LIMA: ALJAZAIR
Orang-orang Arab dengan wawasan besar mengerti dengan baik revolusi yang bengis yang kami perkenalkan pada mereka: hal itu radikal bagi mereka sebagaimana sosialisme bagi kami.
Jenderal Bugeaud, penakluk Aljazair, 1849
Pada tahun 1830, sebuah alterkasi antara gubernur Turki Aljazair dan konsul Prancis membawa pasukan bersenjata Prancis ke Aljazair. Pertama kali, Prancis hanya mendirikan sebuah protektorat; namun pada tahun 1840 pemerintah Prancis memutuskan penaklukan dan kolonisasi besar-besaran seluruh negeri. Penaklukan dilakukan oleh Jenderal Bugeaud yang mengkombinasikan medan perang yang dilakukan oleh pasukan terbang dengan suatu kebijakan pembumihangusan yang menghancurkan secara total. “Di Eropa,” Bugeaud menulis,
kami tak hanya pasukan perang, kami juga memerangi kepentingan pribadi. Ketika kami telah mengalahkan pasukan negara lain, kami merebut pusat-pusat populasi, perdagangan, industri, adat-istiadat, arsip-arsip, dan segera kepentingan pribadi dipaksa menyerah. Hanya ada satu kepentingan yang dapat direbut seseorang di Afrika, kepentingan yang diberikan dalam pertanian ... ya! Saya tak menemukan cara lain menaklukan negeri lain daripaa merebut kepentingan pribadinya (dikutip dari Julien, 1947, 65).
Diawali sebagai sebuah operasi militer luar negeri dalam rangka mengalihkan perhatian dari berkembangnya ketidakpopuleran rejim Charles X di dalam negeri, pendudukan Aljazair segera menjadi suatu akhir di dalam dirinya. Pengaruh pertamanya adalah menyingkirkan penduduk pribumi dari tanahnya dan mengalihkan tanah ini ke tangan-tangan orang Eropa. Aljazair, seperti wilayah non-Barat lainnya di dunia, tak mengenal institusi kekayaan pribadi mutlak bangsa Eropa sebelum kedatangan orang-orang Eropa; lebih suka mewujudkan suatu hirarki kompleks hak-hak guna. Hak atas tanah dibagi-bagi, pertama dari seluruhnya, di antara yang dimiliki oleh bey sebagai penguasa dan yang dimiliki oleh suku-suku. Tanah-tanah bey ada tiga jenis. Satu jenis, melk (dari malaka, memerintah) diberikan pada perorangan, tetapi dengan kepemilikan utama yang ditopang oleh penguasa. Para petani penerima dapat mewarisi hak guna mereka, memagari lahan mereka, dan merubah hak mereka melalui pemberian atau penjualan. Meskipun begitu, penjualan jarang karena mereka telah memiliki persetujuan untuk komunitas lokal – yang memiliki hak pioritas pembelian dalam kasus demikian – dan dihubungkan dengan suatu kehilangan kehormatan dan nama untuk diasingkan dari basis kehidupannya. Tanah kedua adalah tanah yang berhubungan dengan masing-masing tiga distrik administratif (beylik) di mana Turki telah membagi Aljazair. Tanah-tanah distrik ini terdiri dari tanah terbaik yang ada dan merupakan tanah yang paling subur atau beririgasi; mereka dikelola di abwah arahan administrasi bey itu sendiri, yang lain oleh tobang yang diambil dari suku independen yang berdekatan, atau oleh pemanen bagi hasil yang menerima lembu jantan, bajak dan pakan, serta mempergunakan seperlima lahan. Jenis tanah yang ketiga, disebut azel, merupakan tanah lain yang disita dari suku pemberontak atau pembelian oleh bey. Ini dijamin sebagai pengganti gaji para pejabat khusus atau keluarga-keluarga atau untuk kompensasi unit-unit suku yang memberi prajurit-prajurit pada pengusaha atau menggembalakan ternaknya oleh mereka sendiri. Beberapa dari tanah ini adalah padang rumput, tetapi tanah pertanian dikelola oleh pemanen bagi hasil atau pemilik sewa yang memperoleh hak guna turun-temurun atas tanah ini. Diperkirakan bahwa di Aljazair lebih dari lima belas ribu keluarga terlibat dalam cara panen yang disebutkan ini.
Sebaliknya dari tanah-tanah tersebut, di bawah yuridiksi pokok gubernur, ada tanah-tanah suku, bled el’arsh. Kepemilikan diberikan pada suku secara keseluruhan, tetapi sekali lagi anggota suku yang mengerjakan tanah dengan bajaknya diberi hak guna dan penerimaan hasil perorangan. Tanah-tanah ini tak dipagari serta terbuka untuk semua penuntut: kerja yang ditanam di tanah membantu sebagai sebuah jaminan tinggal lebih lanjut atau sebagai suatu klaim utama atasnya.
Seluruh tanah ini merupakan subjek pajak. Pada saat yang sama pengelola memiliki keamanan kepemilikan tetap yang lengkap; tak terpikirkan bahwa “untuk beberapa tingkah gubernur ia dapat kehilangan tanah yang merupakan sumber kehidupannya (Nouschi. 1961, 93).
Setelah penaklukan oleh Prancis, sebagai pemenang hak atas kedaulatan, merampas tanah-tanah beylik seketika itu juga, dan memberikannya pada pemukin Prancis. “Sejak kedatangan Prancis yang menempati tanah beylik,” keluh petani melalui ketua mereka,
kami telah terusir dari tanah yang banyak di antaranya belum jelas. Kami tidak berbahagia sejak zaman Turki, karena bagian terbesar penduduk kami menetapkan tanah-tanah beylik ini selalu merupakan yang terbaik dan beririgasi. Hal ini benar bahwa kami hanya menggunakan hak guna atas tanah-tanah ini; tetapi tentu saja kami mengelolanya dan mereka selalu menghasilkan hasil besar lebih dari tanah lapangan yang kami tempati sekarang. Semua ini kami kerjakan, tetapi kami belum berhasil meletakkannya ke dalam kondisi yang pantas untuk bercocok tanam (dikutip dari Nouschi, 1961, 386-387).
Pada saat yang sama, Prancis juga merampas tanah-tanah yang termasuk fondasi-fondasi keagamaan, habus. Perampasan ini, juga, melanggar suatu tatanan hak guna yang kompleks. Banyak individu-individu dan organisasi-organisasi, sebagaimana gilda-gilda, telah memberikan tanah mereka untuk masjid dan sekolah-sekolah, sebagai pengganti hak guna terus-menerus dari tanah itu. Prancis juga menambahkan pajak tanah. Dalam satu tahun (1839-1840) pajak menjadi berlipat tiga (Nouschi, 1961, 181). Akhirnya pada tahun 1863 Prancis menerapkan konsep Eropa Barat mengenai hak milik pribadi atas tanah pada pemilik Muslim. Tindakan legal ini melengkapi dua hal. Di satu sisi menghancurkan dalam satu tiupan seluruh piramida hak-hak yang telah menjamin kehidupan pengelola yang lebih rendah namun berdiri dalam arah membuat tanah sebagai suatu komoditi yang dapat dipindah-pindahkan dengan bebas. Di sisi lain ia melemparkan semua tanah yang dimiliki orang-orang Muslim ke atas pasar terbuka, dan membuatnya mungkin diperjualbelikan atau dirampas oleh kolonis Prancis. Beberapa peneliti Prancis meramalkan beberapa konsekuensi sebelum pelembagaan hak milik pribadi,
di dasarnya ada yang mengacaukan jaminan pekerjaan, suatu sentimen nyata kesama-rataan. Dengan dimulainya individualisasi hal itu tak akan lagi sama. Suatu waktu tanah diperoleh dengan pasti, ketidaksamaan berawal: di satu sisi para pemilik, dan di sisi lain para proletariat, persis seperti dalam masyarakat sipil kita (dikutip dari Nouschi, 1961, 313).
Surat kabar Colon, meskipun begitu, menyambut gembira langkah tersebut (L’Independent of Constantine, 12 April 1861, dikutip oleh Nouschi, 1961, 282):
Terima kasih untuk konstitusi hak milik di mana hal ini memberi bagian terbesar teritori Aljazair keluar dari kondisi nilai mati dengan segera menuju negara dengan nilai yang nyata; jutaan sumber dari ketiadaan ... Pedesaan akan didiami dan kota-kota akan menyaksikan di tengah-tengah mereka berkembangnya seluruh aspek komersial dan industri.
Legislasi baru, tulis Frederic Lacroix pada temannya, Kaisar Napoleon III, pada tahun 1862, akan “memberadabkan, secara sempurna, orang-orang Arab.”
Pengalihan tanh besar-besaran dari orang-orang Muslim ke penduduk Eropa tak hanya mempengaruhi pertanian; ini juga dicampuri dengan simbiosis rumit antara penggarap dan penggembala nomaden. Para penggembala dicegah masuk padang-padang rumput di zona tempat tinggal di mana sebelumnya telah mereka gunakan selama musim-musim tak ditanami. Pada saat yang sama usaha-usaha komunitas-komunitas pesisir untuk menggembalakan ternak mereka di wilayah nomadik di pedalaman dengan cepat diminta membayar untuk penggembalaan, dan membuat ternak tak menguntungkan sebagai suatu tambahan penghasilan bagi pertanian; jumlah ternak per individu turun empat per lima (Yacono, 1955, II, 326). Bahaya dari pemukiman ulang di tanah marjinal terlihat sedini tahun 1845 oleh Jenderal Bugeaud yang meramalkan bahwa “kolonisasi tak dapat namun membantu memancing ketidakpuasan orang-orang Arab yang merasa diri mereka dicegah dalam suatu ruang yang sempit” (dikutip dari Nouschi, 1961, 194-195).
Kerugian atas norma-norma Prancis mengenai kekayaan pribadi atas tanah berpindah dari tangan ke tangan dengan suatu program pemotongan suku-suku besar di mana para kepala suku merupakan pendukung utama dan ahli waris pemerintahan Turki. Suku-suku ini bukan unit persaudaraan yang homogen, anggota-anggota yang sama, serta seluruhnya berasal dari keturunan seorang leluhur yang sama. Sungguh-sungguh lain dari itu, mereka seringkali terdiri dari bagian asal-usul dan status sosial yang bermacam-macam di mana bersekutu satu sama lain melalui ikatan umum pada silsilah dominan bagian yang juga dominan. Ketika kita bicara tentang suku-suku di sini kita berarti bicara koalisi-koalisi, diorganisasikan di sekitar sekelompok pemilik kekuasaan. Prancis mengerti hal itu dengan baik ketika mereka bermaksud menghapus hak tanah dalam ungkapan afiliasi suku tak hanya sebagai suatu cara melembagakan kekayaan pribadi atas tanah, tetapi juga dalam rangka memecah kekuasaan independen silsilah yang terbesar. Mereka menyelesaikan hal ini dengan cara menguliti silsilah inti dari pengaruh politik mereka, disebut douar, dan memberikan hak-hak tanah dalam bentuk keanggotaan dalam kerumunan pemukiman daripada dengan kebaikan keanggotaan suku. Banyak douar mengisi bagian-bagian dari suku-suku yang sungguh berbeda, sehingga mencerai-beraikan suku-suku, dan dengan itu, kekuasaan tuan-tuan besar. “Pemerintah tak lepas dari pandangan ini,” kata Jenderal Komisioner Gubernur Allard, “bahwa tendensi umum kebijakan seharusnya untuk mengurangi pengaruh para kepala suku dan memecah suku-suku tersebut (dikutip dari Nouschi, 1961, 309-310).
Sebuah contoh bagaimana suku-suku difragmentasi dan direlokasi diberikan oleh sejarah Ouled Kosseir di Shelif yang berbahasa Arab (Yacono, 1955, II, gambar no. 40, 289), salah satu dari dua suku kuat di wilayah tersebut sebelum kedatangan Prancis. Mereka berjumlah 9.000 orang dan menguasai tanah hampir mendekati 38.500 hektar. Tiga puluh tahun setelah penaklukan, mereka kehilangan 18.800 hektar untuk negara dan dua colon individual melalui pengambilalihan sekaligus, dan 2.000 hektar yang lain melalui penjualan tanah individual setelah penetapan kepemilikan pribadi atas tanah.
Ketika Prancis menciptakan pemukiman Malakoff, mereka mengisinya dengan empat segmen Ouled Kosseir. Pada tahun 1884, keempat segmen ini digabung dengan enam segmen baru yang diambil dari empat suku yang berbeda, sebagaimana penambahan satu segmen lagi dari suku mereka sendiri. Dua dari empat segmen Kosseir asli kemudian dipindahkan kembali ke komuni-komuni Prancis yang lain, hanya menyisakan tiga segmen Kosseir di Malakoff. Pada tahun 1887, ia digabung dengan yang keempat, tetapi pada saat yang sama enam segmen non-Kosseir dibawa dari empat suku yang berbeda yang diperkuat oleh kedatangan empat segmen lagi, termasuk empat suku yang berbeda. Pada tahun 1892, salah satu segmen Kosseir yang asli telah bergerak ke mana-mana, dan yang lain telah pecah, mengirimkan anggota-anggotanya yang terpecah-belah untuk bergabung ke dalam komuni yang lain. Ditambah lagi dua segmen Sbeah. Pada tahun 1911, segmen Kosseir yang lain bergabung di pemukiman, tetapi menjadi sebelas bagian yang baru, termasuk sbelas kelompok suku yang berbeda. Salah satu segmen Kosseir yang lain pecah, dan para imigrannya pergi ke mana-mana. Pada waktu Prancis terlibat dalam Perang Dunia II pengadukan telah terbukti berhasil di mana suku-suku telah berhenti eksis sebagai sebuah unit sosial dan politik yang relevan dalam pemerintahan Aljazair. Ketika, pada tahun 1941, pemerintah pengemban rancis di Vichy mengambil langkah melembagakan kembali suku-suku dalam rangka memperbaiki kontrol, para administratur Prancis menyetujuinya dengan sedih bahwa langkah-langkah yang diambil pada tahun 1863 telah menjalankan tugas mereka semua dengan baik dalam mengakhiri kekuasaan suku sekali untuk selamanya (Nouschi, 1961, 306, lihat juga catatan kaki 1, halaman yang sama).
Douar-douar didami oleh segmen-segmen suku terdahulu yang telah dijadikan kesatuan yang independen pada hak mereka sendiri, tetapi diorganisasikan ke dalam komuni-komuni lebih luas dalam model Prancis. Komuni-komuni ini ada tiga jenis: (1) komunitas-komunitas yang didominasi orang-orang Eropa, di mana dewan dan wali kota dipilih oleh penduduk Prancis, dan di mana orang-orang Muslim hanya diijinkan memilih seperempat dari delegasi, bahkan meskipun penduduk muslim terhitung sebagai mayoritas; (2) komunitas-komunitas campuran Eropa dan Muslim yang dikepalai oleh administrator sipil dan ditopang oleh suatu dewan Prancis dan ketua pribumi (caid) yang ditunjuk; dan (3) komunitas-komunitas pribumi yang diperintah oleh seorang pejabat Prancis, dibantu oleh seorang kepala pribumi. Semua orang Muslim diijinkan menggunakan adat-istiadat mereka sendiri atau hukum Qur’an, tetapi undang-undang khusus melawan ketidakmembayaran pajak, aktivitas politik melawan Prancis, pertemuan umum – termasuk ziarah dan pesta umum – tanpa ijin, berkelana tanpa ijin, penolakan pada pendaftaran kelahiran dan kematian – mengkhususkan orang Muslim sebagai seorang penduduk dengan cacat. Seluruh bangunan kontrol ditutup dengan membuat bagian ljazair sebagai bagian administratif metropolitan Prancis. Asimilasi terhadap norma-norma budaya Prancis dibuat sebagai suatu yang ideal, tetapi perpecahan – di bawah kondisi ekonomi, sosial, politik, dan ketidaksamaan hukum – mejadi kenyataan yang ada.
Perpecahan unit-unit suku dan kekuasaan kepala suku yang dihubungkan dengannya, bagaimanapun, menghasilkan beberapa konsekuensi tak terduga. Hal ini membuat mungkin bagi para kepala suku menjalankan distribusi padi yang bebas di suatu musim kelaparan dari toko-toko yang mengumpulkannya melalui pemberian dan pajak yang dibayar dengan tanggungan suku mereka. Undang-undang tahun 1863 juga mengakhiri distribusi dera oleh pondok keagamaan lokal (zaouias), membawa pasokan-pasokan dari kekayaan habus mereka. Kekayaan ini telah menjadi tanah pribadi dan dilemparkan ke pasar. Lebih jauh, douar-douar baru jarang memperbaharui adat-istiadat tradisional pelaksanaan cadangan makanan di dalam gudang-gudang umum, yang telah dipasok dengan pembayaran tradisional. Dengan demikian menghilangkan pertahanan ekonomi vital, meninggalkan penduduk pedalaman bertahan sepenuhnya pada aktivitas-aktivitas penyewa udang dan pedagang kredit di saat yang dibutuhkan.
Sebuah konsekuensi paradoksal fragmentasi suku lebih lanjut adalah pertumbuhan yang menonjol dewan-dewan tokoh suku (djemaa) di dalam douar-douar. Prancis mengakui dewan-dewan ini baik di komuni pribumi maupun komuni campuran, juga menjamin mereka dengan sungguh-sungguh otonomi atau mempergunakan mereka dalam suatu kapasitas konsultatif, khususnya dalam masalah hukum Muslim. Douar-douar Muslim, bagaimanapun, juga diadakan di komunitas-komunitas yang didominasi oleh orang-orang Eropa di mana secara teori dibuat ketentuan tak ada partisipasi pribumi. Dalam kelompok pemukiman demikian, bagaimanapun, juga berkembang satu sarang madu apa yang disebut ahli hukum Prancis sebagai “klenik djemaa”, dewan-dewan tersembunyi (Charnay, 1965, 228). Baik dewan-dewan yang terbuka maupun yang tertutup menjalankan suatu tradisi pengambilan keputusan di level lokal, meskipun kenyataannya struktur suku telah ditanggalkan. Mereka juga menjalankan suatu tradisi mengatur-diri lokal yang ternyata modal penting dalam membantu penyebab pemberontakan tahun 1954.
Penduduk pribumi melihat diri sendiri semakin tercabut dari tanah dan diusir oleh para kolonis yang terus bertambah ke daerah yang tak produktif. Mekanisme jaminan keamanan ekonomi tradisional telah dicabut, silsilah keturunan dan suku-suku telah diselewengkan, dan struktur politik yang akrab dilucuti. Respon atas pencabutan itu sebagianadalah migrasi besar-besaran, dan sebagian dengan pemberontakan terbuka. Migrasi ke barat menuju Tunisia, baik penduduk desa mapun kota, terjadi pada tahun 1830, 1832, 1854, 1760, 1870, 1875, 1888, 1898, 1910, dan 1911 (Lacheraf, 1965, 179). Sentimen yang mendorong gerakan penduduk ini dilaporkan oleh Jenderal Devaux pada tahun 1861 ketika ia mengutip kepala-kepala suku yang menyokong migrasi karena,
seseorang dapat hidu lebih mudah, lebih bebas di kabupaten (Tunisia), dan di sana tak kekuarangan tanah, untuk pertanian atau ternak. Tanpa ragu, seseorang dapat beruntung dengan tidak hidup lebih lanjut dalam kontak dengan orang-orang Kristen (dikutip dari Nouschi, 1961, 290).
Seakhir tahun 1911, orang-orang berangkat ke Tlemcen di Aljazair barat ke Syria, karena mereka merasa “dikutuk Tuhan” (Nouschi, 1962, 22).
Namun pelanggaran Prancis juga menghasilkan pemberontakan-pemberontakan. Yang pertama dari pemberontakan ini, berlanjut dari tahun 1832 sampai tahun 1847, dipimpin oleh Abd el Kader. Pemberontakan ini signifikan tak hanya karena durasinya, tetapi karena organisasi khusus yang dikembangkan oleh para pemberontak. Abd ek Lader tak hanya seorang musuh yang disumpah Prancis, tetapi juga oleh orang-orang Turki di mana Prancis telah menaklukan koloni tersebut. Ini karena ia menolak menarik ke pihaknya para kepala suku besar yang merupakan para kolaborator dan penerima warisan rejim Turki. Sebagai pengganti “pola papan main dam” checks and balances Turki di mana mengatur satu kelompok melawan kelompok yang lain untuk akhirnya menguntungkan elit Turki, ia merombak suatu piramida pimpinan suku, di mana sheikh-sheikh suku akan dipimpin oleh seorang sheikh dari para sheikh, sheikh dari para sheikh sebaliknya dipimpin oleh seorang caid, sejumlah caid oleh seorang aga, sejumlah aga oleh seorang khafila, dan sejumlah khafila oleh emir, Abd el Kader sendiri. Pada masing-masing level organisasi, kekuasaan pemimpin sekuler diimbangkan oleh seorang hakim agama. Keseluruhan struktur akan dijalankan bersama suatu seruan pada Islam di mana emir akan muncul sebagai instrumen Tuhan, menghimpin komunitas kepercayaan dalam sebuah perang suci melawan Kristen. Konsep tersebut tak lain menyeruai Negeri Wahabi di Nedj (Boyer, 1960. 65), dengan organisasi suku diterapkan ke dalam aparat suatu negara teokratik fundamentalis. Dalam kenyataannya skruktur tersebut tetap teorikal dan Abd el Kader, sebagaimana penguasa lainnya di Maghreb sebelum dia, telah menghadapi masalah mendasar kesetiaan dan insiden yang tak menentu. Ia juga mendapati jarak yang melawannya, persaudaraan keagamaan yang besar dan kuat yang tak mempercayai kekuatan terpusat apapun, dan dengan demikian berbalik mendukung pembangunan pondok lokal di sekitar wali-wali dan guru-guru agama lokal) Boyer, 1960, 92). Ketidakpercayaan pada keluarga-keluarga besar, dicampur dengan dukungan Islam, telah memikat nasionalis Aljazair untuk melihat dalam diri Abd el Kader seorang pelopor pemberontakan rakyat abad kedua puluh.
Dalam pertemuran mereka bersama Abd el Kader, Prancis menerima bantuan dari kepala-kepala militer pemerintah Turki. Mereka melihat dalam persekutuan dengan Prancis mampu melindungi pososo privilese mereka di negeri tersebut. Prancis, sebaliknya, selama perang terbuka pendudukan negeri itu, sungguh-sungguh berharap mempergunakan kepala-kepala militer ini dalam mengurus penduduk Muslim, dengan perlahan, bagaimanapun, utnuk mengganti kekuasaan secara hat-hati di antara beberapa tokoh ini, yang “lebih merupakan pengikut daripada pejabat” (Bernard, 1930, 187). Namun, ketika administrasi Prancis di negeri tersebut berkuasa, menjadi bertambah jelas bahwa hal itu akan menjadi perlu untuk memperlemah tuan-tuan besar dan kekuasaan mereka atas suku-suku. Keadaan berpihak pada mereka. Selama periode antara tahun 1866 dan 1870 beberapa kelaparan dan epidemi menyebabkan pemerintahan Napoleon III meminta kekuasaan kepala-kepala ini agar membayar pinjaman bank untuk membeli makanan bagi penduduk yang kelaparan. Kebangkrutan Kekaisaran Kedua, di bawah hempasan mesin militer Prusia, bagaimanapun, menyebabkan bank-bank meminta dengan segera membayar kembali pinjaman. Seorang kepala suku besar seperti Moqrani berada dalam dilema khas seorang penguasa kuat tipe tradisional demikian, berhadapan dengan mekanisme finansial dan politikal suatu tatanan sosial yang baru.
Para petani tak dapat membayar kembali uang muka yang telah ia berikan pada mereka; secara kemanusiaan, seorang Moqrani tak dapat memburu mereka dari tanahnya untuk menutupi uang muda dengan padi atau perak yang ia setujui di waktu krisis: adat-istiadat tak mengijinkan hal ini. Di sisi lain, para kreditor, mereka sendiri ditekan oleh bank-bank, ingin uang mereka kembali (Nouschi, 1961, 399).
Ditingalkan oleh sekutu-sekutu Prancisnya, ditekan oleh para kreditornya, ia bangkit dalam pemberontakan yang nekat (1871-1872). Ini merupakan pemberontakan terakhir tuan tanah pribumi. Namum pemberontakannya juga ditandai di komunitas-komunitas pedalaman dengan pembentukan komite-komite pemberontak, berjumlah antara sepuluh dan dua belas yang dipilih dari para anggota (disebut juga shartia, dari sharata, suatu kondisi yang menimpa seseorang). Komite-komite ini bertindak melawan pejabat-pejabat pribumi yangd espotik, mengawasi proses hukum, dan melaksanakan sangsi melawan orang yang tak sepakat. Banyak pejabat pribumi dihadapkan dengan suatu pilihan antara bergabung dengan pemberontak atau kehilangan kekuasaan mereka. Pemberontakan ternyata tak berguna. Pada saat yang sama prospek suatu pemberontakan di pedesaan tampak menghantui banyak ketua dan pedagang Muslim di mana cukup menyebabkan mereka terusir dari tanah mereka karena Prancis melawan para pemberontak. Dengan demikian para tokoh Konstantin pada 21 April 1871, menunjuk diri mereka sendiri pada penguasa Prancis dalam sebuah surat di mana:
mereka meminta gubernur tak membuat mereka bingung, orang-orang yang terdidik dan tercerahkan ... yang menghargai dengan hormat perlindungan dan hukum Prancis, dengan “orang-orang Baduy” atau rakyat suku-suku ... [Kami] warga negara yang menetap dan melek huruf, yang mencintai ketenangan, kedamaian, kesentosaan dan kesenangan ... Mengharapkan yang lebih baik dari sumber penghasilan yang diperoleh, mereka membaktikan mereka pada pekerjaan manual, berdagang, bertani, segala jenis industri; mereka menghormati kekuasaan, mereka sahabat-sahabat pemerintah ... Mereka ingin hidup dengan tenang bersama isteri dan anak mereka. Seseorang harus mengakhiri hal ini ... bahwa “orang Baduy” tak akan meninggalkan tabiat tradisional mereka, adat-istiadat gunung mereka, tak kurang mereka adalah subjek represi yang hebat dan keras di mana mengisi mereka dengan suatu rasa takut dan kengerian yang menyebabkan mereka takut pada kehidupannya. Hanya kekuatan dan kekerasan dapat menaklukan sifat mereka (L. Rinn, dikutip dari Lacheraf, 1965, 60-61).
Kekuatan dan kekerasan datang tak lama. Mereka mengambil bentuk hukuman pengambilalihan yang disetujui para kolonis Eropa, dijalankan untuk membuat penduduk pribumi membayar biaya pemberontakan. Pengambilalihan diputuskan oleh Dewan Pemerintah Tertinggi dengan kata-kata:
Pengambilalihan merupakan suatu hukuman yang mempu meninggalkan suatu jejak yang permanen; suatu perampasan kekayaan yang dibenarkan dengan keras hati dan mengulangi kembali kejahatan akan menghantam semangat kesalahan, secukupnya dengan menundukkan mereka pada suatu represi efektif dengan konsekuensi yang tak dapat disapu bersih. Pelaksanaan pengambilalihan yang sesungguhnya terjadi dengan damai; peristiwa berdarah dan pengrusakan dihindarkan di masa depan ... kepentingan politik, keamanan koloni, pembudayaan bangsa-bangsa yang tak akan datang pada kita sampai harapan mengguncang dominasi kita muncul dari pikiran mereka, humanitas waskita yang menghindarkan bencana masa depan oleh kerasnya perintah pelaksanaan pengambilalihan saat ini dan konsekuensi-konsekuensinya (Nouschi, 1961, 406).
Sebagai tambahan, hukuman khusus dipungut delapan kali lebih besar daripada harga pajak tahunan, dijatuhkan di wilayah-wilayah pemberontakan, dan dikumpulkan melalui agensi kepala-kepala suku yang tetap percaya pada Prancis. Para kepala suku, kata para petani, “telah mengambil kulit dan belulang kami dan sekarang mereka menghancurkan belulang kami untuk memakan sumsumnya” (Nouschi, 1961, 420, catatan kaki 59). Kenangan mengerikan mengenai tahun-tahun ketika “keadilan dan kebenaran menghilang”, “adik dibuat melawan kakak”, dan para kepala suku “menjadi kaya melalui pengkhianatan” tetap hangat dalam nyanyian-nyanyian orang Kabyla yang direkam setengah abad kemudian. Hal ini memperkuat suatu ambivalensi permanen terhadap kepala suku tradisional yang pada suatu waktu dalam huru-hara memimpin perang kemerdekaan.
Di bawah perlindungan Prancis, demikian bertahan suatu aristokrasi pribumi yang akan berpihak kepada Prancis dan di mana Prancis mengkooptasi sebagai administratur penduduk pedesaan untuk kepentingan negara Prancis. Pemerintah Prancis membantu pada satu dan waktu yang sama sebagai penjamin mereka melawan tuntutan-tuntutan warga Muslim mereka sendiri, dan melawan gangguan tak berbatas atas tanah mereka serta kekuasaan oleh para colon. Tercabut dari struktur kesukuan di mana mereka memiliki kekuasaan pribumi mereka sebelum penaklukan, meskipun begitu mereka menjalankan fungsi-fungsi politik pada skup yang cukup di atas kepentingan para penakluk untuk menempatkan diri mereka di antara pribumi dan Prancis. Para pemilik tanah besar Muslim ini, kata etnologis Prancis Jean Srevier, menyembunyikan:
Prancis dari rakyat Aljazair. Secara umum, mereka adalah keturunan aristokrasi yang didirikan oleh Turki, dijalankan melalu kebodohan pemerintah Prancis pertama-tama dan kemudian dijalankan oleh kebiasaan. Dengan mengontrol kekayaan, mereka mengontrol manusia: pekerja pengikut mereka yang menderita – budak-budak mereka – yang dipromosikan ke derajat pemilik, telah memungkinkan raja-raja mereka mencapai martabat Republik, pertanggungjawaban perwakilan rakyat ... Mereka telah memperoleh tahun-tahun tuntutan pemilihan umum, benar-benar membuat para tuan keramat oleh Republik (diutip dalam Aron, 1962, 202).
Demikian, pertama kali, pemberian hak suara secara selektif semata-mata hanya pertanggungjawaban, dalam suatu cara baru, dominasi keluarga-keluarga kuat dalam mendukung pemerintah Prancis. Dalam kelompok persaudaraan demikian, sebagai contoh, pada tahun 1951 memberi seorang senator, seorang deputi dan dua perwakilan untuk Majelis Aljazair, seperti juga dua perwakilan pada Dewan Jenderal (Boyer, 1960, 230). Demikian suatu kebijakan membantu untuk “memecah kontak antara para penakluk dan massa pribumi”, sementara massa “tanpa jalan lain yang efektif menjadi mangsa langganan yang mengelilingi para kepala-kepala lokal (E. Marcie, dikutip dalam Aron, 1962, 293). Keberadaan suatu “aristokrasi tenda besar” yang terus-menerus itu kemudian menjadi suatu rintangan lebih lanjut bagi setiap usaha utama untuk membiasakan penduduk pribumi dalam mendukung administrasi Prancis, konservatif atau mencita-citakan reformasi. Jumlah kelas pemilik kekuasaan ini dapat diperkirakan di mana pada saat pecah pemberontakan 1954 ada lima ratus pemilik tanah Muslim masing-masing mengontrol harta tanah lebih dari lima ratus hektar (Aron, 1962, 292).
Sementara orang-orang Muslim dirampas dan dipaksa menyaksikan pemotongan kerangka sosial mereka, Aljazair dibuka lebar-lebar bagi imigrasi dan pemukiman orang Eropa. Para colon-colon baru semuanya orang Prancis dalam nama, tetapi hanya setengah yang merasal-usul dari Prancis, datang terutama dari wilayah tengah-selatan Prancis yang miskin dan – setelah kekalahan Prancis tahun 1871 – juga datang dari Alsace. Setengah yang lain terdiri terutama orang-orang Spanyol dan Italia, Korsika dan Malta. Campuran karakter populasi ini menyebabkan penulis Prancis Anatole France mengatakan di tahun 1905 bahwa Prancis telah selama tujuh puluh tahun merampas, memburu, dan mengandaskan orang-orang Arab dalam rangka menempatkan penduduk Aljazair dengan orang Italia dan Spanyol. Pada penempatan terpencil pertama ke dalam pemukiman terpisah, mereka dengan segera datang untuk bekerja sama melalui perkawinan-dalam dan melalui kebencian umum orang-orang Arab. Louis de Baudicour, menulis pada tahun 1856, membandingkan sikap mereka terhadap orang Arab dengan para penggarap tanah wilayah Selatan terhadap budak-budak Negro mereka:
mereka tak pernah menyimpang dari sentimen hirarki: mereka mendominasi dan harus menominasi, karena jika si tuan memalingkan muka, sang pelayan merendahkan dan merobohkannya. Dengan demikian mereka menjalani ujian kekuatan ini tanpa menghindarkan diri. Tetapi, setelah bertahun-tahun, suatu keraguan ganda memperlemah kepercayaan mereka: mereka melihat orang-orang Arab di mana mereka menolak dengan semangat untuk menganggap diri mereka sebagai hal yang sama, membiak dan organis; orang-orang ini akan menenggelamkan mereka; mereka tak mampu memahami bahwa ini karena mereka tak mengetahui bagaimana membuat kontak-kontak sementara waktu terus berjalan (dikutip dari Favrod, 1962, 81).
Inilah ketakutan itu di mana para penjilat seperti racun rawa dalam novel-novel awal Alber Camus, ia sendiri lahir dan dibesarkan di Aljazair; dan inilah ketakutan itu yang menyebabkan para colon pertama kali melawan setiap usaha reformasi yang dimulai di Prancis metropolitan, dan kemudian mencakup satu atau beragam jenis fasisme lainnya, memuncak dalam dukungan mereka pada OAS yang teroristik di akhir perang kemerdekaan.
Pemukiman pertama seringkali merupakan karakter suatu wiraswasta pioner di tanah-tanah yang bermusuhan dan di antara orang-orang yang juga bermusuhan. Michael Launay, seorang sosiologis pedalaman yang bekerja dalam sebuah bagian departemen di Oran, mengutip seorang ayah colon bicara pada anaknya mengenai periode awal ini:
Kakekmu bekerja dengan empat lembu jantan; selama malam hari, lembu-lembu ini dirantai dan dijaga agar mereka tak akan dicuri; satu rantai per lembu. Pengirikan dilakukan dengan mempekerjakan lembu jantan pada pertanian padi, hingga satu lembu bisa dipakai 5 atau 6 colon bersama-sama untuk mengangkut 15 atau 20 hundredweights (1 hundredweight=50 kilogram) gandum per gerobak; sebuah iring-iringan biasanya pergi menuju Oran, atau jika hanya satu akan diserang di sekitar Misserghin. Para pekerja pribumi tak dipergunakan, hanya para colon dengan jumlah tanah yang sangat luas mempergunakan mereka; penduduk pribumi hanya menjadi gembala. Seseorang tak berani mempekerjakan mereka di perkebunan maka mereka tak dapat terlihat di tempat tersebut dan menjaga serangan mereka di malam hari. Di pihak mereka, para penduduk pribumi tak ingin bekerja dengan orang-orang Eropa. Hanya sekitar tahun 1900 seseorang mulai mempekerjakan penduduk pribumi. Ketika aku mulai bekerja, pada tahun 1888, kami belum mempunyai pekerja pribumi. Untuk membersihkan dan memanen hanya ada tim pekerja orang Spanyol. Gadis-gadis muda Spanyol bekerja selama musim panen, dan anak-anak perempuan para pemilik sendiri membantu: para colon saling membantu satu sama lain. Penduduk pribumi mulai bekerja pada pemanenan selama perang tahun 1914, ketika para petani dimobilisasi (1963, 137).
Arus utama ekonomi colon, dan arus utama ekonomi Aljazair sebagai satu keseluruhan, menjadi pembudidayaan perkebunan anggur dan produksi minuman anggur, khususnya setelah tahun 1880 ketika phylloxera louse menghancurkan banyak perkebunan Prancis dan Prancis dipaksa mengimpor banyak anggur. Anggur yang diekspor dari Aljazair menjadi berlipat ganda antara tahun 1900 dan 1954 dengan penambahan hasil panen dan lahan perkebunan.
Hasilnya adalah bahwa pohon anggur menggantikan dan mengotori semuanya: ia mengusir gandum, ia mengusir domba, ia mengusir hutan dan pohon palem kerdil. Ia mengotori sungai di mana kulit dan biji-biji, ampas dan sapahnya dibuang (Launay, 1963, 18).
Hal ini khusunya benar di Aljazair barat di mana curah hujan yang rendah menyokong perluasan perkebunan anggur sampai batas padang rumput luas. Wilayah ini menjadi pusat pemukiman pedalaman orang Eropa, sembilan dari sepuluh seluruh perkebunan anggur Aljazair – dan dengan demikian merupakan penghasil panen yang utama – di tangan orang-orang Eropa. Pada saat yang sama, pembudidayaan perkebunan anggur memberi kontribusi besar bagi pembedaan sosial dan ekonomi di antara para colon sendiri. Produksi dan transportasi anggur menuntut pengeluaran modal yang banyak sekali untuk gudang pemerasan, tong-tong, dan bangunan lainnya, dan dengan demikian menyokong kekuasaan colon besar atas colon kecil yang telah tergantung padanya bagi kredit dan akses pada gedung pemrosesan. Hal ini juga menempatkan banyak kontrol politik koloni di tangan suatu oligarki kuat yang terdiri dari pedagang anggur, pelaut, dan bankir. Secara umum, pertanian Aljazair ditandai oleh suatu trend yang kuat ke arah pemusatan. Pada tahun 1950, 85 persen tanah yang dimiliki oleh orang Eropa dimiliki hanya oleh 30 persen dari 22.000 pemilik tanah Eropa; sementara 70 persen memiliki sisa 15 persen tanah. Banyak colon kehilangan tanah mereka dan pindah ke kota. Pada tahun 1954, lebih dari tiga perempat juta orang Eropa atau lebih dari 80 persen seluruh penduduk Eropa tinggal di pusat-pusat perkotaan. Di sini penghidupan mereka mencerminkan karakter miring suatu negeri agraria, tergantung pada satu hasil panen utama, dalam hubungannya pada suatu metropolis industrial. Dari keseluruhan tenaga kerja sekitar 300.000 yangmerupakan orang Eropa, 35.000 merupakan pekerja terampil dan 55.000 terdaftar sebagai pekerja tak terampil; sisanya bekerja dalam administrasi atau manajemen (hampir 50.000) atau dalam pelayanan satu jenis atau lebih (hampir 160.000). Banyak dari mereka ini merupakan “pejabat kantoran, pedagang kecil, pemborong dan para mekanik” (Murray dan Wengraf, 1963, 19). Meskipun ada perbedaan-perbedaan ini, mereka bersatu mempertahankan privilege yang membuat colon Prancis paling rendah jadi superior atas orang Arab manapun. Kesatuan mereka adalah hasil ketakutan umum mereka atas mayoritas Muslim.
Bagaimana mayoritas ini beraksi pada perubahan yang terjadi? Pemberontakan El Moqrani menjadi usaha utama terakhir dalam perlawanan bersenjata sampai sekitar delapan tahun kemudian. Ia juga menjadi usaha utama terakhir, sampai tahun 1954, dari penduduk pedesaan untuk mengambil inisiatif politik. Mereka berada dalam suatu periode panjang ketidakaktifan politik, di mana hanya memberi jalan bagi usaha-usaha politik baru di sekitar waktu Perang Dunia I. Lebih lanjut, aktivitas politik yang baru pertama kali akan terjadi di kota-kota, termasuk di kota-kota Prancis dengan generasi proletariat baru mereka, sebelum hal itu menyebar sekali lagi ke daerah pedesaan pedalaman. Frantz Fanon, yang menganalisis dalam ungkapan-ungkapan Manichaean mengenai konflik antara penakluk dan yang ditaklukan, telah menggambarkan hubungan mereka sebagai satu kekerasan yang berkelanjutan dan endemik. Perlawanan itu memang muncul selama delapan puluh tiga tahun antara pemberontakan Moqrani dan tahun 1954, tetapi ia tetap lebih tersembunyi daripada terang, lebih tak bergerak daripada bersungguh-sungguh. Ini bukanlah merupakan suatu periode inkubasi terjadinya revolusi, tetapi lebih merupakan perubahan dan penambahan yang bisu, eksperimen-eksperimen dalam hubungan sosial dan kebudayaan, dengan kemajuan dan kemunduran yang menyertainya. Pada saat yang sama ini merupakan suatu periode yang lebih ditandai oleh pergantian dalam evaluasi kognitif dan emosional dari kemungkinan-kemungkinan yang berbeda, daripada ditandai oleh suatu pengulangan ideologi tunggal sesuatu yang datang. Orang-orang Aljazair yang berkepentingan dalam politik dan mengekspresikan suatu perhatian mengenai hubungan Aljazair atas Prancis tersebut tercium di antara dua posisi utama; kadang-kadang mereka merengkuh kedua posisi itu secara bersamaan, kadangkala dalam pergantian yang cepat. Partai-partai politik periode tersebut, sampai tingkat mereka mengekspresikan perhatian ini, lebih merupakan epifenomena perjuangan internal ini, daripada sebagai agen-agen penyebab dalam kebenaran mereka sendiri. Orang-orang yang bertahan di satu posisi terpanggil untuk menambah kontak dengan norma-norma budaya Prancis dan mengasimilasi kepadanya. Secara sosial, asimilasi ini sangat sesuai dengan kepentingan para profesional kelas menengah di mana mereka terdiri dari sekitar 450 orang di tingkat yang lebih tinggi, dengan latar belakang sosial tergantung pada pendidikan Prancis mereka, dan di mana mereka melihat pada derajat Prancis mereka sebuah passport untuk mobilitas. Tendensi lain adalah para anti-asimilasi dan bergerak menuju suatu usaha menegaskan nasionalitas Aljazair, berbeda dengan Prancis serta melawan terhadapnya. Dalam suatu level perangai tendensi ini memanifeskan dirinya – bahkan di antara para similasionis – dalam suatu sikap siap-sedia melawan pelanggaran batas orang asing di atas ruang-ruang akrab kehidupan keluarga dan keagamaan. Sikap siap-sedia ini dilahirkan dari nama Arab kitman, ungkapan Quran yang menandakan tempat tersembunyi, karena itu suatu tendensi untuk membatin. Dalam menyesuaikan diri mereka dengan Prancis, Jacques Berque berkata,
penduduk Muslim bertahan di zona-zona yang tak terganggu-gugat secara mutlak. Menyerah pada dirinya sendiri. Ini merupakan aspek internal masyarakat tersebut di mana kemudian tampil ke depan. Sisi religius sebagai contoh. Hampir pasti bahwa kepercayaan Islam, atau lebih tepat dikatakan, ketaatan Islam, menjadi lebih hidup sejak kedatangan orang-orang Eropa daripada sebelumnya, lebih hidup setelah tiga puluh tahun protektorat daripada setelah sepuluh tahun (1956, 532-533).
Bourdieu telah membuat titik yang sama dalam menggambarkan bahwa orang-orang Aljazair yang lekat pada bentuk-bentuk tradisional menjadi dipenuhi “suatu fungsi simbolik esensial; memerankan perannya secara objektif, suatu bahasa penolakan”; menggambarkan titik ini dengan referensi adat-istiadat tradisional di mana orang Prancis secara khusus mengkritiknya: kerudung dikenakan oleh wanita Muslim
di atas semuanya meruakan suatu pertahanan dari intimasi dan suatu perlindungan melawan gangguan. Dan, membingungkan, orang-orang Eropa selalu merasakannya sebagaimana demikian. Dengan mengenakan kerudung, para wanita Aljazair menciptakan suatu situasi tak-terbalas; seperti seorang pemain yang tak loyal, ia melihat tanpa dilihat, tanpa mengijinkan dirinya dilihat. Dan hal ini seluruhnya mendominasi masyarakat di mana, dengan kerudung, menolak membalas, yang melihat, yang merasuk, tanpa mengijinkan dirinya dilihat, dianggap, dirasuki (1960, 27).
Islam dengan demikian menjadi salah satu akar nasionalisme Aljazair. Di masa tahun 1920 dan 1930-an, sikap penolakan dan penarikan diri menjadi isu dalam suatu gerakan yang baru dan aktif, berdasarkan pada suatu usaha kembali pada kemurnian Quran. Pusat kebangkitan kembali Islam ini tidak terletak pada kota-kota pesisir Mediteranian Prancis, tetapi di kota-kota pedalaman Islam tua, yang diduduki para pedagang dan pengusaha Islam yang aktif dan giat, seperti Tlemcen, Nedroma, Constantine, Mila, Tebessa, Sidi Okba, Biskra, dan Ghardaïa. Dengan kedatangan pemerintahan Prancis, banyak dari kota-kota itu menyusut di latar belakang; Constantine dan Tlemcen, sebagai contoh, pernah memiliki suatu industri tekstil yang sedang berkembang, menurun di bawah pengaruh kompetisi Prancis. Ini bukan kebetulan, sebagaimana Morizot telah menunjukan (1962m 81), baha Tlemcen – poros eksodus religius tahun 1911 – menghasilkan Messali Hadj, organiser oertama sebuah partai nasionalis Aljazair, sementara Constantine memunculkan Ben Badis, protagonis Islam baru dan militan Aljazair.
Islam memiliki akar yang kuat di Constantine. Para pedagang dan pemilik tanah aristokrasi pribuminya telah bertahan dalam pemberontakan Abd el Kader di mana telah membawa gelombang perampokan dan de-urbanisasi banyak kota-kota lain, seperti Blida dan Médéa. Elit ini juga telah bertahan selama pemberontakan Moqrani, dengan tanggungan Prancis atas loyalitas dan ketidakberbahayaan mereka. Dengan demikian Constantine, berbeda dengan kota-kota lain di Aljazair, juga dapat menjalankan dirinya sebagai sebuah pusat pendidikan tradisional Islam yang utama. Diajar oleh pendidik Islam Constantine, Sheikh Abd-el-Hamid Ben Badis menyatukan tradisi keagamaan Aljazair dengan pengaruh inovasi gerakan reformasi Islam awal abad kedua puluh. Dalam konteks Afrika Utara, hal ini membawa para aktivis reformasi ke dalam konflik tajam dengan bentuk-bentuk lokal Islam, yang dijalankan di banyak pondok-pondok keagamaan.
Islam Ortodoks, yang diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam Quran, tak mengenal santa-santa atau organissi-organisasi perantara antara manusia dan Tuhan; semua orang Muslim secara teoritis merupakan anggota komunitas kepercayaan yang sama, umma. Tetapi di mana-mana di dunia Islam – dan khususnya di Maghreb – pelaksanaan keagamaan, bertentangan dengan dogma religius, telah terpusat pada tempat keramat dan orang-orang suci lokal. “Ada perbedaan tajam antara pesisir selatan Mediteranian Muslim, dan pesisir utara yang non-Muslim,” kata antropologis Ernest Gellner.
Bentuk dominan perkantoran secara Kristen memasukan tempat-tempat keramat pedalaman, dll., dalam sistemnya, dan memberi personel keagamaan yang terspesialisasi. Protestanisme, suatu penyembahan egaliterian dan literer pada Kitab, merupakan sebuah deviant dan tradisi menyempal. Dalam Islam, semua ini dibalik; “Protestanisme,” yakni religi urban impersonal yang setepat-tepatnya, menghormati Kitab, telah tertinggal di pusat religi ortodoks, hirarkial dan personal, di sisi lain, merupakan penyimpangan lokal, regional, menyempal secara heterodoksi (1963, 147).
Bentuk lokalisasi tersegmen Islam ini telah memberi titik penghubung di pedesaan pedalaman, dengan tradisi pedalaman lokal mereka, dengan tubuh Islam secara umum, tetapi ia telah berbuat demikian pada ruang luas perbedaan keagamaan yang besar, dengan masing-masing pondok keagamaan, masing-masing orang suci, mempertunjukan suatu bentuk yang beragam dari agama universal. Pondok-pondok ini, dan fraterniti-fraterniti keagamaan populer yang dibangun di sekitarnya, dengan kuat telah bertindak sebagai pendukung Abd el Kader selama perlawanannya melawan Prancis dan menyisakan anti-Prancis sampai pergantian abad. Sesudah itu, bagaimanapun, mereka telah berakomodasi dengan otoritas Prancis yang mendukung mereka dengan sadar sebagai cara yang sesuai untuk menjaga bentuk sosial Aljazair yang sebisa mungkin terbagi-bagi.
Badissia, sebagai gerakan reformasi dikenal di belakang nama sosok prinsipalnya, yang merupakan antagonis orang suci tradisional. Meskipun menegaskan otoritas pendidik reformis, ulema, dan lebih jauh mendirikan sejumlah sekolah ortodoks (medersa) di pedalaman. Diawali di kota-kota, mereka meskipun begitu menyemai wilayah pedalaman dengan segala jenis asosiasi, termasuk pandu-pandu Islam, di bawah slogan mereka yang bersemangat: “Arab adalah bahasaku, Aljazair negeriku, Islam agamaku.” Dukungan sosial mereka di pedesaan diberikan oleh petani kelas menengah dan di antara saudagar kecil, pengusaha, guru kota-kota edalaman (Launary, 1963, 175-177). Demikianlah suatu afiliasi petani independen dan dunia urban baru melalui cara asosiasi-asosiasi keagamaan – bentuk organisasional baru di dalam acuan keagamaan tradisional – yang dikenal dari bagian dunia yang lain. Akhirnya, ia mungkin menerima penguatan melalui rangsangan kepentingan ekonomi. Badissia secara kuat menentang perayaan-perayaan keagamaan heterodoks yang dilaksanakan oleh orang-orang suci dan pengeluaran yang berhubungan dengannya. Pengeluaran-pengeluaran demikian merupakan suatu pengeluaran utama pada seorang petani dan kemampuan mereka dengan suatu gerakan reformasi keagamaan yang kembali merupakan suatu makhluk umum di banyak bagian lain dunia. Di beberapa bagian Andes dan Amerika Tengah, sebagai contoh, ia memiliki konversi-konversi yang ditetakan untuk Protestanisme di tempat-tempat yang secara tradisonal merupakan komunitas-komunitas Indian Katolik. Badissi juga menuntut restorasi kekayaan yayasan-yayasan keagamaan, yang dirampas oleh Prancis. Sebagai seorang tokoh Aoubelli berkata pada Michel Launay: “Sejak penaklukan banyak orang Muslim memberikan kekayaan mereka pada habus untuk menyelamatkannya dari pencaplokan oleh orang Prancis, tuntutan pengembalian [kekayaan-kekayaan ini] menantang seluruh gambaran kekayaan kolonial” (1963, 149). Dalam kata-kata Jacques Berque, Badissia menciptakan sebuah Islam baru dan Jacobin.
Islam Jacobin ini secara khusus tah hanya menyeru dengan keras pada para pedagang dan pengusaha Islam drai kota-kota di pedalaman, tetapi juga kelas peddesaan para pemilik tanah menengah, sebagaimana diperlihatkan dalam investigasi Michel Launay di wilayah Ain-Temuchent, di Provinsi Oran. Di distrik ini, orang-orang Eropa telah memiliki 65 persen tanah yang dipergunakan dalam pertanian, sementara orang Muslim hanya memiliki 35 persen. Sejak wilayah ini menjadi daerah menguntungkan yang diperkenalkan oleh orang Eropa, distribusi lahan perkebunan anggur relatif penting: orang Eropa memiliki 89 persen tanah perkebunan anggur, orang Muslim hanya 11 persen (1963, 68). Di antara orang-orang Muslim ada beberapa fellahin kaya, dengan kepemilikan antara 200 dan 600 hektar tanaman gandum atau 21 sampai 50 hektar dalam perkebunan anggur; mereka hanya 1 persen dari seluruh pemilik tanah Muslim. “Petani yang tak dapat berkecukupan”, bagaimanapun, dengan 50 sampai 200 hektar tanaman gandum atau 1 sampai 20 hektar perkebunan anggur, secara kasar terdiri dari sepertiga penduduk Muslim. Hampir mendekati jumlah pemilik tanah menengah ini adalah sejumlah pedagang kecil. Para petani menengah ini juga secara sosial merupakan pertahanan utama masyarakat pedalaman. Petani menengah, kata Launay,
mempertahankan martabatnya, ia tetap – melalui hubungannya dengan tanah – terkait dengan leluhurnya, dan ia bukan seorang “budak”, ia tuan atas tanahnya, pekerja pertanian tak menerima “penghargaan”, ia secara total bertahan di atas kehendak orang lain (1963, 203).
Badissia dibawa ke dalam ditrik tersebut dari Oran, terutama oleh para saudagar, yang sebaliknya dipengaruhi oleh saudagar Muslim di Oran (1963, 150-151). Pada tahun 1937 sebuah medersa atau sekolah Islam didirikan di kota Temuchent, diikuti oleh pembangunan sekolah reformis di pedalaman douar Messaada, di antara suatu bagian suku yang telah kehilangan banyak tanahnya yang baik ketika Prancis mengambil alih lebih dari 500 hektar untuk mendirikan pusat komunitas Rio Salado (1963, 146-147). Dari sini, gagasan Badissia meluas melewati distrik, khususnya di antara petani menengah (1963, 148). Para pekerja pertanian dan para petani miskin secara umum berpegang teguh terhadap orang suci tradisional mereka dan melawan para reformis (1963, no.1, 113; 150-151; 371). Ini merupakan lapisan sosial yang sama, para petani menengah; di Ain-temuchent yang memberi dukungan untuk pemberontakan tahun 1954.
Organiser pemberontakan adalah para pemilik tanah kecil, bukan para pemilik kecil protelarian tetapi para pemilik kecil yang hampir berkecukupan, agak mampu dibandingkan dengan para pekerja pertanian (1963, 175-176).
Khotbah egalitarian Ulema “Badissia”, mencerminkan gambaran ideal petani dan ketiadaan kecermatan dalam suatu mimpi reformis pertanian yang diharapkan Tuhan yang memberi setiap manusia suatu bagian cahaya matahari yang sama, sesuai dengan fase perbedaan pertama revolusi nasional (1963, 371).
René Delisle demikian sungguh-sungguh benar ketika ia mengatakan bahwa,
pemberontakan tahun 1954 dan kemerdekaan tahun 1962, dengan segala hormat, hanya merupakan kesimpulan penting aksi yang dimulai tahun 1930 oleh para Ulema reformis, orang-orang yamg memulihkan tradisi Islam dan Arab (1962-63, 24).
Jika reformis Islam menyediakan salah satu sumber nasionalisme Aljazair, sumber yang lain terdapat dalam perkembangan suatu semi-proletarian Aljazair yang terus bertambah. Ini, sebaliknya, merupakan hasil dua penyebab utama: kebusukan pola tradisional panen bagi hasil Aljazair, khammesat (dari khammes, seperlima), bergandengan dengan kebutuhan – khususnya kuat di Aljazair Tengah, di sekitar orang-orang Kabylia berbahasa Berber – untuk menambah suatu pertanian yang amat kecil dengan bentuk lain pekerjaan.
Di bawah khammesat, pemanen bagi hasil tak hanya menerima peralatan dan benih, tetapi juga uang dan makanan, jumlah yang kemudian dikurangi dari hasil akhir. Peraturan Prancis baru, bagaimanapun, mengijinkan pemanen bagi hasil meninggalkan tuan tanah mereka tanpa pembayaran kembali biaya-biaya sebelumnya ini. Sementara hukum dengan demikian membebaskan pemanen bagi hasil dari suatu bentuk bondage tradisional, ia juga mempercepat kemunduran panen bagi hasil dan melahirkan buruh harian. Kondisi perbudakan sebelumnya telah membatalkan banyak pengaruh tahun-tahun baik dan buruk, dengan standarisasi hak-hak dan kewajiban pemanen bagi hasil. Sekarang para pekerja mencari posisi-posisi sebagai pemanen bagi hasil selama tahun-tahun buruk, dalam rangka menjamin penghidupan mereka, tetapi meninggalkan para pemilik mereka dengan kemunculan suatu tahun yang menjanjikan. Tak lama setelah penerimaan peraturan, qaid Heumis memberi kesaksian bahwa,
Hukum Prancis telah membebaskan para pemanen bagi hasil, sejumlah besar para pemilik lebih suka tidak memberi mereka kerja, karena takut kehilangan keuntungan mereka. Pemanen bagis hasil tak lagi mencari kerja karena tak ada orang ingin memintanya sebagaimana belum lama ini (dikutip dari Yacono, 1955, II, 310-311).
Hasilnya adalah suatu penambahan jumlah orang yang mencari kerja, dan sebuah pengurangan area tanam sebelumnya (1955, catatan kaki 1, 311).
Di wilayah-wilayah perkebunan anggur ada suatu eksodus besar-besaran dari panen bagi hasil ke kerja upahan. Mengingat satu hektar gandum hanya memerlukan sepuluh hari kerja per pekerja per tahun, satu hektar kebun anggur membutuhkan lima puluh hari kerja yang demikian. Memberi suatu peralihan yang terus bertambah pada penggunaan uang tunai, seseorang secara kasar dapat menerima lima kali banyaknya dalam produksi sereal sebanyak di perkebunan anggur. Dengan kepadatan penduduk terus bertambah, karena itu, bertambah pula jumlah pemanen bagi hasil yang menjadi buruh upahan. Peralihan ini, bagaimanapun, memiliki batas-batas tetapnya sendiri bahwa kerja di perkebunan anggur, sebagaimana umumnya dalam pertanian Mediteranian, didistribusikan tak sama rata, terutama jatuh di bulan Sptember ketika anggur dipetik dan di bulan Desember ketika anggur dipangkas. Pada saat yang sama berduyunannya para pekerja ke dalam perkebunan anggur menghasilkan tenaga kerja yang melimpah, dengan perbandingan pekerja musiman dan pekerja tetap dua banding satu. Mereka dengan demikian menggoncang keamanan tradisional pemanen bagi hasil yang menghasilkan satu bagian besar panen yang ia hasilkan untuk ditukar dengan jaminan lahan dan uang yang diterima dari patronnya untuk pekerjaan yang tak tetap dan tak menentu: Sekarang, kata seorang guru Muslim tua pada Launay, “pekerja pertanian tak dapat yakin atas apapun” (1963, 119). Satu pengaruh pertumbuhan buruh upahan adalah penciptaan suatu semi-proletariat yang mengambang, di mana melahirkan semua stigma suatu pertumbuhan ketidakamanan ekonomi.
Namun pertumbuhan trend ke arah kerja upahan tetap menghasilkan wajah lain. Banyak wilayah – tetapi yang paling patut dicatat adalah pegunungan Kabylia – mulai mengalami tekanan pertumbuhan penduduk atas sumber-sumber pangan yang ada. Koloniasi Prancis telah mendorong penduduk pribumi ke daerah pedalaman yang belum terjamah, sering menghasilkan pemukiman yang ringkas dan padat di daerah yang tak dapat mendukung jumlah yang demikian. Pengamanan militer dan meluasnya perawatan kesehatan modern lebih jauh mengurangi tanda-tanda Malthusian atas pertumbuhan penduduk. Sebagai suatu hasil, banyak orang Kabylia didorong untuk mencari sumber penghidupan alternatif di luar pegunungan mereka, namun dalam pencarian pekerjaan baru mereka cenderung untuk mengikuti suatu pola lama. Sebelum kedatangan Prancis, kerumunan beberapa desa telah dicatat atas kontribusi mereka pada kehidupan kota. Demikianlah orang-orang dari Biskra membantu di kota-kota sebagai kuli angkut, pembawa air, penyamak, dan pelelang; orang-orang dari wilayah Laghouat menjual tanah; Mozabite-mozabite berfungsi sebagai pembawa, penjaja makanan dan arang kayu, pedagang kecil, dan pekerja di tempat-tempat mandi. Kabylia telah menyediakan pekerja bangunan dan taman (Morizot, 1962, 21). Dengan kedatangan Prancis, aktivitas eksternal ini mulai menjamur:
sementara aktivitas-aktivitas lokal internal secara progresif mulai berhenti, aktivitas-aktivitas berorientasi ke arah luar, telah berkembang dengan baik menjadi beberapa kelompok, hendak menjalani pertumbuhan yang luar biasa, menjadi esensial bahkan di mana mereka hanya merupakan tambahan. Hari ini, ketidakseimbangan antara satu dan yang lainnya ditandai khususnya di Kabylia (1962, 75).
Setelah pergantian abad, orang-orang Kabylia bergerak ke kota-kota di manapun di Aljazair sebagai pedagang, penjaga toko, pekerja transportasi, polisi, agen pemerintah, pegawai bank, kuli angkut, dan penambang. Di dalam negeri, juga, mereka seringkali menjadi pejabat pemerintah rendahan, pengumpul pajak, pembantu pengobatan, gendarmes, guru. Perkembangan ini lebih lanjut dibantu oleh Prancis yang berharap mengembalikan pembangkang Kabyla tradisional dari pusat-pusat pesisir yang didominasi Arab menuju ke kemajuan politik mereka sendiri. Kesiapan mereka untuk memperoleh posisi-posisi yang dibuka oleh Prancis memberi mereka suatu kemajuan lebih daripada orang-orang Aljazair yang kurang didorong oleh kebutuhan untuk melayani para penakluk. Di mata Prancis mereka tampak “segiat” orang Protestan, “sedemokratik” orang Amerika. Sekolah-sekolah didirikan di zona berbahasa Berber lebih cepat dari tempat manapun di Aljazair, dan selama periode pendudukan Prancis hampir semua lembaga pelatihan guru diisi oleh orang-orang Kabyla (Favretm 1967, 91-92).
Pada saat yang sama, orang-orang Aljazair – dan lagi-lagi khususnya orang-orang berbahasa Berber dari Kabylia – mulai direkrut ke dalam tenaga kerja Prancis metropolitan. Perang Dunia I menyaksikan pekerja masif pertama orang-orang Aljazair di Prancis sendiri, menggantikan para pekerja Prancis dengan orang-orang berwarna dan sekarang tampil di depan. Di antara tahun 1915 dan 1918 sekitar 76.000 orang Aljazair bekerja di pabrik-pabrik Prancis. Trend ini terus berlanjut dengan kokoh sepanjang tahun, sampai tahun 1950 ada sekitar 600.000 orang Aljazair di metropolis. Gerakan skala luas ini menyusul sejumlah besar orang Aljazair dalam rancangan penyesuaian diri yang dipaksakan. Mereka menerima pendidikannya, sebagaimana Germaine Tillion menyebutnya, di “sekolah kota-kota”. Sebagai sebuah hasil, berkembang di tanah Prancis, proletariat Aljazair melarikan diri penuh dengan ikatan kuat dan terus-menerus ke pedesaan pedalaman Aljazair. Lingkungan pergaulan kelas pekerja ini memiliki dua pengaruh dekat. Pertama, menginkubasi gerakan nasionalis Aljazair modern pertama, dalam pembentukan Etoile Nord Africaine di Paris pada tahun 1925, di mana Messali Hadj menjadi personalitas yang dominan. Partai sayap kiri dan aktivitas persatuan dagang yang berasosiasi dengan pengalaman di kota Prancis memberi para pekerja migran dengan model-model organisasi dan dengan fragmen-fragmen ideologi sosialis di mana meeka menggunakannya dalam menginterpretasi kondisi tanah air mereka sendiri (lihat Bromberger, 1958, 80). Hal ini memberi signifikansi ganda, lebih jauh, bahwa – setelah mereka kembali ke Aljazair – mereka akan berbuat sedikit untuk memberi substansi pada aspirasi-aspirasi merea melalui persatuan-persatuan dan partai-partai sosialis dan Komunis yang didominasi colon di koloni. Sejak awal, logika situasi kolonial memaksa mereka memberi dukungan pada partai-partai nasionalis, pertama kali pada Messalist Partie Populaire Algérien, dan kemudian pada pemenang yang lebih militan.
Konsekuensi pengalaman Prancis kedua adalah bahwa hal ini di antara pekerja Aljazair di Prancis menghasilkan kesadaran bahwa suatu pendidikan Prancis yang adekuat merupakan sebuah passport untuk memasuki peradaban teknik modern. “Dua puluh lima tahun kemudian,” kata Germaine Tillion,
orang menemukan dokter-dokter, pengacara-pengacara, profesor-profesor, ahli-ahli matematika dan kimia yang nyata, di mana pendidikan yang berilian telah dibayar selama tahun-tahun yang panjang ini oleh seorang ayah atau seorang kakak dengan keluar dari perbudakan kerja. Untuk mencapai hasil ini, imigran yang buta huruf harus menghilangkan dirinya sendiri setiap hari dengan apa yang di Prancis kami sebut “kebutuhan minimun”, dan bahkan sebelum ia dapat berbuat ia telah direnggut, mekanisme dan nilai-nilai suatu dunia asing, mengindoktrinasi keluarganya, memisahkan anak laki-laki kecil dari ibunya, dan kemudian mendorong dia – dengan rajin, dengan sabar, dengan bangga – ke depan (1961, 119-120).
Kedua trend ini – petumbuhan Islam reformis di satu sisi, migrasi pekerja Aljazair ke kota di sisi lain – secara meyakinkan memberi kontribusi pecahnya pemberontakan Aljazair pada tahun 1954. Islam reformis memberi bentuk kultural bagi pembangunan suatu jaringan baru hubungan sosial antara kelompok petani menengah di pedesaan dan anak-anak elit urban di kota-kota pedalaman. Migrasi petani Aljazair ke kota – khususnya banyak dari mereka adalah orang-orang Kabylia – tak hanya membawa mereka ke dalam kontak dengan pola-pola kehidupan industrial dan urban, tetapi menghasilkan suatu kelas profesional yang diperoleh dari pengalaman migrasi tersebut. Sekali lagi jaringan-jaringan ditempa di mana kelompok-kelompok petani yang terhubung satu sama lain di pedesan dengan juru bicara dan perwakilan-perwakilan di kota-kota. Dalam studi-studi mengenai Islam terkemuka yang terlibat dalam revolusi dan lanjutannya empat sosok muncul: banyak dari mereka adalah orang muda, di mana pengalaman politik formatif diperoleh di tahun-tahun kebimbangan 1930 dan 1940-an; suatu jumlah yang tak seimbang dibandingkan peran mereka pada penduduk Aljazair keseluruhan yang berasal-usul Berber; banyak di antaranya berpendidikan Prancis; banyak di antaranya masuk dalam pasukan Prancis selama Perang Dunia II (Gordon, 1966, 87-88). Jean Morizot, seorang administrator Prancis di Aljazair, bahkan berkata lebih jauh dengan mengatakan bahwa,
ketika pemberontakan melewati panggung lokal atau regionalnya, ia akan memperlihatkan diri pada kita di bawah kepemimpinan Kabylia (1962, 128).
Secara keseluruhan melawan harapan-harapan Prancis yang selalu mengikuti suatu kebijakan menjaga orang-orang Berber secara budaya dan politik terpisah dari penduduk Arab, dalam rangka pembagian dan pengaturan yang lebih baik, kekuatan disatukan oleh suatu keterlibatan umum dalam proses yang diatur oleh pengaruh Prancis itu sendiri yang akan membawa kelompok-kelompok terpisahkan ini ke dalam penggabungan.
Tak meragukan penggabungan ini diperkuat oleh peristiwa-peristiwa periode pendahuluan Perang Dunia II, dan perang dunia itu sendiri. Sepanjang ada harapan bahwa reformasi di Prancis dapat menghasilkan kebebasan dan otonomi yang lebih besar bagi Muslim Aljazair, juga tetap ada harapan bahwa cita-cita para asimilasionis dan nasionalis dapat dipertemukan tanpa mempergunakan kekuatan dan kekerasan. Bahkan Ben Badis menaruh harapan besar dalam kelahiran pemerintahan Front Rakyat di metropolis Prancis pada tahun-tahun antara 1936 dan 1938. Tetapi sebagaimana hal itu menjadi semakin jelas – bahwa tak ada kemampuan menetapkan reformasi dari pemerintah Prancis yang mungkin muncul, para nasionalis militan memperoleh dasar. Ketika ketidakinginan dan ketidakmampuan Prancis membuat konsesi memperkeras, tendensi ke arah operasi-operasi klandestin memperoleh momentum. Hal ini harus ditambahkan sebagai pengaruh trend-trend domestik. Di antara tahun 1930 dan 1954 jumlah pemilik tanah kecil Muslim menurun seperlima, jumlah pekerja harian meningkat lebih dari seperempat. Selama Perang Dunia II dan setelahnya, hasil panen buruk, produksi anggur menurun, dan ternak mati dalam jumlah yang besar. Bahkan lebih signifikan, tak meragukan, adalah penyebab yang lebih dekat dari suatu sikap politik: Prancis menderita suatu kekalahan penumpasan pada tahun 1940, menyatakan kelemahannya pada semua yang memiliki mata untuk melihat. Propaganda Jerman memperkuat kesan kelemahan Prancis. Pada saat yang sama, setengah bangsa Prancis digunakan dalam pertempuran di mana setengahnya yang lain di dalam operasi-operasi bawah tanah, dengan tajam memunculkan level seluruh babak ketidaktentuan dan ilegalitas. Kelahiran fasisme di Prancis secara kuat mendukung kekerasan yang dilakukan para colon fasis melawan penduduk Aljazair. Aljazair dimobilisasi dalam jumlah yang banyak sekali untuk berperang demi Prancis, dengan demikian pelaksanaan pelatihan militer dan mencapai suatu level penting yang sama dengan pasukan tempur-sahabat Prancis. Semua ini menjadi suatu kepala dalam peristiwa-peristiwa yang mengambil tempat di Sétif, pada 1 Mei 1945. Sekitar 8.000 sampai 10.000 Muslim berkerumun untuk merayakan kemenangan Sekutu di Eropa; banyak yang datang dengan plakat-plakat meminta pembebasan Messali Hadj dari penjara dan meminta persamaan antara orang-orang Muslim dan Kristen. Tembakan dinyalakan dan suatu kerusuhan yang terjadi melebar ke kota-kota lain. Kerusuhan dengan ganas ditekan oleh pasukan udara dan darat Prancis. Diperkirakan jumlah orang Muslim yang terbunuh antara 8.000 dan 15.000, dengan 15.000 merupakan jumlah yang tidak persis. Ada sedikit keraguan, kata jurnalis Swiss Charles-Henri Favrod, bahwa “peristiwa-peristiwa tahun 1945 ini menentukan revolusi tahun 1954.” Ketidakmamuan dan ketidakinginan Prancis menjamin konsesi di masa serangan sebagaimana maksud para asimilasionis. Ini sangat jelas ditunjukkan dalam sosok Frehat Abbas, seorang pemimpin asimilasionis, yang memutuskan pada bulan April 1954 bahwa sebuah partai yang “berpjuang menyetujui ‘revolusi dengan hukum’ tak akan lagi bisa maju ...” (dikutip dari Murray dan Wengraf, 1963, 63).
Di sisi lain, gerakan militan dan subversif terus berkembang di antara nasionalis proletarian. Parti Populaire Algégien (PPA), didirikan di bawah tanah tahun 1939, pada tahun 1947 mengembangkan suatu pasukan paramiliter dalam MTLD – Mouvement pour le Triomphe des Libertés Democratiques. Di dalam MTLD, sebaliknya, tumbuh suatu kelompok teroris rahasia bernama Organisation Spéciale (OS); pada tahun 1949 ia memiliki 1.900 anggota. Anggota pendiri OS menjadi anggota Comité Revolutionnaire d’Unité et d’Action (CRUA) di mana melepaskan tali pemberontakan tahun 1954. Tidak semua anggota PPA, bagaimanapun, bergabung dalam pemberontakan. Berbeda dnegan itu, perjuangan kemerdekaan melawan Prancis disertai melalui suatu perjuangan berdarah antara para partisan pemberontakan dan unit-unit diperoleh dari yang berasal-usul PPA-nya Messali Hadj. Perjuangan ini ternyata khususnya berdarah di Prancis metropolitan di mana hampir seribu Muslim mati dalam medan perang.
Pemberontakan pecah di malam tanggan 31 Oktober sampai 1 November 1954, dengan sekitar tiga insiden serangan pada garnisun-garnisun Prancis dan kantor-kantor polisi, penyergapan dan pembakaran. Insiden-insiden ini meluas, tapi banyak di antaranya meletus di Aljazair barat, khususnya di pegunungan Aurés. Para pemberontak sedikit dalam jumlah, mungkin tak lebih dari lima ratus, dengan tiga ratus di antaranya terpusat di Aurés; mereka memiliki kurang dari lima puluh senjata usang (Humbaraci, 1966, 33-34).
Aurés merupakan dasar pertama yang logis bagi pemberontakan. Ditempati oleh penduduk berbagasa Berber, telah lama menjadi suatu zona yang tak sepakat dengan pemerintahan pusat. Jacques Soutselle, antropologis dan gubernur jenderal Aljazair tahun 1955, mengatakan:
orang melihat dengan jelas bahwa orang-orang Romawi keliru dalam membatasi pendudukan mereka dengan mendekati daerah pegunungan, karenanya selama berabad-abad gudang kekuatan-kekuatan tak terkontrol tetap siap membanjiri. Penetrasi kita di Aurés dan Nemenchas sangat lemah; kita telah menjalankan usaha yang sama sebagaimana orang-orang Romawi, dengan hasil yang juga sama (1956, 14-15).
Organisasi sosial dan politik Berber menggemakan suatu “dorongan anarki”; para antropologis bicara mengenainya sebagai sesuatu yang langsung dan tersegmen. Keluarga-keluarga awal membentuk bagian garis keluarga, terhubung melalui garis pria. Garis keluarga ini, sebaliknya, membentuk segmen-segmen atau fraksi-fraksi (Arab ferqa, Berber harfiqth); segmen-segmen dan fraksi-fraksi membentuk suku. Setiap satu pemukiman dibuat dari anggota-anggota beberapa fraksi, satu sama lain berafiliasi, sebaliknya, dengan satu suku yang lebih luas. Fraksi-fraksi ini bertentangan satu sama lain jika kepentingan mereka berbeda, tetapi bersatu jika terancam, khususnya oleh sepertiga kelompok yang lebih kuat dari mereka. Secara teoritis karya ini sebagai suatu sistem checks and balances sepanjang unit-unit tersebut kurang-lebih stabil. Di bawah pemerintahan Prancis, bagaimanapun, keseimbangan ideal ini terganggu. Perbaikan pelayanan sosial telah menghapus pencegahan pada pertumbuhan penduduk, dan membantu menambah tekanan jumlah penduduk melawan sumber pangan yang tersedia. Meluasnya ekonomi uang dan pengenalan kebutuhan baru – untuk kopi, tebu, padi – merusak pola tradisional pemenuhan diri sendiri. Tanah menjadi suatu komoditas, untuk diperjual-belikan. Setelah Perang Dunia I migrasi manusia ke Prancis memprakarsai suatu sistem remisi-remisi moneter di mana kerja di metropolis ditanggung oleh ekonomi pegunungan. Semua trend ini menekankan kompetisi di antara orang-orang dan memperburuk perlawanan di antara fraksi-fraksi suku. Para pemberontak dengan cerdik mengeksploitasi perseteruan lokal ini, mencari sekutu di antara satu atau beberapa fraksi lokal di wilayah pegunungan dan membantu mereka melawan musuh-musuhnya. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok bandit. Di Aurés mereka mendirikan distrik militer pertamanya (Wilaya I); ia tetap suatu benteng pemberontak sepanjang perang. Pada saat yang sama, di antara bulan November 1954 dan pertengahan pertengahan Maret 196, kelompok-kelompok perjuangan kecil yang ditunjuk mulai menyerang di bagian-bagian lain Aljazair dengan cara pukul-dan-lari.
Dengan kemunculan pemberontakan, CRUA menjadi komite eksekutif Front Liberasi Nasional (Front de Libération Nationale atau NLF). Terdiri dari Delegasi Luar Negeri, bermarkas di Kairo, dan sebuah Delegasi Dalam Negeri, berisi para pemimpin militer pemberontakan Aljazair. Para pemimpin militer ini mengepalai enam distrik militer atau wilaya; satu pertujuh distrik dibandingkan Prancis Metropolitas. Organisasi keseluruhan dipimpin oleh para pemimpin militer yang dikenal sebagai Tentara Liberasi Nasional (Armée de Libération Nationale atau ALN). Inti tentara menjadi mujahidin, tentara untuk keyakinan, yang menjadi prajurit tetap, dikelilingi oleh suatu lingkaran gerilya sipil, mussabilin, “karavan yang meninggalkan jalan”, squad mematikan yang dikatakan sebagai pendoa kematian (Tillion, 1961, catatan kaki 6, 145), dan fidayin, teroris dan penyabot tanpa seragam. Meja organisasi formal tentara tak dapat menyembunyikan fakta, bagaimanapun, bahwa struktur organisasi NLF menggambarkan suatu solusi kompromi di antara kepentingan para pemimpin sipil dan militer, suatu tegangan yang kamp selama perang oleh konflik berkelanjutan di antara para pemimpin militer, dan di antara yang melaksanakan perang gerilya di dalam negeri dan yang mengorganisasi unit-unit bersenjata di luar negeri. Jean Daniel telah mengatakan bahwa bukan satu piramida organisasional yang muncul di dalam NLF, tetapi sejumlah piramida, dan bahwa “kesatuan NLF tak pernah sadar kecuali dalam situasi di mana dorongan sejumlah priramida bergerak ke arah yang sama"”(1962-63, 128). Secara ideologis, juga, apa yang menyatukan gerakan bersama-sama adalah suatu nasionalisme umum. Fraseologi sosialis muncul kadang-kadang di dalam pernyataan-pernyataan NLF, tetapi tetap cukup samar-samar untuk menjadi teriakan rapat satu fraksi melawan yang lainnya, sampai setelah kelahiran kemerdekaan Aljazair. Pada bulan April 1956, sumber-sumber Prancis memperkirakan kekuatan pemberontak sekitar 8.500 prajurit dan 21.000 pasukan asing. Memiliki kekuatan pasukan yang tak cukup, Prancis tak mampu mencegah penyebaran unit-unit pemberontak di arah barat sepanjang jajaran rantai pegunungan Atlas, meskipun mengulang komando penyerbuan ke dalam negeri yang saling bermusuhan.
Pada bulan April 1956, bagaimanapun, unit-unit pasukan Prancis memperbesar kekuatan sampai 250.000 orang ke Aljazair dari Prancis, Jerman dan Afrika Barat Prancis; wajib militer segera ditambah 20.000 yang lain. Penambahan pasukan ini mengijinkan suatu perubahan dalam taktik Prancis dari penggunaan pasukan terbang yang sekali-kali menjadi quadrillage atau sistem grid di mana kota-kota dan pusat-pusat komunikasi dikuasai, sementara unit-unit prajurit payung, sukarelawan, dan Legiun Asing memeriksa pedalaman. Taktik baru ini tidak menyingkirkan ALN, tetapi mengawasi aktivitasnya di bagian belakang negeri. Menuju akhir tahun 1956, ALN karena itu menyusun suatu serangan di pusat-pusat urban. Serangan-serangan teroris meningkat di semua kta, tetapi khususnya di Aljazair di mana 120 aksi terjadi pada bulan Desember sendiri. ALN berhasil merembesi kelompok Muslim di kota, Casbah, dengan penduduk 80.000 orang. Di sini telah direkrut sebanyak sekitar 4.000 orang, di antara suatu inti Lumpenproletariat, “hooligans dengan hati yang bersih”, yang memberi suatu kesempatan membersihkan diri mereka bersih dari dosa masa lalu (Ouzegane, 1962, 252-253). Sementara pergantian terorisme urban memiliki pengaruh psikologikal penting pada penduduk urban, khususnya di antara orang-orang Muslim yang menang karena ALN dalam perbandingan dengan ketidakmampuan Prancis melindungi mereka, terbukti merupakan militer yang tak efektif. Di antara bulan Februari dan Oktober 1957, Divisi Pasukan Payung Kesepuluh yang dikomandoi oleh Jenderal Massu secara efektif menghancurkan organisasi teroris di Aljazair.
Diawasi di dalam negeri sendiri, ALN didorong mencari sumber dukungan alternatif, di mana ditemukan dari tetangga Tunisia dan Maroko. Kedua negara tetangga ini, yang telah menerima kemerdekaan dari Prancis tahun 1956, mengijinkan pendirian pusat pelatihan di tanah mereka dan merekrut pasukan-pasukan baru di antara orang-orang Aljazair baik dengan atau tanpa Aljazair. Pada akhir tahun 1957, ada lebih dari 60.000 orang Aljazair mengungsi di Tunisia, dan 40.000 di Maroko. Rekruitmen oleh ALN untuk pasukan “eksternal” barunya tumbuh dengan cepat. Pada akhir tahun 1957, kembali, mencapai jumlah 25.000 pasukan, sementara pasukan “internal” hanya terhitung 15.000 pasukan.
Namun peralihan taktik ALN ini juga menghasilkan suatu respon yang sebanding dari Prancis. Pada pertengahan Spetember 1957 Prancis melengkapi pembangunan, di antara perbatasan Maroko, suatu rintangan kabel listrik yang rumit, sistem alarm, kawat tajam, ladang pertambangan, dan pos-pos pengawasan. Pada tahun 1958 Prancis juga mengembangkan usaha militer mereka di dalam Aljazair. Masing-masing basis ALN yang dikenal sebagai lingkaran yang ditutup oleh suatu zona “tentram”, dan serangan-serangan disusun bergantian ke masing-masing distrik militer ALN yang terpisah. Komunikasi di antara distrik secara efektif dihancurkan, sementara usaha ALN untuk menyusun batalion penikam ternyata tak efektif. Dengan demikian para pemberontak terpukul mundur sekali lagi di atas taktik-taktik kelompok kecil di mana mereka telah memulai pemberontakan. Aktivitas militer Prancis, lebih jauh, didukung oleh suatu usaha berkelanjutan relokasi penduduk sipil, dengan demikian memisahkan para pemberontak dari sumber dukungan yang memungkinkan. Lebih dari 1,8 juta orang dipindahkan dari tempat tinggal mereka antara tahun 1955 dan 1961, sementara yang lain terbang dari zona-zona operasi militer ke dalam kota-kota yang telah penuh-sesak. Akhirnya, tikaman balasan Prancis dipukul oleh pekerjaan medan perang psikologikal, merentang dari persuasi massa dan ketetapan pelayanan sosial oleh personel militer untuk pemaksaan indoktrinasi dan siksaan.
Usaha Prancis memiliki beberapa konsekuensi bagi kelompok nasionalis. Hal ini menonjolkan perseteruan-perseteruan di antara para pemimpin, khususnya di antara para pemimpin pemberontakan di luar Aljazair dan kapten-kapten militer di lapangan. Ia mengisolasi distrik-distrik militer dari distrik yang lainnya dan dari sumber-sumber persenjataan serta dukungan luar negeri, membatasi kemampuan perang mereka, dan menguranginya secara pokok ke level prinsipalitas kecil, berselisih dengan yang lainnya mengenai sumber penghasilan, taktik-taktik dan strategi. Pada saat yang sama ia tetap tak tersentuh pertumbuhan “tentara eksternal” yang tumbuh lebih penting bagi kepemimpinan nasionalis sebagai suatu titik bargaining dalam setiap negosiasi akhir bagi kedamaian pada arah proporsi pengurangan tentara internal baik secara kekuatan maupun efektivitasnya. Dengan demikian akhir perang adalah mencari tentara eksternal yang utuh sebagai satu-satunya badan terorganisir Aljazair di bawah kepemimpinan Houari Boumedienne.
Pada saat yang sama usaha Prancis secara dialektis menghasilkan pasukan-pasukan kehancurannya sendiri. Telah dikatakan bahwa Prancis terbukti menang, diyakini kaum nasionalis yag menyebabkan di dalam pikiran orang-orang Aljazair hal tersebut secara paradoksal tumbuh dengan cepat. Beberapa alasan dari hal ini merupakan alasan internal. Pengalaman relokasi secara paksa, terbang mengungsi ke kota-kota, penghancuran sumber penghidupan pertanian, penghancuran kelompok-kelmpok nomadik tak dapat lagi menyusun migrasi-migrasi mereka – semua ini menghancur-leburkan hubungan-hubungan sosial masyarakat tradisional dan menghasilkan suatu kekosongan ideologikal yang menakutkan. Konflik itu sendiri lebih lanjut mempolarisasi pemukim Prancis dan orang-orang Muslim, memperkuat identitas mereka yang berbeda, di mana usaha-usaha Perang psikologikal lebih membuatnya buruk daripada mereduksi. Pada saat yang sama biaya konflik menjadi lebih berat. Sebagai tambahan terhadap hilangnya penghidupan dan tekanan-tekananan yang menyertai perang, biaya finansial perang pada Prancis ternyata besar sekali: 50 milyar franc baru dan 1,7 juta dollar dalam mata uang asing dibelanjalan untuk senjata dan usaha-usaha menutup depisit anggaran (Humbaraci, 1966, 55). Tetapi biaya sosial dan politik perang ternyata lebih besar lagi, di mana ia membawa ke dalam pembukaan serangkaian konflik tertutup di mana sama sekali membatasi kemampuan Prancis untuk melanjutkan perang. Prancis tak hanya melenggang melalui kekalahan dan dislokasi Perang Dunia II; ia juga menyaksikan kekalahan di tangan Viet Minh di Vietnam. Rakyat mencemaskan perang, suatu fakta yang mengemuka sesegera wajib militer dirancang di Prancis metropolitas untuk berperang di Aljazair. Pada saat yang sama, suatu elit finansial dan teknokrat baru berharap bagi suatu ekspansi partisipasi Prancis di suatu pasar umum Eropa, dalam rangka menggantikan perang kolonial yang mahal dan tak berhasil. Di sisi lain, ada barisan colon-colon Prancis yang keras pendirian di Aljazair, yang tak dapat menghadapi akomodasi damai dengan mayoritas Muslim, dan suatu tentara profesional yang telah kembali dari Vietnam yang dengan kesal memutuskan untuk menyusun dominasi militer di Aljazair dan Prancis metropolitan daripada menerima kekalahan dalam perang gerilya yang lain. Konflik yang terdiri dari beberapa bagian ini, sebaliknya, menciptakan suatu konflik lama yang lebih besar di antara Prancis perantauan metropolitan.
Kebenarannya adalah bahwa sejarah republik Prancis dan kerajaan kolonial Prancis dipaksa oleh kekuatan yang berbeda, menjalani jalan yang juga berbeda, dan jarang bertemu ... Kerajaan adalah sesuatu di mana rakyat Prancis tak memiliki apa pun untuk dilakukan, dan ceritanya adalah cerita tentang intrik finansial, Gereja, dan militer, yang tanpa lelah membangun kembali Bastille-Bastille di luar negeri di mana di Prancis telah dirobohkan (Luethy, 1957, 205).
Selama perang Aljazair, konflik-konflik ini menjadi manifes tiga episode utama. Selama episode yang pertama ini de Gaulle memasuki akhir Republik Keempat di atas bahu suatu ketakutan oleh coup d’état di Aljazair dan demonstrasi-demonstrasi colon (May 1958). Yang kedua adalah suatu pemberontakan gagal melawan de Gaulle, dilaksanakan oleh para pemukim kembali dan para pemimpin bersenjata di Aljazair pada bulan Januari 1960. Yang ketiga adalah suatu pemberontakan para pemimin bersenjata di Aljazair pada bulan April 1961, suatu pemberontakan yang digagalkan dan yang dipadamkan dalam suatu gelombang terorisme colon. Pemerintah di Paris secara berhasil ditanggulangi dengan kekalahan instabilitas yang berasal dari koloni; tetapi hal ini juga diputuskan berakhir dan bahwa ancaman di masa depan dengan membersihkan dirinya sendiri dari suatu koloni yang telah menjadi suatu pertanggungjawaban ekonomi, militer, dan olitik. Negosiasi-negosiasi damai antara pemerintah Prancis dan perwakilan pemberontak Aljazair menghasilkan suatu aliansi diam-diam diperhitungkan mengakhiri ancaman Prancis metropolitan melalui pemuasan colon-colon Prancis yang gamang dan Sekutu militer proto-fasis mereka. Dengan demikian, kemenangan datang pada ALN lebih melalui tahapan-tahapan di mana perang menghasilkan dasar-dasar kebijakan Prancis daripada melalui keberanian mereka sendiri dan kenekatan perjuangan selama tujuh setengah tahun perang.
Peristiwa-peristiwa di Aljazair penting tak hanya karena suatu sumber kecil gerilya menantang suatu tentara modern yang besar dan memperoleh kemenangannya, tetapi karena ia memberi kemunculan dua teori berpengaruh dalam medan perang yang meliputi penduduk petani. Salah satu “teori perang revolusioner” ini dikembangkan dan disokong oleh para pejabat tentara Prancis yang berperang di Aljazair. Yang kedua adalah revolusi kolonial yang ditunjukkan oleh Frantz Fanon, doktor, juru propaganda dan diplomat bagi gerakan liberasi Aljazair.
Teori “perang revolusioner” meninggalkan pengalaman menyakitkan tentara Prancis di Vietnam. Pada kebangkitan dari kelahan tersebut Jenderal Lionel-Max Chassin menemukan dalam tulisan-tulisannya Mao Tse-tung rahasia keberhasilan kaum Komunis: “Adalah mungkin untuk memenangkan suatu perang, khususnya suatu perang saudara, jika rakyat tidak di pihakmu.” Mulai saat itu, menurut teori baru, perang akan ditarungkan di antara massa, untuk mengontrol massa, dengan suatu campuran teknik organisasional dan psikologikal. Teknik-teknik organisasional, yang mereka harap bisa dipinjam dari Mao, terdapat pada “kesejajaran hirarki” yang terkenal, kombinasi basis organisasi secara teoritikal dengan organisasi fungsional. Dalam suatu sistem yang demikian “individu menemukan lubang yang baik dari suatu jaringan yang tak memiliki kesempatan apapun bagi penjagaan kemandiriannya” (Jean Hoggard, dalam Revue Militaire d’Information, 1957, dikutip dari Fall, 1967, 134). Teknik-teknik psikologikal diperoleh, sebagian, dari The Rape of the Masses, karya Serge Chakotin, sebuah buku yang ditulis pada malam Perang Dunia II, mengaku ditulis untuk memperlihatkan orang Jerman demokratik bagaimana mereka dapat mempertahankan demokrasi melawan Hitler dengan cara suatu “propaganda kekerasan” yang didasarkan pada pelajaran pengkondisian Pavlovian yang diperkirakan. Proses pengkondisian organisasi dan psikologikal diarahkan secara simultan melalui aksi bersenjata dalam guadrillage, relokasi yang dipaksakan, intrograsi, penggunaan siksaan sekali-kali, dan melalui kerja sosial serta persuasu psikologikal yang didukung militer. Suatu pendekatan demikian memiliki seruan yang sangat besar bagi teknisi-teknisi militer dan ilmuwan sosial yang memikirkan pencarian mereka terutama sebagai teknik-teknik bagi kontrol manusia. Kekuarangan terbesar pandangan baru mengenai perang ini – yang mencapai status suatu religi di antara banyak pejabat Prancis yang terlibat di dalam perang – terdapat di dalam penghilangan term pertengahan manusia dalam aspek-aspek budayanya yang beragam – ekonomi, sosial, politik, dan ideologi. Menganggap orang Aljazair menjadi seperti orang Prancis, memiliki pola dan kepentingan kebudayaan yang identik, teknik-teknik militer menggambarkan tugas mereka dengan sederhana sebagai satu hal di mana organisasi mereproduksi rancangan eksperimental laboratorium dan pengkondisian yang sederhana memberi subjek eksperimental dengan satu set kebiasaan yang baru, tanpa penciptaan yang berkelanjutan dari suatu kerangka kebudayaan baru di mana kebiasaan baru ini dapat menjadi relevan. Tentu saja orang mungkin juga bertanya apakah pengkondisian sederhana mencukupi untuk merestruktur respon manusia dengan cara yang diinginkannya; tetapi hal itu tak tampak tidak mungkin, setidak-tidaknya di masa depan, di mana beberapa bentuk pengkondisian yang kompleks kenyataannya dapat memperoleh suatu hasil yang demikian. Ini jelas, bagaimanapun, bahwa apa yang lepas dari “teori perang revolusioner” adalah pandangan mengenai revolusi yang sesungguhnya, pandangan suatu transformasi lingkungan yang sejenis dengan pola kebiasaan baru. Di bawah kondisi-kondisi perang kolonial, di Aljazair sebagaimana kemudian di Vietnam di bawah bantuan Amerika, teori merupakan kekosongan dari setiap isi kebudayaan untuk menghasilkan kepatuhan sederhana demi menelanjangi kekuatan tanpa menjatuhkan.
Teori Frantz Fanon, sebaliknya, mengajarkan kebutuhan bagi rakyat kolonial untuk menggoncang penindasan asing dengan kekuatan dan kekerasan, tak hanya sebagai suatu teknik militer, tetapi sebagai suatu prakondisi psikologikal yang esensial bagi kemerdekaan. Koloni didirikan oleh kekuatan dan diabadikan juga oleh kekuatan. Penggunaan kekuatan melawan pribumi menelanjangi dirinya dari kejantanannya yang esensial; ia dapat memulihkan kejantanannya hanya ketika ia sendiri mempergunakan kekerasan melawan penindasnya. Penggunaan kekerasan,
membebaskan pribumi dari kompleks inferioritasnya serta dari keputusasaan dan keterdiamannya; ini membuatnya tak takut dan memperbaiki kehormatan dirinya (1963, 73).
Tetapi penggunaan kekerasan juga memiliki aspek sosialnya. Ia menyatukan rakyat –
praktek kekerasan mengikat mereka bersama-sama sebagai suatu keseluruhan, karena masing-masing individu membentuk suatu rangkaian kekerasan dalam rantai besar, suatu bagian organisme kekerasan besar yang telah meluap ke atas dalam reaksi terhadap kekerasan para pemukin di masa awal (1963, 73).
Dengan demikian kekerasan merupakan suatu “kekuatan pembersing”; dan Fanon menunjukkan bahwa bukan kelas menengah nasionalis dan proletariat yang mungkin menggunakan instrumen kekerasan pembersih ini, karena mereka “telah mulai untung – pada suatu korting untuk meyakinkan – dari tatanan kolonial, memiliki kepentingan khusus di hatinya” (1963, 47), tetapi kaum petani lah, yang “memberontak karena insting” (1963, 102). Lebih jauh,
dalam gerakan spontan rakyat pedesaan sebagai suatu keseluruhan tetap disiplin dan altruistik. Individu berdiri menyokong komunitas (1963, 90).
Di kota-kota, para rekruit yang mungkin memberontak tak akan merupakan proletariat, yang diorganisasikan ke dalam persatuan-persatuan dagang yang telah memiliki kepentingan individual yang khusus untuk bertahan, melainkan Lumpenproletariat, berasal dari para petani tak bertanah yang berduyun-duyun ke kota, untuk menjadi “kelemayuh yang hadir di jantung dominasi kolonial.” Pemimpin pemberontakan, akhirnya, akan merupakan,
orang-orang yang telah melalui jalan mereka dari bawah ... seringkali para pekerja yang tak cakap, buruh musiman atau bahkan kadang-kadang secara kronis tak memiliki pekerjaan. Dari mereka fakta penghalang dalam suatu partai nasional tidak secara sederhana mengambil bagian dalam politik; ia hanya memilih cara di mana mereka dapat lepas dari status seekor binatang menuju suatu status manusia (1963, 100).
Tak ada orang dapat membaca Fanon tanpa menjadi dicengkeram baik oleh hasrat moralnya maupun oleh wawasannya ke dalam mekanisme agresi dan represi yang menemukan ekspresinya dalam kekerasan personal serta kelompok. Namun, dengan sedikit bergegas, tesis Fanon justru merupakan antitesis atas posisi yang dibela oleh para kolonel Prancis. Melawan desakan mereka di mana manusia dapat ditangkap dan dibuat impoten oleh organisasi, ia mengajarkan pergolakan, tiada jalan keluar, kerusudan. Melawan penggunaan kekerasan psikologikal mereka melawan pribumi, ia mengajarkan kekerasan melawan penindas. Tetapi seperti juga para kolonel, Fanon tak memberi perhatian pada kenyataan kebudayaan sejarah masa lalu, sekelompok hubungan, pergantian dan perubahan aliansi-aliansi manusia yang kongkret, diletakkan dalam pengalaman masa lalu dan sekarang yang juga kongkret. Dunia Manichaean-nya – seperti pemerintahan pseudo-revolusioner teknokrat para kolonel – tanpa ekonomi, masyarakat, kebijakan dan ideologi serta faktor-faktor yang menentukannya. Dalam Fanon, kekerasan bukan “politik dengan cara lain”. Dalam kalimat Clausewitz yang biasa, kekerasan dipergunakan sebagai suatu teknik rasional yang dihitung dalam ungkapan hubungan antar manusia yang khusus; sebaliknya ia menjadi suatu kekuatan kosmik yang dibutuhkan untuk membersihkan alam semesta dalam rangka mencapai keselamatan. Demikianlah kekerasan, dan penduduk pedesaan tentunya merespoh hal tersebut. Namun seruan kekerasan tak begitu berhasil di Kabylia, dimana ia mengijinkan seksi-seksi suku yang bermusuhan membentuk konflik segmental mereka dalam suatu konfrontasi umum dengan suatu musuh eksternal. Peningkatan kekerasan dengan demikian mengijinkan “pengaruh besar-besaran” yang begitu karakteristik dalam masyarakat yang tersegmentasi, di mana segmen-segmen yang otonom membentuk koalisi yang lebih seimbang untuk besarnya ancaman eksternal. Kekerasan dalam tatanan ini merupakan penyebab dan pengaruh sekaligus dari suatu tatanan sosial, tak melulu suatu tindakan yang dimotivasi psikologikal di mana manusia menarik kembali kejantanannya dari penindas yang telah merampasnya dari mereka. Lebih jauh, tikaman balasan Prancis seringkali secara luar biasa tak membeda-bedakan dalam brutalitas mereka: kekerasan seringkali suatu respon terhadap kekerasan militer yang mendatangi baik laki-laki, wanita dan maupun anak-anak. Ini bukan untuk menyangkal wawasan tajam Fanon ke dalam mekanisme psikologikal penindasan dan kepatuhan kolonial; tetapi ini diperlukan untuk mengindikasikan bahwa psikologi dibutuhkan untuk berjalan dalam suatu acuan sosial; ia bukan suatu kekuatan independen. Kita dapat mengerti dengan baik mengapa konflik Aljazair dapat menghasilkan para ideologis kekerasan kontra-revolusioner dan revolusioner demikian; namun bukan ideologi para kolonel atau ideologi Frantz Fanon yang dapat memberi kita dengan suatu penuntun pada suatu pemahaman apa yang terjadi di Aljazair, selama perang dan setelahnya.
Penulis Turki Arslan Humbaraci memberi sub judul bukunya mengenai Aljazair dengan “Sebuah Revolusi yang Gagal”. Fakta yang sangat signifikan mengenai pra-perang Aljazair berasal dari kekalahan pemberontakan internal dan bertahannya tentara eksternal. Ketika Prancis hengkang, tentara eksternal memasuki Aljazair. Para pemberontak Kabyle yang kelelahan bukan tandingan bagi kekuatan militer dan politiknya. Keberangkatan 900.000 orang Prancis pada saat yang sama mengosongkan sejumlah posisi dalam pemerintahan dan pelayanan, di mana para pengikut pemberontak menganggapnya sebagai hak penuh mereka. Apapun yang secara lemah mengikat antara para profesional, petani dan pekerja mempertahankan pecahnya pemberontakan internal sekarang menjadi lebih dilemahkansebagai kelas menengah Aljazair yang yang dibentengi, memperoleh balasan sepuluh tahun usaha dan bergabung dengan elit Aljazair. Eksperimen-eksperimen sosialis, diprakarsai oleh Ahmed Ben Bella, meliputi manajemen-diri tahan agrikultur dan toko-toko Prancis yang dinasionalisasi, menghasilkan over-birokrasisasi dan suatu kemunduran produksi yang genting. Pada saat yang sama, Aljazair tetap mempertahankan kredit pada Prancis, dijamin dengan balasan untuk meneruskan hak menemukan minyak dan gas di Sahara. Usaha Ben Bella untuk menangkal kemunduran dengan mengorganisasikan NLF ke dalam suatu partai momolitik bertipe Komunis ternyata tak dapat dijalankan – dalam banyak level – untuk mengisi kekuatan sentrifugal yang diciptakan oleh kemunduran ekonomi, melanjutkan ketergantungan pada Prancis, dan “borjuisifikasi” pemilik kekuasaan Aljazair yang baru dengan cepat. Pada tahun 1965, tentara melangkah dalam rangka menstabilkan situasi. Di bawah Houari Bourmedienne ia melanjutkan proklamasi bagi “sosialisme”, tetapi menekankan bahwa sosialismenya merupakan sosialisme “Aljazair” dan bukan sosialis “impor”, dan menyandarkan banyak definisinya mengenai sosialisme dalam ulema Islam. Toko-toko yang dinasionalisasi telah dikembalikan pada para pemiliknya; bank-bank, perdagangan asing, dan industri berat – tak pernah dinasionalisasi – berlanjut di tangan perorangan; dan rejim telah mengekspresikan dirinya menyetujui investasi luar negeri perorangan. Aljazair terus tergantung secara kuat pada bantuan Prancis, menjadi “negara-klien” Prancis yang erat (Humbaraci, 1966, 271). Pada inti masyarakat berdiri suatu tentara yang kuat, dijabati oleh suatu staff nasionalis yang kuat. Modusnya adalah Aljazair Islam nasionalis. Itu adalah Islam Jacobin Ben Badis yang akhirnya ternyata menjadi pemenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.