"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Jumat, 06 Mei 2011

Tumpang - Tindih Kepentingan di Lore Lindu

Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah (Sulteng) memang indah dan kaya dengan flora dan faunanya. Bertahun-tahun penduduk setempat akrab dengan lingkungan demikian. Tetapi, kini banyak orang luar bernafsu merusaknya. Aparat pun ikut berdosa di sini. “Anda memasuki Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Inilah hutan warisan alam dunia yang menyimpan masa depan kita. Pelihara dan lestarikanlah dia sepanjang hayat dikandung badan." Tulisan-tulisan bernada simpatik seperti di atas banyak ditemukan di kawasan TNLL. Hampir di setiap sudut taman terpampang tulisan yang isinya mengandung peringatan atau pesan-pesan khusus bagi setiap orang agar peduli pada lingkungan hutan TNLL itu.

TNLL memang menyimpan jutaan pesona. Karena itu menjadi pemandangan sehari-hari bila kita melihat sejumlah turis mancanegara dan mahasiswa pencinta alam mengembara di hutan rimba nan luas itu. Ada pula yang datang untuk mendaki gunung, memanjat tebing, meneliti atau menikmati panorama alam yang indah dan sejuk. Kawasan TNLL secara administratif berada di Kabupaten Donggala dan Poso, Sulteng. TNLL dibuka sejak bulan Oktober 1993 yang merupakan gabungan Suaka Alam Lore Kalamata dan Hutan Lindung dan Taman Rekreasi Danau Linde. Secara biogeografis kawasan ini merupakan daerah peralihan antara Zona Asia dan Zona Australia atau kita kenal dengan Garis Wallace (Wallace Line). Di Pulau Sulawesi, Wallace Line membentang dari Taman Nasional Nani Wartabone di Bolaangmongondou-Gorontalo (Sulut) hingga ke Donggala-Poso melintasi hutan TNLL dan terus sampai ke hutan-hutan tropis di Kendari, Sultra. TNLL seluas 229.000 hektare itu merupakan taman hutan rimba yang tergolong langka di abad ini. Karena kelangkaannya, kawasan ini telah diklaim menjadi milik dunia. Para peneliti asing yang pernah melakukan studi di hutan TNLL menjulukinya sebagai "paru-paru dunia" yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. TNLL juga dianggap "laboratorium alam" dunia bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, budi daya, rekreasi dan pariwisata.


Sebagai kawasan hutan di zona transisi, TNLL memiliki potensi flora, fauna, dan ekosistem yang sangat spesifik pula. Di kawasan ini terdapat 266 jenis flora yang hidup pada ekosistem danau, padang rumput, dataran rendah pegunungan dan sub alpin. Beberapa jenis tumbuhan kayu langka terkenal adalah kayu cempaka (manglietia sp), kayu leda (eucaliptus deglupta), jenis rotan (calamus sp), jenis-jenis damar (agathis sp) dan beringin merah (litsea sp). Sedangkan fauna, tercatat 200 jenis, dan 37 jenis di antaranya termasuk fauna yang dilindungi dan 163 jenis belum dilindungi. Jenis satwa liar yang penting dan endemik Sulawesi terdapat dalam hutan TNLL, seperti anoa (babalus quarlesi dan babalus deppressicornis), rusa (cervus timorensis), babi rusa (babyrousa baburussa), kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursianus), monyet hitam (macaca tonkeana), musang coklat (macrogalidia musschenbroeki), singapuar (tarsius spectrum) dan maleo (macrocephalon maleo). Selain potensi flora-fauna, di kawasan TNLL terdapat batan megalith (batu besar pra sejarah) berbagai corak dan tipe di Lembah Bada, Besoa, dan Napu. Kawasan ini dihuni Suku Kulawi dan Lore dengan adat istiadatnya yang masih asli.


Posisi Taruhan Kawasan hutan tropis tersebut tidak saja sekadar berstatus hutan primer yang dilindungi. Belakangan ini juga memiliki posisi taruhan (bargaining position) yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan baik di tingkat nasional maupun internasional. Indonesia bisa dipojokkan pencinta lingkungan dunia dan negara-negara donor bila membiarkan TNLL rusak atau dirusak. Salah satu contoh adalah kasus pembangunan jalan yang menyentuh kawasan TNLL tahun 1996 lalu. Ketika itu pemerintah dengan dana APBN 1996/97 hendak membangun jalan sepanjang 60,5 km pada ruas Gimpu-Gintu dengan tujuan membuka isolasi desa-desa miskin di dalam kawasan TNLL.


Maksudnya jelas sangat human. Tetapi apa yang terjadi? Baru 4,7 km panjang jalan yang dibuka dari rencana paket awal 9 km, datang protes dari para aktivis LSM pencinta lingkungan. Mereka meminta proyek itu dihentikan, karena berdasarkan hasil penelitian pembangunan jalan itu berbenturan langsung dengan tapal batas TNLL. Jika diteruskan dikhawatirkan akan membuka akses lebih luas terhadap rusaknya hutan lindung tersebut. Dan lembaga-lembaga keuangan internasional di antaranya Asian Development Bank (ADB) mendukung protes tersebut. ADB mengancam akan menghentikan kucuran dananya ke Indonesia jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan proyek yang dianggap sangat berbahaya bagi kelestarian hutan TNLL itu (Pembaruan 6 Juli 1997).


Tekanan internasional yang begitu kuat itu akhirnya memaksa Menteri Kehutanan (ketika itu Ir Djamaluddin Soeryohadikusuma) mengirim surat kepada Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) HB Paliudju tanggal 31 Maret 1997. Isinya melarang pembangunan jalan Gimpu-Gintu melewati hutan TNLL. Djalamuddin hanya membenarkan pembangunan jalan tradisional (jalan setapak) dan dikembangkan sebagai jalur wisata trekking (mendaki gunung) dan rafting di Sungai Lariang. Sampai sekarang ketentuan ini belum dicabut.


Begitu juga, tahun 1991 lalu rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Lindu di Kecamatan Kulawi juga terpaksa dibatalkan karena mendapat protes dari berbagai LSM. Ketika itu, kawasan itu baru berstatus hutan lindung dan suaka alam. Belakangan muncul kembali keinginan pihak Pemda Sulteng untuk merealisasikan pembangunan PLTA tersebut untuk mengembangkan sektor industri di provinsi tersebut. Tetapi, pihak LSM tetap menolaknya.


Perusakan Meningkat


Mantan Menristek BJ Habibie pernah mengingatkan, seluruh kawasan hutan yang berada di Garis Wallace sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apa pun, karena akan merusak ekosistem asli yang sangat spesifik. Tapi benarkah demikian? Manajer Program The Nature Conservancy (TNC) Palu Duncan Neville yang ditemui Pembaruan di Palu baru-baru ini mengungkapkan, dalam dua tahun belakangan ini aktivitas perusakan hutan TNLL semakin meningkat dan memprihatinkan. Perusakan itu berupa pengambilan kayu, rotan, damar dan berbagai hasil hutan lainnya. Penebangan kayu, kata Duncan, menggunakan chain saw (gergaji mesin) tanpa terkendali. Akibatnya dalam sekejap saja seluruh kayu di sekitarnya ludes dan beberapa kawasan hutan menjadi gundul. ''Jika tak segera diantisipasi, dikhawatirkan hutan langka ini mengalami kehancuran. Diperlukan negosiasi dua arah yang kuat antara pemerintah dan masyarakat jika ingin kelestarian hutan TNLL tetap terpelihara," kata warga AS yang sudah 7 tahun berkecimpung di TNLL. Apa yang dikatakan Duncan tersebut, bukannya tidak terbukti secara hukum. Data Balai TNLL menunjukkan, setiap tahun ditemukan rata-rata 50 kasus pencurian hasil hutan terutama kayu dan rotan. Para pelakunya, menurut Kepala Balai TNLL Banjar Yulianto, sudah dikenakan sanksi dan sebagian melibatkan oknum petugas polisi kehutanan (Polsus) dan Polri setempat.


Penyebab kerusakan hutan TNLL sebetulnya tidak semata karena pencurian kayu dan rotan, tetapi juga akibat perburuan fauna-fauna endemik seperti anoa dan babi rusa serta perambahan untuk pembukaan kebun cokelat dan kopi. Diperkirakan lebih dari 30.000 hektare areal hutan TNLL kini sudah berubah fungsi menjadi kebun kopi dan cokelat. Sebagian dijadikan lokasi permukiman oleh para pendatang dari luar Sulteng yang terus membanjiri kawasan ini guna mencari akses-akses baru bagi kehidupannya. Pemda Sulteng kelihatannya tidak bertindak mencegahnya.


Problem Penduduk


Berdasarkan data Bappeda Sulteng, di sekitar hutan TNLL kini bermukim kurang lebih 120.000 jiwa penduduk tersebar di 60 desa dalam 5 kecamatan, yakni Kecamatan Kulawi, Sigi Biromaru, Palolo, Lore Utara dan Lore Selatan. Mereka hidup sebagai petani sawah atau kebun/ladang. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai TNLL berdasarkan SK Menhut No. 593/Kpts-II/93 tanggal 5 Oktober 1993, muncul masalah sosial antara keberadaan TNLL dengan penduduk asli yang hidup dan bermukim di dalamnya. Penduduk asli merasa lahan usaha yang menafkahi hidup mereka selama ini semakin menyempit akibat penetapan tapal batas TNLL. Sepertinya tak ada lagi ruang gerak bagi penduduk untuk bisa memanfaatkan hutannya secara leluasa seperti dulu,bahkan terancam akan direlokasi.


Kondisi ini membuat masyarakat diliputi kegelisahan yang berkepanjangan dan mereka terpaksa bolak-balik ke kantor DPRD Sulteng, Poso maupun Donggala, memperjuangkan nasib agar tidak dipinggirkan dari permukiman aslinya karena kepentingan konservasi TNLL. Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu Arianto Sangaji yang melakukan pengkajian khusus atas pengelolaan konservasi berbasis masyarakat di TNLL mengatakan, pemerintah sering mengarang cerita yang menyebut penduduk sebagai perusak hutan.



Penduduk di sekitar TNLL dituduh sebagai perusak hutan, pencuri kayu, rotan dan berbagai hasil hutan lainnya. Dengan mengarang cerita seperti timbul gagasan untuk memindahkan mereka ke lokasi lain. Padahal tudingan semacam itu sama sekali tak beralasan dan tidak menggambarkan realitas sesungguhnya. Sebab kerusakan hutan yang bersumber dari masyarakat, tidaklah sebanding dengan kerusakan akibat pembabatan kayu untuk kepentingan pengusaha HPH atau proyek perkebunan berskala besar. "Landasan berpikir yang cenderung menyingkirkan hak masyarakat adat atas teritorial asli di TNLL harus diubah dengan sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat, bersahabat dengan penduduk asli," kata Arianto.


Dalam kasus TNLL, katanya, masyarakat bermukim di pinggiran maupun dalam hutan TNLL, pada dasarnya memiliki regulasi sendiri dalam pemanfaatan sumber daya agraria tanpa merusak hutan. Contoh kasus, masyarakat Besoa dan Katu, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, yang desanya berada dalam zona penyangga TNLL memanfaatkan hutan secara turun-temurun berdasarkan kearifan-kearifan tradisional yang sangat menjunjung tinggi upaya pelestarian hutan. Problem penduduk dalam TNLL yang sangat kompleks dan terkait erat dengan struktur budaya dan kultural masyarakat, memang, tidaklah mudah menanganinya. Diperlukan implementasi pengelolaan konservasi yang benar-benar mampu mengakomodasikan hubungan antarmanusia dan alamnya.


Sistem Zonasi


Tetapi sampai kini pihak TNLL mengakui belum punya rumusan yang rinci mengenai pengelolaan taman nasional yang berbasis masyarakat. Yang dimiliki adalah konsep pengembangan berdasarkan sistem zonasi atau mintakat (daerah lingkungan) dengan mempertimbangkan keadaan potensi dan kepentingan konservasi nasional dan internasional, kata Helmy, Kasie Pengelolaan pada Balai TNLL.


Konsep zonasi itu terdiri atas zona inti (55.625 ha) di dalam kawasan TNLL yang mutlak dilindungi untuk pelestarian flora, fauna dan ekosistemnya dan hanya bisa dimasuki untuk tujuan pengelolaan dan penelitian. Zona rimba (137.160 ha), diperuntukkan bagi kepentingan pembinaan habitat dan populasi satwa serta kepentingan hidrologi. Zona ini merupakan kawasan tanpa adanya bangunan/gedung, dapat dimasuki pengunjung secara terbatas dengan berjalan kaki atau berkuda. Lalu ada zona pemanfaatan intensif (7.100 ha) diperuntukkan sebagai lokasi pembangunan sarana/prasarana pengelolaan dan fasilitas penunjang kegiatan wisata alam. Zona pemanfaatan tradisional (18.490 ha) berfungsi menyediakan kebutuhan subsistem bagi penduduk desa sekitar kawasan taman nasional yang tidak dapat menabrak zona penyangga. Zona ini juga berfungsi sebagai daerah penyangga terletak di dalam kawasan taman nasional.



Zona Danau Lindu dan Besoa (10.625 ha) merupakan daerah budi daya dan permukiman penduduk. Kawasan ini diusulkan untuk ditetapkan sebagai daerah enclave (kantong permukiman) dan dikeluarkan dari TNLL. Dan zona penyangga (35.000 ha), zona terakhir yang berada di luar/sekitar kawasan taman nasional berfungsi menyediakan kebutuhan penduduk desa sekitar kawasan dalam jangka panjang.


Pembangunan Masyarakat


Minimnya dana menjadi salah satu kendala bagi aparat Balai TNLL untuk mengawasi dan mengantisipasi kemungkinan pelanggaran dalam hutan lindung itu. Hal menggembirakan sejumlah aktivis LSM maupun Bappeda Sulteng telah bisa merumuskan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar TNLL yang bisa memberi nilai tambah tanpa mesti mengganggu kawasan hutan lindung. Misalnya memberikan pelatihan pada masyarakat tentang cara membuka peluang usaha produktif memanfaatkan potensi sumber daya alam (SDA) hutan TNLL sehingga terjalin interaksi positif antara masyarakat dan hutan itu sendiri.


Pembangunan masyarakat juga dilakukan TNC (LSM di Honolulu, AS) dengan memberikan pengetahuan luas bagi masyarakat tentang budi daya ulat sutera, budi daya kupu-kupu dan lebah madu, kerajinan kulit kayu, anyaman serta usaha agribisnis lainnya yang memiliki nilai jual kompetitif di pasar domestik maupun ekspor.


TNC kini tengah melakukan kegiatan pemetaan serta penginderaan jarak jauh guna mengindentifikasi sejauh mana kondisi TNLL serta kemungkinan pemanfaatan yang bisa dikembangkan demi keberlangsungan kawasan serta kesejahteraan penduduk setempat. Kegiatan pemetaan yang partisipatif juga dilakukan YTM guna membantu masyarakat mendapatkan hak-hak agrarianya untuk dikelola sesuai kearifan-kearifan lokal.


Kadis Pariwisata Sulteng Liberty Pasaribu mengatakan, dalam dunia pariwisata internasional, kawasan TNLL menjadi salah satu daerah tujuan wisata (DTW) yang sangat digandrungi para turis. Untuk mengatasi atau memecahkan masalah di TNLL, tampaknya yang dibutuhkan adalah keterpaduan pikiran untuk menjadikan kawasan itu sebagai wilayah lestari yang tidak meminggirkan penduduk lokal. Artinya, bagaimana menjaga agar riak sungai tetap menawan, pegunungan pun tersapu awan putih, kicau burung terus kedengaran dan penduduk tetap bersahabat dengan lingkungan tempat mereka hidup.