Ada
sejarah menarik yang perlu di ingat, mengenai kekacauan pemerintah dalam
menetapkan wilayah tambang di daerah morowali. Sejak tahun 1964, warga
Bahomotefe mulai berurusan dengan persoalan tambang yakni Inco Ltd telah
melakukan pemboran untuk sampel bahan kandungan nikel atau eksplorasi.
Sejak
itu berbagai macam persoalan serius mucul akibat aktivitas perusahaan raksasan
tersebut, Pertama, areal konsesi PT. Inco terletak di wilayah tradisional yang
secara turun-temurun dimiliki dan dikuasai oleh penduduk setempat. Kedua,
tumpang tindih areal konsesi Inco dengan pemukiman eks transmigrasi di Desa One
Pute Jaya (Eks UPT Bohomotefe), Bahomakmur (eks UPT Bohodopi). Lihat (Kertas
Posisi YTM 02/ 2001).
Hingga
kemudian pilihan yang di tempuh pemerintah adalah relokasi penduduk. Eks
transmigran akan dipindahkan ke tempat lain.
Tahun
1995, rencananya, transmigran yang berasal dari Nusa Tenggara Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Bali akan dipindahkan ke Saembawalati Tomata Kecamatan
Mori Atas Kabupaten Poso dan sekerang telah menjadi bagian Administrasi
Kabupaten Morowali. Yang sejak tahun 1991 ditempatkan di UPT Bahomotefe dan UPT
Bahodopi, jumlah transmigran di kedua UPT itu lebih dari 4000 jiwa. Itupun
lokasi transmigran adalah tanah-tanah adat dari kurang lebih 89 orang penduduk
asli, yang ditanami berbagai macam tanaman seperti pisang, sagu, kelapa,
cokelat, cengkeh, kopi, kapuk dll.
Sejak
awal kehadiran Inco telah menanam benih konflik dengan To Bungku mulai dari
persolan tumpang tindih areal, ganti rugi lahan hingga dampak-dampak lingkungan
yang di timbulkan. Sehingga protes dan berbagai macam tuntutan pun dilakukan
warga, namun tindak perna mendapat respon yang baik dari Pemerintah Kabupaten,
Provinsi maupun Pemerintah Pusat sebagai yang memiliki kebijakan mengeluarkan
Kontrak Karya (KK). Lihat (Kertas Posisi YTM 02/ 2001).
Walaupun
warga melakukan aksi penyegelan base camp, dan aksi pembakaran dua base camp
pada 06 Februari 2012 yang menuntut Inco merealisasikan pembangunan pabrik. Hal
itu merupakan bagian protes dari puluhan kali aksi-aksi yang dilakukan warga.
Tuntutan warga yang berasal dari dua kecamatan yakni kecamatan Bahodopi dan
Kecamatan Bungku Timur, juga mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten
Morowali Anwar Hafit dan pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Longky Janggola.
(Mercusuar, 9 Feb 2012).
Aksi
ini pun mendapat respon dari kalangan LSM, Masyarakat, Aktivis dan Kalangan
Mahasiswa yang menggap aksi tersebut tidak murni yakni ada dugaan bahwa aksi
yang dilakukan ribuan masyarakat yang berasal dari dua kecamatan di kabupaten
Morowali, adalah hasil mobilisasi di balik (PT Graha Sumber Mining Indonesia
anak perusahaan dari PT. Sulawesi Resources). Jika itu benar pemerintah daerah
telah melakukan konspirasi untuk mendapat keuntungan karena saat ini terdapat
43 perusaan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), di atas areal
Kontrak Karya (KK) PT. Inco yang telah berubah nama menjadi PT. Vale Indonesia
Tbk.
Sangat
rancu, diatas KK Perusahaan raksaksa, juga terdapat puluhan IUP yang
dikeluarkan oleh pemerinta daerah (pemda). Hal demikian tidak lah aneh karena
otonomi daerah, memberi izin Pemda mengelolah daerahnya sendiri tanpa harus
melalui pemerintah pusat.
Namun
yang perlu di tegaskan disini adalah kesan perusahaan tambang, yang ketika
datang berkolaborasi dengan pemerintah baik pemda maupu pemerintah pusat. Sama
saja, datang dengan otoritasnya sebagai yang memiliki kuasa, menjanjikan rakyat
dengan berbagai macam rayuan fantastis kesejahtraan untuk menerima kedatangan
perusahaan, yang kita tahu bersama bahwa tidak perna ada sejarah perusahaan
tambang di Indonesia, memberikan kesejahtraan kepada rakyat.
Saat
ini kembali hadir Perusahaan CV Tridaya Jaya, mengeruk sumber daya alam (SDA)
Daerah Morowali, di Kecamatan Bungku Timur dan Kecamatan Bahodopi. Perusahaan
ini di bekali IUP Eksplorasi SK.540.2/SK.013/ESDM/VIII/2010 dan IUP Operasi
Produksi SK.540.3/SK.003/DESDM/II/2012 Pemda Morowali.
CV
Tridaya Jaya, telah melakukan pengapalan material Nikel/Ore sebanyak tiga kali
di empat desa, yakni desa Lele, Bahomotefe, One Pute Jaya dan Dampala
menghasikan 5500 rupia, per metric ton.
Saat
ini CV Tridaya Jaya menghentikan aktivitas sementara disertai dengan terbitnya
Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengelolahan dan Pemurnian Mineral, kini telah dirubah dengan Permen
ESDM Nomor 11 Tahun 2012 yang kembalih membolehkan ekspor bahan mentah material
mineral hingga 12 Januari 2014.
Kehadiran
CV Tridaya Jaya juga tidak lebih sama dengan kehadiran PT. Vale Indnesia tbk.
Pertama, Kehadiran CV Tridaya Jaya, tidak melakukan sosialisasi Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terkecuali desa Lele yang di tandai dengan
aksi protes warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lingkar Tambang (GERLITA)
pada tanggal 18 Juni 2012 di depan Kantor CV. Tridaya Jaya yang terletak di
desa Bahomotefe. Kedua, terkesan tidak memberikan akses kerja terhadap
masyarakat lokal. Ketiga, Perusahan CV Tridaya Jaya justru mendatangkan petaka
yang baru bagi Masyarakat One Pute Jaya dan Bahomotefe, saat ini sungai yang
duluh dijadikan sebagai permandian anak-anak, tempat mencuci ibu-ibu, air minum
dan memasak kini tidak dapat lagi digunakan karena air sungainya telah berubah
warna menjadi merah.
Apalagi
jika musim hujan, air sungai yang juga dijadikan sebagai aliran irigasi
persawaan warga Desa One Pute Jaya dan Desa Bahomotefe, akan membawa lumpur
merah hingga menggenangi persawahan warga hal tersebut berdampak pada
berkurangnya kesuburan tanah dan meningkatkan kedalaman lumpur di persawaan
warga.
Menurut
Manager Riset Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Adi Putra, walaupun saat ini CV.
Tridaya Jaya melakukan normalisasi sungai, namun mustahil akan memperbaiki
kondisi sungai kembali seperti semula. Meskipun air sungai sudah tidak lagi
berwarna merah, tetapi lumpur yang terbawa arus sungai dari gunung yang
mengendap didasar sungai sewaktu-waktu bisa menyebabkan air sungai kembali
berwarna merah. Apalagi kalau musim hujan tibah.
Misalnya,
pada tanggal 6 juli silam, hujan yang mengguyur selama dua hari berturut-turut
menyebabkan air berlumpur merah menggenangi areal persawahan warga desa One
Pute Jaya.
Sehingga
menyebabkan sawah milik Bapak Juli Setiwan warga desa One pute jaya, yang juga
sebagai anggota BPD di desa tersebut. Tergenangi lumpur merah dengan ketebalan
lumpur sekitar 5 cm, padahal kondisi sawah pada saat itu menghadapi musim
tanam. Hal serupa juga dialami Bapak Koseman yang saat itu sedang melakukan
panen. Padi yang telah selesai di arit tidak sempat dirontok, akibat terendam
air lumpur berwarna merah, sehingga hasil panen yang biasanya mencapai sekitar
50 karung per 75 are, musim ini harus rela memperoleh hasil panen 25 karung
karena sebagian besar padi tidak dapat diambil lagi.
Yang
lebih mengesalkan, pihak Perusahaan CV. Tridaya Jaya sendiri tidak pernah turun
langsung dan meninjau keadaan lapangan atas dampak kejahatan lingkungan yang di
timbulkan.
Sebetulnya
keburukan perusahaan di Morowali telah ditunjukan Inco, karena berbagai masalah
yang ditimbulakan menguak, misalnya ketidak pastian hidup Masyarakat One Pute
Jaya saat berhadapan dengan Inco, posisi rakyat di areal konsesi Inco selalu
berada dalam posisi dirugikan, bahkan kerap menjadi korban. Sehingga
konflik-konflik pertanahan selalu menempakan rakyat sebagai pihak yang kalah,
ketika menghadapi Inco yang selalu mendapat dukungan dari pemerintah dan
pengelolaan lingkungan yang buruk mengorbankan rakyat di sekitar pertambangan.
(Anto Sangaji 2001).
Tidak
cukup hanya dengan moratorium Izin pertambangan, karena telah terbukti regulasi
yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu saja memberikan ruang kepada pihak
pemodal. Menjadi pertanyaan mendasar, mengapa pemerintah tidak berani
mengeluarkan regulasi ekslusif terhadap pelaku usaha pertambangan dll?
Jika
pemerintah melakukan moratorium secara tegas, maka yang terjadi adalah
pemberhentian aktivitas perusahaan, karena tentunnya perusahan tidak ingin rugi
sehingga dampaknya adalah ribuan buruh kehilangan pekerjaan sementara
pemerintah kita tidak memberikan lahan pekerjaan, selain itu yang lebih berdampak
serius adalah tidak adanya masukan terhadap kas negara karena negara kita belum
memiliki Industri berat seperti pertambangan, maka jika berhenti negara kita
akan dilanda krisis tak berkesudahan.
Sehingga
perlu ada kebijakan pemerintah yang berani dan lebih tegas, mendorong
penciptaan Industri Pertambangan dan Perkebunan diolah secara mandiri, jika
hendak keluar dari persoalan kemiskinan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang menulis komentar yg tidak senono dengan etika merusak moral dan berbau SARA.