"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Jumat, 11 Maret 2011

Laba-laba sedang memasang jaring :”Tower Bukan Pohon pisang” (Serpihan Catatan Dari Peura)

Andika

Bukan hanya minggu, juga bulan, tapi telah bertahun-tahun perempuan itu tak lagi tidur nyenyak dimalam hari. Siang pun demikian, wajahnya yang nampak pucat mewakili tubuhnya yang tak terlalu kekar telah menitipkan tanah garapannya pada seorang lelaki, saudara kandung. Lantaran, separuh penduduk desa menitipkan “segunung tanggung jawab” padanya. Ia adalah Betti, perempuan ini sedang berusaha jadi penyambung lidah keresahan warga sekampung, desa Peura. Lantaran itu, ia pun kini telah pandai menulis surat, menyatakan kecaman moral, walaupun mungkin, tak terlalu memikat bagi para akademisi, apalagi si pembuat AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

Betty sebutan wanita diatas tentu jadi pertanyaan? yang tak mungkin bersaudara dengan kabel listrik, apalagi tower, yang senyawa baja. Orang lain boleh berkata dan membicarakan adanya manfaat atau tidak. Bagi warga Peura, menolak pembangunan Tower yang melintasi desa mereka merupakan manifestasi hidup, yang secara sederhana tak memerlukan banyak teori, apalagi fatwa untuk membenarkannya. Lebih jelas lagi, ibu Betti berkata”Tanam Tower tidak sama dengan tanam pohon pisang. Kalau pohon pisang sewaktu-waktu bermasalah, atau berdampak, dengan muda saja pindahkan, kalau tower Sutet yang sudah beraliran listrik bermasalah, bagaimana cara memindahkannya?”.

Sembari mengusap-ngusap matanya yang digenangi air , sesekali juga memijit jidat. Itu bukan sebuah pandangan drama, malam itu bersama Sinto, Betti mendatangi kami yang tengah berkumpul di sebuah kantor LSM lokal Tentena. Kebetulan drama menegangkan sedang berusaha diorbitkan oleh para tetua mesin, calon-calon juragan listrik, yang tanpa permisi seenaknya menganiaya sungai Sulewana. Siang hari pertemuan kesekian kalinya antara pihak poso energi dengan masyarakat Peura dilakukan.

Naasnya, kali ini perusahaan tak lagi berbujuk rayu dan bermanis komitmen, tapi justru berusaha membangun suasana tak sedap. Warga diprovokasi dengan upah 35.000 untuk sehari angkat material, yang ditahan warga dipintu desa. Bukan hanya itu, uang 35.000 ini juga telah berhasil membangun kelompok drumband tanpa latihan, berjalan seirama, sambil memukul ember. Sebagai sebuah petanda konfrontasi pada kelompok penolak pembangunan Tower. Tidak hanya itu, dipintu desa juga dipasang sebuah spanduk atas nama warga Peura cetakan printing bertulis”LSM dilarang masuk karena telah menciptakan dishamorniasi dan memecah persatuan antar warga”.

Sejak tahun 2006, saat masa-masa konflik bermasker agama mulai redah ditanah Poso Kawat-kawat telah diulur memanjang dari arah hulu sungai. Melintasi pepohonan khas hutan tropis, yang nampak seakan-akan jadi spesies baru dibibir danau Poso. Itu adalah instalasi listrik, PT Poso energi memilikinya secara mutlak setelah para pejabat Sulawesi Tengah memberikan konsesi bendung air (DAM) bagi produksi energi perusahaan keluarga Kalla tersebut.

Dan sejak itu pula, rencana pelintasan transmisi didalam perkampungan Peura dipaksakan oleh Poso Energi. Alasan ekonomi tentu saja, konon kabarnya milyaran rupiah akan ditelan percuma oleh Poso energi jika hendak memindahkan tower seperti saran warga Peura. Inilah ciri khas investasi yang katanya padat modal, tak ingin berencana rugi, sekalipun jiwa penduduk dianggap tak lebih mahal apalagi sepadan dengan gulungan kawat, atau pun rangka baja yang menuding kelangit.

Proyek yang telah memperkosa hal ulayat warga pamona secara murah tanpa kompensasi ini, tak pernah menyodorkan fakta temuan Amdal, apalagi memberikan pengakuan aspirasi pada warga Peura. Sejauh ini Ibu Betty dan kawan-kawan dibawa dalam komunikasi negatif khas Public Relations (PR) meliputi: pertemuan ke pertemuan, ancaman pidana, pencemaran nama baik, dan saling sikut antar warga. Dan sama sekali tidak peduli dengan alasan-alasan sosial penolakan warga.

Bagaimana dengan pemangku jabatan pemerintahan, mungkin itu sudah pertanyaan usang bagi pencari keadilan seperti Ibu Betti. Kemana lagi aspirasi ini akan dibawah? jika saja tak dituduh sebagai provokator dengan ancaman pasal-pasal, mungkin negara tak lagi merasa punya hubungan dengan rakyat. Untung sekali bagi mereka yang dilahirkan ditanah itu, desa Peura, mereka telah memahami betapa penguasa (modal-politik) negeri ini setiap waktu hanya menyuburkan penderitaan. Jika pun demikian, maka kita yang masih menjadi manusia tak perlu banyak analisis untuk mendukung perjuangan ini, cukup bertanya saja, kenapa kita tak bersama-sama mereka?

Masalah Tambang Morowali Kompleks

Catatan Lapangan:

Masalah Tambang Morowali Kompleks


Albart
(Divisi Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng)


”sudah hampir 20 tahun kami berdomisili
di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar itu,
nanti setelah perusahaan BDM masuk”


Bila saja anda pernah menginjakan kaki di Bahodopi Kabupaten Morowali. Anda akan menemukan Sungai Bahongkolangu telah berubah warna, bak “orange jus”, itu bukan minuman. Perusahaan tambang telah mencemarinya dengan membongkar kawasan hutan dihulu sungai.”kami sulit menikmati air sungai lagi, karena sudah kotor”begitu seorang ibu mengeluh.
Lantaran itu, masyarakat disini seakan terbiasa menerima banjir. Setiap musim penghujan datang desa yang berada kawasan hilir seperti Fatufia, Bahomakmur, Bahodopi, Lailia, Keurea menjadi jalur bebas hambatan, air akan melaju kencang tanpa permisi menorobos pagar-pagar kebun, bahkan juga numpang membangun kolam didalam rumah. Sebut saja, Husnia (57), ibu rumah tangga suku asli ”sudah hampir 20 tahun dia berdomisili di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar, nanti setelah perusahaan ”. ini menyatakan”sudah hampir 20 tahun dia berdomisili di wilyah ini namun belum pernah ada banjir sebesar, nanti setelah perusahaan ”.

Adalah PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), maskapai yang menggunakan logo Divisi Mineral (mirip angkatan darat TNI) juga menimbulkan masalah di desa Lailia, masih di kecamatan bahodopi. Setiap hari, gemuruh truk raksasa perusahaan melaju tanpa ragu, BDM menggunakan separuh jalan publik sebagai jalur koridor. Karena sangat dekat dengan pemukiman penduduk, membuat macam-macam gangguan menyelinap dalam aktivitas sehari-hari warga, yang juga petani dan nelayan.

“Rumah kami menjadi ‘sasaran’ debu truk-truk perusahaan yang lewat sehingga hampir tiap jam kami menyapu lantai dan tebalnya hampir 1 cm per menit. Kami tidak bisa bayangkan kalau ini berimbas pada kesehatan kami. Belum lag tanaman kami yang ikut terkenai dampak dari debu tersebut”keluh seorang Petani. Konon kabarnya, setelah perusahaan berlalu-lalang diwilayah itu, tanaman pertanian mereka menjadi sulit tumbuh ideal, dan itu berdampak pada hasil. “Kami telah mengkonfirmasi masalah ini ke perusahaan tapi perusahaan tidak memberikan respon apa-apa, bahkan meminta kami untuk pindah dengan areal itu”ungkap lelaki paruh bayah itu.

Tak kalah hebat, lantaran itu issu pengusiran PT Inco menjadi harga mati yang ditawaarkan masyarakat blok bahodopi terhadap pemerintahan morowali. Perusahaan yang mengantongi izin kontrak karya ini, telah mendapat perlawanan yang cukup massif dari masyarakat sekitar tambang blok Bahodopi.

Menurut salah seorang tokoh pemuda di desa kolono bernama Harsono mengatakan” jika PT Inco tidak memberikan hak-hak masyarakat, maka PT. Inco harus angkat kaki dari bumi Morowali. Sejak masuknya Inco, kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan Morowali adalah Perampasan lahan; Pengrusakan lingkungan; pengkaburan terhadap Hak-hak buruh; dan intimdasi terhadap masyarakat sekitar tambang.

Ragam Masalah Tambang

Salah satu kasus yang sering terjadi di wilayah pertambangan adalah perampasan lahan. Menurut salah seorang masyarakat yang berada di wilayah tambang bungku selatan desa buleleng yang tidak mau disebutkan namanya bahwa perusahaan hanya mengganti tanah mereka dengan harga Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya dan Rp.850,- untuk tanah yang tidak ada tanamannya dan apabila masyarakat tersebut tidak mau memberikan tanahnya maka mereka di intimidasi oleh aparat kepolisian.

Maraknya penerimaan penerimaan tenaga kerja lokal oleh perusahaan-perusahaan tambang di morowali ternyata tidak didorong dengan pemenuhan hak-hak buruh. Contohnya, seperti upah buruh yang tidak tetap. Kasus ini sering terjadi diseluruh wilayah perambangan morowali.

Begitu pula di desa Buleleng, Laroenai, Torete yang merupakan areal PT. TAS ternyata pemenuhan hak-hak buruh juga tidak di penuhi. Salah satu contohnya adalah tidak adanya kesepakatan kontrak kerja bersama. hal ini mengakibatkan upah buruh kadang tidak menentu dan bahkan tidak dibayarkan selama sebulan dan ironisnya lagi perusahaan yang melakukan sub kontrak sering berkelit dan bahkan melarikan diri tidak mau membayar upah buruhnya. “Buruh disini ingin memperjuangkan haknya namun mereka tidak paham tentang hak-haknya” ungkap Abdul muis.

Salah seorang anggota polsek Bungku Selatan menyatakan, kami sudah berusaha untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat ini tapi ternyata buruh di perusahaan tersebut tidak menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan.

Perusahaan yang merupakan sub kontrak dari PT. TAS (Tehnik Alum Service) seperti PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral), PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) membohongi masyarakat dengan modus meminjam uang masyarakat dengan perjanjian akan dibayarkan setelah pemuatan ore. Namun setelah pemuatan ore peruasahaan tersebut melarikan diri dan tidak di tahu kemana rimbanya. Anehnya lagi PT. TAS yang merupakan perusahaan induk juga tidak mau bertanggung jawab.

“kerugian saya mencapai 70 juta rupiah. Sudah banyak cara yang kami lakukan untuk meminta tanggung jawab perusahan, untuk mengganti semua uang kami namun perusahaan yang bersangkutan tidak tahu dimana rimbanya”. Perusahaan induk yakni PT. TAS sendiri juga tidak tau menahu dengan masalah itu. Lucunya, PT TAS berjanji akan membantu masyarakat untuk mencari tahu ke tiga perusahaan itu dan akan membantu masyarakat untuk membawa masalah ini ke ranah hukum. Tapi hingga detik ini tidak ada kejelasan.
Selain itu, masyarakat juga sudah menyurat ke Pemerintah Daerah namun responnya dingin.

Di wilayah PT. Tas dan PT. Hard Target yakni desa Buleleng dan torete, perusahaan menggunakan jasa kepala desa dan BPD untuk membangun kutub pertikaian antar warga, sehingga konflik horizontal dalam desa semakin menajam.

PT. TAS (Tehnik Alum Service) sendiri adalah perusahaan yang mengantongi izin KP dari bupati morowali. Perusahaan yang mengolah sejak dari tahun 2007, dari awal sudah bermasalah dengan proses pembebasan lahan. Tanah Masyarakat hanya dihargai dengan Rp.1.000,- per meter untuk yang tanah yang ada tanamannya. Sementara untu tanah yang tidak ada tanamannya dihargai Rp.850,-.

PT TAS juga melakukan eksplorasi di areal APL yang diklaim masyarakat buleleng sebagai tanah adat. Karena caplokan Tanah Adat inilah kemudian menimbulkan masalah di masyarakat. Sebanyak 64 hektar lahan diambil perusahaan tanpa kompensasi.

Karena mengalami kebuntuan negosiasio, kasus ini difasilitasi oleh pihak BPN pada tanggal 13 Maret 2010, bertempat di hotel Anunta Baru Kelurahan Bungi Kecamatan Bungku Tengah. Pertemuan itu merekomendasikan pembayaran lahan masyarakat sekaligus mengakui tanah adat dan mengganti rugi lahan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun sampai saat ini PT.TAS enggan melaksanakan rekomendasi itu.

Setelah menyelesaikan proses pembebasan lahan yang bermasalah, PT. TAS mulai melakukan eksplorasi dengan menggandeng beberapa perusahaan (subkon).

PT. TBI (Tata Bumi Indonesia), perusahaan ini melakukan proses eksploitasi selama 2 bulan dengan memakai tenaga kerja kontrak (outsorching dan tidak mengupah buruhnya selama 1 bulan kerja). Setelah PT.TBI diusir oleh PT.TAS dengan alasan yang tidak jelas PT.TAS memasukan PT.MKM (makindo kolaka mandiri) yang kemudian menggandeng PT. SIM (Sinyu Indonesia Mining) dan PT. TSM (Trans Sulawesi Mineral). Kedua peusahaan yang mengantongi izin subkontrak dari PT. TAS, ini beroperasi selama 3 bulan. Dengan merekrut tenaga kerja sebanyak 74 orang dan tidak mengupah buruhnya selama 3 bulan kerja.

Selain persoalan upah buruh yang tidak dibayarkan, keempat perusahaan ini meninggalkan utang dimasyarakat. Karena pada saat keempat perusahaan beroperasi, perusahaan ini memakai uang masyarakat dengan modus meminjam uang dengan janji akan diganti. Sehingga dalam proses operasi hampir semua aktifitas perusahaan seperti masalah bahan bakar, konsumsi karyawan, serta kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan karyawan lainnya ditanggulangi masyarakat. Utang keempat perusahaan ini sekitar ratusan juta rupiah dan sampai saat ini tidak dibayarkan.

Setelah keempat perusahaan tersebut melarikan diri, PT TAS kembali akan mengontrak PT. Mulia untuk melakukan penambangan di arealnya. Kasus ini sudah berapa kali coba dikonfirmasi ke PT. TAS. Namun pihak perusahaan tidak mau menanggung semua gaji karyawan dan utang keempat perusahaan tersebut. PT TAS juga berjanji akan memfasilitasi pertemuan karyawan serta masyarakat dengan keempat perusahaan tersebut namun sampai saat ini tidak ada kejelasannya.

Pada tanggal 27 oktober 2010, masyarakat mengirimkan surat pengaduan yang ditujukan pada Bupati Morowali, DPRD Morowali, Kapolres Morowali, dinas pertambangan, dinas Tenaga Kerja dan transmigrasi, dinas lingkungan Hidup, camat Bungku Selatan, Danramil, dan Kapolsek Bungku Selatan. Namun surat ini tidak direspon oleh Bupati Morowali Anwar Hafid.

Tak pernah berhenti disitu, kekecewaan terus menyusul, pada tanggal 01 Desember 2010, masyarakat melaporkan kasus PHK dan pembayaran sisa gaji karyawan oleh PT. TSM dan PT TBI ke Polsek Bungku Selatan. Setelah dikonfirmasi oleh masyarakat tentang tindak lanjut dari kasus tersebut, ternyata Polsek juga kewalahan menangani kasus ini. Karena menurut Polsek Bungku selatan mereka sudah berusaha untuk memfasilitasi keempat perusahaan itu untuk ketemu dengan masyarakat namun keempat perusahaan tidak mau hadir dengan alasan yang tidak jelas.

(Tulisan ini telah melalui proses editing oleh Andika)

Catatan Kecil "Kabar dari Peura"

Malam ini laron-laron tak lagi bertebaran menganggu diskusi, jenis serangga macam itu memang hanya ditemukan dikawasan pedesaan. Kemarin sore, aneka macam serangga sejenis laron kerap kali keluyuran diatas kepala, mungkin itu maksud yang baik, atau iuga ingin berpartisipasi , dalam diskusi yang nampak tidak terlalu serius bersama beberapa petani di desa Peura Kabupaten Poso. Dan kini, untung sekali, pikiran yang membuat otak melilit ini, hanya baru bisa direfleksikan setelah kaki letih, duduk semalaman diatas mobil travel Pamona-Palu.

Tempat duduk paling belakang, bersebelahan dengan seorang anggota TNI bernama Ferdi. Kebetulan pria berbaju loreng ini baru saja selesai berlibur dan kembali tugas di Jayapura. Tapi duduknya dia disamping memacu ulang memori yang bolepotan dengan unek-unek kekesalan perilaku aparat TNI yang sejenisnya, terhadap sejumlah perempuan Peura yang menolak pembangunan tower pada 2 maret 2011, menjadi sempurna dimalam itu.
Rintih kekesalan ini bertambah besar setelah pula menoleh ke kursi samping kanan, disana duduk seorang perempuan mengenakan jaket berlogo Polri, sedang memijit tombol Handphone, sebuah alat komunikasi moderen yang menjatuhkan beberapa martabat mitos. Kekesalan ini tentu saja bukan diarahkan pada dua anak manusia ini, tapi warna dan logo itu, seolah-olah menjadi bayang-bayang nyata aktivitas sehari-hari. Penuh dengan duka, tangisan, bahkan pula darah yang tidak terhitung. Terlebih lagi, atas nama pembangunan kini proyek pengawalan investasi sudah seperti nomenclatur sah keberadaan TNI-Polri untuk jadi penjaga irama, dering-dering suara senyap dikabut desa sedikit lagi akan meraung deruh riuh mesiu.

Kabar nyaman tak pernah sampai menjelang magrib, apalagi menutup mata untuk istirahat, suami-suami sibuk menjaga posko, lantaran teror si RT, tak kenal jadwal. Meski bermodal mesin diesel beroda empat, klakson pengangkutan sirtukil dan batu ciping itu sungguh dahsyat. Mengapa demikian, mungkin anda akan bertanya begitu? Disebut dahsyat, karena iring-iringan kepala cepak bersepatu laras, telah menyeret istri-istri petani. Pria berkepala polontos dan berperut buncit itu, ternyata pandai sekali melipat kaki perempuan hingga terlihat seperti sedang mengamankan anjing gila.”tak ada keadilan” seruh sang ibu ditengah lagu-lagu rohani untuk pemakaman sedang dilantunkan.

Seberang jalan, juga rintih kesakitan sang ibu kedengaran sayup, mungkin karena nyanyian sedih itu. Tapi sungguh nyata, kakinya dilipat dan tangannya diremas serta belakangnya diinjak. Hingga dada sang ibu pun turut dibenamkan ke tanah, nyaris merusak hak paten sang balitanya, yang kini belajar mengenal huruf kapital.
Tapi apa kata para pembesar itu? Didalam Gedung mewah DPRD Poso, para pembual itu telah berusaha “meracuni” kunjungan suci DPRD provinsi Sulteng. Mereka berkoar-koar menyalahkan pemberitaan salah satu tv swasta dan berusaha membuktikan bahwa tidak benar terjadi pelanggaran HAM. Meski kita sendiri faham, sangat jarang aparat militer mengerti dengan soal IT. Tapi sudahlah, kebiasaan main hakim tanpa proses peradilan itu latar belakang mereka.

Yang lebih menyakitkan, terutama bagi Komnas-Ham Institusi negara penegak HAM, ditentang oleh pemilik Poso Energi, atas rekomendasinya yang mendesak Poso energi menghentikan sementara pembangunan SUTT. Yang tak kalah hebat, sekretaris Kabupaten juga menyerang LSM sebagai biang konflik, meski mereka tak pernah tahu kalau Poso energi juga banyak pake LSM. Tapi itu rumit, menjelaskannya mesti pamit dengan para ahli, soalnya hak paten teori amat sulit bagi petani lantaran telah dipaku oleh selembar ijasah.

Ah, kembali disini, duduk berpangku lutut diatas kursi kayu warisan pendahulu organisasi, berkat komitmen mereka yang kuat, akhirnya meja kayu dan kursi plastik ini bisa memberikan sedikit saluran penderitaan pribadi, mungkin juga dengan rakyat, semoga itu benar. Kembali menaruh lembaran-lembaran berkas, membacanya, memperkuat ingatan. Semboyan ingin bebas dari masalah tetap melintas dalam usaha fokus ini”adakah tempat yang tidak ada masalahnya? Kalau ada saya ingin pindah kesana?” begitu orang desa Peura bertanya, entah iseng atau serius, itu menandakan mereka sudah semakin muak, dengan tekanan-tekanan mental. Serasa Tower dan kabel listrik memenjara kedamaian mereka sepanjang hari.

“Ya, rakyat memang selalu begitu tak pernah berhenti mengeluh”, kata temanku. Ini gurauan jelas, tapi menjadi kedengaran menjengkelkan karena diucapkannya setelah melahap habis sisa tahu diatas meja. Belum lagi pikiran-pikirannya yang rumit, membuat keadaan menjadi tambah kalut. Kita mungkin dapat berharap, kalau sisa umur memungkinkan, tragis kehidupan petani akan terus berulang.

"Seperti sudut segitia siku "kata temanku. Bangsa yang terbelakang ini memaku perkembangan kita diujung bayonet. Kalau pun ada yang agak ringan, kita hanya bisa menonton rakyat menjadi pelaku aktif bagi penderitannya sendiri. Lantaran, logika butuh makan ditambah goyangan pemberdayaan ala tanggung jawab perusahaan membuat khasanah penderitaan rakyat menjadi komplit.

Dan disana, Kalla Family diatas kasur busa "nan" empuk, tentu hanya bisa menonton dari tabung berwarna alias Televisi. Bukan karena tak punya kekuatan, soal pentingnya adalah saudagar kondang yang sering dijuluki ahli damai ini punya posisi penting dalam urutan orang terkaya Indonesia. Kalla Group pada tahun 2009 berada diurutan 26, memiliki kekayaan sebesar 105 Million yang bergerak di bidang engineering, property, konstruksi dan telekomunikasi. Meski pragmatis, setiap pengusaha pasti tahu kata efesien dan efektif, artinya rugi adalah musuh utama, entah itu penyebabnya karena pajak, penolakan warga. Yang jelas tak boleh rugi!

Tak boleh rugi? Apakah ini berkaitan dengan prosentase angka warga yang menolak dan menerima?hush……., sebaiknya itu tidak dibesar-besarkan karena sama sekali tidak relevan lagi” itu seru. Kita menunggu esok, kalau saja benar tower itu pindah.

Entah dibisik oleh siapa, tiba-tiba seorang anggota dewa mengulur Logika-logika yang beralaskan atas nama pembangunan. Dalam ceramah singkat dihadapan teman si Ibu Betti, pria yang terpilih oleh juga suara dari desa Peura ini mengatakan”jangan menolak pembanguan tower karena itu dianggap tindakan anti pembangunan”.

“Pantas saja kasus ini tak pernah selesai, soalnya hampir semua fihak sudah bela Poso energi”kata Betti. Lian Gogali pendamping korban juga berseruh “….itu cara-cara lama orde baru untuk membungkam hak demokratis warga, yang selama ini menempatkan rakyat menjadi korban pengerukan keuntungan……….”.

Jika begitu sepertinya kasus ini juga turut serta memberikan peluang bagi kita semua, untuk kembali mengkerutkan jidat. Mengapa demikian? Sebab amanat konstitusi yang menjamin hak setiap warga negara untuk terlibat dalam setiap perencanaan pembangunan, baik-buruknya, diterima atau tidak, kini tak bersuara keras lagi. Meski mekanisme musyawarah sudah berulang kali diinfus “bak ransum abadi”, tetap saja para kompetitor kolusi ini beranggapan bahwa kelompok yang menolak dianggap tak penting menjadi alasan? Sungguh Ironi!(dika)

Minggu, 06 Maret 2011

Ultimatum Gubernur Pada PT Inco Tepat

*ada tiga kerugian karena Inco belum operasi*

Sumber: Media Alkhairat

Tanggal: 26 Februari 2011

Palu- Mantan Sekretaris daerah Kabaupaten Morowali Chaerudin Zen mengatakan Ultimatum Gubernur Sulteng, HB Paliudju kepada pihak PT International Nikel Comporation (Inco) agar melakukan aktifitas pertambangan Nikel di blog Bahodopi dan Kolonodale, Morowali sudah tepat.

“Ultimatum Pak Gubernur sudah tepat karena sudah puluhan tahun Inco tidak pernah merealisaikan janjinya untuk membagun pabrik Nikel di Morowali”, kata Chaerudin di Palu, Jumat.

Chaerudin saat masih menjabat Sekretaris daerah Kabupaten Morowali tahun 2007 paling bersikukuh mempertahankan Inco baik di Pemerintah Provinsi maupun di masyarakat.

“waktu itu saya bertahan karena Inco telah berjanji akan membangun Pabrik pada 2010 dan sekarang sudah 2011 belum ada juga realisasinya,” kata Chaerudin

Optimisme Chaerudin waktu itu muncul karena perusahaan sudah melakukan survey terhadap lokasi pabrik dan Pelabuhan tetapi suplay listrik belum tersedia.

Chaerudi mengatakan, tiga kerugian yang di peroleh akibat belum beroperasinya Inco sejak Pemerintah pusat menandatangani Kontrak Karya tahun 1968 dengan Perusahaan berpusat di kanada itu.

Kerugian itu meliputi, terproteksinya investasi bagi perusahaan lain yang ingin masuk ke Sulteng karena lahan yang di kuasai Inco sejak 1968 mncapai 32,123,01 hektare di blok Bahodopi dan 4,512,35 hektare di blok Kolondale “sudah 40 tahun lahan itu tidur karena perusahaan lain tidak bisa masuk,” kata Chaeruddin.

Kerugian lainnya kata dia adalah tidak adanya pemasukan keuangan bagi pemerintah dan kerugian bagi masyarakat sekitarnya “ini kerugian nyata,”katanya.

Chaeruddin mengatakan sejak Inco berencana beroprasi di dua blok lumbung Nikel di Morowali tersebut belum diketahui berapa banyak pendapatan daerah yang diperoleh dari bagi hasil jika Nikel didaerah itu dieksplorasi.

Sebelumnya Rabu, (23/2) Gubernur Sulteng Paliudju meng Ultimatum Inco agar segera melakukan kegiatan penambangan paling lambat 1 Maret 2011. “jika hingga 1 Maret ini belum ada tanda-tanda kegiatan, pemerintah tak bertanggung jawab atas reaksi masyarakat terhadap perusahaan tambang Nikel tersebut,” kata Paliudju.

Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah ( Sulteng) Mohamad Hamdin Mengatakan, Jika pemerintah hanya memaksa perusahaan untuk segera beroperasi tanpa memikirkan hal lain, YTM secara tegas menolak. “hal lain yang saya maksud adalah kepemilikan saham daerah dalam perusaah itu,”katanya sebagaimana di kutip Antara

Menurut Hamdin , baiknya pihak pemerintah tidak memaksakan Inco beroperasi, karena tidak berdampak siknifikan terhadap pendapatan daerah.”Lihat saja Soroako. Kedepan jika seluruh sumber daya alamnya habis di eksploitasi Inco daerah itu akan jadi daerah Mati,”tegas Hamdin.***