Malam ini laron-laron tak lagi bertebaran menganggu diskusi, jenis serangga macam itu memang hanya ditemukan dikawasan pedesaan. Kemarin sore, aneka macam serangga sejenis laron kerap kali keluyuran diatas kepala, mungkin itu maksud yang baik, atau iuga ingin berpartisipasi , dalam diskusi yang nampak tidak terlalu serius bersama beberapa petani di desa Peura Kabupaten Poso. Dan kini, untung sekali, pikiran yang membuat otak melilit ini, hanya baru bisa direfleksikan setelah kaki letih, duduk semalaman diatas mobil travel Pamona-Palu.
Tempat duduk paling belakang, bersebelahan dengan seorang anggota TNI bernama Ferdi. Kebetulan pria berbaju loreng ini baru saja selesai berlibur dan kembali tugas di Jayapura. Tapi duduknya dia disamping memacu ulang memori yang bolepotan dengan unek-unek kekesalan perilaku aparat TNI yang sejenisnya, terhadap sejumlah perempuan Peura yang menolak pembangunan tower pada 2 maret 2011, menjadi sempurna dimalam itu.
Rintih kekesalan ini bertambah besar setelah pula menoleh ke kursi samping kanan, disana duduk seorang perempuan mengenakan jaket berlogo Polri, sedang memijit tombol Handphone, sebuah alat komunikasi moderen yang menjatuhkan beberapa martabat mitos. Kekesalan ini tentu saja bukan diarahkan pada dua anak manusia ini, tapi warna dan logo itu, seolah-olah menjadi bayang-bayang nyata aktivitas sehari-hari. Penuh dengan duka, tangisan, bahkan pula darah yang tidak terhitung. Terlebih lagi, atas nama pembangunan kini proyek pengawalan investasi sudah seperti nomenclatur sah keberadaan TNI-Polri untuk jadi penjaga irama, dering-dering suara senyap dikabut desa sedikit lagi akan meraung deruh riuh mesiu.
Kabar nyaman tak pernah sampai menjelang magrib, apalagi menutup mata untuk istirahat, suami-suami sibuk menjaga posko, lantaran teror si RT, tak kenal jadwal. Meski bermodal mesin diesel beroda empat, klakson pengangkutan sirtukil dan batu ciping itu sungguh dahsyat. Mengapa demikian, mungkin anda akan bertanya begitu? Disebut dahsyat, karena iring-iringan kepala cepak bersepatu laras, telah menyeret istri-istri petani. Pria berkepala polontos dan berperut buncit itu, ternyata pandai sekali melipat kaki perempuan hingga terlihat seperti sedang mengamankan anjing gila.”tak ada keadilan” seruh sang ibu ditengah lagu-lagu rohani untuk pemakaman sedang dilantunkan.
Seberang jalan, juga rintih kesakitan sang ibu kedengaran sayup, mungkin karena nyanyian sedih itu. Tapi sungguh nyata, kakinya dilipat dan tangannya diremas serta belakangnya diinjak. Hingga dada sang ibu pun turut dibenamkan ke tanah, nyaris merusak hak paten sang balitanya, yang kini belajar mengenal huruf kapital.
Tapi apa kata para pembesar itu? Didalam Gedung mewah DPRD Poso, para pembual itu telah berusaha “meracuni” kunjungan suci DPRD provinsi Sulteng. Mereka berkoar-koar menyalahkan pemberitaan salah satu tv swasta dan berusaha membuktikan bahwa tidak benar terjadi pelanggaran HAM. Meski kita sendiri faham, sangat jarang aparat militer mengerti dengan soal IT. Tapi sudahlah, kebiasaan main hakim tanpa proses peradilan itu latar belakang mereka.
Yang lebih menyakitkan, terutama bagi Komnas-Ham Institusi negara penegak HAM, ditentang oleh pemilik Poso Energi, atas rekomendasinya yang mendesak Poso energi menghentikan sementara pembangunan SUTT. Yang tak kalah hebat, sekretaris Kabupaten juga menyerang LSM sebagai biang konflik, meski mereka tak pernah tahu kalau Poso energi juga banyak pake LSM. Tapi itu rumit, menjelaskannya mesti pamit dengan para ahli, soalnya hak paten teori amat sulit bagi petani lantaran telah dipaku oleh selembar ijasah.
Ah, kembali disini, duduk berpangku lutut diatas kursi kayu warisan pendahulu organisasi, berkat komitmen mereka yang kuat, akhirnya meja kayu dan kursi plastik ini bisa memberikan sedikit saluran penderitaan pribadi, mungkin juga dengan rakyat, semoga itu benar. Kembali menaruh lembaran-lembaran berkas, membacanya, memperkuat ingatan. Semboyan ingin bebas dari masalah tetap melintas dalam usaha fokus ini”adakah tempat yang tidak ada masalahnya? Kalau ada saya ingin pindah kesana?” begitu orang desa Peura bertanya, entah iseng atau serius, itu menandakan mereka sudah semakin muak, dengan tekanan-tekanan mental. Serasa Tower dan kabel listrik memenjara kedamaian mereka sepanjang hari.
“Ya, rakyat memang selalu begitu tak pernah berhenti mengeluh”, kata temanku. Ini gurauan jelas, tapi menjadi kedengaran menjengkelkan karena diucapkannya setelah melahap habis sisa tahu diatas meja. Belum lagi pikiran-pikirannya yang rumit, membuat keadaan menjadi tambah kalut. Kita mungkin dapat berharap, kalau sisa umur memungkinkan, tragis kehidupan petani akan terus berulang.
"Seperti sudut segitia siku "kata temanku. Bangsa yang terbelakang ini memaku perkembangan kita diujung bayonet. Kalau pun ada yang agak ringan, kita hanya bisa menonton rakyat menjadi pelaku aktif bagi penderitannya sendiri. Lantaran, logika butuh makan ditambah goyangan pemberdayaan ala tanggung jawab perusahaan membuat khasanah penderitaan rakyat menjadi komplit.
Dan disana, Kalla Family diatas kasur busa "nan" empuk, tentu hanya bisa menonton dari tabung berwarna alias Televisi. Bukan karena tak punya kekuatan, soal pentingnya adalah saudagar kondang yang sering dijuluki ahli damai ini punya posisi penting dalam urutan orang terkaya Indonesia. Kalla Group pada tahun 2009 berada diurutan 26, memiliki kekayaan sebesar 105 Million yang bergerak di bidang engineering, property, konstruksi dan telekomunikasi. Meski pragmatis, setiap pengusaha pasti tahu kata efesien dan efektif, artinya rugi adalah musuh utama, entah itu penyebabnya karena pajak, penolakan warga. Yang jelas tak boleh rugi!
Tak boleh rugi? Apakah ini berkaitan dengan prosentase angka warga yang menolak dan menerima?hush……., sebaiknya itu tidak dibesar-besarkan karena sama sekali tidak relevan lagi” itu seru. Kita menunggu esok, kalau saja benar tower itu pindah.
Entah dibisik oleh siapa, tiba-tiba seorang anggota dewa mengulur Logika-logika yang beralaskan atas nama pembangunan. Dalam ceramah singkat dihadapan teman si Ibu Betti, pria yang terpilih oleh juga suara dari desa Peura ini mengatakan”jangan menolak pembanguan tower karena itu dianggap tindakan anti pembangunan”.
“Pantas saja kasus ini tak pernah selesai, soalnya hampir semua fihak sudah bela Poso energi”kata Betti. Lian Gogali pendamping korban juga berseruh “….itu cara-cara lama orde baru untuk membungkam hak demokratis warga, yang selama ini menempatkan rakyat menjadi korban pengerukan keuntungan……….”.
Jika begitu sepertinya kasus ini juga turut serta memberikan peluang bagi kita semua, untuk kembali mengkerutkan jidat. Mengapa demikian? Sebab amanat konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk terlibat dalam setiap perencanaan pembangunan, baik-buruknya, diterima atau tidak, kini tak bersuara keras lagi. Meski mekanisme musyawarah sudah berulang kali diinfus “bak ransum abadi”, tetap saja para kompetitor kolusi ini beranggapan bahwa kelompok yang menolak dianggap tak penting menjadi alasan? Sungguh Ironi!(dika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.