Sofyan Sjaf
Umumnya, sebagian besar pendapat mengatakan bahwa sumber pengetahuan berasal dari dua aras pemikiran yang berbeda, yakni rasionalisme dan empirisme. Mereka yang berpegang pada paham pertama (disebut kaum rasionalis) begitu mengagung-agungkan rasio dengan metode deduksinya sebagai sumber pengetahuan. Berbeda dengan paham pertama ini, kaum empiris (istilah bagi mereka yang berpaham empirisme) menganggap bahwa sumber pengetahuan berasal dari pengalaman empiris dari seseorang yang kemudian ditarik dengan metode induksi sebagai sumber pengetahuan.
Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa perbedaan kedua pemikiran di atas dapat memberikan ilmu sekaligus pengetahuan bagi manusia untuk memahami fenomena kehidupan dengan kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Dalam bingkai ini, bagaimana menempatkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan atau sumber pengetahuan?
Setidaknya makalah ini ditulis, tidak lain dimaksudkan untuk memaparkan sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan keshahihannya, pendekatan yang digunakan untuk mengalisis adalah menggunakan hakekat/filosifis ilmu pengetahuan yang di dalamnya terdapat aspek ontologi dan epistimologi.
Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan Sebagai Ilmu Pengetahuan
Sosiologi maupun Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, tidak lain adalah seperangkat fakta sosial yang terkristal dalam bentuk teori/konsep/cara pandang yang digunakan sebagai tools atau pisau analisis untuk mencari dan menelusuri kebenaran-kebenaran yang nampak (realitas) maupun tidak nampak (peramalan) dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan, dapat ditelusi secara hakekat/filosofis dari aspek epistimologi, ontologi, maupun aksiologi sebagai suatu pemikiran yang konprehensif untuk menelusuri, mencari, dan memperediksi gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
JF. Ferrier merupakan seorang filsuf yang pertama kali melakukan pembedaan antara ontologi dan epistimologi pada tahun 1854 (Hunnex, 2004). Ontologi menurutnya adalah bagaimana mempertanyakan apa realitas yang ada, sedangkan epistimologi merupakan teori pengetahuan yang menanyakan dengan apa manusia bisa mengetahui. Adapun aksiologi lebih berbicara tentang sumber nilai, yang di dalamnya terkandung epistimologi dan ontologi secara bersamaan[1].
Dalam bingkai di atas, Kattsoff (2004) dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Filsafat” menguraikan empat paham/teori untuk mengungkapkan cara manusia bisa mengetahui suatu realitas (epistimologi). Adapun keempat teori yang dimaksud, sebagai berikut:
(1). Teori Koherensi (Coherence Theory), yakni suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Atau dengan kata lain, paham ini mengatakan bahwa derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi derajat kebenaran, sedangkan keadaan saling berhubungan dengan semua kenyataan memberikan kebenaran mutlak.
(2). Teori Korespondensi (Correspondence Theory), yakni suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya. Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya.
(3). Teori Empiris (Empirist Theory), yakni memandang proposisi bersifat meramalkan (predictive) atau hipotetis, dan memandang kebenaran proposisi sebagai terpenuhinya ramalan-ramalan.
(4). Teori Pragmatis (Pragmatism Theory), yakni proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita.
Berbeda dengan epistimologi, makna penting dari ontologi adalah pembedaannya antara pihak yang mengetahui dan hal yang diketahui (Hunnex, 2004). Tentang hal ini, Kattsoff (2004) menegaskan bahwa ontologi merupakan jawaban pertanyaan mengenai hakekat kenyataan. Untuk itu, Kattsoff merumuskan sejumlah pernyataan mengenai kenyataan, yang terdiri dari:
(1). Kenyataan bersifat kealaman (naturalisme), yakni kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusunan kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Dalam hal ini, kaum naturalisme berpendapat bahwa faktor-faktor penyusun segenap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi.
(2). Kenyataan benda mati (materialisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia tersusun dari seperangkat materi. Dalam hal ini, kaum materialisme lebih mendalam memaknai segala kejadian dibandingkan dengan kamu naturalisme. Meski demikian, seorang materialisme terkadang sependirian dengan seorang naturalisme.
(3). Kenyataan bersifat kerohanian (idealisme), yakni kejadian-kejadian yang nampak dalam kehidupan manusia pada prinsipnya tidak terlepas dari jiwa atau roh sebagai dasar dari kehidupan manusia. Dalam hal ini, kaum idealisme terpecah menjadi dua golongan, pertama, kaum spritualisme yang berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya. Kedua, kaum dualisme yang berpandangan bahwa yang terdalam ialah jiwa semesta yang berprinsip bahwa materi tidak berasal dari jiwa, meskipun materi berkesinambungan dengan jiwa.
(4). Hylomorfisme, yakni kejadian-kejadian sebagai bentuk kenyataan yang ada disekeliling manusia terdiri dari bahan dan bentuk. Dengan kata lain, terdapat esensi dan eksistensi dalam diri setiap manusia dalam membentuk kenyataan yang ada disekelilingnya.
(5). Positivisme logis, yakni pandangan yang mendasarkan diri pada penalaran akal dan semuanya memakai perangkat fakta yang sama sebagai landasan penopang untuk menunjukkan kebenarannya. Dengan demikian, ontologi positivisme logis meniadakan atau menolak segala bentuk yang berbau metafisika.
Selanjutnya, dari pembedaan epistimologi dan ontologi di atas, kemudian dapat digunakan sebagai alat (tools) atau kerangka analisis untuk memetakan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan untuk mengalisis gejala sosial yang hadir di masyarakat. Jika ”aliran” dalam epistimologi dan ontologi saling disilangkan (dibuatkan matriks), maka akan terurai 20 sel sebagai perwujudan dari peta pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologinya, yakni: naturalisme – koherensi, naturalisme – korespondensi, naturalisme – empiris, naturalisme – pragmatis, materialisme – koherensi, materialisme – korespondensi, materialisme – empiris, materialisme – pragmatisme, idealisme – koherensi, idealisme – korespondensi, idealisme – empiris, idealisme – pragmatisme, hylomorfisme – koherensi, hylomorfisme – empiris, hylomorfisme – korespondensi, hylomorfisme – pragmatisme, positivisme logis – koherensi, positivisme logis – korespondensi, positivisme logis – empiris, dan positivisme logis – pragmatisme.
Meski demikian, perlu kembali ditekankan, bahwa pembuatan matriks di atas sekedar mempermudah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan sebagai seperangkat ilmu pengetahuan yang mana tidak mustahil banyaknya sel yang ada di dalam matriks menunjukkan jumlah pemetaan pemikiran Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan yang ada hingga saat ini dan sebaliknya.
Sosiologi dan Sosiologi Pedesaan: Ilmu Pengetahuan yang Berdasar
Slattery (2003) dalam bukunya yang berjudul ”Key Ideas in Sociology” kembali menegaskan bahwa sosiologi sebagai displin ilmu pengetahuan, dapat dicermati dari beragam isu, meliputi: ketertiban sosial dan perubahan, kekuasaan dan penguasaan sosial, ketidakmerataan dan stratifikasi sosial.
Dari semua itu, Slattery (2003), kemudian merangkumnya berdasarkan pandangan dari tokoh sosiologi, yakni: (1) Aguste Comte, sebagai “bapak” sosiologi peletak positivisme berpendapat bahwa sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada logika penalaran; (2) F. Tonnies dengan konsep “gemmeinschaft – gesselschaff” untuk mengkaji “The Lass of Communty in Industrial Society”, yakni studi tentang komunitas dan sosiologi masyarakat kota; (3) Robert Michels mengkaji tentang sosiologi kekuasaan, khususnya elit penguasa sebagai fokus utama sosiologi modern; (4) George Herbert Mead, peletak dasar teori interaksi simbiolisme; dan (5) E. W. Teller mengembangkan konsep kunci tentang perdebatan sosiologi industri.
Berbeda dengan Slattery, Collins (1994) yang mencoba mendefinisikan teori-teori sosiologi ke dalam empat tradisi besar, yakni: (1) tradisi konflik, yang didasarkan argumen bahwa konflik yang terjadi dimasyarakat bukanlah hal yang sederhana , tetapi sangat luas dan berkembang dalam kehidupan masyarakat; (2) tradisi rasional atau utilitarian, yang berpandangan liberal (tapi lunak) dan rasional dari masing-masing induvidu; (3) tradisi durkheim, yang berpandangan makro dan mikro. Pandangan makro lebih menekankan pada suatu fakta yang dibayangkan sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Sementara itu, pandangan mikronya lebih menekankan pada mekanisme ritual-ritual sosial kelompok yang menghasilkan solidaritas; dan (4) tradisi mikro interaksi, yang berpandangan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan membedakan interaksionisme simbolik dan akar behaviorisme.
Merujuk dari dua pendapat di atas (baik Slattery maupun Collins), jika dianalisis dengan menggunakan kerangka ontologi dan epistimologi, maka sosiologi sebagai ilmu pengetahuan tidak diragukan lagi dalam mennguraikan dan menjelaskan gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua tradisi atau teori sosiologi yang ada mengisi ruang sel-sel yang ada.
Berdasarkan bacaan penulis dari tulisan Slaterry (2003) dan Collins (1994), pemetaan pemikiran sosiologi sebagai ilmu pengetahuan dapat dibagi ke dalam delapan kategori, yakni: (1) Naturalisme – Koherensi, meliputi: teori Gemmeinschaft dan Gesselschaff oleh F. Tonnie; (2) Naturalisme – Korespondensi, meliputi: tradisi Durkheim tentang pandangan makronya, yakni kondisi eksternal (alam) mempengaruhi individu; (3) Naturalisme – Empiris, meliputi: teori-teori ekologi; (4) Materialisme – Koherensi, meliputi: tradisi konflik atau teori kelas sosial, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia; (5) Materialisme – Empiris, meliputi: teori-teori sosial hijau (Green Social Theory); (6) Idealisme – Korespondensi, meliputi: tradisi mikro interaksi dan teori interaksi simbiolik; (7) Positivisme logis – Koherensi, meliputi: Weber, fenomenologi, strukturalisme, dan neo-fungsionalisme; dan (8) Positivisme logis – Korespondensi, meliputi: Auguste Comte, tradisi Durkheim tentang pandangan mikronya, tradisi rasional (teori pertukaran, teori pengambilan keputusan rasional), behaviorisme, modernisasi.
Jika uraian di atas, telah memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar, lalu bagaimanakah dengan sosiologi pedesaan itu sendiri dapat dikatakan ilmu pengetahuan?
Seperti halnya dengan analisis sebelumnya, sosiologi pedesaan dikatakan sebagai ilmu pengetahuan apabila secara aspek ontologi dan epistimologi mampu menguraikan kenyataan sebagai kebenaran untuk memahami gejala sosial di masyarakat. Untuk menelusuri ini, penulis merujuk buku ”Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1)” dimana Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo (alm.) sebagai penyunting. Adapun dasar rujukan ini diambil, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Sajogyo dalam bukunya yang berjudul ”Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji)”:
”…studi sarjana Sarjana 4 tahun di IPB (1971-1974) yang disertai ukuran bobot SKS dan dua “semester” dalam setahun, terjadilah perkembangan baru dimana saya memilih menyusun suatu “kumpulan bacaan” berisi topik-topik sosiologi yang pernah ditulis sejumlah peneliti sosiologi/antropologi/penyuluh pertanian dan pernah diterbitkan di buku atau majalah…”
Dalam buku kumpulan bacaan tersebut, berisi tujuh bab yang membicarakan tentang pola-pola kebudayaan, proses-proses sosial, lembaga kemasyarakatan, grup sosial, organisasi sosial, sistem status dan pelapisan masyarakat, dan pola hubungan antarsuku bangsa. Meski tidak membaca dan menganalisis secara keseluruhan kumpulan bacaan sosiologi pedesaan yang disunting oleh Prof. Dr. Sajogyo dan Prof. Pujiwati Sajogyo, akan tetapi tulisan-tulisan yang disajikan pada buku tersebut, memberikan gambaran kepada kita perihal sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan yang syarat dengan ontologi dan epistimologinya.
Berangkat dari analisis terhadap beberapa bacaan yang penulis lakukan berdasarkan aspek ontologi dan epistimologi, maka pemetaan pemikiran dalam sosiologi pedesaan dapat dibedakan ke dalam 7 kategori, yakni: pertama, naturalisme – empiris, sebagaimana diuraikan dalam tulisan berjudul ”Timbulnya “Desa Jawa” dari masyarakat transmigrasi spontan”; kedua, materialisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia (bagian konflik & persaingan)”, ”Mengembalikan keberadaan gerakan masyarakat”, dan ”Kerjasama dan struktur masyarakat di Desa Cibodas”; ketiga, materialisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Mahasiswa dan Keluarganya”.
Keempat, idealisme – koherensi, dapat dilihat pada tulisan yang berjudul ”Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia”; kelima, idealisme – korespondensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ”Sistem budaya Bugis – Makassar” dan “Ciri-ciri penghidupan masyarakat pedesaan di Indonesia”; keenam, positivisme logis – koherensi, tergambar dalam tulisan yang berjudul ” Pola perdagangan dan keuangan dalam masyarakat tani di Jawa”; dan ketujuh, positivisme logis – korespondensi, dapat dilihat pada tulisan berjudul ” Proses pembaharuan antar pola kebudayaan” (lihat Tabel 3).
Membandingkan Tradisi Sosiologi Barat dan Tradisi Sosiologi Asia
Dari uraian panjang di atas, penulis sangat sadari bahwa tulisan yang mencoba menguraikan peta pemikiran sosiologi dan sosiologi pedesaan sebagai ilmu pengetahuan (merujuk tiga referensi) masihlah sangat minim. Oleh karena itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk membandingkan dua tradisi sosiologi (Barat versus Asia) yang berkembangan saat ini.
Upaya ini dirasa sangat penting karena belum terdapat satu kajian yang mendalam perihal tradisi sosiologi yang berkembang di Asia, khususnya di Indonesia. Dengan kata lain, kajian yang mendalam tersebut dimaksudkan untuk membangun tradisi baru tentang ”Sosiologi Indonesia” yang tentunya berangkat dari fenomena masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal ini disadari harena tradisi sosiologi yang berkembang di Indonesia masih didominasi oleh tradisi sosiologi barat dengan beragam perspektifnya.
Referensi
Collins, R., Four sociological traditions, New York and Oxford: Oxford University Press,1994.
Hunnex, MD., Peta Filsafat: Pendekatan Kronologis dan Tematis, Bandung: Teraju, 2004.
Kattsoff, LO., Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.
Ritzer, G. dan Goodman, DJ., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana, 2003.
Sajogyo dan Pujiwati Sajogyo [penyunting], Sosiologi Pedesaan: Kumpulan Bacaan (Jilid 1), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.
Sajogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan Sebagai Kasus Uji), Yogyakarta-Bogor: SAINS, CINDERALAS, Sekretariat Bina Desa Sadajiwa, 2006.
Slattery, M., Key ideas in sociology, Cheltenham: Nelson Thornes Ltd., 2003.
[1] Berkaitan dengan aksiologi, Kattsoff (2004) mengatakan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki kakekat nilai atau biasa disebut filsafat nilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.