TIGA: CINA
T’i t’ien hsing hao!
Mempersiapkan Jalan ke Surga!
Slogan pemberontakan dari Semua Orang Bersaudara,
Novel populer abad tiga belas dan merupakan Favorit Mao Tse-tung
Meksiko pada tahun 1910 memiliki pupulasi 16,5 juta, Rusia di sekitar pergantian abad terhitung 129 juta. Cina – masyarakat yang akan kita diskusikan berikutnya – bagaimanapun, haruslah digambarkan pada suatu skala yang sangat besar. Dari Peking ke perbatasan barat Cina kira-kira sejauh dari New York ke Oregon. Bahkan pada tahun 1725 terhitung sekitar 265 juta orang; 430 juta di tahun 1850; sekitar 600 juta di tahun 1950. Lebih jauh, ini merupakan peradaban utama tertua: hanya satu dari masyarakat-masyarakat besar yang masih ada melintasi permulaan antara adat-istiadat neolitik dan peradaban. Metode budi dayanya yang intensif, aliran air irigasinya yang besar dan kontrol banjirnya, birokrasi terdidiknya dipilih oleh suatu rangkaian ujian terbuka, keadaan kemajuan teknologinya, tradisi filsafatnya, dan kesenian bersarnya mengundang kekaguman banyak pengunjung yang datang ke sana sari mana-mana. Bagi orang-orang Cina sendiri, adalah Kerajaan Tengah, pusat alam semesta, pemerintahannya ditopang oleh Amanat Surga. Diserbu berulangkali oleh para barbarian di utara, menahan mereka selalu dan mengembalikan mereka ke orang-orang Cina.
Sebuan besar terakhir ke Cina dari utara datang dari Manchu, anggota suku Sinified Tungus dari perbatasan timur laut.
Pada tahun 1644 mereka memenangkan kontrol sepenuhnya atas Cina untuk dinasti mereka, Ch’ing. Dinasti dan pasukannya menduduki posisi-posisi puncak dalam urusan politik, dan memelihara suatu kekuasaan militer dan kediaman yang terpisah. Tetapi mereka terlalu sedikit jumlahnya untuk mengatur suatu kerajaan birokratik besar, dan karena itu dipaksa untuk mengandalkan – sebagaimana banyak dinasti sebelumnya melakukan – pada administratur sekolahan yang telah mengatur Cina sejak masa yang tak lagi diingat. Kelompok administratur sekolahan ini merupakan pusat yang sangat diperlukan dari roda administrasi. Mereka terdidik karena mereka memperoleh posisinya melalui partisipasi dalam ujian-ujian yang berhasil dan mencapai derajat akademik. Mereka kaum gentry (golongan kelas baik-baik) karena – seperti golongan sejenis di Inggris – mereka merupakan suatu kelas sekitar satu juta orang yang dilengkapi kepemilikan kantor-kantor politik formal dan banyak yang merupakan pemilik kekuasaan sosial informal atas tanah. Negara Cina perlu mengisi sekitar 40.000 posisi perkantoran, dari poros pusat negara sampai tingkat hakim distrik, dalam sekali. Penghuni 40.000 posisi ini diambil dari sekelompok 125.000 orang yang sungguh-sungguh tersedia atau yang masih calon pegawai kantoran. Namun jelas bahwa suatu negeri yang sangat besar seperti Cina tak dapat diperintah dengan jumlah pegawai yang sangat kecil: seorang hakim distrik melayani rata-rata sejumlah 200.000 orang. Di antara masa petani dan pegawai kantoran formal ada kelompok gentry terdidik, pemilik kantor tak formal tapi diberkahi dengan kekuasaan sosial yang besar. Mereka mengorganisir dan melayani pekerjaan umum yang diperlukan untuk memelihara dan memperbaiki sistem-sistem irigasi dan kontrol banjir yang diperlukan untuk menopang pertanian dan transportasi. Mereka memelihara kanal-kanal dan jalan-jalan. Mereka melayani penyimpanan kelebihan beras dan distribusinya di waktu yang diperlukan. Mereka menengahi perselisihan lokal. Mereka memiliki suatu bagian terkemuka dalam pengorbanan keagamaan lokal dan, melalui kontribusi mereka, memelihara kuil-kuil dan sekolah-sekolah Konfusian lokal. Sebaliknya, mereka menerima privilege khusus. Mereka dapat dibebaskan dari tobang; mereka dapat mengenakan akaian khusus; mereka diberi hak untuk pergi disertai oleh para pembantu ketika mereka muncul di depan umum; mereka memiliki hak istimewa yang khusus jika mereka muncul di pengadilan. Untuk pelayanan mereka, lebih lanjut, mereka dapat menerima kompensasi dari negara. Mereka mungkin tak memiliki salah satu dari 40.000 kantor; tetapi mereka akan menerima dana negara dalam semacam dasar subkontrak informal. Dana negara, sebaliknya,masuk ke dalam pembayaran tanah, yang disewakan pada paea petani. Sebagai tambahan dana negara dan penyewaan pertanian, kelompok gentry ini juga menarik pemasukannya dari perdagangan dan bisnis. Di atas semuanya, strata orang berstatus tinggi ini berjumlah, ada awal abad kesembilan belas, sekitar satu juta individu; pada akhir abad mereka berjumlah 1,5 juta. Bersama-sama dengan keluarganya, mereka barangkali terdiri dari 7,5 juta atau 2 persen dari penduduk negeri (Michael, 194, 60).
Meskipun kepentingan gentry terdidik ini secara tegas dihubungkan pada keberadaan negara, dan negara bersandar padanya untuk menyediakan anggota-anggota suatu birokrasi yang dapat dipercaya, pertarungan kekuasaan dan posisi di antara beberapa segmen gentry dapat memancing pertikaian atau ketidakpuasan individu atau wilayah setempat dari kekuasaan yang ada. Anggota-anggota gentry yang lebih rendah tentu dalam suatu keadaan yang dirugikan dalam perebutan kantor-kantor dan keuntungan jabatan. Banyak di antara mereka tak pernah memperoleh akses ke dana negara yang dapat dipergunakan untuk menambah penghasilan mereka. Yang lainnya tak pernah menerima kemewahan khusus dan privilege legal. Beberapa bagian gentry terdidik ini melayani dinasti sebelumnya dan juga tak akan atau tak dapat melayani tuan-tuan baru mereka.Pertambahan populasi juga secara cepat memunculkan sejumlah calon, diambil dari keluarga-keluarga golongan gentry yang tumbuh cepat, sementara jumlah perkantoran tetap tak berubah. Akhirnya, di akhir abad kedelapan belas, negara ternyata secara bertambah mau menjual gelar sekolahan pada orang-orang yang ingin membuat suatu kontribusi pada peti simpanan negara; suatu gentry terdidik yang berbudi tinggi yang telah memperoleh gelarnya melalui keberhasilan ujian yang bisa mendapatkan diri sendiri melesat sebagai orang kaya baru. Dengan demikian di sana ada, di bawah banyak dinasti, suatu populasi yang sangat besar gentry terdidik yang secara potensial bermusuhan pada suatu pemerintah yang menolak menjaminkan mereka dan akan, di bawah keadaan yang terjadi, mendukung suatu reaksi lokal atau regional melawan kekuasan pusat. Dalam suatu usaha yang demikian mereka mungkin digabung oleh tuan tanah lokal ke dalam kekuasaan pemilik lain yang tak termasuk gentry terdidik ini, tetapi yang memiliki kekuasaan ekonomi dan sosial di desa. Hal ini dengan baik mungkin menjadi bahwa, pada suatu waktu, lebih dari setengah dari seluruh kelompok gentry ini tak dihargai oleh negara dan merupakan suatu potensi kuat untuk ketidakpuasan dan kegelisahan. Pada saat yang sama, potensi ketidakpuasan demikian selalu lebih memperhatikan distribusi tanah di dalam sistem negara, daripada ke arah usaha merestrukturisasi negara yang demikian. Hanya ketika keadaan orang Cina menjadi lemah secara serius oleh gangguan luar negeri di sebagian abad kesembilan belas ketidaksepakatan mulai disebut dalam pertanyaan yang sangat alami mengenai negara dan masyarakat Cina.
Seluruh jalan hidupnya, harapan dan sikapnya, ideologinya menempatkan gentry dari sisa populasi yang lain, banyak merupakan kaum petani. Para petani Cina, bagaimanapun, dibedakan secara signifikan dari para petani lain di dunia. Pertama, aksesnya pada tanah diatur secara luas melalui konsep-konsep hak pribadi atas kekayaan tanah yang dinyatakan dalam ungkapan moneter. Kedua, ia secara potensial bergerak: memperoleh akses pada latihan menulis yang tepat, ia atau anak laki-lakinya dapat terangkat ke dalam strata gentry terdidik melalui sistem ujian. Ketiga, gentry dan petani secara terus-menerus terhubunga melalui persaudaraan yang disebut klan atau tsu.
Sejak zaman Sung (1114-1234) kepemilikan pribadi atas tanah telah menjadi bentuk dominan dalam masa tersebut di Cina. Negara, pada satu waktu atau lainnya, menyediakan untuk kegunaannya sendiri tanah-tanah kerajaan untuk menopang istana, tanah-tanah kaya untuk mendukung aristokrasi militer, tanah-tanah untuk tujuan kolonisasi militer, tanah untuk mendukung kuil-kuil yang melayani persembahan negara, dan tanah-tanah di tangan pemerintah provinsi dan distrik. Pada awal abad kedelapan belas, tanah kerajaan dan pemerintah terhitung 27 persen dari jumlah keseluruhan, tanah kuil sampai 14 persen, tanah kolonisasi militer 9 persen, sementara sisanya di tangan pemilik-pemilik ribadi, baik individu atau korporasi klan (Institute of Pacific Relations, 1939, 2). Selama tahap akhir pmerintahan Manchu, bagaimanapun, sektor pribadi tumbuh lebih besar sampai terdiri sekitar 93 persen keseluruhan tanah (Buck, 1937, 193). Hak-hak atas tanah pribadi bisa dijual atau dibeli; hak-hak untuk tanah bagian bawah dan permukaan tanah dapat dipindahkan secara sendiri-sendiri. Hasilnya menjadikan banyak petani Cina memiliki akses ada tanah melalui warisan atau melalui suatu gadai dan sewa yang kompleks. Para tuan tanah dan pengelola dihubungkan, tidak melalui serangkaian privilege dan ketidakmampuan turun-temurun, tetapi sebagai “pesta-pesta untuk suatu kontrak bisnis” (Tawney, 1932, 63). Akhirnya, seorang petani dapat, ditopang keuntungan finansial dan keadaan birokratik, memasukkan anak-anak laki-lakinya ke dalam ujian-ujian kerajaan dan melihat mereka masuk ke tingkat gentry terdidik.
Ketika seorang petani naik ke dalam gentry, bagaimanapun, ia telah meninggalkan di belakangnya cara-cara petani dan mengambil gaya kehidupan kelompok berstatus lebih tinggi. Di mana petani buta huruf dan bicara dalam dialek lokal atau regional, gentry melek huruf, dihargai atau latihannya dalam kaligrafi dan gara klasik (wen-hua) pengungkapan sastranya. Di mana petani melihat nasi dan daging dengan jarang, dan menjalani kehidupan dalam gaya diet jagung manis di selatan serta padi kasar di uatara, gentry makan nasi, ikan dan unggas, sering dilayani menurut cara-cara makanan yang berpangalaman. Kaum gentry mengenakan pakaian rumit, petani mengenakan suatu jaket berlapis dan pantalon sederhana, seni grafis gentry yang khas diilhami kemampuan kaligrafinya dengan semua pengekangan formal mereka; seni perani, di sisi lain, “lebih memperhatikan orang-orang dan simbol-simbol, mendekati supernaturan secara langsung dan tanpa kesadaran, serta menitikberatkan warna kasar dan tak teratur” (Fried, 1952, 33). Dalam upacara leluhur, kaum petani terutama memperhatikan pemujaan leluhur yang dekat dalam generasi ayah atau kakek; dewa-dewa petani yang penting terdiri dari dewa-dewa yang mengontrol panen, air, kesehatan dan penyakit. Gentry menjunjung tinggi norma-norma Konfusian mengenai anak dalam mengadakan dan memberikan perhatian khusus untuk menguraikan pemujaan leluhur, berhubungan dengan keturunan yang masih hidup serta cabang-cabang klan. Keluarga gentry luas dan panjang, dengan banyak keturunan dan keluarga mereka tinggal di bawah atap yang sama; keluarga petani kecil dan jarang, termasuk lebih dari satu anggota hidup generasi orang tua. Perkawinan, untuk gentry, merupakan suatu mekanisme utama untuk mobilisasi sosial: perkawinan diatur secara hati-hati di antara keluarga; para peremuan merupakan subjek untuk memutuskan wali laki-laki mereka; status tinggi diperlihatkan oleh para wanita yang menundukkan kecacatan khusus, seperti mengikat kaki, yang membatasi gerakan mereka diluar rumah. Perkawinan petani untuk memperoleh pekerja yang kuat dan berkeinginan. Perkawinan ulang petani mudah; gentry menghormati kesucian janda. Gentry terdidik memandang rendah pada pengejaran status militer sebagai inferior bagi aktivitas mereka sendiri sebagai orang yang bisa menulis. Kaum petani menyembah banyak dewa dengan gelar militer dan tampak senang pada orang-orang keras, dengan pengetahuan bahwa aktivitas militer eringkali merupakan kunci keberhasilan. Kenyataannya bahwa petani Cina, jauh dari keberadaan anak pasifik Timur yang biasanya digambarkan, memiliki suatu ketertarikan pada pahlawan-pahlawan militer, khususnya yang berasal dari strata sosialnya sendiri. Pusat perhatian petani adalah bandit sosial yang mengambil dari orang kaya untuk diberikan pada orang miskin. Kecenderungan ini telah menemukan ekspresi sastranya dalam sebuah novel populer yang secara luas dikenal di seluruh Cina, Shui Hu Chuan, atau Tepi Air, yang diterjemahkan Pearl S. Buck ke dalam bahasa Inggris di bawah judul All Men Are Brothers dan yang berisi 108 pahlawan buronan hukum yang dipegang oleh pejabat-pejabat tak adil. Peristiwa perbanditan dan kekerasan petani secara erat dihubungkan ke dalam keadaan masyarakat secara menyeluruh. Mereka biasanya terjadi selama masa perpecahan ketika suatu dinasti kuat melemah dan tak mampu mengatur urusan negara, dan rakyat mencari jalan keluar alternatif pada kerusuhan umum. Selama periode disintegrasi demikian, seorang bandit yang berhasil mengkonsolidasi kekuatannya mungkin menjadi seorang pesaing bagi kekuasaan dinasti, kadang-kadang bahkan mendirikan suatu dinasti baru. Raja Han pertama dan pendiri dinasti Han yang besar (202 SM-221 M) sendiri merupakan seorang bandit demikian yang menjadi, dalam suatu peristiwa, kaisar Cina dan memperoleh Amanat Surga.
Sementara gentry dan petani secara kultur berbeda, namun mereka berbagi suatu bentuk organisasi sosial, kelompok persaudaraan korporat atau tsu, terdiri dari anggota-anggota kedua kelas dalam satu unit sosial. Unit-unit persaudaraan ini biasanya disebut klan dalam sastra. Anggota-anggota klan ini dihubungnkan satu sama lain oleh garis keturunan ayah dari seorang nenek moyang umum; wanita-wanita yang menikah menjadi anggota klan suami mereka. Di mana suatu klan atau suatu bagian klan menjadi makmur, ia akan merayakan garis keturunan dan keanggotaan umumnya dengan mendirikan sebuah kuil klan, di mana silsilah klan disiman dan tablet-tablet nenek moyang dijaga. Di mana sebuah klan menjadi besar, ia mungkin dipecah dalam bagian-bagian, masing-masing dengan kuil dan perlengkapan keagamaannya sendiri. Bagaimanapun, ritual-ritual klan yang diperlukan hanya dapat diadakan oleh seorang anggota gentry terdidik, dan kuil-kuil demikian seringkali berlokasi di kota-kota di mana gentry yang lebih tinggi menempati tempat tinggalnya. Banyak desa, didiami oleh bagian-bagian yang lebih miskin dari klan demikian, kekurangan kuil-kuil klan mereka sendiri. Klan-klan dapat juga sangat besar dalam ukuran. Beberapa mungkin terdiri hanya empat keluarga, yang lain lebih dari seribu; kebanyakan terdiri dari dari empat puluh dan tujuh puluh keluarga. Klan-klan di Cina selatan lebih besar dan lebih penting dari wilayah utara, dan memenuhi fungsi-fungsi ekonomi penting, untuk melayani tujuan seremonial dan sosial; mereka sering memiliki tanah dan kekayaan lain serta satu desa keseluruhan mungkin masuk dalam satu klan. Di utara, sebuah desa mungkin berisi beberapa klan yang lebih kecil, dan fungsi mereka terutama lebih sosial dan seremonial daripada ke arah ekonomi. Kita akan segera melihat beberapa alasan keragaman ini.
Semua anggota klanmenganggap dirinya sendiri terhubung sebagai keturunan dari seorang nenek moyang umum, tetapi tak semua anggota memiliki suara yang sama dalam urusan-urusan klan. Biasanya aktivitas-aktivitas klan dikemudian oleh anggota-anggota dengan kekayaan terbesar, berpendidikan, berpengaruh, dan berstatus. Sementara kelompok ini mungkin termasuk para petani kaya, tugas-tugas membuat keputusan untuk kepentingan klan biasanya di tangan gentry. Hal ini khususnya relevan di mana klan memiliki tanah. Tanah tidak dikelola secara kolektif, tetapi diserahkan pada penyewa individual. Sementara orang asing – bukan anggota suatu klan – mungkin dianggap sebagai penyewa, anggota-anggota memiliki suatu klaim terlebih dahulu untuk alokasi tanah, suatu privilege penting di wilayah-wilayah di mana suatu populasi yang padat bersaing untuk sejumlah tanah yang ada. Anggota dan non anggota, bagaimanapun, membayar jumlah yang sama yang diterima penyewa. Pemasukan dari penyewaan tanah digunakan untuk membiayai ongkos pemeliharaan kuil-kuil klan dan pekuburan, menanggung pesta makan tahunan klan, menyediakan biaya sekolah untuk anak-anak klan yang berbakat, atau untuk pertahanan melawan para bandit. Adakalanya, uang yang masuk dibagikan di antara seluruh anggota klan; lebih sering, bagaimanapun, diinvestasikan kembali dalam tanah atau bisnis lain yang dijalankan oleh eksekutif-eksekutif klan. Klan juga bertindak sebagai suatu organisasi dalam mempertahankan anggota, sebuah instrumen dalam mendukung klaim melawan klan-klan saingan atau pejabat-pejabat pemerintah. Kepentingan anggota-anggota klan dengan demikian dapat berbeda secara mencolok. Anggota-anggota gentry suatu klan terutama berkepentingan dalam mempergunakan struktur klan untuk membangun dan menambah kekuasaan mereka; mereka merupakan agen-agen utama dalam menegakkan institusi. Ini menjamin mereka suatu pelayanan efekti atas anggota lain kelas mereka dan dengan pemerintah. Anggota-anggota petani, di sisi lain, berkepentingan terutama memperoleh akses pada tanah yang jarang dan kemampuan mereka untuk meminta solidaritas klan ketika mereka memerlukan solidaritas dan pengaruh. Pertemuan kepentingan ini mungkin membawa gentry dan petani bersama-sama dalam melawan pemerasan pemerintahan pusat atau kompetisi dari klan-klan saingan. Di waktu lain, bagaimanapun, eksekutif gentry akan memperlakukan anggota-anggota petani klan secarasederhana seperti para tuan tanah selalu memperlakukan para penyewa mereka. Sering, lebih lanjut, aturan-aturan klan berisi ketetapan-ketetapan yang membolehkan eksekutif klan untuk mengeluarkan anggota-anggota yang dipertimbangkan tak diinginkan. Aturan ini akan menetapkan bahwa kesinambungan keanggotaan klan membutuhkan kontribusi finansial tertentu atau kepemilikan pakaian seremonial tertentu. Mereka juga dapat menuntut pengusiran anggota yang memberikan anak-anaknya untuk diadopsi atau menjual anak perempuannya ke dalam kerja prostitusi. Ketentuan demikian, dengan asal-usulnya, sangat diskriminatif melawan anggota-anggota klan yang lebih miskin yang kekurangan kebutuhan alat untuk menjalankan pengeluaran seremonial atau dipaksa untuk mendorong pembatasan jumlah keluarga mereka di waktu yang dibutuhkan.
Kita telah mengatakan bahwa klan merupakan suatu institusi yang lebih penting di selatan Cina daripada di utara Cina. Ini disokong, sebagian, oleh alasan-alasan sejarah: orang-orang cina menempati wilayah selatan pada periode waktu yang lama: ini dimungkinkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh kelompok-kelompok klan yang mendirikan desa-desa klan mereka sendiri. Di sini, juga, Sung wilayah selatan mendukung suatu kebangkitan kembali Konfusian melawan pengembara pastoral Ch’itan dan Jurchen, suatu usaha yang memasukkan dukungan negara bagi pengembangan sejumlah cabang-cabang klan besar. Kemudian, pertimbangan regional mulai berperan. Wilayah selatan sangat jauh dari kursi kekuasaan pusat di Peking yang terdapat di utara: karena itu dasar kekuasaan regional dan lokal kaum gentry, sebagaimana ditunjukkan oleh klan, cenderung lebih kuat di sini daripada di utara. Akhirnya, harus diingat bahwa kontak komersial dan masuknya pihak asing dimulai di selatan dan bahwa terbukanya kesempatan untuk migrasi luar negeri membawa ratusan dari ribuan orang Cina mencari masa depan mereka di Asia Tenggara dan menyeberangi Pasifik. Kontak dengan perusahaan-perusahaan dan pemerintahan-pemerintahan asing merangsang perkembangan klan-klan menjadi organisasi-organisasi setengah bisnis, sementara pembayaran masif oleh Cina perantauan yang berharap diakui dan diperingati di tanah kelahiran mereka menyediakan suatu sumbangan besar kekayaan untuk dukungan seremonial dan pertunjukan klan. Sebagai penerima pemasukan modal ini, banyak klan menjadi, sebagaimana Chen Han-seng mengatakan, seperti keperluan umum dengan sejumlah pemegang saham tetapi dikontrol oleh sedikit orang yang menyediakan dan mengatur keuntungan (dikutip dari Lang, 1946, 177). Seperti penyewaan tanah menjadi suatu sumber yang penting bagi modal, dan modal terus secara bertambah ditanamkan dalam suatu pelebaran pasar nasional dan internasional, defisit diciptakan oleh pemerasan dari anggota klan yang lebih miskin yang mulai lebih banyak menguntungkan dihubungkan dengan ketaatan berkelanjutan pada klan. Dengan demikian tendensi atas konsolidasi tanah di tangan klan-klan juga menonjolkan konflik internal di dalam klan antara yang kaya dan yang miskin. Demikianlah, pada tahun 1924 sampai 1927, Kwangtung,
provinsi di mana sistem klan sangat lengkap, merupakan tempat pemberontakan petani paling keras dan tempat persatuan-persatuan petani terkuat, di mana penyatuan petani miskin dan menengak sebaik buruh-buruh perkebunan klan yang berbeda dalam pertempuran umum melawan saudara klan mereka dan musuh-musuh klan – tuan tanah kaya dan para pedagang (Lang, 1946, 178).
Masih sosok lain masyarakat Cina di mana petani dan gentry berpartisipasi adalah kelompok rahasia. Di pertengahan abad keempat belas masehi satu organisasi jenis ini, Lotus Putih, mengangkat bendera pemberontakan melawan dinasti Yüan yang didirikan oleh para penyerbu Mongol, Lotus Putih mengawinkan seruan nasionalisnya dengan harapan-harapan mesianis suatu Budha-Matreya baru, seorang juru selamat yang akan melayani dalam suatu pemerintahan baru yang adil. Lotus Putih, sebaliknya, mendorong kemunculan sejumlah kelompok lain yang serupa seperti Trigram Delapan, Nien, Pisau Besar, Petinju, Masyarakat Kepercayaan, dan Lembing Merah. Kelompok besar lainnya, Triad – terlibat dalam Pemberontakan Taiping pada pertengahan abad kesembilan belas di mana kita akan lebih banyak bicarakan di bawah ini – menelurkan organisasi serupa seperti Ko-lao-hui (Kelompok Tetua dan Leluhur), Pita Hijau, Pisau Kecil. Semua kelompok ini – dan banyak yang lainnya – menarik anggota mereka dari gentry yang tak puas, dari petani, khususnya dari petani yang dicabut hak tinggalnya serta petani marginal, dan dari para pengrajin, pedagang kecil, penyelundu, tentara yang didemobilisasi, serta para bandit. Diorganisasi secara internal sepanjang garis hirarki yang keras, diperlengkapi dengan kode-kode dan simbol-simbol rahasia yang dipelajari dalam prosedur-prosedur kompleks pada permulaan, kelompok ini jadi merupakan “pembangkang” sesungguhnya dari kekuasaan yang ada, dengan tatanan norma-norma dan sangsi-sangsi sosial mereka sendiri. Secara politik mereka mengarahkan usaha mereka melawan pemerintah pusat, terutama ketika pemerintahan di tangan penyerbu asing, sebagaimana terjadi pada dinasti Mongol (1280-1368) dan terjadi lagi dengan Manchu yang menggoyang dari tahun 1644 sampai 1712. Secara ideologis, mereka cenderung anti-Konfusian dan mempergunakan elemen-elemen Taois dan Budhis dalam simbol-simbol mereka. Beberapa kelompol, misalnya, menjalankan suatu kepercayaan pada seorang Ibu Tua atau Bapak-Ibu Tua Yang Tak Pernah Diciptakan, suatu supernatural penyatuan, menurut konsep Taois mengenai suatu Langit Terdahulu, dalam eksistensi sebelum dunia menjadi terbagi ke dalam elemen-elemen berlawanan yin dan yang. Orientasi Taois menganut bahwa suatu masa keemasan di masa lalu memberi jalan kekacauan di masa sekarang.
Orientasi Budhis meramalkan kedatangan Budha-Budha mesianis. Apa yang kedua orientasi ini miliki dalam wilayah umum adalah pertemuan tendensi mereka untuk menganggap masa sekarang adalah suatu periode kerusuhan yang harus dilalui. Ini membawa kelompok rahasia ke dalam oposisi langsung dengan Konfusianisme yang disokong oleh negara yang berusaha menciptakan suatu tatanan hirarki dunia hubungan sosial yang patut, dibangun di sekeliling poros kesalehan anak. Banyak kelompok rahasia lebih lanjut merunjukkan tendensi-tendensi murtadz. Banyak dari mereka lebih kuat feminis-nya, berbeda dengan pemikiran Konfusian yang menegaskan dominasi laki-laki yang di atas wanita yin: kelompok rahasia cenderung setuju penyamaan status wanita. Mereka juga mempergunakan bahawa percakapan, pai-hua, sebagai perlawanan pada bentuk-bentuk bahasa klasik wen-yen kaum gentry Konfusian. Banyak dari mereka juga secara kuat, berpegang teguh pada tata susila; Lotus Putih, sebagai contoh, melarang penggunaan alkohol, tembakau, dan opium. Kontribusi khusus kelompok rahasia pada kehidupan politik di Cina, dikatakan Franz Michael,
adalah organisasi politik militan mereka. Mereka dibentuk seperti persaudaraan kaum tersiksa dan yang tak memiliki suara atau kekuasaan dalam struktur politik dan sosial yang ada. Mereka membentuk organisasi-organisasi politik bawah tanah, bersaing dan secara potensial bermusuhan terhadap organisasi negara yang ada. Anggota mereka bersumpah saling membantu dalam kesusahan, memberi perlindungan pada para anggota yang bersembunyi dari para pejabat, dan saling mendukung dalam konflik dengan orang asing sebaik dengan pemerintah. Loyal terhadap persaudaraan kelompok merupakan kewajiban pertama, tetapi di atas persaudaraan anggota yang sama ada suatu hirarki pejabat kelompok yang akan menjalankan otoritas dan disiplin mutlak. Kelompok-kelompok ini merupakan perangkat rahasia dari semua cara untuk mempertahankan diri mereka melawan tekanan negara dan pemimpin-pemimpin sosial yang memiliki privilege. Mereka berkibar khususnya di desa-desa pedalaman dan di antara petani tetapi seringkali termasuk di dalam keanggotaan mereka juga gentry terdidik kelas rendah (1966, 13).
Kelompok-kelompok ini “oleh karena itu memberi suatu model di belakang suatu organisasi pemberontakan yang akan disusun”. Dari sudut pandang ini, partai Komunis dari abad kedua puluh tidak melanggar perngharapan tradisional, tetapi tersambung rapi dengan suatu pola pendirian tuntutan ekonomi dan penyungkilan politik. Lebih jauh, beberapa pemimpin Komunis – seperti Chu Teh, Ho Lung, Liu Chih-tan –merupakan anggota kelompok rahasia demikian seperti Ko-lao dan mempergunakan koneksi-koneksi kelompok rahasia dalam memajukan kaum Komunis.
Statis dan dangkal, masyarakat Cina sungguh-sungguh tunduk untuk mengulang pemberontakan dan mengakhiri disintegrasi yang diselesaikan oleh lingkaran baru konsolidasi integrasi. Banyak dari pemberontakan yang terulang meliputi pemberontakan petani. Seolah ia menyesuaikan diri pada suatu rangkaian pola (Eberhard, 1965, 102-104). Selama tahap pertama suatu pemberontakan demikian, sejumlah petani, dipaksa keluar rumah dan tempat tinggal untuk sejumlah asalasan, akan mencari perlindungan di dalam hutan belantara. Menjadi bandit-bandit, mereka akan merampok para pejalan dan tuan tanah kaya. Biasanya mereka mengadakan kontak dengan desa tempat tinggal mereka dan menarik pasokan berkelanjutan dari sana, sementara pada saat yang sama melindungi penduduk desa melawan serbuan kelompok saingan.
Selama tahap kedua, kelompok ini akan memperpanjang radius kegiatannya, dengan demikian melanggar batas wilayah operasi kelompok-kelompok lain. Hasil konflik akan mengarah pada penghapusan unit-unit yang kurang terlihat, dan mendirikan dominasi kelompok yang lebih kuat dan terorganisir lebih baik. Ketika ini terjadi, para saingan tak akan lagi mengancam basis desa kelompok bandit; ini membebaskan kelompok untuk aktivitas yang lebih lanjut.
Selama tahap ketiga, kelompok ini mulai menghadapi perlawanan dari para tuan tanah yang dipaksa membayar tambahan upeti. Berusaha melawan, para tuan tanah memanggil pemerintah dari kota terdekat. Para bandit karena itu menyerang kota, mencoba memotong sumber bantuan kelompok tuan tanah. Jika pasukan pemerintah berhasil mengendalikan para penyerang, kelompok bandit melarikan diri ke daerah pedalaman, hanya untuk memecah di bawah pengaruh kekalahan. Kemudian lingkaran akan mulai diperbaharui. Bagaimanapun pasukan pemerintah dapat mencari alasan umum untuk menghadapi pemberontakan, sementara gentry lokal yang tidak puas akan mencari kerjasama dengan pemberontak dalam kepentingan terbaiknya sendiri melawan kekuasaan pusat negara. Sebagai sebuah hasil, kota dikelilingi tekanan bandit, memberi para bandit suatu poros urban untuk aktivitas-aktivitas lebih lanjut.
Selama tahap keempat, kelompok pemenang memperluas goncangannya atas kota-kota, dan bersiap mempertahankan barang rampasan mereka melawan pasukan pemerintah. Mencapai sukses selanjutnya, mereka memasuki aliansi-aliansi yang lebih erat dengan gentry terdidik daerah, karena ia memiliki monopoli birokrasi dan kemampuan sosial yang diperlukan untuk adminstrasi yang efisien. Para bandit pertama-tama mengambil bagi diri mereka sendiri norma-norma gentry; kemudian mereka mengambil gentry sebagai diri mereka sendiri. Dengan demikian pemimpin bandit pemenang menjadi seorang jenderal, seorang adipati, atau seorang kaisar. Menyandarkan diri pada gentry terdidik untuk dukungan berkelanjutan, ia menjadi, sebaliknya, sebuah pilar pemerintah yang kokoh.
Sebuah contoh yang baik mengenai seorang bandit yang lolos melalui lingkaran tahap keempat ini ialah pendiri dinasti Ming, Chu Yüan-chang. Cina saat itu di tangan suatu dinasti Mongol, Yüan. Di akhir pertengahan abad empat belas serangkaian bencana alam dan kegagalan politik menyebabkan kerusakan irigasi dan fasilitas transportasi; pajak naik dengan cepat, sementara cadangan makanan menjadi habis. Sederet kelompok dibentuk terutama di wilayah-wilayah Honan, Anhwei utara, Kiangsu utara; mereka terasosiasi dengan kelompok Lotus Putih, suatu organisasi rahasia yang mengumumkan bahwa “kekaisaran dalam pemberontakan, Budha-Matreya dilahirkan kembali, suatu pemerintahan pencerahan akan muncul.” Kelompok-kelompok ini memperbesar goyangan mereka melawan suatu pemerintahan yang tak menyatu, yang tak sanggup membawa semua kekuasaannya untuk bertahan pada titik yang menentukan. Salah satu dari rekruit bandit ini merupakan seorang anak yatim dari satu keluarga petani yang menghabiskan sebagian hidupnya sebagai seorang biarawan pengemis. Ia membawa sebuah kelomok pendukung daridesa tempat tinggalnya; banyak dari mereka sanak famili atau anak adopsi (i-erh). Secara perlahan-lahan ia menyisihkan kompetisi kelompok saingan: satu sumber kekuatannya terletak dalam kemampuannya untuk mengkombinasi suatu seruan kuat anti-asing, ditujukan melawan pemerintahan Mongol, dengan keluhan sosial dan motivasi-motivasi religius yang telah mengembangkan pemberontakan. Ketika ia menambah kekuasaannya melewati Anhwei dan Kiangsu, dengan Nankin sebagai pusat kekuasaannya, ia secara terus bertambah menggunakan para penulis yang diambil dari gentry terdidik wilayah. Pada tahun 1367, ia mengendalikan pewaris terakhir dinasti Mongol kembali ke padang rumput utara dan menjadi kaisar Cina. Keluarga-keluarga gentry yang mendukung dalam perjuangannya memperoleh posisi gentry sebelumnya yang melayani penyerbu asing. Personel elit pemerintah dengan demikian menjalani perubahan menyeluruh, sementara struktur sistem sebagian besar tetap sama.
Gerakan dengan demikian dimulai sebagai pemberontakan petani yang seringkali datang, jika berhasil, dimaksudkan untuk suatu konsentrasi kekuasaan yang diperbaharui atas kemudi negara, mengijinkan masyarakat Cina untuk menyatu kembali dan mengkonsolidasi diri sendiri. Pemerintah baru akan menyokong gentry yang merupakan pengikutnya dengan mengakatnya ke posisi-posisi pejabat, sementara itu mencabut gentry oposisi dari jabatan dan kepemilikan tanah. Seringkali suatu periode penggulingan demikian disertai oleh distibusi tanah yang luas diambil dari musuh-musuh rejim – distibursi mengumpulkan kemenangan dukungan segmen luas para petani dan gentry lokal untuk pemerintah baru. Dengan sntralisasi baru birokrasi pemerintah dan efisiensi yang lebih besar dalam perpajakan, juga menjadi mungkin untuk mengkonsolidasi dan memerluas sistem hidrolis besar di mana pertanian Cina menggantungkan diri untuk pasokannya, dngan demikian juga menambah kualitas produksi dan produktivitas tanah teririgasi. Namun ekspansi sistem cenderung menghasilkan kekuatan berlawanan. Pemilik kekuasaan lokal bertambah dan memperbesar kekuasaan mereka: pajak yang membiayai pemerinthan pusat dialihkan sekali lagi ke dalam tangan-tangan perorangan; sistem hidrolis menderita dan jatuh ke dalam keruntuhan yang terus bertambah, pemilikan tanah menjadi semakin memusat. Pemerasan semakin berat pada petani lokal. Gentry yang tak puas dan tak lagi dipercaya menjadi lebih vokal dalam ketidakpuasan mereka. Pemberontakan sporadis akan menjadi endemis sampai sebuah pemberontak utama menghasilkan seorang pemimpin baru yang akan muncul di atas dukungan petani untuk memimpin suatu pengembalian pemerintahan dan sentralisasi. Dalam sejarah Cina sejumlah dinasti muncul dan jatuh, di mana kemunculan dan kejatuhan mereka didorong oleh penyebab internal. Pada abad kesembilan belas, bagaimanapun, ada dutambahkan penyebab internal ini dengan tekanan berat pengaruh luar negeri yang secara serempak melemahkan kemampuan dinasti terakhir untuk melawan disintegrasi dan membuatnya lebih sulit bagi negara untuk berhasil mengembalikan kekuasaan sosial dan kepaduan pernyataan-pernyataannya sendiri.
Para pedagang Eropa dan para misionaris – Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris – telah lama ke Timur berdagang mencari sutera, rempah-rempah, teh, dan porselin, serta telah mencoba memperkenalkan beberapa varian agama Kristen mereka. Namun, sebelum kemunculan abad kesembilan belas, mereka telah menerima struktur politik dan agama Kekaisaran Cina, dan bahkan memandang budaya Cina dalam suatu rasa kekaguman dan harapan. Setelah pergantian abad, bagaimanapun, perdagangan Inggris berkeentingan untuk mulai menggunakan desakan yang lebih besar pada pemerintah Cina untuk melepaskan monopolinya atas perdagangan dan mengijinkan impor opium serta tekstil secara bebas. Demikianlah yang disebut Perang Candu (1839-1842) pecah di mana Cina melawan impor luar negeri. Perjanjian yang berhasil menurunkan rintangan pengenalan opium dalam skala yang luas, mengurangi tarif impor barang-barang, dan membuka sejumlah perjanjian pelabuhan-pelabuhan untuk orang asing. Ini juga mendesak pemerintah untuk membayar kerugian pada Inggris karena peperangan, yang pertama dari serangkaian pembayaran demikian akhirnya menjatuhkan kekayaan Cina. Suatu konsekuensi terdekat pembukaan Cina pada perdagangan asing adalah aliran yang sangat deras dari perak Cina yang dibutuhkan untuk membayar impor. Sebagai suatu hasil pengeluaran perak, keseimbangan internal perak atas tembaga – mata uang yang dipergunakan untuk transaksi lokal – berubah dari 1:2 menjadi 1:3. Ini merugikan petani yang pembayaran pajak dan sewanya dilakukan dengan perak, tetapi hanya menerima tembaga untuk produk mereka yang laku.
Pembukaan perjanjian pelabuhan membuat Cina sebagai sebuah satelit dunia industri. Apakah perkembangan industri mengambil tempat setelahnya merupakan pemusatan yang luad di dalam atau di sekitar perjanjian pelabuhan, disokong oleh investasi asing dan dilindungi orang tentara asing. Perjanjian pelabuhan menjadi benteng yang sebenarnya dari kepentingan asing di dalam Cina. Tidak hanya apakah orang-orang asing subjek atas hukum mereka sendiri, dan karena itu bebas dari pelarangan hukum Cina, tetapi orang Cina yang memiliki perjanjian legal dengan orang asing diadili di bawah undang-undang asing juga. Kekalahan dan akibat gangguan orang-orang asing melukai prestis dinasti Manchu dan kapasitasnya untuk mempertahankan genggaman di dalam negeri. Ketika ia dilemahkan secara internal, ia juga didorong untuk menyandarkan diri lebih jauh pada kekuasaan luar yang sekarang memiliki suatu kepentingan menentukan dalam menggalang pertahanan internalnya sebagai suatu instrumen yang dapat diandalkan untuk bekerja di pedalaman. Mereka mencari suatu pemerintah “yang cukup lemah untuk menerima perintah dan kontrol dari luar negeri, tetapi cukup kuat menerima perintah dan menjalankan kontrol secara domestik” (Lattimore dan Lattimore, 1944, 104).
Pada saat yang sama, sikap misionaris pada orang-orang Cina mulai berubah juga, khususnya dengan kemunculan misionaris Inggris non-kompromi pertama di Cina, Robert Morrison. Di mana utusan Kristen awal melihat orang Cina dengan suatu rasa kekeluargaan dan kekaguman, ada satu tendensi sekarang melihat mereka sebagai kafir yang akan menghentikan suatu budaya kurang sempurna dan inferior alam menyokong suatu konstruksi pola Barat Protestan. Perjanjian-perjanjian yang melegalkan impor opium juga memberi hak bebas bagi misionaris Eropa untuk melaksanakan pengajarannya. Dalam kata-kata ahlis sejarah Inggris Joshua Rowntree (905, 242), opium dan Gospel “datang bersama, menyebar bersama, berperang bersama, dan akhirnya dilegalisasi bersama-sama”. Kadang-kadang dikatakan bahwa agama Kristen memiliki pengaruh kecil dalam masyarakat Cina karena norma-normanya ternyata bertentangan dengan pola keluarga Cinda dan bentuk-bentuk perayaan leluhurnya. Namun ia memiliki pengaruh jangka pendek dan jangka panjang. Pengaruh jangka pendek jelas dalam sinkretisme agama dalam Pemberontakan Taiping, di mana akan kita bicarakan lebih lanjut kemudian. Pemimpin Taiping menganggap dirinya sendiri sebagai seorang adik Yesus Kristus dan mempergunakan injil sebagai sebuah kitab suci. Gerakan ini cukup Kristen menyebabkan gereja-gereja mengirim para investigator untuk mengetahui apakah pendapat ini cukup serupa dengan Kristen ortodoks untuk disetujui memperoleh bantuan Barat. Laporan investigasi adalah negatif – ada desakan untuk berspekulasi apa yang terjadi jika para misionaris terlibat telah menjadi kurang fundamental atau apakah ini merupakan keputusan gereja secara umum. Memang pada tahun 1937 ada sekitar tiga juta Cina Katolik, direktur terutama dari kelas bawah, dan setengah juta beralih ke Protestan, terutama yang berasal-usul kelas menengah dan atas. Namun benar bahwa pengaruh usaha Kristen kurang mengubah daripada transformasi gagasan-gagasan dan teknik-teknik Barat. Robert Elegant mengatakan mengenai hal ini (1963, 86):
Pendirian misi Kristen yang luas di Cina merupakan satu usaha yang sangat berhasil di mana satu budaya mempengaruhi budaya lainnya. Jika beberapa misionaris menghasilkan beberapa orang Kristen, mereka memberi harapan banyak orang skeptis; jika mereka tidak menegakkan moralitas Kristen, menimbulkan ketidakpuasan; jika mereka tidak mengubah pikiran orang berkontemplasi mengenai kekekalan atau membangunkan hasrat pencerahan spiritual, mereka menciptakan pengetahuan tentang keuntungan material yang dinikmati bangsa-bangsa Kristen.
Struktur masyarakat Cina terus diperlemah oleh serangkaian perang yang dibawa oleh kekuatan besar: perang Anglo-Prancis melawan Cina pada tahun 1860-1861; aneksasi daerah yang sekarang disebut Vietnam oleh Prancis; perang Jepang melawan Cina tahun 1894-1895; dan perang Rusia-Jepang tahun 1904-1905 yang berperang di atas bumi Cina. Tetapi juga ada dua pemberontakan internal utama – di antara sejumlah pemberontakan yang lebih kecil – yang merusak dan mengkoyak struktur dari dalam: Pemberontakan Taiping (1850-1865) dan Pemberontakan Nien (1852-1868). Pemberontakan-pemberontakan ini penting tak hanya di dalam konteks sejarah mereka, tetapi karena mereka ternyata menjadi pengulangan-pengulangan peristiwa yang lebih besar, revolusi Komunis berbasis petani di abad kedua puluh. Mereka memperlihatkan beberapa tema organisasional dan ideologikal yang datang pada diri mereka satu abad kemudian. Bagaimanapun, banyak pemimpin Komunis muncul di waktu ketika kenangan atas gerakan-gerakan ini masih hijau. Chu Teh, misalnya, di masa mudanya mendengar cerita mengenai Taiping dari seorang penenun pengembara yang ambil bagian dalam gerakan (Smedley, 1956, 22-29).
Pemberontakan Taiping dimulai di selatan, di provinsi Kwangtung dan Kwangsi, suatu unit alami yang ditandai dari Cina yang lain oleh sebuah rantai pegunungan dan menghadap ke arah kota pelabuhan Canton. Di Canton lah para pedagang asing menjejakkan kaki pertama kali di bumi Cina, dan melalui Canton lah para pengaruh asing mendorong tujuannya mendesak masuk setelah pembukaan Cina bagi pedagang asing. Wilayah ini secara etnik dan pekerjaan sangat heterogen. Ditinggali -–terpisah dari Cina – sejumlah kelompok minoritas Cina dan afiliasi non-Cina. Minoritas terbesar adalah Hakka yang dipandang rendah, bangsa Cina yang datang belakangan ke wilayah itu dibedakan dengan Cina Han yang telah ada sejak lama. Adat istiadat dan dialek mereka berbeda dari Han sampai hari ini, ketika jumlah mereka sekitar dua puluh juta. Mereka juga terdiri dari tiga wilayah suku – Miao, Yao dan Lolo – yang pernah banyak menempati bagian Cina bagian utara dan didorong kembali ke tanah marginal serta pegunungan oleh orang-orang Cina yang kemudian. Mereka juga mendirikan kelompok-kelompok pekerjaan dengan karakteristik khusus dan organisasi profesional di bawah para pemimpin mereka sendiri, yang melayani keluhan-keluhan umum. Di antara mereka ada manusia perahu yang melayani pelayaran kanal, merugi karena transportasi asing di sepanjang pantai; para bajak yang memiliki aktivitas menguntungkan di lautan dalam telah dikurangi oleh angkatan laut asing; penyelundup garam yang sibuk mengelak monopoli garam pemerintah dengan menyadap wilayah produksi garam Kwangtung dan Kwangsi bagi mereka sendiri; para penambang; dan pembakar arang. Wilayah ini mempersiapkan pasukan untuk tentara-tentara Taiping. Pemimpin Taiing, Hung Hsiu-ch’üan (1814-1864) merupakan seorang petani Hakka miskin Kwangtung. Keluarganya telah mengorbankan diri untuk membayar studinya yang membuatnya menjadi seorang guru sekolah, tetapi ia gagal pada ujian yang akan membawa dia memasuki birokrasi. Sebuah brosur misionaris Protestan membantunya sebagai katalis dalam merancang dirinya di atas sebuah karir alternatif sebagai pemimpin religius. Dalam pandangannya, ia kemudian melihat dirinya sebagai adil laki-laki Yesus Kristus dan karena itu menjadi anak Tuhan yang kedua, dipilih untuk menghancurkan iblis di bumi dalam rangka menciptakan sebuah Kerajaan Tuhan baru. Ia juga menerima dua bulan latihan dalam suatu misi Amerika di Canton di bawah perwalian fundamentalis Pendeta Issachar Roberts dari Sumner County, Tennesse. Injil memperoleh tempatnya di antara kitab-kitab suci agama baru. Gerakan menyebar dengan cepat meliputi delapan provinsi selatan Sungai Yangtze; distribusi geografinya ditandai serupa dengan wilayah di mana para Komunis pertama kali memantapkan diri mereka setalah Perang Dunia I (McColl, 1964; Laai Yi-faai, Franz Michael dan John Sherman, 1962). Sebelum akhirnya ia dilumpuhkan oleh pasukan pemerintah dengan kekalahan diperkirakan mencapai dua puluh juta orang, membentuk gerakan dalam tatanan yang menyeluruh yang terus berproses membentuk disintegrasi negara Cina dari dalam, sebagaimana pelanggaran negeri asing menyebabkan disintegrasi negara dari luar.
Pemberontakan Taiping berakhir dalam kekalahan, namun ia menciptakan suatu kesan kuat di benak rakyat Cina. Tujuan gerakan yang diumumkan memiliki suatu lingkaran modern yang kuat sampai seratus tahun setelah peristiwa berdarah pemberontakan. Mereka yang pertama, sejak pembukaan Cina oleh Barat, yang mengumumkan beberapa tema yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh para Komunis Cina. Ini seharusnya tidak mengejutkan, karena itu, para Komunis yang sekarang menulis Taiping nampak sebagai nenek moyang dan pelopor gerakan sekarang.
Apa yang dimaksud sosok “modern” Taiping ini? Pertama, mereka memimpikan suatu tatanan sosial yang berjalan dalam aturan gentry Cina. Para kaum Taiping, kata Franz Michael, “mencoba memerkenalkan suatu tatanan monis di mana negara akan menjadi seperti itu seluruhnya” (966, 7). Mengganti pembagian masyarakat tradisional ke dalam gentry terdidik, petani, dan militer, petani, prajurit, dan administrator. Setelah masyarakat diorganisir ke dalam sel-sel petani-prajurit yang terdiri dari dua puluh lima keluarga, kemudian mereka dikomandani seorang sersan. Setiap keluarga akan menerima tanah untuk bekerja tetapi bukan untuk dimiliki. Setiap hasil lebih di atas hitungan keperluan keluarga akan dibawa ke suatu lumbung umum yang diawasi oleh si sersan. Empat sel, atau seratus keluarga, dikomandani oleh seorang letnan; lima keletnanan atak berbentuk sebuah kekaptenan, lima kekaptenan merupakan satu kekolonelan, dan lima kolonel adalah satu kejenderalan. Setiap jabatan militer pada orang dan saat yang sama merupakan jabatan administrasi, hakim, dan pengendali keamanan. Seorang sersan, misalnya, tak hanya kepala sebuah unit militer terdiri dari dua puluh lima keluarga prajurit-petani dan administrator lumbung mereka; ia juga akan memimpin pada pelayanan akhir minggu dan seremoni sehari-hari. Setiap masalah yang tak dapat ia selesaikan akan disampaikan pada rantai komando untuk jawaban penyelesaian di tingkat yang lebih tinggi. Hasil yang baik akan dibalas dengan promosi, hasil yang buruk dibalas oleh demosi atau hukuman kapital. Lebih jauh, para Taiping mengarahkan serangan mereka tak hanya melawan gentry terdidik tetapi juga pada ideologi mereka, Konfusianisme, sebagai agama suatu kelas para musuh; di tempatnya mereka akan melembagakan visi mereka sendiri mengenai Kerajaan Langit sebagai agama seluruh Cina. Untuk monisme yang mengilhami visi mereka mengenai suatu masyarakat politik bari, mereka bersekutu dengan monisme ideologikal. “Hal ini membuat para Taiping tak hanya melawan pemerintah tetapi melawan pembela keberadaan tatanan sosial itu sendiri, gentry, dan semua yang percaya pada sistem Konfusian” (Michael, 1966, 7).
Ini sangat mirip bahwa Taiping tak menciptakan suatu masyarakat monis ideal dan kebijakan seluruh cita-cita, tetapi membawa dari sumber inspirasi lama untuk konsep-konsep mereka apa yang merupakan tatanan sosial yang disukai. Ini sepenuhnya disepakati (Shih, 1967, 253-268) bahwa mereka menggunakan Chou-li, suatu dokumen kuno yang diakui ditulis oleh Pangeran Chou, perdana menteri Wu Wang, yang menaklukan dinasti Shang pada abad kedua belas SM. Pangeran Chou menggambarkan suatu negara feodal yang terorganisir ketat di mana para baron akan bersetia pada para viscount, para viscount bersetia pada para earl, para earl bersetia pada para marquis, para marquis bersetia pada para pangeran, dan para pangeran bersetia pada Anak Langit. Lima kelas pengikut ini berhubungan dengan lima kelas pejabat yang diimpikan Taiping. Di dasar piramida ini adalah kaum petani, mengorganisir di sekitar unit-unit pertanian sebanyak sembilan perkebunan, salah satunya merupakan milik umum, sementara delapan sekelilingnya milik pribadi. Para petani mengerjakan kebun umum tersebut, sebaik di tanah mereka sendiri. Kemiripan rencana Taiping menggugah rasa ingin tahu. Meskipun begitu, harus diperhatikan bahwa Pangeran Chou juga mengakui bahwa lima macam kelas ini masing-masing akan dilayani oleh lima macam gentry: menteri, pejabat tinggi, orang terdidik tinggi, terdidik menengah, dan terdidik rendah. lebih jauh, semua posisi bersifat turun-temurun. Sebagai tambahan, akan tampak bahwa para petani tidak memikul senjata. Namun ini mungkin diduga bahwa ada suatu tradisi emikiran politik yang mengambil kebiasaannya dari prinsip-prinsip dasar, prinsip-prinsip yang dengan jelas berbeda dan berlawanan dengan konsep-konsep kemudian dari suatu masyarakat Oriental yang diatur oleh suatu gentry terdidik yang tidak turun-temurun. Tentunya benar bahwa dalam suatu tradisi sastra yang bersandar dengan berat pada naskah-naskah klasik, setiap orang berharap mencapai suatu titik intelektual yang harus memperkuatnya dengan naskah-naskah demikian. Juga mengangumkan sebagaimana ditulis bahwa Chou-li juga dibantu oleh Wang An-Shih (1021-1086 SM), pembentuk “Perjanjian Baru” dinasti Sing. Wang An-Shih seorang yang percaya pada sistem ladang delapan perkebunan pribadi dan satu perkebunan umum. Namun ketika ia menghadapi oposisi restorasinya, ia kurang memfokuskan diri pada reformasi agraria lebih daripada suatu pengembangan institusi lumbung umum yang akan disuplai dari kaum petani dan, sebaliknya, memberi pinjaman pasokan pada mereka di saat yang dibutuhkan. Pada saat yang sama, ia juga memprakarsai rencana-rencana militer yang membuat setiap petani secara berkesinambungan menjadi seorang prajurit. Dalam perlawanan pengunaan prajurit bayaran, ang An-Shih “akan mencoba melatih prajurit sipil demikian, secara perlahan-lahan menempatkan tentara kerajaan dengan mereka, dan mengembalikan cara lama suatu pasukan petani” (Miyazaki, 1963, 87). Ia lebih lanjut menyerang tradisi-tradisi sastra gentry, dan membela suatu sitem spesialisasi teknik, dan dengan demikian menyelrang justifikasi ideologikal gentru terdidik itu sendiri. Reformasi ini gagal, tetapi tak tampak berbeda bahwa konsep-konsep sistem perladangan, lumbung umum, petani-prajurit, dan hirarki kelas-kelas para pemimpin yang secara berkelanjutan mengisi fungsi-fungsi yang tetap hidup dalam tradisi ideologikal Cina secara lebih luas.
Taiping memiliki sejumlah sosok lain yang membuat mereka menjadi para elopor kaum revolusioner abad kedua puluh. Mereka mengakui persamaan wanita, termasuk akses pada tingkat-tingkat kepemimpinan: ada prajurit-prajurit wanita dalam pasukan Taiping. Ada dektrit melarang pengikatan kaki, prostitusi, dan penjualan kaum wanita. Perkawinan didasari pada acara bersama di antara pasangan, tidak atas arahan keuangan antara keluarga sebagaimana di masa lalu; ikatan jadi monogami. Semua ukuran ini diarahkan melawan gentry dengan aturan perkawinan sebagai tujuan mobilitas sosial, menggunakan ikatan kaki wanita sebagai sebuah tanda status sosial, penjualan gundik, pernyataan tegas dominasi laki-laki atas wanita. Taiping juga mendukung penggunaan bahasa populer sebagai perlawanan bentuk bahasa sastra. Mereka membela pengenalan suatu kalender bergaya Barat modern. Opium, tembakau, dan alkohol dilarang. Akhirnya, gerakan merupakan ikonoklastik yang teguh, tak hanya menghancurkan tablet-tablet leluhur – yang membentur kelanjutan garis keturunan dan klan-klan, salah satu mekanisme dominasi gentry – tetapi juga bermaksud mengeliminasi citra-citra Budhis, Taois dan Konfusian.
Banyak dari program hanya khayalan kosong dan tidak dilaksanakan dalam praksis; seorang penulis Komunis, Fei Min, mengatakan program Taiping sebagai suatu “sosialisme utopian” (dikutip dari Levenson, 1964, 181, catatan kaki 14). Namun ada beberapa kerguan jika hal itu gigambarkan sebagai “sosialisme”. Cita-cita Taiping tak banyak menguntungkan kaum petani dan hanya mengorganisirnya menurut suatu rencana sosial baru, di mana kakuatan politik akan dialokasikan secara berbeda, tetapi petani akan tetap menjadi penangging-beban masyarakt baru. Visi reformasi agraria yang dirancang, dalam kenyataannya, tak terealisasi; bahkan penambahan pajak di akhir waktu membalikkan petani melawan Taiping. Keadaan yang terbalik ini dengan cerdik dimanfaatkan oleh pasukan pemerintah untuk melawan mereka. Taiping di akhir waktu tak dapat mengikutkan kaum petani karena mereka telah gagal menggenggam loyalitas mereka (Michael, 1966, 195).
Pemberontakan utama yang kedua adalah Nien, yang muncul di wilayah pertumbuhan padi dan koaliang utara. Nien merupakan kelompok anti-Manchu yang teguh; pemimpin umum mereka menyatakan dirinya Pangeran Han Besar dengan Amanat Surga. Simbol-simbol dan seremonial mereka diambil dari kelompok Lotus Putih Budhis yang anti-Manchu. Para pemimpin menengah mereka diambil terutama dari pemilik gentry tingkat rendah dan dari klan mereka yang kuat. Kurang ideologikal daripada Taiping, bagaimanapun merela lebih mahir mengorganisir dukungan massa untuk usaha mereka. Pola mereka adalah dengan cara menjadi anggota seluruh komunitas dan mengorganisir mereka ke dalam kesatuan pertahanan sendiri di belakang dinding tanah besar yang dikelilingi oleh suatu zona tanah yang membakar untuk memfasilitasi serangan dan pertahanan. Mereka mengorganisir produksi dan membawa distribusi padi. Mereka secara luas mempergunakan kavaleri, memakai ribuan kuda. Pola organisasi mereka, bagaimanapun, memperlihatkan tiga kelemahan yang mencolok, secara cerdik dimanfaatkan pasukan pemerintah yang melawannya. Mereka secara utama berada di pedalaman, tak ingin dan tak dapat menguasai serta meramas kota-kota. Usaha-usaha mereka secara luas desentralisasi, setiap komunitas secara luas memperhatikan keuntungan segera dan pertahanan diri sendiri; dan akhirnya mereka mengasingkan petani bertanah sedikit dengan kebijakan tanah dibakar mereka. Pemimpin pemerintah yang cakap Tseng Kuo-Fan memandaatkan kelemahan ini dengan mengisolasi satu komunitas dengan komuntas lainnya, memotong pengendara kavaleri dari basis tempat tinggal mereka, dan menarik banyak petani yang dirugikan oleh kebijakan pertahanan Nien ke sisi pemerintah.
Dalam persprektif sejarah pemberontakan-pemberontakan abad kesembilan belas memiliki suatu pengaruh paradoksal dalam perkembangan Cina di abad kedua puluh. Pemberontakan mengalami kekalahan, tetapi hanya menghasilkan kemunculan pasukan-pasukan bersenjata regional yang luas di bawah para pemimpin regionalnya. Mereka, biasanya anggota puncak gentry dan pejabat terhormat negara, menemukan diri mereka dalam posisi memiliki kekuasaan independen yang semakin bertambah. Negara telah mendelegasikan pada mereka tugas menghancurkan para pemberontaj; namun dalam kenyataannya ini menggadaikan masa depan Cina pada para pejabat yang padaa saat yang sama merupakan pemilik kekuasaan regional. Lebih jauh, jumlah pejabat militer telah bertambah dengan mencolok sejak pemberontakan-pemberontakan. Beberapa dari orang kuat baru ini disiapkan menjadi pengusaha industrial pertama-tama di Cina. Mereka menyokong perkembangan industri untuk memperkuat kekuasaan mereka sendiri yang berlawanan dengan pemerintah pusat; mereka juga mencoba menciptakan industri yang adekuat dan instrumen komersial yang mampu melawan pengaruh pertumbuhan luar negeri. Namun sebagai anggota gentry terdidik tradisional mereka juga terus melihat instrumen-instrumen ini terutama sebagai cara memelihara esensi (t’i), Konfusian, Cina pertanian tradisional (Feuerwerker, 1958, 245). Mereka kekurangan pengalaman teknik dalam manajemen usaha modern, dan visi sosial yang akan membolehkan mereka mengerjakan tanah sebagai sebuah tambahan untuk industri dan perdagangan, lebih dari sekedar membuat industri dan perdagangan tunduk patuh pada tanah tradisional. Dengan demikian, bahkan sementara mereka bergerak ke arah keterlibatan dengan kapitalisme Barat, mereka juga tetap pertama sebagai gentry dan kedua sebagai pengusaha.
Sementara para pejabat besar ini tetap bertahan dalam dilema antara nilai-nilai Konfusian dan usaha mandiri modern, mereka segera dilewati oleh sekelompok besar pengusaha yang kurang tergantung pada tatanan lama dan lebih menjalankan cara baru menjalankan bisnis. Mereka ini adalah para pedagang perjanjian-pelabuhan atau compradores, sebagaimana mereka disebut di Portugis, agen-agen perusahaan bisnis asing di Cina. Menurut nilai-nilai Kondusian tradisional aktivitas komersial mereka dipandang rendah; para edagang memiliki status rendah dalam masyarakat Cina, yang memberi prioritas sosial pada petani dan kaum terdidik. Para pedagang,
mengalirkan hasil lebih di atas kebutuhan minimum untuk hidup dari petani. Pada saat yang sama, para pedagnag berlomba untuk hasil lebih itu dengan tuan-tuan gentry, dan dengan seluruh struktur birokratik perkantoran yang pada akhirnya didukung oleh pajak dan pemerasan berlipat yang biasa pada produk agrikultural keseluruhan. Mengikuti hal tersebut dalam ideologi dominan pedagang dilihat secara esensial sebagai parasit di atas dua kelas yang diakui posisi-posisi tertinggi dalam tatanan derajat tradisional gentry – prajurit, petani, pengrajin, pedangan (Feuerwerker, 1958, 50).
Masuk ke dalam dunia bisnis luar negeri memberi mereka suatu posisi dan penghargaan yang tidak mereka terima melalui kerajaan. Peran mereka dalam lingkaran industri-komersial baru, bagaimanapun, tetap sebagai tambahan; di dalam aktivitasnya mereka menghadapi tekanan persaingan yang berat dari bisnis asing dan pemerintah. Banyak dari mereka tetap lemah dalam keuangan dan terbuka pada pergantian perubahan dalam harga internal dan eksternal. Pada tahun 1918, dari 956 perusahaan Cina, 653, atau 69 persen, memiliki modal kurang dari lima puluh ribu yuan; hanya 33, atau 4 persen dari seluruh perusahaan, beroperasi dengan modal lebih dari sejuta yuan (Chesneaux, 1962, 30, catatan kaki 2). Atau kekayaan ini juga tidak mudah dirubah dari satu usaha bisnis ke usaha yang lainnya, sementara perusahaan Eropa mencampur operasi perbankan, invstasi industri, dan manajemen dalam simbiosis yang lancar. Sebuah perusahaan asing seperti Jardine & Matheson, terikat dengan bank di Hongkong dan Shanghai, secara berkesinambungan memiliki usaha dalam galangan kapal, transportasi umum, perusahaan asuransi dan pertambangan batu bara. Perusahaan-perusahaan Cina juga tergantung pada perusahaan asing terutama untuk bahan bakar dan tenaga yang diperlukan untuk menjalankan permesinan baru, setergantung pada impor mesin itu sendiri. Mereka dirintangi oleh pajal lokal yang tak terkira banyaknya dibayar melawan sirkulasi barang di dalam Cina, sementara ia tak dapat mempertahankan diri mereka melawan kompetisi barang-barang luar negeri yang dilindungi oleh suatu pembatasan yang dibebankan pada pihak asing atas tarif Cina sebesar 5 persen. Sebagai tambahan, banyak barang mereka berkeliling turun-naik Sungai Yangtze dan keluar negeri dalam pengangkutan asing. Sumber mereka sendiri tak cukup menanggung suatu dasar kekuasaan yang independen. Mereka tak memperhatikan cara-cara jahat luar negeri, tetapi mereka merupakan korban gerombolan yang mereka tandai dengannya. Aktivitas mereka mempengaruhi seluruh struktur kehidupan Cina, tetapi mereka sendiri bukan wasit ungkapan perubahan yang mereka bawa sendiri. Mereka mungkin menyebabkan tawar-menawar untuk kontrak-kontrak untuk peningkatan hasil, tetapi konsisi dasar keberadaannya membuat mereka tak lebih dari tambahan dari kekuasaan asing di tanah Cina. Mereka tak mampu membebaskan diri mereka dari rantai yang mengikat mereka pada pola-pola birokrasi masa lalu Cina, dan impoten untuk menegaskan kemandirian mereka dalam berhadapan dengan kekuatan di mana mereka berhutang budi pada status baru mereka.
Namun tatanan lama telah berhenti, dan mewarisi birokrasi Konfusian di dalamnya. Dilemahkan oleh pemerasan luar negeri dan oleh pemberontakan internal, terus-menerus pecah ke dalam blok-blok kekuasaan regional para pejabat dan prajurit yang mulai mengadakan hubungan dengan perusahaan dan kekuasaan asing yang berbeda atas diri mereka, Kekaisaran Cina jatuh pada 1911 membuat jalan untuk suatu kerusuhan dan pembagian republik. Para pemberontak nasionalis, memimpikan sebuah Cina yang kuat dan bersatu, mampu menegakkan pemerintahan di dalam negeri dan melawan tekanan asing yang mengikat pemerintah. Namun kejatuhan otoritas pusat meninggalkan jalan yang terbuka lebar untuk penerimaan kekuatan lokal dan regional oleh para panglima perang. Hal ini, dalam ungkapan Lattimore, “politikus dengan pasukan bersenjata sendiri.” Politikus-prajurit demikian dapat ditemukan di semua level, melatih kekuasaan mereka di kota-kota, wilayah, sebuah provinsi, atau beberapa provinsi. Mereka mengumpulkan pajak dan upeti, merampas barang dari lawan politik, dan dalam suatu posisi ideal mendukung penyelundupan, perjudian, atau produksi dan distribusi opium (untuk kasus sejarah, lihat Chow, 1966). Seringkali mereka bekerja bersama dengan gentry lokal, sekarang terbebaskan dari kontrol pusat, dan keduanya menemukan aliansi mereka untuk manfaat yang saling menguntungkan. Mereka juga masuk ke dalam koalisi dengan yang lainnya atau bertarung melawan satu sama lain, seringkali dalam merespok pengaruh kelompok bisnis asing atau domestik yang hadir menyokong konsolidasi, kadang menimbulkan konflik. Mereka merekrut pasukan bersenjatanya terutama dari kaum petani yang dimiskinkan, tak mampu memenangkan pertandingan. Mereka disewa sebagai prajurit upahan; untuk beberapa alasan seorang bocah petani yang berbakat mungkin menjadi seorang pejabat bergelar tinggi atau panglima perang itu sendiri. Proses-proses ini, tentu saja, berjalan dalam suatu lingkaran yang ganas; lebih besar dalam jumlah panglima-panglima perang dan prajurit upahan, lebih besar dalam kesempatan melanjutkan genggaman di seluruh negeri, lebih besar jugha dalam tendensi para petani dan anak-anak gentry untuk masuk ke suatu karir militer. Garis antara aktivitas militer yang diakui dan perbanditan yang sesungguhnya merupakan suatu hal yang sama, dan dengan mudah dihapus dalam proses.
Pada saat yang sama, dengan kelahiran abad kedua puluh, pertanian Cina memasuki suatu negeri ketidakseimbangan yang terbuka. Keahlian memberikan perbedaan penting untuk satu atau lain faktor, tapi tak meragukan bahwa beberapa kekuatan ini, nekerja bersama, memperbesar bobot beban petani Cina. Pertama, dan barangkali terutama, merupakan masalah masa lampau mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan suatu kelompok populasi yang terus bertambah pada tanah yang terbatas; populasi bertambah dari 430 sampai 600 juta antara tahun 1850 dan 1950. Tingkat pertambahan populasi ini akan membawa tekanan yang sungguh-sungguh bagi mereka. Selama beberapa dekade, pertanian Cina ternyata mampu memenuhi peningkatan jumlah penduduk ini; namun pada tahun 1900 tekanan demografik dalam sumber pangan mulai melebihi batas yang ditolerir. Tekanan ini diintensifkan lebih lanjut oleh pola masa lalu warisan Cina yang mendesak pembagian tanah yang rata antara ahli waris. Pertumbuhan populasi terus memadat di bidang-bidang tanah yang lebih kecil. Hal penting kedua adalah kemunduran dalam kontrol banjir dan manajemen air yang efektif, dan ketidakmampuan menjalankan ekspansi dan pembangunan pekerjaan baru. Ketidakmampuan mengatur pekerjaan ini di mana banyak pertanian Cina tergantung telah selalu menyertai keruntuhan dinasti; kekuasaan pusat menjadi semakin tak mampu menyusun orang dan barang yang dibutuhkan untuk memelihara tanggul dan kanal-kanal. Ketiga, ketika kekuasaan lokal runtuh, tuan-panglima perang lokal dan regional mulai menguasai pajak yang sebelum itu masuk ke peti simpanan kerajaan dan memeras retribusi baru dan tak diperkirakan untuk mengisi lemari harta mereka sendiri, serta untuk membiayai usaha-usaha mereka (lihat Gamble, 1963, 139-141). Lebih lanjut, retribusi diperas oleh perbuatan pasukan yang menagih di seluruh negeri atau oleh para bandit yang seringkali mengalahkan para prajurit militer yang gagal. Keempat, keruntuhan Manchu dan kemunculan republik mengakhiri institusi lumbung umum di mana kelebihan bahan makanan pokok dikumpulkan di bawah pemerintah untuk membantu di waktu yang diperlukan. Sisa-sisa persediaan yang ada dijual pada tahun 1912 untuk membiayai Revolusi dan tak pernah dikembalikan.
Kelima, hasil lebih yang dihasilkan oleh pola sewa-menyewa dan riba masa lalu terus dirubah ke dalam instrumen-instrumen ekspansi komersial. Untuk beberapa tingkat, semua faktor yang disebut terdahulu – tekanan populasi, kegagalan kontrol air, fragmentasi politik, penipisan cadangan makanan – telah terlihat sebelum bagian sejarah Cina yang ini. Abad kedua puluh, bagaimanapun, ternyata berbeda dalam memfasilitasi penyebaran kapitalisme wirausaha pribadi ke dalam wilayah pedalaman Cina dan dalam membangkitkan reaksi orang Cina secara spesifik untuk penyebaran ini.
Pernyataan ini tak mesti harus diinterpretasikan dengan maksud bahwa tidak ada satu tradisi wirausaha pribadi Cina sebelum kedatangan orang Eropa. Kita telah melihat bahwa Cina telah lama mengijinkan tanah dijual dan dibeli. Masyarakat Cina juga membolehkan kaun gentry untuk mengumpulkan hasil lebih petani sebagai bagian hubungan subkontark informal mereka dengan negara, dan mempergunakan kredit pada bunga yang tinggi yang berlaku biasa dan di mana-mana. Negara juga mengijinkan suatu jumlah kecil pengambilan keuntungan dalam menjalankan usaha komersial, dan kita mendengar para pedagang di Peking yang mengambil lebih banyak pemasukan dari pegadaian, rentenir dan menjaga toko daripada dari penyewaan tanah. Tetapi di mana dalam sejarah kekuasaan politik Eropa Barat sering membuat konsesi pada kelompok-kelompok pedagang independen di kota-kota, di Cina negara kuat begitu rupa. Hal ini dapat bersandar pada suatu populasi petani yang sangat besar untuk melengkapinya dengan bahan pangan yang dibutuhkan dan untuk menyelesaikannya tanpa mesin kerja; di dalam gentry terdidik dapat ditemukan suatu instrumen politik dan kontrol sosial yang dapat dipercaya. Dengan demikian negara Cina tak pernah memiliki suatu kebutuhan untuk suatu aliansi politik dengan kelompok-kelompok perorangan penguasa perdagangan. Hal ini membatasi aktivitas mereka melalui operasi monopoli-monopoli negara yang besar dan tetap mempertahankan kekayaan mereka “lemah” serta bersikap patuh pada negara. Lebih jauh, kekuasaan dan prestise sosial diperoleh dari kepemilikan tanah dan dari kepemilikan gelar pendidikan; jika mereka berharap memperoleh hal lainnya, karena itu, para pedagang mengeruk kembali keuntungan mereka ke dalam pembelian tanah dan ke dalam karir pendidikan anak-anak mereka (Balazs, 1964; Murphey, 1962; Wittfogel, 1957).
Tetapi gangguan kekuatan luar negeri atas Cina dan hasil kombinasi kebijakan “buka pintu” secara serempak menghasilkan disintegrasi negara dan liberasi komrsial serta aktivitas industri dari politik tradisional dan kontrol sosial. Industri tumbuh, meskipun dalam semua kemungkinan tak cukup cepat memberi suatu sumber investasi alternatif yang dapat dipercaya untuk mayoritas di mana memiliki modal untuk diinvestasikan. Ada suatu penambahan besar dalam produksi hasil panen bernilai pasar tinggi, seperti tembakau dan opium. Hasil panen bahan makanan, bagaimanapun, juga meliputi perkembangan ini. Di Chu Hsien, di provinsi Anhwei, sebagai contoh,
perkiraan informal mengindikasikan bahwa dalam panen setahun yang baik lebih dari dua puluh persen padi yang dipanen di Ch’uhsien ditujukan untuk suatu pasar luar ... Dengan demikian nilai padi sebagai suatu cara untuk memperoleh uang tunai, di mana banyak petani memakan padi mereka hanya pada waktu-waktu khusus tahun tersebut. Mereka lebih suka di dalam banyak kasus untuk menjual seluruh hasil panen mereka dengan perkecualian bagian bibit dan penanaman untuk ditukar dengan bahak makanan yang lebih murah untuk konsumsi mereka sendiri. Dengan demikian banyak penanam padi Ch’uhsien makan kanji sebagai bahan makanan pokok mereka ... seringkali petani penggarap tak punya kebun sendiri. Karena sayur-sayuran segar merupakan suatu unsur penting dalam makanan orang Cina, para petani yang kekurangan bahan tersebut harus memperolehnya melalui perdagangan atau pembelian. Di bawah kondisi normal produksi, karena itu, sungguh-sungguh jelas bahwa keluarga petani Cina jauh dari mencukupi diri sendiri (Fried, 1953, 129).
Di beberapa wilayah, hal ini menghasilkan,
kemunculan tuan-tuan tanah kecil yang tinggal di desa-desa di mana-mana dan para partner dengan penyewa mereka di dalam bisnis pertanian dari suatu kelas para pemilik yang tak tampak yang terhubung dengan pertanian hanya secara finansial. Perkembangan biasanya diteruskan dengan sangat cepat di sekeliling kota-kota besar, di distrik-distrik di mana kondisi statis kehidupan pedalaman dipecahkan oleh ekspansi komersial dan industrial, dan di wilayah-wilayah seperti bagian Manchuria, yang sekarang ini telah ditata oleh suatu populasi imigran. Gejala ini disertai spekulasi tanah, dan gangguan antara tuan tanah dan penyewa serta kelas menengah. Di Kwangtung, hal ini menjadi praktek terus-menerus untuk blok-blok tanah yang luas disewakan pada para pedagang, atau bahkan oleh perusahaan-perusahaan khususnya yang dibentuk untuk maksud itu, dan kemudian disewakan kembali sedikit demi sedikit pada suatu penyewaan yang menyiksa terhadap petani penggarap. Di mana-mana, hasil pertumbuhan pemilik yang tak tampak ini mempekerjakan agen-agen, yang menggantikan tuan tanah dengan bisnis dirinya sendiri untuk memeras para penyewa, menakut-nakuti para petani melalui ancaman pengusiran dengan membayar lebih banyak sebagai hutang budi mereka, serta mengeluarkan uang dengan pertama-tama tipuan dan intimidasi kemudian (Tawney, 1932, 68).
Pengenalan panen komersial dan komersialisasi tanah mempengaruhi harga tanah, kondisi-kondisi dan harga sewa. Harga tanah berlipat dua dan tiga di beberapa wilayah, dan jaminan kepemilikan diganti dengan kontrak-kontrak jangka pendek. Pada saat yang sama sewa-menyewa bertambah sekaligus atau timbul melalui penggunaan mekanisme demikian sebagai pertumbuhan pungutan atau pembayaran setoran sewa untuk menjamin hak kepemilikan permanen.
Di mana-mana pertumbuhan pasar membawa pengrajin pedalaman yang biasa ke dalam kompetisi dengan produk-produk industri, luar negeri maupun domestik. Akan tampak bahwa kompetisi ini tidak dibawa ke suatu kemunduran mutlak hasil kerajinan (Feuerwerker, 1968, 11); suatu industri kerajinan seperti pabrik pakaian bahkan dihasilkan dari pengenalan benang buatan mesin. Pertumbuhan dikonversi ke penggunaan produk-produk buatan mesin, bagaimanapun, sungguh-sungguh merupakan ancaman untuk banyak kepala rumah tangga petani yang menambah pemasukan kecil mereka dari pertanian dengan produksi kerajinan marjinal. Untuk alasan ini antropologis Cina Fei Hsiao-Thung dan Chang Chih-I menyimpulkan studi mereka mengenai tiga komunitas di Yunnan dengan menyimpulkan bahwa pertanian sendiri tak lagi dapat memenuhi kebutuhan penduduk Cina.
Revolusi industri di Barat akhirnya mengancam para petani di desa-desa Cina dalam kapasitas mereka sebagai industrialis. Bagaimanapun, seberbakat apapun mereka, mereka berperang untuk kalah melawan mesin. Tetapi mereka harus tetap berjuang, karena jika tidak mereka tak dapat hidup. Hasilnya adalah bahwa Cina perlahan-lahan menjadi berkurang sebagai negara agraris, jelas dan sederhana; dan suatu Cina agraris merupakan suatu Cina yang kelaparan tanpa bisa dielakkan (1945, 305).
Kita tak harus membayangkan bahwa proses ini maju di setiap tempat pada tingkat yang sama dan dengan intensitas yang sama. Tergantung pada keadaan lokal, pengenalan panen komersial mungkin menyokong petani bertanah atau tuan tanah atau asosiasi komersial yang tak tampak ikut serta dalam pertanian. Di dalam satu lokalitas atau satu wilayah pola penyewaan dapat berlanjut di atas suatu dasar tradisional, dengan harapan tuan tanah tradisional; di lain pihak, penyebaran sewa-menyewa mungkin dihubungkan dengan pertanian komersial. Barang kerajinan dari satu jenis mungkin merugi, tetapi barang kerajinan di cabang lain, dibawa ke mana-mana, mungkin menemukan outlet yang menguntungkan. Beberapa area memiliki beberapa bank, yang lainnya – barangkali secara politik terlalu tak menentu – kekurangan. Beberapa tuan tanah akan menginvestasikan uang mereka dalam perusahaan komersial, yang lain – dalam sebuah desa yang berdekatan – akan memendam emas mereka di dalam tanah. Perbedaan ini menghasilkan variasi-variasi lokal yang besar dan pertanggungan hubungan sosial yang berbeda di satu lokalitas ketika berhadapan dengan lokalitas lainnya, di satu wilayah ketika menghadapi wilayah lain. Hubungan kekuasaan juga secara bersamaan berbeda. Namun dinamika yang sama di mana-mana nampak, mengambil sumber penghasilan struktur mikro yang berbeda k dalam suatu pusaran yang semakin membesar. Kontrol-kontrol struktural dilatih oleh disintegrasi negara; prestise dihubungkan dengan keemilikan tanah dan pemilikan gelar pendidikan dikurangi. Membicarakan mengenai kemungkinan baru untuk investasi kekayaan di dalam perdagangan dan industri tumbuh dengan cepat dan memberikan kesempatan baru untuk para pedagang sebagai jabatan dan panglima-panglima perang yang mewarisi fragmen-fragmen aparatur negara yang dihancurkan. Hal ini melalui suatu sinbiosis baru di antara tuan tanah, pejabat-pejabat, prajurit, dan para pedagang – mencapai level lokal atau regional dalam kelompok dua puluh atau tiga puluh – yang berpotensi mengkapitalisasi kekayaan yang digerakkan di seluruh negeri dan dikombinasi dengan modal yang diimpor dari perbatasan laut timur. Di dalam simbiosis ini muncul apa yang disebut Chen Han-seng sebagai “sesuatu yang berisi empat”:
Mereka adalah para kolektor sewa, para pedagang, para lintah darat dan pejabat administrasi, Banyak tuan tanah-lintah darat menjadi tuan tanah-pedagang; banyak tuan tanah-pedagang merubah diri mereka menjadi tuan tanah-pedagang-politikus. Pada saat yang sama banyak pedagang dan politikus menjadi tuan tanah. Para tuan tanah seringkali memiliki tempat-tempat pembuatan bir, tambang minyak dan gudang beras. Di sisi lain, para pemilik tempat gudag dan toko penjual bahan pangan menggadaikan tanah, dan akhirnya juga tuan-tuannya. Ini suatu fakta yang cukup dikenali bahwa rumah gadai dan toko bisnis para tuan tanah dalam satu cara atau lainnya berafiliasi dengan kelompok militer dan otoritas sipil ... Sementara beberapa tuan tanah besar menjalankan riba sebagai profesi utama mereka, hampir seluruh dari mereka memikili sesuatu untuk dilakukan dengannya. Lagi, banyak tuan tanah adalah pejabat militer dan sipil (dikutip dari Isaacs, 1966, 32).
Namun tanah dan penyewaan tanah tetap merupakan suatu perhatian utama meskipun aktivitas formal utama dikerjakan dengan cara-cara lain dalam memperoleh penghidupan. Bahkan ketika orang pindah ke kota-kota, investasi atas tanah tetap merupakan suatu sumber pemasukan yang penting.
Dari 391 orang kelas menengah di Peiping, dari informasi yang terpercaya [pada tahun 1936-1937], 191 atau 48 persen memiliki tanah; dari 21 informan kami (juru tulis, pedagang dan pemilik bengkel kerja) di Shanghai, 11 atau 52 persen memiliki tanah ...
Sember penghasilan tambahan telah dimainkan bahkan dalam suatu kegiatan yang besar dalam kehidupan ekonomi kelas atas daripada di kelas menengah. Seorang pejabat dengan gaji $200 sebulan dan pemasukan $100-150 sebulan dari tanah bukan merupakan hal yang tidak biasa. Para informan di antara pedagang sering tak dapat mengatakan apakah sumber pemasukan utama mereka bisnis atau tanah ... Dari 231 keluarga kelas atas di Cina utara yang memberi informasi, 126 atau 54 persen (tidak termasuk tuan tanah) memiliki tanah; banyak yang memiliki rumah. Investasi di toko-toko, pabrik, dan pinjaman memainkan suatu bagian yang penting (Lang, 1946, 94, 98).
Untuk para petani yang bahkan sangat terpencil dan desa-desa yang terisolasi ini berarti bahwa hasil lebih mereka dibawa melalui suatu hirarki yang luas pemilik kuat yang menguasai pegadaian untuk sumber penghidupan mereka. Di Ten Mile Inn, Wu An County, dari aa yang menjadi wilayah batas Komunis melawan Jepang di utara, sebagai contoh, satu tuan tanah besar mempunyai suatu bisnis di mana ia memberi kain di musim semu untuk ditukar dengan pasokan kapas di musim gugur ketika harga rendah; memiliki seratus mou tanah yang subur; dan telah membeli hak mengumpulkan hutang pada seorang tuan tanah di dekat Stone Cave Village. Yang lain bertani dan lari ke sebuah toko di mana barang paling menguntungkan adalah menjual heroin secara kredit, dengan tanah sebagai jaminan, dan meminjami kembali uang, yang dipinjamkan dari tuan tanah terdekat (Crook dan Crook, 1959, 18-20).
Demikianlah gambaran menyeluruh merupakan satu piramida di dalam piramida, satu dalam piramida yang lebih kecil terdiri dari tuan tanah-tuan tanah yang lebih kecil itu sendiri. Dengan demikian tuan tanah besar adalah bekas tuan tanah yang lebih kecil, dan tuan tanah yang lebih kecil bekas tuan tanah yang lebih kecil lagi – atau mereka bekas petani kaya. Sebaliknya bekas kelas menengah atau bahkan petani miskin sebagai agen mereka. Uang dipinjamkan oleh Hsin Hsung Shop di Ten Mile Inn, sebagai contoh, pada tingkat bunga 100 persen setiap dua puluh hari pinjaman biasanya – tak berarti bebas bunga – dari tuan tanah Chang “Lao-wantze” West Harmony (Crook dan Crook, 1959, 28).
Tuan Chang, yang nama kecilnya berarti Bola Daging Tua, menggantikan pata tuan tanah yang lebih kuat dari dirinya. Pada puncak piramida di Wu An County ada Chang Hsin-hai. Ia memiliki empat puluh ribu mou tanah garapan, empat ratus kali banyaknya tuan tanah terkaya di Ten Mile Inn, sebagai tambahan ia mengontrol penyewaan dari delapan puluh desa dan memiliki empat puluh taman di kota (Crook dan Crook, 1959, 11).
Namun selama periode penambahan komersialisasi agrikultur ini, Cina terutama tetap saja, sebagaimana di mana lalu, sebuah tanah para petani dengan akses ke tanah melalui kepemilikan dan penyewaan. Pada tahun 1930 diperkirakan sekitar setengah petani memiliki tanah mereka, seperempat yang lain memiliki tanah dan menyewa, seperempatnya lagi merupakan para penyewa tanah (Tawney, 1932, 34). Kepemilikan, bagaimanapun didistribusikan tidak sama rata. Studi-studi mengenai empat hsien atau distrik di Cina utara pada tahun 1936 memperlihatkan bahwa para tuan tanah yang merupakan 3 atau 4 persen dari populasi memiliki 20 sampai 30 persen tanah; petani miskin yang merupakan antara 60 sampai 70 persen populasi tetapi hanya mengontrol kurang dari 20 sampai 30 persen tanah. Di bagian selatan, sebagaimana digambarkan oleh empat hsien selatan, para tuan tanah yang terdiri dari 2 sampai 4 persen populasi memiliki 30 sampai 50 persen tanah (Institute of Pacific Relations, 1939, 3). Tawney memperkirakan pada tahun 1932 bahwa “antara 40 dan 50 persen keluarga petani tak cukup memiliki tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka” (Tawney, 1932, 71). Perkiraan-perkiraan orang tak bertanah secara keseluruhan sangatlah sulit dilakukan. Sebuah penelitian atas 3.552 keluarga di tahun 1920-an (Tayler, 1028, 106) hanya memperlihatkan 16 persen dari tanah keseluruhan. Mao Tse-tung memberi sebuah gambaran 20 persen populasi petani Changsha County, Hunan, pada tahun 1927 sebagai “miskin sama sekali”:
bahwa rakyat yang tak memiliki tanah atau uang, tanpa cara lain untuk mencari penghidupan, dan dipaksa meninggalkan rumah dan menjadi prajurit atau pekerja upahan atau pengemis pengembara (Mao, 1965, 32).
Banyak pekerjaan pertanian tetap dikerjakan petani sendiri atau oleh keluarga mereka, hanya sekitar satu per lima pekerjaan pertanian dikerjakan oleh buruh sewaan (Buck, 1930, 231-237). Suatu diskusi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan pertanian di Cina menghasilkan derajat di mana pekerja pertanian tidak ditetapkan sebagai satu kelas tersendiri.
Dalam studi bentuk pekerjaan pertanian di Cina, hal itu sangat
penting untuk diingat bahwa secara umum pekerja pertanian upahan di Cina pada saat yang sama merupakan petani-petani miskin di mana mereka mengelola tanah yang dimiliki atau disewa, dan dalam interval waktu juga diupahkan pada para kuli. Sementara fenomena umum di antara orang kaya pedesaan adalah trinitas tuan tanah, pedagang dan lintah darat, dan di antara orang miskin pedesaan adalah trinitas yang lain penyewa miskin, pekerja pertanian upahan dan kuli. Menurut seorang investigator lapangan, yang pada tahun 1937 bekerja di seluruh provinsi Honan, petani tak bertanah dan yang tanahnya tak cukup bergerak cepat dari satu pertanian ke pertanian yang lainnya. Satu hari mereka mengerjakan lahan di tanah mereka sendiri atau di tanah yang mereka sewa; hari berikutnya mereka bekerja sebagai buruh upahan di lahan orang lain; dan hari berikutnya lagi mereka bekerja sebagai kuli yang mengangkut barang dari toko-toko ke kota. Buruh upahan tanggung ini di Honan jauh melebihi jumlah buruh upah penuh waktu, dan situasi yang sama juga ditemukan di provinsi-provinsi yang lain (Indtitute of Pacific Relations, 1936, 71).
Profil sosial yang dihasilkan adalah suatu masyarakat pedesaan yang tidak dinominasi “oleh buruh upahan, tetapi petani bertanah” (Tawney, 1932, 34). Namun petani bertanah ini pada saat yang sama bertarung dengan ganas mempertahankan diri di atas tanah, diancam ganda oleh tekanan komersialisasi dari atas dan praktek kemiskinan dari bawah.
Semua perkembangan ini – gangguan luar negeri yang berkelanjutan, pertarungan pasukan-pasukan para panglima perang, meluasnya industri dan perdagangan, serta ketidakpuasan pertanian yang mendalam – tak dapat dicegah menciptakan suatu kemunculan keadaan meragi di antara suatu populasi yang dilempar terus ke dalam kerusuhan dan semakin putus asa pada harapan untuk dapat diperbaiki dalam Kerajaan Surga. Ragi ini secara khusus ditandai dari tiga segmen baru populasi, di antara perkembangan kelas pekerja Cina, dihasilkan oleh pertumbuhan industri dan perdagangan; di antara mahasiswa, yang menangkap kontradiksi-kontradiksi di antara pertentangan norma-norma masa lalu dan sekarang; dan di antara petani, dipengaruhi secara mendalam oleh perubahan pertanian. Ketika abad kedua puluh datang, juga muncul suatu bentuk politik baru, kelompok-kelompok baru, dan tipe-tipe baru institusi politik, yang akan mencoba menggabungkan dan mengarahkan unsur-unsur baru ini pada tingkat politis.
Pada tahun 1919 jumlah pekerja industrial telah mencapai 1.500.000. Tiga perempatnya dipergunakan dalam transportasi atau industri ringan, khususnya dalam produksi tekstil. Tiga perlima bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang Cina, dua perlima bekerja di perusahaan milik orang asing. Banyak dari mereka dipusatkan di Cina timur: Shanghai sendiri memiliki 300.000 pekerja industrial; wilayah Hongkong sekitar 50.000; provinsi kembar Hupeh dan Hunan, 100.000. Mayoritas terbesar adalah bekas petani yang baru-baru ini direkrut ke dalam pekerjaan industrial dan ditempatkan di kota (Cesneaux, 1962, 85; Lang, 1946, 87). Mereka seringkali meninggalkan keluarga mereka di desa. Sering bertempat tinggal di dalam asrama atau di bengkel kerja di mana mereka bekerja. Seringkali mereka kembali ke desa selama waktu panen, menybabkan kemungkinan industri tingkat tinggi. Mereka sering mengunjungi desa: biaya transportasi untuk kunjungan demikian merupakan item terbesar ketiga anggaran mereka, mengikuti dengan dekat setelah pengeluaran untuk makanan dan pakaian. Ikatan lokal dan regional mereka berlanjut dengan kuat. Sering mereka diupah dari wilayah yang sama oleh bos kerja yang sama pula; beberapa dari mereka meneruskan spesialisasi lokal atau regional mereka, seperti pembuat tinta atau tukang kayu, di bawah kondisi industrial. Mereka juga memperlihatkan suatu tendensi membentuk asosiasi regional atau cabang persatuan dagang regional. Beberapa dari mereka merupakan pekerja terampil; banyak posisi membutuhkan kemampuan industrial diisi oleh pekerja asing. Pada saat yang sama, tenaga kerja indutrial permanen bergabung tanpa terasa dengan suatu massa pekerja urban yang sangat besar yang berupa pemilik toko kerajinan tradisional, para kuli, pedagang keliling, dan urban karakteristik menengah lainnya. Masa urban ini mungkin berjumlah sekitar sepuluh kali jumlah pekerja industrial sendiri. Banyak dari orang-orang ini mengadakan aktivitas-aktivitas yang mendekati sesuatu yang ilegal atau pada kenyataannya melawan hukum, didukung oleh suatu perkembangbiakan organisasi orang miskin klandestin yang teroganisir. Organisasi-organisasi ini bergabung, sebaliknya, dengan banyak kelompok rahasia tradisional di mana juga merekrut anggota-anggotanya dari kelas pekerja baru. Mereka mengadakan, karena itu, suatu jaringan relasi, mengikat pekerja baru dengan petani di desa dan bercabang melalui massa urban, di luar tenaga kerja industrial itu sendiri. Namun pada tahun 1918 persatuan industri pertama menampakkan diri – sebagai perlawanan atas asosiasi pengrajin atau regional yang dibuat dari atas – dan hanya setahun kemudian telah mogok dengan dukungan mahasiswa-mahasiswa nasionalis. Pada tahun 1925 satu juta pekerja mogok mendukung maksud-maksud politik. Pada tahun 1927 keanggotaan persatuan berjumlah tiga juta, dan suatu usaha pada pemberontakan urban dengan berat mengandalkan dukungan pekerja yang erat untuk berhasil dalam perebutan kekuasaan pada bulan Mei tahun tersebut.
Satu unsur kedua adalah gerakan mahasiswa nasionalis. Sistem ujian Konfusian masa lalu telah dihapus pada tahun 1905: pendidikan Konfusian tradisional telah dengan cepat kehilangan prestise tradisionalnya. Sebaliknya, suatu populasi mahasiswa baru dengan tak sabar mencoba memperoleh penguasaan teknik dan adat istiadat baru dalam karir pendidikan berorientasi Barat. pada tahun 1915 telah ada empat juta mahasiswa Cina mengikuti studi di atas level sekolah dasar, diajar oleh lebih dari 200.000 guru. Lebih dari seratus ribu pergi belajar ke luar negeri antara tahun 1872 dan 1949.
mereka diambail dari suatu elit ekonomi. Meskipun secara relatif uang kuliah, kamar dan perjalanan tahunan universitas pemerintah rendah atau barangkali sama dengan lima bulan upah seorang pekerja tekstil Shanghai. Pekerja yang sama akan menghabiskan lima setengah tahun penghasilan untuk memasukkan anaknya melalui empat tahun di sekolah nasionalis. Pendeknya, sebuah keluarga telah memiliki pemasukan kelas-menengah-atas untuk mengirim anak mereka ke sebuah college umum dan pemasukan kelas-atas untuk mebirimnya ke institusi misionaris (Israel, 1966, 5).
Sementara pada tingkat pertama nilai-nilai kelompok ini tetap terbelenggu secara kuat pada norma-norma tradisional gentry terdidik, keterlibatan mereka dengan masalah-masalah yang diajukan oleh pendidikan baru dan keberadaan mereka membuatnya terus melawan pengaruh otoritas parental, dan terus membuka pengaruh nilai-nilai baru. Mereka terus bereaksi melawan kekeluargaan sempit orang tua mereka dan setuju dengan cita-cita sosial yang lebih lebar. Pada tahun 1915, Ch’en Tu-hsiu, profesor di Universitas Peking dan kemudian seorang pendiri partai Komunis Cina, bicara mengenai sentimen mereka dalam Panggilan untuk Pemuda-nya:
Mandirilah, jangan memperbudak diri!
Progresiflah, jangan konservatif!
Agresiflah, jangan segan!
Kosmopolitanlah, jangan mengisolasi!
Bermanfaatlah, jangan formalistik!
Ilmiahlah, jangan mengkhayal!
Terperangkap di antara pertentangan norma lama dan baru; di antara Timur dan Barat; antara dunia orang tua mereka dengan loyalitas mereka yang lebih utama, dan keterlibatan mereka sendiri dengan teman-teman mahasiswa yang datang dari seluruh Cina; berhadapan dengan kondisi ekonomi yang tak menentu dan diancam oleh ketiadaan pekerjaan; dan lebih sadar mengenai pentingnya Cina dalam menghadapi ancaman asing yang terus tumbuh, para mahasiswa bereaksi pada situasi mereka dengan menonjolkan suatu nasionalisme. Mereka muncul pertama kali pada 4 Mei 1919, ketika mahasiswa-mahasiswa di Peking memprotes pelanggaran batas oleh Jepang dan ketiadaan harapan politikus Cina menanggapi tuntutan Jepang. Protes meluas dengan cepat ke kota-kota dengan populasi mahasiswa, dan pekerja mulai mendukung gerakan mahasiswa dengan pemogokan. Memenangkan dukungan publik yang luas untuk aksi mereka, usaha 4 Mei membentuk pola keterlibatan mahasiswa masa depan dalam politik.
Dengan berlalunya waktu, generasi tua mahasiswa, terutama yang belajar di luar negeri, terus mengakomodasi diri dengan keadaan ini, banyak dari mereka memasuki pekerjaan dengan perusahaan Barat dan yang di-Barat-kan. Namun sebuah minoritas aktif dari generasi lama dan sejumlah mahasiswa baru yang tumbuh akan memainkan suatu bagian penting dalam perang anti-Jepang dan beralih ke Kiri yang diakhiri dengan mendirikan partai Komunis pada tahun 1949.
Keterlibatan politik yang tumbuh pada tenaga kerja yang berlokasi di pusat-pusat industri dan komersial, untuk suatu waktu yang lama mengaburkan gerakan utama dan mobilisasi politik – formasi liga petani yang berorientasi politik. Gerakan petani pada abad kedua puluh memiliki asal-usulnya di tahun 1921 ketika P’eng Pai, anak seorang tuan tanah kaya yang menjadi guru sekolah di desa kelahirannya Haifeng dan satu dari para pendiri partai Komunis di Canton, mengorganisir Asosiasi Petani Haifeng. Haifeng berlokasi di distrik-distrik Sungai Timur Provinsi Kwangtung: sekali lagi Cina selatan mulai memainkan peranan strategisnya dalam mengangkat bendera pemberontakan di Cina. Di sinilah di mana Taiping dilahirkan, dan dari selatanlah mereka melancarkan usaha untuk merebut kontrol Cina dari dinasti Manchu. Dari selatanlah, Sun Yat-sen menantang pemerintahan kerajaan di Peking untuk mendirikan republik pada tahun 1911, dan adalah di Canton di wilayah selatan di mana ia telah mundur mempertahankan konstitusi republik melawan para panglima perang. Di sinilah ia dan pengikutnya memperoleh dukungan ribuan orang Cina perantauan yang mencoba kesempatan baru di luar negeri dan telah datang mewujudkan alternatif atas pemerintahan masa lalu. Sekarang selatan sekali lagi menetaskan suatu gerakan petani yang selama tiga puluh tahun menghabiskan energinya dalam suatu usaha merubah masyarakat Cina sepanjang garis baru. Pada bulan Mei 1925 asosiasi-asosiasi petani di Kwangtung berjumlah sekitar 180.000 unit petani (Isaacs, 1906, 69).
Namun tugas mengorganisir petani tidak berhasil secara keseluruhan, dan beberapa masalah selama usaha organisasional berulang – dalam satu dan lain bentuk – dalam semua usaha kemudian untuk mengorganisasi petani Cina. Roy M. Hofheinz, yang telah mendiskusikan proses organisasi Kwangtung secara detil, mencatat dua sumber utama kesulitan. Pertama, tidak semua petani meluangkan diri mereka secara sama untuk tugas organisasi. Berbeda dengan kepercayaan umum bahwa,
ada satu korelasi tinggi antara tingkat penyewaan yang tinggi dan timbulnya kegelisahan di pedalaman ... fakta-fakta tampak menampilkan perlawanan. Dengan tepat di area-area tersebut di mana persewaan merupakan yang tertinggi – delta hsien ke dekat selatan Canton – di mana gerakan petani memiliki kesulitan terbesar (1966, 191).
Di sini pertaniannya produktif, dan di sekitar Canton – dengan tuntutan produksinya yang luas – membuatnya menguntungkan. Para penyewa dapat berpartisipasi dalam keuntungan yang tak terduga selama tahun-tahun yang baik atau ketika tingkat air adekuat. Sebagai tambahan, meratanya perbanditan di wilayah ini sering membuat para tuan tanah enggan mengumpulkan uang sewa. Karena itu, mereka melihat sedikit alasan untuk membahayakan posisi mereka untuk bergabung dengan gerakan petani. Tetapi ada satu aspek kedua keengganan mereka. Revolusi republik tahun 1911 tak banyak mengubah struktur kekuasaan lokal. Kontrol secara kuat di tangan-tangan gentry lokal, seringkali disokong pasukan pribadi (min t’ran). Banyak anggota gentry bekerja diam-diam dengan para bandit lokal – “ini sering terjadi di mana seluruh desa menjadi dunia penjahat” (Hofheinz, 1966, 199). Ikatan klan juga kuat; sering seluruh desa masuk ke dalam klan yang sama. Pada saat yang sama, desa-desa dihubungkan satu sama lain melalui kelompok rahasia triad. Di sini para pembaharu menghadapi seluruh kekuatan lokal di mana mereka harus menembusnya dulu sebelum para petani dapat memainkan suatu tatanan politik yang independen. Hofheinz mengatakan bahwa asosiasi-asosiasi petani:
berusaha tumbuh di suatu rimba kelompok sosial lain yang sesungguhnya. Begitu lama ketika struktur-struktur tradisional tetap lengkap di mana mereka telah bersaing dengannya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa di banyak kasus pertumbuhan gerakan petani dengan berat dibatasi oleh kompetisi demikian (1966, 220).
Di mana mereka lebih berhasil adalah di Haifeng batas laut timur dan di distrik Kwangning di wilayah Sungai Barat di mana tanah bergunung dan kurang produktif; di sini lebih dari 20 persen populasi petani menjawab panggilan mereka untuk pengurangan harga sewa.
Namun bahkan di sini dengan cepat menjadi jelas bahwa gerakan petani tak akan mampu memperoleh tuntutan mereka sendiri. Sepanjang ia mengadopsi tak lebih dari apa yang disebut Hofheinz suatu “pendekatan aksi sosial Kristen” (1966, 209), ia tak dapat melebihi rintangan politik yang muncul melawannya. Sedikit keberhasilan hanya datang ketika gerakan petani bersekutu dengan kekuatan militer Kuo Min Tang yang beroperasi dari Canton, dan mampu tumbuh memperoleh dukungan militer dalam melaksanakan reformasi dan mengurangi kekuasaan gentry. Pada tahun 1925 gerakan demikian mulai memperluas, menciptakan “transisi dan reformasi moderat ke subversi lokal yang independen menjepit menyerang mengkombinasikan kekuatan internal dan eksternal” (1966, 211). Mobilisasi dekimian ternyata mungkin tanpa pengaruh politik dan militer.
Para pekerja, mahasiswa, dan petani diorganisasikan ke dalam liga-liga petani yang menetapkan beberapa unsur baru utama di mana – di tahun dua puluhan – bekerja sama ke dalam kelompok-kelompok massa skala luas suatu tipe yang sampai saat itu tak dikenal di Cina. Yang pertama dari kelompok ini adalah Kuo Min Tang atau partai Nasionalis, berbasis organisasi revolusioner yang telah berhasil menjatuhkan kerajaan dan menciptakan republik tahun 1911. Partai yang lain adalah Kung Ch’ang Tang, “partai Produksi Bersama atau partai Komunis”, didirikan pada tahun 1921. Membuat persekutuan asing di mana bisa membantu dalam perjuangan untuk integritas nasional melawan kekuasaan asing yang telah ada di bumi Cina, Kuo Min Tang pada tahun 1923 mendirikan persekutuan demikian dengan Uni Sovyet, yang pada tahun 1920 telah meninggalkan semua teritoerial dan ekstrateritorial di Cina. Pada tahun 1923 hubungan formal ditetapkan antara KMT dan partai Komunis Uni Sovyet. Di bawah perjanjian ini Uni Sovyet mengirim penasehat untuk membetuk KMT menjadi suatu organisasi partai yang disiplin dengan suatu massa pengikut yang terorganisir. Pada saat yang sama, kelahiran partai Komunis Cina ditekan untuk memberikan otonominya dan menggabungkan kekuatannya dengan KMT. Tujuannya adalah menciptakan suatu organisasi yang mampu menyusun suatu perjuangan anti-imperialis yang efektif dan memperkenalkan reformasi liberal di dalam negeri Cina, menciptakan suatu negara demokratik nasional, tetapi mengelak dari revolusi. Hasilnya merubah Kuo Min Tang
ke dalam suatu jiplakan kasar Partai Bolshevik Rusia. Metode-metode agitasi dan propaganda Bolshevik diperkenalkan. Menciptakan dasar-dasar suatu pasukan yang diilhami gagasan-gagasan Kuomintang dan mengakhiri kemerdekaan sebelumnya di atas militaris gaya lama, orang-orang Rusia pada bulan Mei 1924 mendirikan Akademi Militer Whampoa. Akademi ini dipasok dan dioperasikan dengan dana Rusia, staffnya oleh penasihat-penasihat Rusia. Di belakang muatan panjang pasukan Rusia yang datang ke pelabuhan Canton untuk memasok pasukan di mana dengan segera dikerahkan satu bendera baru, Kuomintang mulai memperlihatkan kekuatan baru dengan seluruh aktivitasnya yang diberkahi itu. Partai Komunis Cina, pemimpin organisasi gerakan baru, menahan diri dengan setia membangun Kuomintang dan mempropagandakan programnya. Anggotanya merupakan pekerja-pekerja partai yang tak kenal lelah, namun mereka tak pernah muncul sebagai komunis atau juga memperkenalkan program mereka sendiri. Partai Komunis, kenyataannya dan secara esensial, dalam kerja dan caranya mendidik anggota-anggotanya, sebagai anggota Sayap-Kiri Kuomintang (Isaacs, 1966, 64).
Dua institusi utama yang berkembang selama aliansi KMT-PK adalah Akademi Militer Whampoa dan Istitut Pelatihan Petani. Akademi Whampoa, diorganisir tahun 1924, menyediakan staff militer untuk usaha menghancurkan kemandirian pemerintahan panglima perang di Cina, dan untuk menyediakan suatu basis militer bagi suatu pemerintahan tersentralisir yang efektif. Lulusannya bertanggung jawab untuk ekspedisi ke utara selama tiga kali untuk membawa pemerintahan Kuo Min Tang dan Canton ke Nankin. Personelnya terutama diambil dari hsien pedesaan provinsi-provinsi selatan, dengan suatu persentase tak seimbang daru Hunan, Kwangtung dan Chekiang. Partisipasi kuat dari Hunan ternyata penting dalam keberhasilan gerakan militer ke arah utara. Akhirnya akademi akan menyediakan pemimpin-pemimpin Kuo Min Tang dan partai Komunis setelah periode awal kolaborasi mereka berakhir.
Institut Pelatihan Petani juga didirikan tahun 1924, dan beroperasi dari 1924 sampai 1926. Tujuannya adalah melatih pemimpin-pemimpin pedesaan yang akan kembali ke wilayah tempat tinggalnya dan mengorganisir petani lokal. Banyak dari wilayah-wilayah ini berlokasi di dekat pusat-pusat ekonomi dan transportasi, khususnya sepanjang jalan raya utama yang dipakai serangan yang membawa ekspedisi-ekspedisi ke utara dari selatan di Lembah Yangtze pada tahun 1926-1927. Organisasi politik para petani di wilayah ini dan pemberontakan bersenjata oleh petani terorganisir menyediakan basis logistik perjalanan ke utara (McColl, 1967, 41-44).
Penting khususnya dalam ekspansi ke utara usaha memobilisasi petani ini adalah menjadi usaha Komunis membentuk organisasi-organisasi petani di Hunan. Sejak pertengahan abad kesembilan belas Hunan “telah merupakan suatu pusat reaksi kreatif dan kadang-kadang agresif terhadap pengaruh Barat” (Landis, 1964, 158). Tseng Kuo-fan telah berhasil membawa Pasukan Hunan melawan pemberontakan Taiping dan mengorganisir mereka ke dalam pasukan yang menjadi suatu prototipe untuk pasukan panglima perang regional dan provinsi di akhir pertengahan abad kesembilan belas. Dengan demikian, orang-orang Hunan telah masuk di awal dalam fragmentasi politik Cina dan mengembangkan kebiasaan reaksi secara regional pada sentralisme Peking. Di awal abad kedua puluh Hunan menjalani beberapa industrialisasi dan komersialisasi sendiri, dan pada awal abad kedua puluh orang-orang kaya Hunan mulai mengemukakan perlawanan terhadap pengaruh asing (Landis, 1964, 159-160). Di sanalah suatu dasar asli untuk suatu kelahiran nasionalisme anti-asing. Nasionalisme juga suatu isu di awal mobilisasi masa di wilayah tersebut. Pada tahun 1923, partai komunis mulai berhasil mengorganisir pekerja kereta api dan pertambangan di Hunan serta memperluas jangkauannya untuk mengorganisir ke dalam desa-desa dengan slogan “jatuhkan kantung uang orang asing”. Mobilisasi massa di sini dipusatkan, pada mulanya, dengan isu yang kurang spesifik menyangkut hubungan antara tuan tanah dan penyewa serta lebih banyak pada perjuangan menghalangi naiknya harga padi disebabkan ekspor beras dari provinsi (Hofheinz, 1966, 225, 233). Dorongan lebih lanjut untuk organisasi petani datang dengan kunjungan tentara selatan digambarkan secara lokal oleh Divisi Independen Pasukan Keempat, di bawah arahan kepeminpinan Komunis. Berbeda dengan Kwangtung di wilayah komersialisasi dekat canton yang memberi banyak penghalang untuk mengorganisir petani, di Hunan kaum Komunis mencatat keberhasilan besar mereka di wilayah-wilayah komersialisasi, khusunya timur Changsha. Di sini kontrol gentry tampak melemah, dan tuan tanah lebih baik tinggal di kota daripada di tanahnya sendiri. Tak ada bandit-bandit, dan organisasi pertahanan gentry juga lemah. Kaum Komunis, di sisi lain, mendirikan hubungan-hubungan yang baik engan kelompok-kelompok rahasia yang dominan secara lokal, dalam kasus ini Ko-lao-hui. Slogan utama yang dipergunakan bukan pengurangan harga sewa, sebagaimana di selatan, tetapi usaha menjamin “pangan rakyat” melalui perampasan gudang dan penurunan harga (Hofjeinz, 1966, 242-257). Kontrol keseluruhan tampak lemah, memberi ruang gerak yang lebih besar untuk gerakan mobilisasi petani.
Pemimpin militer yang muncul melalui ekspedisi utara dan merebut buah koalisi Kuo Min Tang-Komunis dari Komunis adalah Chiang Kai-shek. Dalam posisinya yang istimewa ia dapat mengambil secara bebas dukungan dan pasukan Rusia sebaik kekuatan organisasi pekerja dan petani yang dicetuskan oleh kaum Komunis. Sebagai direktur Akademi Whampoa, ia mengomandani kadet-kadet Whampoa dan tahu bagaimana menyokong orang Kiri ke dalam suatu kekuatan perang yang efektif. Pada saat yang sama ia mulai membangun mesin politiknya sendiri, dibiayai oleh kontribusi dari para komprador Shanghai yang mengharap garansi pengaruhnya atas kaum Komunis, dan juga untuk membeli keselamatan mereka sendiri. Ekspedisi ke utara ternyata merupakan suatu keberhasilan militer dan politik yang berhasil; dalam kemunculannya Chiang memungkinkan merebut kontrol Canton dan meminggirkan pengaruh Komunis pada dirinya, dan membentuk suatu kampanye yang berhasil untuk pengusiran partai Komunis dari Kuo Min Tang dan likuidasi sesungguhnya di kota-kota utama. Mengharapkan masuknya pasukan yang menang dari selatan, pekerja di Shanghai memulai serangkaian pemogokan yang berakhir pada 21 Maret 1927, dengan pengambilalihan kota. Pada puncak pemberontakan lebih dari setengah juta pekerja terlibat dalam pemogokan, sementara tugas merebut kota didelegasikan pada milisi pekerja berjumlah lima ribu orang. Pada tanggal 26 Maret, Chiang memasuki kota. Menulis dari Moskow, Leon Trotsky – kemudian berlawanan dengan garis utama Komunis – dengan tepat meramalkan tahapan peristiwa-peristiwa yang datang ketika ia menulis bahwa:
kebijakan suatu Partai Komunis yang dijalankan secaramembelenggu sebagai suatu agen perekrutan untuk membawa para pekerja ke dalam Kuomintang merupakan persiapan untuk keberhasilan pendirian suatu kediktatoran Fasis di Cina.
Pemogokan baru saja menempatkan Chiang sebagai komandan kota ketika ia memperoleh kerja sama elit finansial dan organisasi gangster bernama Gang Hijau untuk menjadikan perebutan kekuasaan sebagai keuntungannya sendiri. Pada tanggal 2 April 1927, pukulan jatuh. Hasil pembunuhan besar-besaran lima ribu Komunis kehilangan nyawa, dan Kuo Min Tang di bawah Chiang mencapai dominasi yang kokoh.
Perampasan Shanghai menandai akhir partisipasi pekerja dalam gerakan politik dan kaum Komunis berharap bahwa revolusi dapat dimenangkan oleh kelas pekerja Cina yang mulai muncul. harapan tersebut timbul-tenggelam sampai tahun 1930 ketika kaum Komunis berusaha tetap melakukan pemberontakan lain, didasari pemberontakan urban yang dirangkai dengan dukungan pedesaan, hanya untuk turun dalam suatu kekalahan akhir di kota-kota. Sejak saat itu partai kemudian berganti dengan tegas menjadi gerakan petani sebagai dasar terakhir serta satu-satunya untuk meraih kemenangan.
Dari kegagalan tahun 1927 muncul suatu strategi Komunis baru. Saat ini sungguh-sungguh didasarkan pada mobilisasi petani. Selalu ada ketidakpuasan petani, tetapi untuk pertama kali dipergunakan suatu usaha masif menciptakan sebuah struktur kekuatan baru yang akan mengisi kekosongan politik yang ditinggalkan oleh keusuhan internal dan intervensi luar negeri. Protagonis perdebatan baru ini adalah Mao Tse-tung – anak seorang petani kaya dari Hunan, kemudian menjadi seorang mahasiswa dan salah satu pendiri partai Komunis. Seawal tanggal 20 Desember 1926, Mao menyatakan bahwa masalah petani merupakan isu sentral revolusi di Cina dan memulai penyitaan dan redistribusi tanah oleh asosiasi-asosiasi petani di Hunan (Rue, 1966, 53). Ia muncul dari penghancuran partai Komunis di Shanghai untuk menjadi pembicara utama bagi suatu kebijakan aksi Komunis yang independen, lebih ditopang oleh dukungan petani daripada bergantung pada para pekerja di kota-kota. Pada tahun 1938, ia menulis bahwa negeri-negeri kapitalis, dikarakterisasi oleh rejim demokratik borjuis, ini tepat untuk mempergunakan suatu perjuangan lehal yang panjang untuk mobilisasi proletariat. Pemberontakan tak seharusnya dimulai sampai kemungkinan-kemungkinan perjuangan legal kehabisan tenaga. Karena itu, bagaimanapun, waktu untuk pemberontakan telah datang, “kota-kota seharusnya diambil lebih dulu, dan kemudian desa-desa, bukan sebaliknya.” Tetapi,
di Cina, itu berbeda. Cina bukan sebuah negara demokratik independen, tetapi sebuah negeri semi kolonial dan semi feodal ... tak ada majelis legislatif diciptakan, tak ada hak legal untuk mengorganisir para buruh mogok. Di sini tugas fundamental Partai Komunis tidak untuk bekerja melalui suatu periode lama perjuangan legal sebelum melancarkan suatu pemberontakan atau perang saudara. Tugas ini bukan untuk merebut kota-kota besar pertama kali dan kemudian pedesaan, tetapi untuk mengambil cara yang sebaliknya (Rue, 1966, 283).
Ada tiga kebutuhan untuk strategi baru ini. Pertama, revolusi tak dapat terus bersandar pada aliansi dengan Kuo Min Tang; harus menciptakan dasar politik sendiri di pedesaan, independen dari birokrasi Kuo Min Tang. Kedua, harus memenangkan dukungan petani. Ketiga, harus menciptakan Tentara Merah sendiri. Tugas ini, menurut Mao, dibuat mungkin
perekrutan pasukan baru, Sovyetisasi wilayah-wilayah pedesaan baru dan di atas semuanya, konsolidasi di bawah kekuasaan Sovyet yang tak sama atas wilayah-wilayah demikian siap jatuh ke Tentara Merah (Snow, 1938, 180).
Setting geografis untuk strategi baru ini pertama kali di Cina tengah-selatan, khususnya wilayah-wilayah Kiangsi-Fukien dan Oyüwan (Hupeh-Honan-Anhwei). Dikendalikan dari wilayah-wilayah ini pada tahun 1934, pasukan Merah berbaris ke arah utara melintas sejauh enam ribu mil untuk menjejakkan diri mereka pertama kali di Shensi, dan kemudian meluas ke Shansi dan Hopeh di mana kedatangan mereka di Shensi telah disiapkan oleh para komandan tentara dengan simpati Komunis yang kuat di mana mendukung pemberontakan besar di bukit-bukit pemberontakan tradisional wilayah utara Shensei sejak tahun 1925.
Dengan memenangkan dukungan petani, strategi Komunis berjalan melalui beberapa tahap yang berbeda. Selama enam bulan pertama mundur ke wilayah pedalaman banyak diungkapkan dan beberapa aksi dimaksudkan pada reformasi tanah radikal yang akan menyita seluruh tanah dan menyatukannya dalam kolektivitas yang didirikan baru. Tahap awal ini, bagaimanapun, segera memberi jalan untuk suatu strategi yang sudah matang dipertimbangkan, mengharapkan memperoleh simpati petani menengah dan kaya di sisi para revolusioner. Mao percaya bahwa partai telah
membuat suatu perkiraan tepat mengenai karakter kelas-kelas menengah yang terombang-ambing, dan ... merencanakan kebijakan-kebijakan mengambil keuntungan penuh kontradiksi-kontradiksi yang ada di kelompok reaksioner (Rue, 1966, 105).
Penyitaan yang lengkap hanya akan mengasingkan kategori-kategori petani menangah, dan membantu mengisolasi petani-petani miskin (1966, 115). Dalam pendapat Mao
kebijakan-kebijakan agrarian pada tahun pertama terlalu radikal. Karena partai menyerang para tuan tanah kecil dan petani-petani kaya tanpa berkurang, kelas-kelas ini “menghasut pasukan-pasukan reaksioner membakar sejumlah besar rumah-rumah para petani revolusioner.” Dalam pendapat Mao para petani miskin diisolasi di wilayah Merah oleh kebijakan CCP (Komite Sentral Partai). Mao percaya jalan keluar dari masalah ini terdapat pada suatu kebijakan yang lebih toleran terhadap kelas-kelas menengah, yang di desa-desa ia dikenali sebagai tuan tanah kecil dan para petani kaya. Tugas politik partai yang utama, sepanjang ia hanya mengontrol suatu dasar yang kecil dan lemah, adalah memenangkan dukungan kelas-kelas ini. Di sini kita memiliki kemunculan “garis petani kaya” Mao (1966, 110).
“Garis petani kaya” ini, jika tidak sama sekali, terlalu sukses. Pada tahun 1933 Lo Fu, sekretaris Komite Sentral Partai, menulis dari Juichin, kota besar Sovyet, bahwa
tanah dibagi-bagikan, tetapi tuan tanah dan petani kaya juga menerima tanah dan tanah yang lebih baik. Sejumlah unsur-unsur tuan tanah dan petani kaya tetap menguasai otoritas dan posisi di desa-desa ... Beberapa dari mereka tidak di bawah kontrol partai dan institusi-institusi pemerintah dan menggunakan diri mereka untuk menanggung kepentingan-kepentingan kelas mereka sendiri ... di banyak tempat masalah tanah tampak terpecahkan, tetapi jika dilihat dari dekat tampak bahwa para tuan tanah ditemukan menerima tanah dan petani-petani kaya tetap memiliki tanah mereka yang luas (Isaacs, 1966, 344).
Mao Tse-tung sendiri menulis dalam nada yang sama bahwa
Fakta-fakta dari tempat-tempat yang tak terkira banyaknya ternyata bahwa mereka telah merebut kekuasaan sementara, disaring ke dalam kekuatan bersenjata, mengontrol organisasi-organisasi revolusioner, dan menerima tanah lebih banyak dan lebih baik daripada petani-petani miskin (ibid.).
Ini membawa kaum Komunis untuk menyadari bahwa distribusi tanah, sebagaimana terjadi, tidak cukup untuk membangun dukungan kokoh di antara petani. Dalam rangka memenangkan dukungan petani yang memadai untuk cita-citanya, mereka mulai memperoleh suatu tumpuan di dalam unit sosial di mana perjuangan untuk sumber penghasilan menjadi perang pertama. Unit sosial ini adalah desa. Pada tahun 1930-an mereka bereksperimen dengan koperasi-koperasi desa sebagai satu cara menembus desa tetapi menemukan bahwa organisasi “dari atas ke bawah” yang demikian tidak memberi suatu jawaban atas masalah-masalah mereka. Jawaban ini mereka temukan setelah Long March mereka ke barat laut. Jawaban itu bukan di dalam redistribusi tanah, tetapi dalam pendirian kontrol politik di desa-desa. Tugas ini difasilitasi dalam rumah baru mereka oleh kenyataan bahwa banjir dan bencana alam biasanya sering menghasilkan dislokasi dan relokasi penduduk dalam skala besar, maka hubungan desa-desa memiliki kekuatan dan resistensi yang lebih kurang dari tempat lainnya. Memberontak melawan para tuan tanah dan pergolakan lainnya telah menyebabkan banyak tuan tanah pergi, bahkan sebelum kedatangan kaum Komunis. Yang lainnya segera pergi sebelum ancaman invasi Jepang. Kepergian mereka meninggalkan suatu kekosongan politik di desa-desa di mana kamu Komunis dapat dan berharap mengisinya.
Di wilayah barat laut, kenyataannya, mereka menjadi lebih liberal dalam menangani reformasi tanah daripada pada masa awal pada garis petani kaya-nya Mao. Mereka mengambil alih beberapa lahan tuan tanah, khususnya para tuan tanah yang tetap dalam oposisi politik, sebaik tanah yang dimiliki para pejabat. Dengan tanah ini serta tanah yang diperoleh kembali dari tanah tak bertuan mereka membalas para petani miskin, hal ini menciptakan
suatu kelas baru secara menyeluruh. Ini adalah laki-laki dan perempuan yang terangkat dari derajat miskin dengan beban-hutang menjadi pemilik tanah dan suatu kekuatan di desanya. Mereka dikenali sebagai “petani menengah baru” (Crook dan Crook, 1959, 73).
Namun mereka tidak menghapus semua tuan tanah, dan mereka dengan hati-hati menjaga tanah para petani kaya yang bekerja di tanah mereka sendiri, meskipun dengan buruh-buruh pertanian. Malahan, mereka mengandalkan suatu pajak tanah yang progresif untuk memperkenalkan persamaan sosial yang lebih besar, dan mereka dengan tajam membatasi kemampuan lapisan atas desa untuk memeras hasil lebih petani melalui pinjaman dan hutang. Mereka membatalkan semua hutang petanis elama satu tahun dan kemudian mulai memberikan pinjaman pemerintah pada bunga 5 persen, sementara pinjaman pribadi dibuat pada tingkat bunga 10 persen. Program reformasi yang relatif ringan ini mungkin terfasilitasi karena banyak tuan tanah telah pergi, dan juga oleh fakta bahwa kekuasaan tuan tanah di wilayah utara secara umum telah lemah daripada di wilayah selatan. Sementara jumlah tanah yang disewakan pada para penyewa di selatan berjumlah antara 42 dan 47 persen area di tanah pertanian, di utara area pertumbuhan gandum pesentasenya jatuh antara 12 dan 17 (Buck, 1937, 195). Empat puluh enam persen dari seluruh petani adalah penyewa di wilayah padi selatan; di utara wilayah gandum hanya 17 persen merupakan penyewa (1937, 196). Reformasi di sini dapat juga menguntungkan para petani menengah dan mengangkat banyak petani miskin ke petani menengah (misalnya, Crook dan Crook, 1959, 121).
Tiga sosok kemenangan Komunis di utara adalah ikatan yang erat dengan area di mana mereka membangun perkubuan baru mereka. Pertama, mereka membangun bangunan kekuasaan besar di antara petani yang demikian tetapi memiliki tanah. “Pada tahun 1934 data yang ada mengindikasikan bahwa kaum Komunis dikonsentrasikan di area-area itu di mana reformasi tanah tak begitu diperlukan. Pada tahun 1945 mereka dikonsentrasikan di wilayah-wilayah di mana reformasi tanah akhirnya diperlukan” (Moise, 1967, 12). Mereka diletakkan di suatu area marjinal, di mana telah memiliki signiikansi strategis yang besar sejak awal sejarah Cina. Dan, akhirnya, mereka bergerak ke suatu wilayah yang relatif bebas dari dominasi kekuasaan superior para pemilik tanah. Reformasi mereka tetap terus kehilangan pegangan beberapa tuan tanah yang tersisa.
Reformasi juga memperkenalkan bentuk-bentuk organisasi baru – dewan-dewan desa, tim-tim kerja, persatuan-persatuan petani – yang memberi petani yang lebih miskin dan tak bertanah pengaruh politik dalam pengambilan keputusan desa. Kedua Crook, menggambarkan proses ini untuk desa Ten Mile Inn di pegunungan T’aihang, memperlihatkan bagaimana organisasi-organisasi ini menjadi
suatu dasar pelatihan untuk pengembangan suatu kapasitas kepemimpinan dan untuk aksi terorganisir yang independen di dalam bagian massa sendiri. Sedikit demi sedikit suatu kekuatan ganda berdiri di desa. Dan meskipun pada permulaan persatuan petani hanya menjadi bayangan atau organisasi sekunder, secara objektif menghasilkan para pemimpin yang akan mengambil alih pemerintah desa (1959, 52).
Organisasi-organisasi baru sering menggunakan mekanisme-mekanisme yang sungguh tradisional untuk saling membantu dan bekerja sama, biasanya didasarkan pada kerja sama kekeluargaan atau persahabatan; tetapi mereka membantu tujuan baru organisasi desa dan bertahan di bawah kepemimpinan petani. Ketika para pemimpin muda yang baru membuktikan keberaniannya, mereka dimasukkan ke dalam partai atau ke dalam organisasi-organisasi massa yang dikontrol partai.
“penetrasi desa alami” ini, secara esensial merupakan keberhasilan besar periode Yenan. Tim-tim kerja dan perang telah muncul di atas suatu dasar kerja sama tradisional, tetapi, melalui para pemimpin kader Partai mereka, telah ditransformasikan ke dalam suatu tipe organisasi yang membantu cita-cita politik-militer dan sosio-ekonomi Partai Komunis Cina. Tim ini merupakan bagian desa yang tak dapat dipisahkan, namun pada saat yang sama melebihi desa itu sendiri (Schurmann, 1966, 427).
Dengan demikian, jika organisasi-organisasi desa memberikan suatu dasar dukungan di antara petani, cara lain memperoleh dukungan adalah menjadi partai Komunis itu sendiri. Orientasi pertama-tama diarahkan pada pekerjaan di kota-kota, memperoleh dukungan petani kaya dengan perlahan-lahan. Keanggotaannya mulai dari 57 di tahun 1921 sampai mendekati 58.000 di tahun 1927; telah berkurang menjadi 10.000 di akhir tahun 1927 – setelah perpecahan dengan Kuo Min Tang. Beberapa seumber mengklaim bahwa ia telah mencapai 300.000 di tahun 193-1934, tetapi setelah Long March ke barat laut kembali hanya berjumlah 40.000. Ketika perang berakhir dan kaum Komunis berdiri seimbang di seluruh Cina, keanggotaannya telah mencapai lebih dari 1.000.000 anggota (Schurmann, 1966, 129). Secara sosial, puncak kepemimpinan komunis menyerupai kepemimpinan Kuo Min Tang.
Di kedua partai, para pemimpin diambil seringkali dari suatu lapisan atas yang sedikit dari populasi Cina. Di kedua partai orang-orang ini seringkali merupakan anak-anak tuan tanah, pedagang, orang berpendidikan, atau para pejabat, dan mereka biasanya datang dari bagian Cina di mana pengaruh Barat pertama kali menembus dan penembusan itu sendiri sangat hebat. Banyak dari mereka memiliki pendidikan tinggi, dan banyak dari mereka belajar di luar negeri. Para pemimpin kedua partai, meskipun secara relatif berstatus tinggi dalam kehidupan pribadi, memperlihatkan suatu keengganan atau barangkali suatu ketidakmampuan memantapkan karir pribadi. Mayoritas merupakan intelektual-intelektual yang teralienasi, laki-laki dan perempuan di mana pendidikan Barat mengisolasi mereka dari arus utama masyarakat Cina ... partai manapun yang mereka masuki, Komunis atau Kuomintang, mereka berbeda dari elit kerajaan ... dalam hal itu mereka diambil dari suatu lingkaran yang lebih besar ... revolusi yang baru terjadi di Cina telah membawa anak-anak komprador orang kaya baru, kelas-kelas bisnis lain kota-kota pesisir, anak-anak tuan tanah, dan baru-baru ini, bahkan, anak-anak petani kaya (North, 1965, 376-377).
Bagaimanapun, ada juga perbedaan karakteristik:
Pemimpin Komunis karakteristik adalah anak seorang tuan tanah atau petani kaya, sementara pemimpin Kuomintang yang karakteristik adalah anak dari seorang pedagang atau kaum urban lainnya (1965, 395) ...
Elit Kuomintang lebih banyak dari wilayah pesisir, biasanya di sekitar Shanghai dan Hongkong, sementara konsentrasi terbesar para pemimpin Komunis dari Cina Tengah – lembah Yangtze (1965, 402).
Lebih jauh, pertarungan antara Kiri dan Kanan menonjolkan profil ini: “kemunduran Kiri dan kenaikan Kanan merupakan salah satu faktor yang membuat Kuo Min Tang semakin menjadi partai pedagang dan kurang berorientasi pada tuan tanah atau pedesaan” (1965, 409). Sebaliknya, mirgrasi partai Kimunis ke daerah pedalaman untuk terus menempatkan personil intelektual kelas menengah dan kelas tinggi partai dilatarbelakangi oleh anak-anak petani. Tentara Merah khususnya menjadi satu saluran untuk mobilisasi petani. Dengan demikian tidak mengejutkan bahwa pada tahun 1949, ketika kaum Komunis tetap siap mengambil seluruh Cina, sekitar 80 persen anggota partai adalah petani. Pada tahun 1956 para petani tetap terhitung mendekari 70 persen keanggotaan; tiga perempatnya petani-petani miskin, seperempat petani menengah (Lindbeck, 1967, 89; Schirmann, 1966, 132).
Unsur ketiga dalam jajaran kekuatan baru ditakdirkan muncul dari tahun-tahun di pedalaman adalah Tentara Merah. Ia, juga, berjalan melalui sejumlah tahapan berbeda perkembangannya. Tahap pertama ditandai oleh pemberontakan beberapa pecahan resimen Tentara Revolusioner Nasional Kuo Min Tang yang melaksanakan eksperimen ke utara, disebut “ujung besi”. Mereka – 20.000 pasukan – memberontak di Nanchang pada tanggal 1 Agustus 1927. Mereka digabung oleh 3000 kadet militer, penambang, dan kaum pekerja lainnya. Pada saat yang sama Mao Tse-tung sedang mengorganisir sebuah pasukan partisan di Hunan dari para penambang, penjaga petani, dan prajurit Kuo Min Tang yang memberontak. Berbeda dengan pola-pola rekruitmen kemudian, para pekerja sangat merepresentasikan Tentara Merah pertama. Tercatat khususnya partisipasi penambang dari pertambangan besi terbesar di Cina, pertambangan Hanyehping dekat Wuhan, yang ditutup pada tahun 1925 dan memaksa seratus ribu penambang keluar kerja. Para penambang juga merepresentasikan pasukan Hunan-nya Mao (Wales, 1939, 244). Namun Tentara Merah awal ini dibinasakan pada tahap perkembangan pertama yang gagal ketika partai Komunis masih berharap merebut kota-kota dan belum memutuskan mundur ke daerah pedalaman. Dari 25.000 partisipan pada pemberontakan Nanchang, hanya 1.700 tersisa (1939, 244). Mao berlindung hanya dengan seribu yang selamat dari tentara Hunan-nya (Snow, 1938, 164). Namun dengan merekrut petani – satu kebijakan yang diputuskan di daerah pedalaman – pasukan sekali lagi bertambah kuat di kubunya di pedalaman sampai ia sekali lagi berjumlah 200.000 pada tahun 1934. Mereka juga didukung oleh Penjaga Merah dan para gerilya dalam jumlah yang sama. Direkrut dari sejumlah besar petani, tetapi juga menerima penguatan dari pemberontak pasukan Kuo Min Tang. Sekitar 600 sampai 700 min t’uan, bertindak sebagai alat bantu Kuo Min Tang, membelot ke pasukan Merah di Kian pada tahun 1929, dan 20.000 pasukan KMT menyeberang di Ningtu pada tahun 1931 (Wales, 1939, 129-130, catatan kaki 55). Pasukan-pasukan ini bertahan di area Sovyet Pusat sampai tahun 1934 ketika tekanan militer yang melimpah mendorong mereka untuk mengungsi dan melakukan Long March sejauh enam ribu mil ke utara. Dari 310.00 hanya sekitar 100.000 orang bertahan dari kekerasan Long March (Wales, 1939, 61). Namun ada tahun 1945, pasukan lebih besar dari sebelumnya, berjumlah mendekati 500.000 (Johnson, 1962, 74). Selama lingkaran penipisan dan pemberontakan ini, partisipasi petani di dalam tentara bertambah semakin besar. Nym Wales memberikan gambaran persentase untuk Tentara Merah Front Pertama dari Sovyet Pusat di Kiangsi:
58 persen laki-laki dari pasukan ini datang dari petani; 38 persen datang dari “proletariat pedesaan”, termasuk pekerja ertanian, para magang, dan pengrajin di industri desa, pekerja transportasi dan sejenisnya, sementara bagian 38 persen dibangun dari pekerja industrial pabrik-pabrik kota, pertambangan, pekerja barang tembikar, dan lain-lain. Sisa 4 persen datang dari borjuasi kecil dan biasanya anak-anak tuan tanah kecil yang lebih muda, pedagang, intelektual dan sejenisnya (Wales, 1939, 56-57).
Mobilisasi desa untuk partai dan pasukan serta pendudukan oleh kaum Komunis atas komunikasi dan kontrol penting secara besar-besaran diintensifkan dan dipercepat oleh invasi Jepang tahun 1937. Sebaliknya Kuo Min Tang, yang mencoba membeli waktu untuk suatu pembangunan militer melalui ruang yang diberikan para agresor, Long March telah menempatkan Tentara Merah dengan tepat dalam tekanan Jepang. Gerakan inimembuat kesadaran melepaskan pengepungan Kuo Min Tang, tetapi juga memperlihatkan bahwa Tentara Meah disiapkan untuk mempertahankan Cina melawan musuh-musuh luar negerinya, sementara Kuo Min Tang membuang-buang sumber penghidupan dan orang-orang di dalam suatu perjuangan internal melawan sesama Cina. Chalmers Johnson berpendapat bahwa invasi Jepang terbukti katalis utama dalam pengerahan petani ke Komunis menyebabkan:
ini berhasil menyebabkan penduduk menjadi mau menerima satu jenis seruan politik yang khusus; dan Partai Komunis – dalam salah satu penyamaran – adalah tepat untuk seruan tersebut: ia memberikan pertemuan harapan rakyat akan kepemimpinan dalam perlawanan terorganisir dan dalam meredakan anarki akibat perang di wilayah pedesaan (1962, 7).
Dalam proses perang hubungan antara desa, partai dan pasukan dikonsolidasikan, Tentara Merah membesar mencakup setengah juta orang, dan kaum Komunis mengakhiri perang dengan kontrol atas suatu populasi sepuluh kali lebih besar dari sembilan juta orang yang mereka kontrol di provinsi-provinsi barat laut pada tahun 1938. Pendirian kubu utara di wilayah petani bertanah mengijinkan pembanguan suatu aparatur kekuasaan revolusioner di seluruh Cina pada tahun 1949. Kita mungkin memberi keberhasilan kaum Komunis dalam membangun dasar kekuasaan ini pada kberhasilan mereka dalam mengerahkan petani yang secara taktis bergerak di pihak mereka di bawah kondisi peperangan, pertama melawan Kuo Min Tang, kemudian melawan Jepang. Tanpa perang sebagai sebuah katalis, koalisi pemimpin Komunis dengan petani tak akan mencatat sukses yang sama. Keberhasilan ini, lebih jauh, berbeda tajam dengan kegagalan bagian Cina yang tetap di bawah kontrol Kuo Min Tang. Penjelasan yang beragam dan berbeda tampak untuk kegagalan Kuo Min Tang (Loh, 1865). Pasukan Kuo Min Tang gagal di mana pasukan Komunis berhasil; usaha reformasi tanah oleh rejim Kuo Min Tang tak terwujud; di mana reformasi di wilayah Komunis ternyata memunculkan keberhasilan di mana perang dan inflasi secara fatal melemahkan rejim Chiang Kai-shek, ia menguatkan kapasitas kaum Komunis untuk bertahan di setiap level. Keberhasilan ini dimungkinkan karena ia memperoleh partisipasi suatu tipe petani yang khusus di zona marjinal Cina. Pada saat yang sama, Komunis tidak menjadi sebuah :partai petani”, bahkan meskipun mereka merekrut petani ke dalam organisasi mereka sampai hal ini ternyata merupakan mayoritas yang sangat banyak dari keanggotaannya. Mereka mampu mempergunakan energi petani, tetapi untuk akhir yang tak pernah diimpikan oleh petani.
Revolusi telah membalik struktur masyarakat Cina, dan menciptakan mimpi-mimpi millenarian pemberontakan realitas sosial petani masa lalu. Negara Cina yang baru mengklaim menjasi suatu keturunan Taiping, lebih daripada sebagai keturunan kaum terdidik Konfusian. Namun ada juga yang terus berlanjut. Konsep tradisional elit pengatur sebagai suatu yang tidak turun-temurun dan rekruitmen kelas terbuka dengan ujian sangat sejajar dengan konsep Komunis mengenai suatu rekruitmen partai dari populasi yang luas. Sejenis dengan tradisi yang biasanya mengenai manajemen hidrolik dan kerja publik, negara selalu melihat diri sendiri sebagai sumber utama pokok keputusan. Akhirnya, negara tidak hanya merupakan suatu kestuan politik, tetapi pembawa suatu tatanan moral, diekspresikan dalam ritual dan seremoni. “Seremoni adalah ikatan yang menggenggam keberagaman bersama-sama,” kata Buku Upacara kuno, “dan jika ikatan ditiadakan, keberagaman itu jatuh ke dalam kekacauan.” Di dalam Cina Komunis, ideologi memberi suatu peran penting yang krusial, sungguh-sungguh berbeda dengan tradisi Marxis (lihat Fried, 1964).
Mao bergandengan tangan dengan kawan-kawannya berhasil menanamkan diri mereka dalam satu wilayah yang terus diberkahi di Cina, secara tradisional dalam cengkraman kelaparan, dengan menunjukan pada para petani yang sedikit melek huruf bahwa mereka adalah yang melakukan suatu ritual baru bernama Kolektivitas dan keuntungan untuk semua (Karol, 1967, 25).
Masa lalu ditandai oleh definisi-definisi Konusian mengenai pentingnya hubungan-hubungan sosial. Tugas ini jatuh di masa sekarang pada Pemikiran Mao, dengan desakannya bahwa sangsi-sangsi pokok dalam masyarakat baru kurang menghasilkan paksaan daripada ajaran moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.