangan pemikiran di
Sekolah tinggi Filsafat Driyarkara (STFD); dari kerja diskusi-diskusin informal
diwarung pojok GM “tidak mungkin Goenawan Muhammad berinvestasi di sebuah kios
rokok, karenanya GM adalah okronim dari pemilik warung mas Gun dan mbak Mei”;
dari kerja diskusi-diskusi bernuansa minuman fermentasi dari kota Semarang dan
sekitarnya. Yang pertama memperanakkan semangat membaca; yang kedua
memperanakan humor-humor kias filsafat, dan yang ketiga memperanakkan kritik
dan penulisan ilmiah. Semangat membaca memperanakkan upaya mengumpulkan
berbagai macam buku filsafat dari ujung paling kanan hingga titian baca
Marxisme. Dari landas gerak sejarah siklis a Ia Yunani antik, ekskatologi Abad
pertengahan, progresif-idealis Hegelian, sampai progresif-dialektis Marxian.
Humor-humor kias filsafat
memperanakan suasana hangat, terbuka, melabrak semua sekat Suku Agama Ras dan
Antar Golongan. Tak lagi ada perbedaan bahwa yang berada diwilayah barat
Indonesia jauh lebih berpendidikan dari pada mereka yang berasal dari wilayah
timur Indonesia. Mereka yang berlibat dalam ordo Yesuit, kerap dileluconkan
sebagai Ordo Jawa/Jogja. Sedang mereka yang berasal dari wilayah Timur kerap
digurau “Tahun pertama ordo Fransiskan tinggal di depan STFD. Tahun kedua ordo
Herkules tinggal di tanah sengketa”. Sedang yang tidak berordo, atau awam,
digolongkan sebagai AZ yang kemudian diplesetkan menjadi “Awam Zalim”. Semuanya
tidak perna melahirkan kekerasan, selain tertawa terbahak-bahak sembari merokok
hingga pahit rasa dibibir.
Kritik dan penulisan ilmiah
memperanakkan diskusi yang memusat pada tema dan titik pijak tertentu. Inilah
yang berusaha diperjuangkan dari satu diskusi ke diskusi yang lain. Ketat
membaca sebuah teks, mencari latar belakang teks, memperbandingkan satu teks
dengan teks yang lain, dari seorang penulis maupun dari beberapa orang penulis,
hingga kemudian melahirkan gagasan mandiri. Teks disini bisa berarti sebua
kata, sebua kalimat, dan sebua paragraf yang kerap berbeda-beda pemaknaannya
dari satu karya ke karya yang lain, bergantung pada tahun pembuatan sebuah
teks. Tahun pembuatan menunjukkan latar belakang peristiwa yang mendasari
pembuatan teks. Sehingga teks disini tidak diperlakukan secara locus teologiko-hermeneutik, tetapi
sebagai sebuah wacana historis untuk lahirnya sebagai pengetahuan.
Demikianlah suasana yang menjadi
dasar pembuatan Jurnal PROBLEM FILSAFAT. Suasana yang menghendaki upaya
pembacaan teradap buku terkenal karya Karl Marx, Das Kapital, melalui metode
kritik dan penulisan ilmiah. Sebua upaya utama dalam sejarah Indonesia modern untuk
membaca karya Karl Marx secara ilmiah dan terprogram. Tidak sebagai bagian dari
kursus politik kader partai yang lebih menekankan pada strategi-taktik
penghancuran kapitalisme, melainkan sebagai upaya membahas metodologi berfikir
Marx di dalam berhadapan dengan logika produksi komoditas Kapitalisme. Sehingga
sungguh keliru dan tolol jika ada yang berpendapat bahwa upaya-upaya seperti
ini adalah upaya membangun embrio partai komunis yang baru. Mengapa, karena
partai selalu berada dalam ruang lingkup strategi-taktik pengambil-alihan
kekuasaan. Sementara Jurnal PROBLEM FILSAFAT berusaha mempertanyakan segala
sesuatu yang tampak etis dan bermoral tetapi sesunggunya berlandaskan
kepentingan politik tertentu. Tepatnya ia menjadi wadah untuk bergumul-gulatnya
pikiran kaum mudah pemberang dengan pikiran-pikiran usang konservatif untuk
melahirkan posisi kritik. Berani berkata “YA” atau “TIDAK” dengan landasan
metodologi berpikir tertentu, sembari melatih diri menulis dan bermartabat.
Sehingga kami tidak hanya ingin adil sejak dalam pikiran, tetapi juga cakap
menangkap terang di dalam setiap beranda kehidupan. Itulah dasar dari semua
pembuatan edisi pertama hingga edisi kesepuluh yang hadir sekarang ini.
Kendati demikian, semua yang kami
inginkan hidup dilingkungan akademik STFD ternyata tidak mendapat respon yang
massif dan positif. Dari pihak kami memang ada banyak kesulitan untuk
merumuskan metode diskusi yang tepat, yang menarik hati para pembaca filsafat,
ditengah atmosfer pemahaman bahwa Karl Marx bukanlah seorang filsuf.
Lebih-lebih terhadap pendapat bahwa buku Kapital bukanlah buku filsafat karena
banyak tabel-tabel perhitungan ekonomi. Sampai kami kemudian menemukan rumus
bahwa tidak mungkin membaca Kapital tanpa membaca disertasi Marx, German Ideology, Holy Family, Critique of
Hegel’s Philosophy of Right, Poverty of Philosophy, Contribution to the
Critique of Political Economy, Grundrisse, artinya; Ideologi,
Kritik Keluarga, Kudus
Filsafat Hegel Hak,
Kemiskinan Filsafat, Kontribusi bagi
Kritik Ekonomi Politik,
Grundrisse berikut karya-karya ekonomi –politik yang
lahir mendahului Karl Marx. Jikalau bacaan-bacaan tersebut tidak dilalui maka
Kapital dibaca sekedar sebagai juklak, juknis, maupun protap menghitung
nialai-lebih yang dicuri oleh kapitalisme. Justru disini kesalahan pembacaan
terhadap Kapital yang terdahulu:
selalu berangkat dengan pengandaian bahwa jika buruh sudah mengerti nilai-nilai
lebih yang dicuri maka dia kan bangkit melawan. Ya benar dia akan bangkit
melawan pada saat nilai-lebihnya di curi, tetapi ia tidak akan pernah
mengetahui dengan tepat mengapa kapitalisme perlu menciptakan nilai lebih, dan
pengandaian tersebut akan berakhir dengan kesimpulan moralistik: kapitalisme
itu rakus. Padahal ini bukan soal rakus atau tidak rakus, dan karenanya semua
yang kapitalis akan masuk neraka. Tetapi Tuhan Allah baik kok, masih ada juga
kapitalis yang baik hati sebagai jalan tengah yang ditawarkan oleh Anthony
Giddens. Kapitalisme ya Kapitalisme. Sepanjang sejarahnya ia selalu
mengandaikan penghancuran kesadaran politik rakyat dan pemiskinan rakyat demi
keberlangsungan sistemiknya. Kapitalisme bermasalah bukan karena melanggar HAM,
tetapi kapitalisme ada saja sudah salah. Namun sekali lagi pandangan-pandangan
yang kami ajukan dianggap aneh dan tidak relevan dengan kemajuan jaman, atau
mungkin bahkan ketinggalan jaman. Memang ketinggalan jaman kami ini, karena
kami tidak perna berpikir untuk berbicara tentang nilai-nilai hidup bahagia
manusia ditengah situasi yang merepresi, situasi-situasi batas yang akan melahirkan
otentisitas manusia. Kami lebih berfikir tentang mengapa terjadi
situasi-situasi batas tersebut, dan bagaimana situasi tersebut merepresi
sebagian besar masyarakat tetapi sungguh nyaman bagi sebagian kecil dari
masyarakat. Demikianlah ada sejumlah perbedaan pandangan yang muncul dan
berkembang, yang seharusnya bisa dikelola dengan baik tetapi pada akirnya
justru melahirkan kecurigaan akan tendensi politis yang harus dilekatkan pada
kelompok kami. Pendek kata, kami hidup dalam atmosfer dipaksa menjadi ‘kominis’
karena membaca Das Kapital.
Itulah sebabnya kami berfikir
untuk mulai beraktivitas di luar STFD, mengingat respon massif justru muncul
diluar STFD. Berbagai diskusi tentang dasar-dasar berfikir politik telah
dilaksanakan secara reguler sebagai hasil kerja sama Komunitas Marx dengan
Serikat Rakyat Miskin. Berbagai tulisan telah dipublikasikan dan mendapat
respon positif di komunitas virtual media sosial seperti Facebook. Semuannya
membanggakan hati kami akan kebenaran dari nubuat Antonio Gramsci, bahwa semua orang adalah filsuf, oleh karena
bahasa dan kebudayaannya selalu mempresentasikan gagasan-gagasan filosofis
tertentu.
Bagaimana kami harus berterima
kasih kepada semua pihak di STFD yang telah mendukung dan membantu
penyelenggaraan berbagai diskusi dan penerbitan PROBLEM FISAFAT. Dalam hal ini
Ib u Karlina Supelli, Romo Herry Priyono, Romo Setyo Wibowo, Romo
Sardjumunarsa, Romo Simon Lili Tjahjadi, Romo Franz Magnis Suseno, Romo Alex
Lanur, dan lain-lain adalah mereka yang selalu memberikan semangat untuk
keberlangsungan diskusi Komunitas Marx.
Namun kami sadar, kami tidak
cukup untuk terpaksa menjadi komunis, dan karenanya kami ubah nama Komunitas
Marx menjadi Kajian Epistimologi Politik dan Produksi Pengetahuan yang
disingkat menjadi AGITPROP. Ini sebagai cara untuk meyakinkan banyak orang di
negeri ini bahwa di alam demokrasi liberal yang penuh pertentangan berbagai
macam bentuk fundamentalisme, maka pertarungan ideologi merupakan hal yang
signifikan. Akhir kata, kami mengutip peryataan Ernst Bloch, “Marxisme
bagaimanapun harus filosofis, jika tidak ia akan menjadi fregmentatif,
malnutrisi, dan kekanak-kanakan”.
Terima Kasih
Problem Filsafat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.