"HIDUP TAK AKAN PERNA MENDAPATKAN KEDUDUKANNYA MENJADI SEBUAH KEBENARAN YANG UNTUH SECARA OBYEKTIF, HIDUP AKAN TERUS BERLANJUT DAN TERUS BERKEMBANG BERDASARKAN ZAMANNYA TAK ADA YANG ABADI DAN TAK ADA YANG TETAP".

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM

Respon Hari Anti Korupsi dan Hari HAM
Gambar ini diambil pada tanggal 9 Desember 2011, Front Perjuangan Rakyat (FPR-SULTENG).

Senin, 04 Oktober 2010

Studi Gender

studi jender merupakan bidang dari interdisipliner studi yang menganalisis fenomena gender . Gender studies is sometimes related to studies of class , race , ethnicity , sexuality and location. Studi gender kadang-kadang berkaitan dengan penelitian kelas , ras , etnisitas , seksualitas dan lokasi.

The philosopher Simone de Beauvoir said: “One is not born a woman, one becomes one.” In gender studies, the term "gender" is used to refer to the social and cultural constructions of masculinities and femininities, not to the state of being male or female in its entirety. The field emerged from a number of different areas: the sociology of the 1950s and later (see Sociology of gender ); the theories of the psychoanalyst Jaques Lacan ; and the work of feminists such as Judith Butler . Filsuf Simone de Beauvoir mengatakan: "adalah tidak dilahirkan, seorang wanita yang menjadi satu. Satu" Dalam studi gender, "istilah" gender digunakan untuk merujuk pada konstruksi sosial dan budaya dari maskulinitas dan femininities, bukan pada keadaan sebagai lelaki atau perempuan secara keseluruhan. lapangan muncul dari sejumlah wilayah yang berbeda: sosiologi 1950-an dan kemudian (lihat Sosiologi gender ), teori-teori dari psikoanalis Jaques Lacan , dan pekerjaan feminis seperti Judith Butler.

Each field came to regard "gender" as a practice, sometimes referred to as something that is performative. Feminist theory of psychoanalysis , articulated mainly by Julia Kristeva (the "semiotic" and "abjection") and Bracha Ettinger (the "matrixial trans-subjectivity" and the "primal mother-phantasies"), and informed both by Freud , Lacan and the Object relations theory , is very influential in gender studies. Setiap bidang mulai menganggap "gender" praktik, kadang-kadang disebut sebagai sesuatu yang performatif. feminis teori dari psikoanalisis , diartikulasikan terutama oleh Julia Kristeva (yang "semiotik" dan "kehinaan") dan Bracha Ettinger (yang "matrixial trans-subjektivitas" dan "primal ibu-fantasi"), dan informasi baik oleh Freud , Lacan dan Objek teori hubungan , sangat berpengaruh dalam studi

gender Belajar

Gender is an important area of study in many disciplines [ citation needed ] , such as literary theory , drama studies, film theory , performance theory, contemporary art history , anthropology , sociology , psychology and psychoanalysis . Gender merupakan area yang penting studi dalam banyak disiplin, seperti teori sastra , studi drama, teori film , teori kinerja, kontemporer sejarah seni , antropologi , sosiologi , psikologi dan psikoanalisis . These disciplines sometimes differ in their approaches to how and why they study gender. Disiplin ini terkadang berbeda dalam pendekatan mereka untuk bagaimana dan mengapa mereka studi gender. For instance in anthropology, sociology and psychology, gender is often studied as a practice, whereas in cultural studies representations of gender are more often examined. Misalnya dalam antropologi, sosiologi dan psikologi, gender sering dipelajari sebagai praktik, sedangkan pada kajian budaya representasi gender yang lebih sering diperiksa. Gender studies is also a discipline in itself: an interdisciplinary area of study that incorporates methods and approaches from a wide range of disciplines. studi gender juga merupakan disiplin dalam dirinya sendiri: sebuah interdisipliner bidang studi yang menggabungkan metode dan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu.

Pengaruh Studi Gender

Studi Gender dan Teori Psikoanalitik

Sigmund Freud

Some feminist critics have dismissed the work of Sigmund Freud as sexist, because of his view that women are 'mutilated and must learn to accept their lack of a penis' (in Freud's terms a "deformity"). [ 7 ] On the other hand, feminist theorists such as Juliet Mitchell , Nancy Chodorow , Jessica Benjamin , Jane Gallop , Bracha Ettinger , Shoshana Felman , Griselda Pollock [ 8 ] and Jane Flax have argued that psychoanalytic theory is vital to the feminist project and must, like other theoretical traditions, be adapted by women to free it from vestiges of sexism. Shulamith Firestone , in "Freudianism: The Misguided Feminism", discusses how Freudianism is almost completely accurate, with the exception of one crucial detail: everywhere that Freud writes "penis", the word should be replaced with "power". Beberapa kritik feminis telah menganggap remeh karya Sigmund Freud sebagai seksis, karena pandangannya bahwa perempuan adalah 'dimutilasi dan harus belajar untuk menerima kekurangan mereka penis' (dalam Teman-istilah Freud sebuah "cacat"). [7] Di sisi lain , teoretisi feminis seperti Juliet Mitchell , Nancy Chodorow , Jessica Benjamin , Jane Gallop , Bracha Ettinger , Shoshana Felman , Griselda Pollock [8] dan Jane Flax berpendapat bahwa teori psikoanalitik sangat penting untuk proyek feminis dan harus, seperti tradisi teoritis lainnya, disesuaikan oleh wanita untuk bebas dari sisa-sisa seksisme. Shulamith Firestone , dalam "Freudianisme: The Feminisme sesat", membahas bagaimana Freudianisme hampir sepenuhnya akurat, dengan pengecualian satu detail penting: di mana-mana bahwa Freud menulis "penis", kata harus diganti dengan "kekuasaan".

acques Lacan

Lacan's theory of sexuation organizes femininity and masculinity according to different unconscious structures. teori Lacan tentang sexuation menyelenggarakan feminitas dan maskulinitas sesuai dengan struktur bawah sadar yang berbeda. Both male and female subjects participate in the "phallic" organization, and the feminine side of sexuation is "supplementary" and not opposite or complementary. [ 9 ] Sexuation (sexual situation) — the development of gender-roles and role-play in childhood — breaks down concepts of gender identity as innate or biologically determined. Baik subjek laki-laki dan perempuan berpartisipasi dalam phallic "organisasi", dan sisi feminin sexuation adalah "tambahan" dan tidak berlawanan atau saling melengkapi. [9] Sexuation (situasi seksual) - pengembangan peran gender dan peran-bermain di masa kanak-kanak - rusak konsep identitas gender sebagai bawaan atau biologis ditentukan. (clarify-refutes?challenges?) [ 10 ] Critics like Elizabeth Grosz accuse Jacques Lacan of maintaining a sexist tradition in psychoanalysis. [ 11 ] Others, such as Judith Butler, Bracha Ettinger and Jane Gallop have used Lacanian work, though in a critical way, to develop gender theory.(Mengklarifikasi-membantah?? Tantangan). Kritik seperti Elizabeth Grosz menuduh Jacques Lacan mempertahankan tradisi seksis dalam psikoanalisis. Lain-lain, seperti Judith Butler, Bracha Ettinger dan Jane Gallop telah menggunakan kerja Lacanian, meski dalam kritis cara, untuk mengembangkan teori gender.

Julia Kristeva

Julia Kristeva secara signifikan telah mengembangkan bidang semiotika. In her work on abjection , she structures subjectivity upon the abjection of the mother and argues that the way in which an individual excludes (or abjects) their mother as means of forming an identity is similar to the way in which societies are constructed. Dalam karyanya tentang kehinaan , ia struktur subjektivitas pada kehinaan ibu dan berpendapat bahwa cara di mana seorang individu termasuk (atau abjects) ibu mereka sebagai alat pembentukan identitas adalah mirip dengan cara di mana masyarakat dibangun. She contends that patriarchal cultures, like individuals, have had to exclude the maternal and the feminine so that they can come into being. Dia berpendapat bahwa budaya patriarki, seperti individu, harus mengecualikan ibu dan feminin sehingga mereka dapat terwujud

Mark Blechner

Mark Blechner expanded psychoanalytic views of sex and gender, calling psychoanalysis "the once and future queer science." [ 16 ] He has argued that there is a "gender fetish" in western society, in which the gender of sexual partners is given enormously disproportionate attention over other factors involved in sexual attraction, such as age and social class. Mark Blechner memperluas pandangan psikoanalitik jenis kelamin dan gender, menyebut psikoanalisis "sekali dan ilmu aneh di masa depan." [16] Dia berpendapat bahwa ada "gender fetish" dalam masyarakat barat, di mana jenis kelamin pasangan seksual diberikan sangat tidak proporsional dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang terlibat dalam daya tarik seksual, seperti usia dan kelas sosial. He proposes that the words "homosexuality" and "heterosexuality" be given prefixes, depending on the dimension that is the same or different between partners. [ 17 ] "Age heterosexuality" would indicate an attraction between people of different ages, for example. Ia mengusulkan bahwa kata-kata "homoseksualitas" dan "heteroseksual" diberikan prefiks, tergantung pada dimensi yang sama atau berbeda antara mitra. [17] "heteroseksualitas Umur" akan menunjukkan daya tarik antara orang-orang dari berbagai usia, misalnya. What is conventionally called "heterosexuality" (attraction between a man and a woman) would be called "gender heterosexuality." Apa yang secara konvensional disebut "heteroseksual" (daya tarik antara pria dan wanita) akan disebut "heteroseksualitas gender."

Cultures can have very different norms of maleness and masculinity . Budaya dapat memiliki norma-norma yang berbeda sangat kelelakian dan maskulinitas . Blechner identifies the terror, in Western males, of penetration. Blechner mengidentifikasi teror itu, pada laki-laki Barat, penetrasi. Yet in many societies, being gay is defined only by being a male who lets himself be penetrated. Namun dalam banyak masyarakat, menjadi gay didefinisikan hanya dengan menjadi seorang laki-laki yang membiarkan dirinya ditembus. Males who penetrate other males are considered masculine and not gay and are not the targets of prejudice. In other cultures, however, receptive fellatio is the norm for early adolescence and seen as a requirement for developing normal manliness. Pria yang menembus laki-laki lain dianggap maskulin dan bukan gay dan tidak sasaran prasangka. Dalam budaya lain, bagaimanapun, menerima fellatio adalah norma untuk remaja awal dan dipandang sebagai kebutuhan untuk mengembangkan kejantanan normal.

Teori Sastra

Psychoanalytically oriented French feminism focused on visual and literary theory all along. Virginia Woolf 's legacy as well as " Adrienne Rich 's call for women's revisions of literary texts, and history as well, has galvanized a generation of feminist authors to reply with texts of their own". Griselda Pollock and other femininsts have articulated Myth and Poetry and literature, from the point of view of gender. Prancis feminisme berorientasi Psychoanalytically difokuskan dan sastra teori visual selama ini. Virginia Woolf 'warisan serta " Adrienne Rich 'panggilan untuk itu revisi perempuan dari teks-teks sastra, dan sejarah juga, telah mendorong generasi penulis feminis untuk membalas dengan teks dari "mereka sendiri.Griselda Pollock dan femininsts lainnya telah diartikulasikan Mitos dan Puisi dan literatur, dari sudut pandang gender.

Mempengaruhi Post

Munculnya feminisme pasca studi gender terpengaruh, menyebabkan gerakan dalam identitas teori jauh dari konsep tetap atau esensialis identitas gender, untuk post-modern cairan atau beberapa identitas.

See Donna Haraway , The Cyborg Manifesto, as an example of post-identity feminism. Lihat Donna Haraway , Manifesto Cyborg, sebagai contoh-identitas feminisme pos.

More recently, the relation between post-modernism or post-structuralism and masculinity has been considered. Baru-baru ini, hubungan antara pos-modernisme atau pasca-strukturalisme dan maskulinitas telah dipertimbangkan. Masculinity can be taken as always in movement and never fixed or stable. Maskulinitas dapat diambil seperti biasa dalam gerakan dan tidak pernah tetap atau stabil. See Reeser, Masculinities in Theory (2010) for a comprehensive overview of this approach. Lihat Reeser, maskulinitas dalam Teori (2010) untuk gambaran yang komprehensif dari pendekatan ini.

Teori Visual

Pengembangan teori gender

Sejarah Teori Gender

Studi Perempuan

Teman-studi Perempuan adalah interdisipliner bidang akademik ditujukan untuk topik tentang perempuan , feminisme , gender , dan politik . It often includes feminist theory , women's history (eg a history of women's suffrage ) and social history , women's fiction , women's health , feminist psychoanalysis and the feminist and gender studies-influenced practice of most of the humanities and social sciences . Hal ini sering mencakup teori feminis , sejarah perempuan (misalnya sejarah 's hak pilih perempuan ) dan sosial sejarah , 's fiksi perempuan , kesehatan wanita , psikoanalisis feminis dan feminis dan studi gender-praktek dipengaruhi sebagian besar dari humaniora dan ilmu sosial .

Studi Pria

Men's penelitian adalah interdisipliner bidang akademik ditujukan untuk topik tentang laki-laki , masculism , gender , dan politik . It often includes masculist theory, men's history and social history , men's fiction , men's health , masculist psychoanalysis and the masculist and gender studies-influenced practice of most of the humanities and social sciences . Hal ini sering mencakup teori masculist, sejarah manusia dan sejarah sosial , 's fiksi pria , 's kesehatan pria , psikoanalisis masculist dan masculist dan gender studi-praktek dipengaruhi sebagian besar dari humaniora dan ilmu sosial . Key theoretical contributions reconciling the relationship between masculist/feminist interpretation of gender studies include Does Feminism Discriminate Against Men by Dr Warren Farrell and James Sterba, and Gendering, Courtship and Pay Equality by Dr Rory Ridley-Duff. Kontribusi teoritis Kunci mendamaikan hubungan antara masculist / penafsiran feminis studi gender meliputi Apakah Feminisme diskriminasi terhadap Pria oleh Dr Warren Farrell dan James Sterba, dan gendering, Pacaran dan Pay Kesetaraan oleh Dr Rory Ridley-Duff

Judith Butler

The concept of gender performativity is at the core of Butler's work, notably in Gender Trouble . Konsep performativitas gender merupakan inti dari adalah pekerjaan Butler, terutama dalam Gender Trouble . In Butler's terms the performance of gender, sex, and sexuality is about power in society. She locates the construction of the "gendered, sexed, desiring subject" in "regulative discourses." Dalam Teman-istilah Butler kinerja gender, seks, dan seksualitas adalah tentang kekuasaan di masyarakat. Dia menempatkan konstruksi dari "gender, bergender, menginginkan subjek" dalam "wacana regulatif." A part of Butler's argument concerns the role of sex in the construction of "natural" or coherent gender and sexuality. Sebuah bagian dari keprihatinan argumen Butler peran seks dalam pembangunan "alami" gender atau koheren dan seksualitas. In her account, gender and heterosexuality are constructed as natural because the opposition of the male and female sexes is perceived as natural in the social imaginary. Dalam rekening, gender dan heteroseksualitas dibangun sebagai alami karena oposisi dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dianggap sebagai alam dalam khayalan sosial.


Kritik

Studi Gender dikritik oleh Paulus Nathanson dan Katherine K. Young untuk menjadi disiplin ilmu yang "Philosophizes, berteori dan politicizes pada sifat dari jenis kelamin perempuan" sebagai bangunan sosial , ke titik tidak termasuk jenis kelamin laki-laki dari analisis. They also claim that the 'gender' in gender studies is "routinely used as a synonym for 'women'. Mereka juga mengklaim bahwa 'gender' dalam studi gender "secara rutin digunakan sebagai sinonim untuk 'perempuan'.

Historian and theorist Bryan Palmer argues that the current reliance on poststructuralism — with its reification of discourse and avoidance of the structures of oppression and struggles of resistance — obscures the origins, meanings, and consequences of historical events and processes, and he seeks to counter the current "gender studies" with an argument for the necessity to analyze lived experience and the structures of subordination and power. Sejarawan dan teori Bryan Palmer berpendapat bahwa ketergantungan saat ini pada pascastrukturalisme - dengan reifikasi atas wacana dan menghindari struktur penindasan dan perjuangan perlawanan - mengaburkan asal-usul, makna, dan konsekuensi dari peristiwa sejarah dan proses, dan ia berusaha untuk melawan "saat ini gender" penelitian dengan argumen untuk kebutuhan untuk menganalisis pengalaman hidup dan struktur subordinasi dan kekuasaan.

Pope Benedict XVI has denounced some of the gender theories, warning that they blur the distinction between male and female and could thus lead to the "self-destruction" of the human race. He warned against the manipulation that takes place in national and international forums when the term "gender" is altered. Paus Benediktus XVI telah mencela beberapa teori gender, dan memperingatkan bahwa mereka mengaburkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan dengan demikian bisa menyebabkan "-kehancuran diri sendiri" dari ras manusia. [30] Dia memperingatkan terhadap manipulasi yang terjadi di nasional dan forum internasional ketika "gender" istilah diubah. "What is often expressed and understood by the term 'gender,' is definitively resolved in the self-emancipation of the human being from creation and the Creator," he warned. "Apa yang sering diungkapkan dan dipahami dengan istilah 'gender,' sangatlah diselesaikan dalam emansipasi-diri manusia dari penciptaan dan Pencipta," ia memperingatkan. "Man wants to create himself, and to decide always and exclusively on his own about what concerns him." "Man ingin membuat dirinya sendiri, dan untuk memutuskan selalu dan secara eksklusif pada sendiri tentang apa yang menyangkut dirinya." The Pontiff said this is man living "against truth, against the creating Spirit."Paus mengatakan ini adalah manusia yang hidup "melawan kebenaran, melawan Roh menciptakan."

Rosi Braidotti has criticized gender studies as: "the take-over of the feminist agenda by studies on masculinity, which results in transferring funding from feminist faculty positions to other kinds of positions. There have been cases...of positions advertised as 'gender studies' being given away to the 'bright boys'. Some of the competitive take-over has to do with gay studies. Of special significance in this discussion is the role of the mainstream publisher Routledge who, in our opinion, is responsible for promoting gender as a way of deradicalizing the feminist agenda, re-marketing masculinity and gay male identity instead." [ citation needed ] Rosi Braidotti telah dikritik studi gender sebagai: "yang mengambil-alih dari agenda feminis dengan studi tentang maskulinitas, yang menghasilkan mentransfer dana dari posisi fakultas feminis untuk jenis lain posisi gender. Ada kasus ... posisi diiklankan sebagai ' Studi 'yang diberikan kepada' anak terang. Beberapa kompetitif mengambil-alih ada hubungannya dengan studi gay. Dari makna khusus dalam diskusi ini adalah peran dari penerbit Routledge mainstream yang, menurut pendapat kami, bertanggung jawab untuk mempromosikan jender sebagai cara deradicalizing agenda feminis, kembali maskulinitas pemasaran dan identitas laki-laki gay, bukan [. "diperlukan kutipan ]

Calvin Thomas counters that, "as Joseph Allen Boone points out, 'many of the men in the academy who are feminism's most supportive 'allies' are gay,'" and that it is "disingenuous" to ignore the ways in which mainstream publishers such as Routledge have promoted feminist theorists. [ citation needed ] Calvin Thomas counter itu, "ketika Yusuf Allen Boone menunjukkan, 'banyak orang di akademi yang feminisme yang paling mendukung' sekutu 'adalah gay,'" dan bahwa itu adalah "jujur" untuk mengabaikan cara-cara di mana penerbit utama seperti sebagai Routledge telah mempromosikan teori feminis.

Sosiologi Gender

Sosiologi gender adalah subfield menonjol sosiologi . Since 1950 an increasing part of the academic literature, and of the public discourse uses gender for the perceived or projected ( self-identified ) masculinity or femininity of a person. Sejak tahun 1950 bagian peningkatan literatur akademis, dan wacana publik menggunakan gender untuk dirasakan atau diproyeksikan ( self-diidentifikasi ) maskulinitas atau feminitas seseorang. The term was introduced by Money (1955): Istilah ini diperkenalkan oleh Money (1955):

“The term gender role is used to signify all those things that a person says or does to disclose himself/herself as having the status of boy or man, girl or woman, respectively. "Peran gender istilah digunakan untuk menunjukkan semua hal yang orang katakan atau lakukan untuk mengungkapkan dirinya memiliki status laki-laki atau manusia, gadis atau perempuan, masing-masing. It includes, but is not restricted to, sexuality in the sense of eroticism.” Ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, seksualitas dalam arti erotisme. "

A person's gender is complex, encompassing countless characteristics of appearance, speech, movement and other factors not solely limited to biological sex . Seseorang jender adalah kompleks, mencakup karakteristik yang tak terhitung penampilan, ucapan, gerakan dan faktor-faktor lain yang tidak hanya terbatas pada jenis kelamin biologis .

Societies tend to have binary gender systems in which everyone is categorized as male or female , and this is universal. Masyarakat cenderung memiliki biner sistem gender di mana setiap orang dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan , dan ini adalah universal. Some societies include a third gender role; for instance, the Native American Two-Spirit people and the hijras of India. Beberapa masyarakat termasuk peran gender ketiga, misalnya, Amerika asli Dua-Roh orang dan hijras India.

There is debate over the extent to which gender is a social construct or a biological construct . Ada perdebatan sejauh mana gender merupakan konstruksi sosial atau biologis membangun .

Secara teori feminis

During the 1970s there was no consensus about how the terms were to be applied. Selama tahun 1970-an tidak ada konsensus tentang bagaimana istilah itu harus diterapkan. In the 1974 edition of Masculine/Feminine or Human , the author uses “innate gender” and “learned sex roles“, but in the 1978 edition, the use of sex and gender is reversed. Dalam edisi 1974 dari Maskulin / Feminin atau Manusia, penulis menggunakan "gender bawaan" dan "peran seks belajar", tetapi dalam edisi tahun 1978, penggunaan seks dan gender terbalik. By 1980, most feminist writings had agreed on using gender only for socioculturally adapted traits. Pada tahun 1980, sebagian besar tulisan-tulisan feminis telah sepakat tentang penggunaan gender hanya untuk menyesuaikan sifat socioculturally.

Bahasa lain

In English, both sex and gender are used in contexts where they could not be substituted (sexual intercourse; anal sex; safe sex; sex worker; sex slave). Dalam bahasa Inggris, baik seks dan gender digunakan dalam konteks di mana mereka tidak dapat diganti (hubungan seksual, seks anal, seks aman; pekerja seks, budak seks). Other languages, like German , use the same word Geschlecht to refer both to grammatical gender and to biological sex, making the distinction between sex and gender advocated by some anthropologists difficult. bahasa lain, seperti Jerman , menggunakan kata yang sama Geschlecht untuk merujuk baik untuk gender gramatikal dan jenis kelamin biologis, membuat perbedaan antara jenis kelamin dan gender dianjurkan oleh beberapa antropolog sulit. In some contexts, German has adopted the English loan-word gender to achieve this distinction. Dalam beberapa konteks, Jerman telah mengadopsi gender pinjaman-kata dalam bahasa Inggris untuk mencapai perbedaan ini. Sometimes 'Geschlechtsidentitaet' is used as gender (although it literally means gender identity ) and 'Geschlecht' as sex (translation of Judith Butler 's Gender Trouble ). Kadang-kadang 'Geschlechtsidentitaet' digunakan sebagai jenis kelamin (walaupun secara harfiah berarti identitas gender) dan 'Geschlecht' sebagai seks (terjemahan dari Judith Butler 's Trouble Gender). More common is the use of modifiers: biologisches Geschlecht for sex , Geschlechtsidentität for gender identity and Geschlechterrolle for gender role etc. Lebih umum adalah penggunaan pengubah: biologisches Geschlecht untuk seks, Geschlechtsidentität untuk identitas gender dan Geschlechterrolle untuk peran gender dll

Minggu, 03 Oktober 2010

FILOSOFI DAN METODE PENELITIAN SOSIAL

A. FILOSOFI PENELITIAN SOSIAL

Setiap kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan selalu berlandaskan filosofi Hakikat filosofi adalah kebenaran yang diperoleh melalui berpikir logis, sistematis, metodis. Kebenaran adalah kenyataan apa adanya yang sesuai dengan logika sehat. Kebenaran juga sekaligus menjadi tujuan pengembangan ilmu pengetahuan karena bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Berpikir logis adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar permasalahan guna meng- ungkapkan kebenaran. Sistematis adalah berpikir dan berbuat yang bersistem, yaitu runtun, berurutan, tidak tumpang tindih. Metodis adalah berpikir dan berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya diakui menurut penalaran.
Penelitian sosial merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis, dan metodis gejala sosial yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran dimaksud adalah keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan, dan kesejahteraan masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan yang berman- faat memerlukan peningkatan kemampuan meneliti bagi dosen ilmu-ilmu sosial. Kemampuan meneliti tersebut terutama diarahkan kepada tiga manfaat, yaitu:
1. Pengembangan institusi, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan oleh dosen yunior.
2. Inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi), dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan oleh dosen senior.
3. Pemecahan masalah, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan secara kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta dan industri.
Filosofi penelitian sosial mendasari kegiatan ilmiah yang berupaya mencari kebenaran hakiki dari setiap gejala sosial yang ada. Sebagaimana dikemukakan oleh Theo Huijbers, filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, secara refleksi menangkap makna yang hakiki dari keseluruhan yang ada. Objek filosofi bersifat universal mencakup segala yang dialami manusia. Berpikir filosofi adalah mencari arti yang sebenarnya dari segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala paling luas. Metode pemikiran filosofi adalah refleksi atas pengalaman dan pengertian tentang suatu hal dalam cakrawala yang universal. Pengolahan pikirannya secara metodis dan sistematis.Tujuannya adalah kebenaran yang menyejahterakan masyarakat. 1
Berasarkan pandangan tersebut, maka dapat dirinci unsur-unsur penting filosofi yang mendasari penelitian sosial sebagai

1. kegiatan intelektual (pemikiran);
2. mencari makna yang hakiki (interpretasi);
3. segala fakta dan gejala (objek);
4. dengan cara refleksi, metodis, sistematis (metode);
5. untuk kebahagiaan masyarakat (tujuan).
Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial juga memiliki ciri-ciri sebagai- mana dijelaskan oleh Soedjono Dirdjosisworo sebagai berikut:
1. Sistematis artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan menurut sistem.
2. Logis artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut penanalaran
3. Empiris artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan, pengamatan.
4. Metodis artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh penalaran.
5. Umum artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan tidak menyangkut yang khusus saja.
6. Akumulatif artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis. 2
Penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah dilakukan terus-menerus guna mengungkapkan kebenaran sesungguhnya dari objek yang diteliti. Kebenaran yang sesungguhnya itu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Kebenaran objek yang diteliti menjadi dasar keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Harsja Bachtiar mengemukakan dua kategori keteraturan dari objek yang diteliti, yaitu:
1. Keteraturan alam semesta selalu berkualitas 100% benar karena keteraturan itu tetap, tidak berubah, sehingga metode penelitiannya pun tepat. Ini terdapat pada ilmu-ilmu eksakta, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi, kedokteran.
2. Keteraturan hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengungkapkan kebenaran keteraturan tersebut dipinjam metode penelitian ilmu eksakta, ternyata hasil penelitiannya tidak selalu 100% benar, melainkan hanya mendekati kebenaran karena keteraturan dalam hubungan hidup bermasyarakat itu dapat berubah dari saat ke saat sesuai dengan perkem- bangan kebutuhan masyarakat. Ini terdapat pada ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, hukum, politik, sosiologi, demografi. 3
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa perkembangan ilmu sosial selalu dilandasi oleh kebenaran yang relatif, keteraturan yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada, keingintahuan terus-menerus, yang ditelaah bukan kuantitas, melainkan kualitas dari gejala sosial yang ada (terjadi).

B. DASAR PENELITIAN SOSIAL

1. Keingintahuan

Karena masyarakat itu berkembang, maka ilmu sosial juga berkembang, namun perkembangan tersebut tidak dapat diketahui secara pasti sebagai hal yang baru. Oleh sebab itu, lalu dilakukan upaya tertentu untuk memperoleh pengetahuan baru. Apa yang mendorong orang sehingga berkehendak memper- oleh pengetahuan baru tentang gejala sosial? Faktor pendorong tersebut adalah keingintahuan (curiousity). Keingintahuan itu muncul karena ketidakpuasan terhadap gejala sosial yang ada. Untuk memperoleh jawaban dari keingintahuan tersebut, orang perlu melakukan kegiatan yang menggunakan metode yang diakui secara keilmuan. Kegiatan yang dimaksud disebut penelitian sosial.
Penelitian adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris research yang terdiri dari re artinya ulang dan search artinya mencari. Jadi, research atau penelitian itu adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala, kenyataan yang sudah ada untuk direkonstruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dimasalahkan. Ungkapan kembali itu didasari oleh keingin- tahuan tentang keadaan gejala sosial yang dijadikan masalah, misalnya:
a. Maraknya prostitusi dalam masyarakat perkotaan di Indonesia kini akibat pengaruh kesulitan ekonomi. Informasi gejala sosial: Indonesia menduduki urutan kedua bisnis prostitusi dengan omzet penghasilan rata-rata per tahun Rp11 triliun. Gejala pendukung: di tempat hiburan malam, di hotel-hotel, di panti pijat, ada PSK walaupun tersembunyi.
b. Maraknya perjudian dalam masyarakat kini akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah. Informasi gejala social: Jakarta adalah salah satu kota besar bisnis perjudian dengan omzet penghasilan rata-rata per tahun Rp40 triliun. Gejala pendukung: di pusat-pusat hiburan, di media elektronik, di hotel-hotel, ada pertaruhan dengan menggunakan uang, menonton sepaka bola menggunakan taruhan uang dari jumlah kecil hingga jumlah besar.
c. Semrawutnya lalu lintas di kota Bandar Lampung akibat rendahnya kesadar- an hukum pengemudi angkot. Informasi gejala sosial: jalan raya dijadikan tempat parkir kendaraan bermotor, tempat dagang kaki lima, tempat dagang asongan, jumlah angkot makin bertambah setiap tahun.
d. Makin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga, makin rendah tingkat perilaku menyimpang oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Informasi gejala social: Di kalangan masyarakat kaya (the haves) justru banyak terjadi mabuk- mabukan, prostitusi, narkoba. Di kalangan selebritis justru banyak terjadi kehancuran rumah tangga perceraian suami isteri (broken home).
e. Merajalelanya korupsi di kalangan pejabat negara akibat lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Informasi gejala sosial: pejabat korup cenderung bebas dari tuntutan hukum atau memperoleh hukuman lebih ringan. Pejabat korup sulit diberhentikan dari pegawai negeri sipil (PNS).
Karena penelitian itu menyangkut berbagai as

Penelitian sosial menggunakan metode ilmiah yang sesuai dengan bidang ilmu sosial yang diteliti. Untuk itu mutlak diperlukan penguasaan ilmu sosial yang bersangkutan dengan baik. Misalnya, penelitian bidang hukum, ekonomi, sosiologi, psikologi, antropoligi sosial harus didukung oleh penguasaan dengan baik bidang ilmu yang bersangkutan. Ilmu adalah produk dari proses berpikir logis yang didukung oleh fakta empiris. Penguasaan ilmu sosial dengan baik merupakan modal dasar melakukan penelitian sosial guna memperoleh penge- tahuan atau temuan baru di bidang ilmu sosial.

2. Proses Berpikir Logis

Dalam kegiatan penelitian sosial dikenal dua proses berpikir, yaitu proses berpikir logis dan proses berpikir kausalitas. Proses berpikir logis dibedakan lagi menjadi proses berpikir induktif dan proses berpikir deduktif. Kedua proses berpikir tersebut dijelaskan dengan contoh-contoh dalam uraian berikut.

a. Proses berpikir induktif

Proses berpikir Induktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat khusus (individual). Proses berpikir induktif dimulai dari pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas, yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir induktif merupakan esensi dari fakta-fakta yang dikumpulkan.

Contoh:
Berdasarkan statistik tahun 2001 di Kabupaten Lampung Selatan tingkat pendapatan penduduk umumnya rendah, sehingga sedikit jumlah penduduk yang mampu membayar premi asuransi jiwa. Demikian juga di Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Way Kanan terdapat kondisi yang sama dengan Kabupaten Lampung Selatan. Tetapi di Kota Bandar Lampung yang pendapatan per kapita cukup tinggi, sebagian besar penduduk mengadakan asuransi jiwa. Oleh karena itu, di setiap kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya rendah, asuransi jiwa sulit berkembang.
Proses berpikir induktif memungkinkan penyusunan pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada beberapa pernyataan yang bersifat fundamental. Suatu pengetahuan harus diyakini kebenarannya melalui dua tahap keyakinan, yaitu keyakinan karena tahu (know) dan keyakinan karena pengalaman (empirical). Keyakinan karena tahu merupakan dasar merumuskan masalah yang diteliti seperti dalam contoh tadi: “Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab sulitnya asuransi jiwa berkembang di beberapa kabupaten dalam Provinsi Lampung”. Untuk mengetahui hal tersebut kemudian dilakukan penelitian.
Keyakinan karena pengalaman merupakan hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan data empiris yang dikumpulkan d
daerah Lampung seperti contoh tadi. Pernyataa

fundamental hasil proses berpikir induktif tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Apabila pertumbuhan ekonomi rendah, tingkat pendapatan penduduk juga rendah.
(2) Makin rendah tingkat pendapatan, makin rendah minat penduduk membayar premi asuransi jiwa.
(3) Di daerah kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya rendah, asuransi jiwa sulit berkembang.

b. Proses berpikir deduktif

Proses berpikir deduktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum. Proses berpikir deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disusun dari dua buah pernyataan serta sebuah kesimpulan (silogismus). Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Berdasarkan kedua premis tersebut ditarik kesimpulan.

Contoh:
Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung didirikan Pengadilan Agama (premis mayor). Way Kanan adalah kabupaten yang baru dibentuk (premis minor). Jadi, di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama (kesimpulan). Ketepatan menarik kesimpulan dalam proses berpikir deduktif ter- gantung dari tiga hal, yaitu:
(1) kebenaran premis mayor; (2) kebenaran premis minor;
(3) kebenaran penarikan kesimpulan.
Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru seperti pada contoh tadi: Di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama, pada hakikatnya bukan pengetahuan baru dalam arti sebenarnya, melainkan hanya konsekuensi yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan demikian, semua pengetahuan yang telah dibuktikan kebenarannya secara deduktif tetap benar apabila postulat dan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya dianggap berlaku.
Tetapi mungkin juga pengambilan kesimpulan itu salah. Contoh peng- ambilan kesimpulan yang salah adalah sebagai berikuit:
Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung perlu didirikan Pengadilan Agama (premis mayor). Di Kabupaten Way Kanan tidak pernah ada perceraian atau sengketa waris Islam (premis minor). Walaupun demikian, di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama (kesimpulan). Di mana letak kesalahan kesimpulan tersebut? Kedua premis berlainan sifat, premis mayor belum teruji kebenarannya, premis minor adalah fakta yang sudah teruji (tidak ada perceraian atau sengketa waris Islam). Kesimpulan yang diambil bisa benar dan bisa salah. Dikatakan benar apabila sesuai dengan dan diterima oleh logika. Sebaliknya, dikatakan salah apabila tidak sesuai dengan dan tidak diterima oleh logika. Sudah jelas tidak ada perceraian atau sengketa waris Islam, mengapa perlu didirikan Pengadilan Agama? Seharusn
Kabupaten Way Kanan, pendirian Pengadilan A

mubazir, atau: Di Kabupaten Way Kanan belum perlu didirikan Pengadilan
Agama.

c. Proses Berpikir Kausalitas

Pada dasarnya setiap proses berpikir selalu menghasilkan pernyataan atau pengetahuan yang terdiri dari unsur sebab dan unsur akibat. Unsur sebab adalah peristiwa atau keadaan yang menyatakan mengapa sesuatu itu terjadi atau timbul. Misalnya, mengapa lalu lintas di Bandar Lampung tidak teratur? Jawabannya adalah: “sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”, yang menjadi sebab adalah kesadaran hukum pengemudi rendah. Jadi, yang diungkapkan peneliti bukan tidak teraturnya lalu lintas, melainkan alasan (sebab) tidak teraturnya lalu lintas itulah yang perlu diteliti. Dalam contoh ini, yang perlu diteliti untuk dibenahi adalah rendahnya kesadaran hukum pengemudi, bagai- mana cara meningkatkan kesadaran hukum mereka. Dalam metode penelitian sosial, unsur sebab ini disebut variabel bebas (independent variable).
Unsur akibat adalah peristiwa atau keadaan baru yang terjadi atau timbul dari peristiwa atau keadaan yang sudah ada lebih dahulu. Akibat selalu terjadi lebih kemudian dari sebab. Dengan kata lain, jika peristiwa atau keadaan itu tidak ada, maka tidak terjadi atau tidak timbul peristiwa atau keadaan baru. Akibat adalah hasil dari sebab. Sebagai contoh, “Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya akibat korupsi yang tak terkendali”. Dalam contoh ini, korupsi yang tak terkendali adalah sebab, sedangkan Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya adalah akibat. Apabila kalimat pernyataan tersebut dibuat dalam bentuk aktif, maka pernyataannya lebih jelas: “Korupsi yang tak terkendali mengakibatkan Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya”. Dalam metode penelitian sosial, unsur akibat ini disebut variable terikat (dependent variable).
Dalam penelitian sosial kedua jenis variable sebab akibat ini selalu ada dan merupakan fakta atau gejala yang menjadi objek penelitian untuk diungkap- kan. Mungkin unsur sebab yang sudah diketahui lebih dahulu, kemudian baru diteliti unsur akibat yang akan terjadi. Mungkin juga sudah diketahui akibat yang terjadi, kemudian baru diteliti dan diungkapkan sebabnya. Dalam filsafat ilmu, hubungan sebab-akibat (causality) merupakan esensi kegiatan berpikir yang menjadi dasar berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk juga imu sosial.
Pada contoh yang telah dikemukakan di atas: “Lalu lintas di Bandar Lampung tidak teratur sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”. Hal yang akan diungkapkan adalah unsur sebab, yaitu “kesadaran hukum pengemudi rendah”. Untuk itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang termasuk dalam unsur sebab (kesadaran hukum pengemudi rendah). Artinya tinggi rendah tingkat kesadaran hukum pengemudi ditentukan oleh beberapa faktor yang terdapat dalam diri pengemudi, antara lain:
(1) tingkat pendidikannya;
(2) pengetahuan tentang peraturan lalu lintas; (3) pengetahuan teknis kendaraan bermotor; (4) memiliki/tidak memiliki SIM;
(5) mobil milik sendiri atau milik pengusaha;

(6) lama pengalaman menjadi sopir, dst.
Faktor-faktor ini disebut variable bebas (independent variables) yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum pengemudi. Faktor- faktor tersebut menjadi dasar penyusunan kuesioner atau pedoman wawancara untuk mengumpulkan data yang menjadi bahan dasar analisis.

3. Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif seringkali digunakan dalam penelitian sosial. Hal ini disebabkan gejala sosial seringkali tidak dapat ditunjukkan secara kuantitatif, tidak dapat diukur. Metodologi penelitian kualitatif adalah suatu upaya yang sistematis dalam penelitian sosial. Termasuk di dalamnya adalah kaidah dan teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala sosial, atau cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh pengetahuan baru.
Penelitian kualitatif biasanya dimulai dengan suatu pertanyaan penilaian mengenai suatu hal, misalnya:
a. Mengapa sering terjadi kemacetan lalu lintas di kota Jakarta?
b. Mengapa perusahaan asuransi jiwa sulit berkembang di Kabupaten Lamsel?
c. Mengapa pejabat cenderung ingin melakukan korupsi padahal itu melanggar hukum?
d. Mengapa orang ingin mengonsumsi narkoba padahal dia tahu barang itu sangat berbahaya bagi kesehatan dirinya?
e. Mengapa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat cenderung berubah menjadi anarkhis?
Penelitian kualitatif merupakan alat untuk melihat sejauh mana suatu proses terjadi pada gejala sosial. Penelitian kualitatif pada umumnya menilai fakta atau gejala sosial yang diteliti tidak menggunakan angka, melainkan cukup menggunakan standar mutu atau kualitas yang dinyatakan dengan kata kata, misalnya:
a. rendah, sedang, tinggi;
b. kurang, cukup, banyak;
c. jelek, bagus, bagus sekali;
d. sebagian kecil, sebagian besar, pada umumnya.
Karena menggunakan penilaian relatif atau tidak pasti, maka ada yang mengata- kan hasil penelitian kualitatif itu tidak objektif. Untuk menghindari hal itu, maka diupayakan tidak hanya menggunakan analisis kualitatif, tetapi juga analisis kuantitatif.
Penelitian kualitatif pada umumnya mempunyai ciri-ciri berikut ini:
a. Penyusunan proposal lebih mudah dengan variabel sederhana. b. Alat pengumpul data sudah disusun lebih dahulu.
c. Bila menggunakan sampel dapat secara purposive.
d. Fakta (data) diperoleh langsung dari sumber pertama. e. Analisis data dilakukan secara kualitatif. 4



4 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian H

C. PENELITIAN SOSIAL

1. Penelitian Sosial Sebagai Kegiatan Ilmiah

Penelitian sosial merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala sosial tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.5 Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitian sosial dianggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria berikut:
a. didasarkan pada metode, sistematika, dan logika berpikir tertentu;
b. bertujuan untuk mempelajari gejala sosial tertentu (data primer);
c. guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang diteliti tersebut.
Penelitian sosial didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang meliputi persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian mengguna- kan cara-cara yang secara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan. Kegiatan persiapan penelitian umumnya didahului dengan studi pustaka untuk menemukan konsep-konsep, teori-teori diteruskan observasi di lapangan untuk menjajagi gejala-gejala sosial yang akan dijadikan dasar perumusan masalah dan tujuan serta strategi penelitian. Semuanya ini kemudian dituangkan dalam bentuk proposal penelitian.
Proses penelitian merupakan kegiatan pelaksanaan penelitian berdasar- kan jadwal yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu, meliputi peng- umpulan data sekunder dari perpustakaan (buku-buku literatur), dari perkantoran (arsip, dokumen) dan pengumpulan data primer dari lapangan (lokasi penelitian). Setelah data terkumpul, diteruskan dengan kegiatan pengolahan data dan analisis data. Hasil penelitian tersebut kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah yang siap untuk dipublikasikan. Laporan penelitian berupa karya ilmiah tersebut dapat berbentuk laporan jurnal penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi.
Penelitian sosial selalu didasarkan pada sistem, yang memiliki unsur-unsur sistem, yaitu subjek penelitian, objek penelitian, perilaku (kegiatan) penelitian, hasil penelitian, dan publikasi hasil penelitian. Setiap unsur sistem tersebut dikerjakan berdasarkan sistematika tertentu, baik format maupun substansi, seperti klasifikasi, penggolongan, penandaan, urutan penyajian, analisis, dan interpretasi. Penelitian didasarkan pada logika berpikir tertentu, yaitu logika berpikir kausalitas (sebab-akibat) dalam melakukan analisis data, logika berpikir deduktif atau induktif dalam pengambilan kesimpulan.
Penelitian sosial selalu mempunyai tujuan tertentu, baik tujuan proses maupun tujuan akhir. Tujuan proses misalnya “menganalisis data yang diperoleh guna membuktikan suatu peristiwa sosial sudah dilakukan atau tidak dilakukan”, sedangkan tujuan akhir adalah hasil yang dipe

5 Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Huku

Tujuan akhir misalnya “memperoleh gambaran lengkap tentang norma sosial yang berlaku pada komunitas tertentu di suatu wilayah tertentu”, atau “pembeli memiliki barang yang dibelinya dan penjual memperoleh pembayaran harga barang yang dijualnya sesuai dengan perjanjian”, atau “memperoleh data lengkap mengenai tindak kekerasan suami terhadap istri dalam kehidupan keluarga di kota besar selama tahun 2005”. Tujuan yang dicapai dalam penelitian sosial merupakan solusi atas masalah yang diteliti.

2. Strategi (Pendekatan) Penelitian Sosial

Walaupun bidang ilmu sosial terdiri dari beberapa subbidang ilmu, tidak berarti strategi penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain. Strategi penelitian sosial yang digunakan pada subbidang ilmu sosial selalu ada kesamaan dengan strategi penelitian subbidang ilmu sosial yang lain. Strategi penelitian merupakan cara pendekatan untuk menyelesaikan atau memecahkan atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan, sehingga mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Robert K. Yin, dalam penelitian sosial ada beberapa strategi yang dapat digunakan, yaitu survei, studi kasus, eksperimen, sejarah, analisis arsip. 6
Pada penelitian sosial, strategi penelitian (pendekatan masalah) yang umum digunakan adalah pendekatan studi kasus dan survei. Dalam uraian berikutnya, strategi penelitian sosial yang diutamakan untuk dibahas dibatasi hanya pada pendekatan studi kasus dan pendekatan survei, dengan alasan studi kasus menggunakan logika berpikir induktif, sedangkan survei menggunakan logika berpikir deduktif.

2.1 Pendekatan Studi Kasus

Pada penelitian sosial, strategi (pendekatan masalah) yang sangat penting dan dominan adalah studi kasus (case study). Dalam hal ini, kasus dikonsepkan sebagai peristiwa yang berupa rangkaian perilaku nyata, misalnya perjanjian jual beli, pembunuhan seseorang, upacara pernikahan, kecelakaan lalu lintas, kinerja DPRD Kabupaten/Kota, sewa guna usaha (leasing), tindak kekerasan suami terhadap istri dalam kehidupan keluarga, pembagian harta warisan pada masyarakat patrilineal, dll.
Dalam konteks studi kasus, ada tiga tipe studi kasus, yaitu studi kasus non-yudisial, studi kasus yudisial, studi kasus langsung (live case study):
a. Studi kasus non-yudisial (non-judicial case study), yaitu studi kasus tanpa konflik yang tidak melibatkan pengadilan. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai.
b. Studi kasus yudisial (judicial case study), yaitu studi kasus karena konflik yang kemudian diselesaikan melalui putusan pengadilan.
c. Studi kasus langsung (live case study), yaitu studi kasus yang masih berlangsung dari awal kegiatan hingga berakhir, misalnya pengangkutan

6 Robert K. Yin. 1989. Case Study Research: Design and

niaga yang sedang berlangsung diteliti proses berlakunya sejak pemberang- katan hingga berakhir di tempat tujuan.
Dipandang dari segi karakteristik kasus yang menjadi objek penelitian, studi kasus dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Studi kasus tunggal(single-case study)
Tipe studi kasus tunggal digunakan apabila kasus yang banyak itu mem- punyai kriteria atau karakteristik yang sama, sehingga cukup diambil satu kasus saja. Dengan mengkaji satu kasus, maka semua kasus yang mempunyai kriteria atau karakteristik yang sama itu sudah terwakili. Studi kasus tunggal dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Contoh studi kasus tunggal antara lain adalah studi kasus perjanjian kredit mikro antara usaha kecil dengan bank karena karakteristiknya sama.
b. Studi kasus ganda (multi-case study)
Tipe studi kasus ganda digunakan apabila ada beberapa kasus yang mem punyai kriteria berbeda, sehingga perlu diambil semua kasus atau beberapa kasus yang mewakili semua kasus yang sejenis, secara purposive. Studi kasus ganda lebih rumit dan makan biaya, waktu, dan tenaga lebih banyak. Contoh: Studi kasus pembiayaan melalui kredit yang disalurkan oleh bank kepada pengusaha dan studi kasus pembiayaan melalui modal ventura yang disalurkan oleh perusahaan modal ventura kepada pengusaha. Mana yang lebih meng- untungkan? Contoh lagi: jika ada 100 kasus penyaluran kredit bank berdasarkan perjanjian kredit biasa dan kredit mikro, maka secara purposive dapat diambil satu perjanjian kredit biasa dan satu perjanjian kredit mikro yang mewakili masing-masing jenis kredit yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Dalam konteks studi kasus, metode analisis yang banyak digunakan adalah content analysis, yaitu menguraikan materi peristiwa sosial secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan. Ada dua tipe content analysis, yaitu tinjauan kritis (critical review) dan analisis kritis (critical analysis).

2.1.1 Tinjauan kritis (critical review)

Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif yang diteliti guna mencari dan menemukan alasan pembenaran atau penolakan suatu produk perilaku. Pada tipe ini, peneliti melakukan analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan segi negatif dan segi positif suatu produk perilaku. Contoh produk perilaku, yaitu:
a. Tindak kekerasan terhadap anggota masyarakat dari kelompok tertentu, akibatnya terjadi tawuran antar kelompok.
b. Ambisi politik segelintir orang lalu membentuk provinsi baru di Papua sehingga menimbulkan reaksi keras penolakan dari masyarakat yang tidak setuju.
c. Kenaikan harga BBM yang dianggap menyengsarakan masyarakat, akibat- nya timbul reaksi demonstrasi massa di mana-mana.
Hasil tinjauan kritis itu dapat mengakibatk sehingga dapat menenteramkan masyarakat.

penolakan produk perilaku karena meresahkan masyarakat. Pembenaran yang dapat menenteramkan masyarakat merupakan segi positif produk perilaku. Sedangkan penolakan karena meresahkan masyarakat merupakan segi negatif produk perilaku, yaitu menunjukkan perilaku cacat moral, mudharat, yaitu dianggap tidak manusiawi, merugikan masyarakat lapisan bawah, merendahkan martabat kelompok masyarakat marginal. Keadaan cacat moral itu akan mengakibatkan ketidakstabilan, ketidaktertiban, ketidakpastian yang merugikan masyarakat, pihak-pihak, bahkan negara sendiri. Hasil tinjauan kritis akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan (decision maker), perancang undang-undang (legal drafter), serta menjadi acuan kajian bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial,penelitian sosial, dan penyuluhan kepada masyarakat

2.1.2 Analisis kritis (critical analysis)

Tipe analisis kritis menduduki gradasi yang lebih tinggi daripada tinjauan kritis. Apabila tinjauan kritis lebih menitikberatkan pada produk perilaku, maka analisis kritis tidak hanya produk perilaku melainkan juga sumber produk perilaku dengan segala motivasinya dari lapisan masyarakat bawah (grassroots) sampai pada lapisan atas atau penguasa lokal dan nasional. Pada tipe ini, peneliti sosial bertujuan untuk mengungkapkan lebih komprehensif tentang segi negatif (cacat perilaku) dan juga segi positif (keunggulan) suatu produk perilaku untuk dijadikan bahan menyusunan undang-undang, dasar pengambilan keputusan, sehingga diperoleh gambaran komprehensif (comprehensive analysis), tidak hanya dari belakang meja kerja, tetapi juga dari lapangan, yaitu lapisan masyarakat secara keseluruhan. Contoh: Analisis kritis pemanfaatan tenaga kerja, analisis kritis pengolahan sampah perkotaan, analisis kritis cara mengatasi masalah penyakit masyarakat (PSK, gepeng, perjudian, miras, dll).
Tipe analisis kritis mengkaji dengan cermat apakah suatu peristiwa sosial, atau produk perilaku berakar pada masyarakat, sehingga didukung dan diterima oleh masyarakat karena dirasakan benar dan adil, atau sebaliknya ditolak masyarakat karena tidak benar, tidak adil, merugikan masyarakat. Pada tipe ini, peneliti mengungkapkan tidak hanya segi negatif, tetapi juga segi positif berupa keunggulan dan kelebihan (secara filosofis, yuridis, sosiolgis) dan sekaligus menunjukkan solusi terbaik dan tepat yang perlu dilakukan oleh pengambil keputusan, pembuat undang-undang, tokoh masyarakat. Contoh kasus mencolok dalam masyarakat dewasa ini adalah kasus sengketa tanah di kota dan di desa, kasus pemekaran daerah otonom di Irian Jaya yang mengakibatkan perang suku antara yang pro dan kontra.
Tipe analisis kritis adalah tipe kajian yang paling berbobot dari segi akademik dan segi praktis, teknik perundang-undangan karena kondisi objektif dan nyata di lapangan dijadikan bahan kajian dan analisis. Tipe ini bermanfaat bagi pengambil keputusan, perancang undang-undang, pendidikan dan praktisi sosial, dan penyuluh masyarakat di lapangan.
Karakteristik dari studi kasus adalah data yang dianalisis hanya data yang bersumber dari kasus yang dijadikan objek
menggunakan data di luar kasus yang ber

pengambilan kesimpulan dilakukan secara induktif, artinya dari fakta kongkrit digeneralisasikan secara abstrak kepada kasus yang sejenis. Hasil penelitian studi kasus lebih akurat dan realistik daripada hasil penelitian survei, dapat dijadikan acuan pengambilan keputusan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Dalam konteks penelitian sosial, ada dua tipe perilaku yang menjadi objek penelitian, yaitu:
a. Perilaku berpola (patterned behaviour)
Perilaku berpola biasanya terdapat dalam kelompok masyarakat, sifatnya seremonial seperti upacara kelahiran, perkawinan, kematian, keagamaan, pertanian.
b. Perilaku tidak berpola (unpatterned behaviour)
Perilaku tidak berpola biasanya terdapat dalam hubungan antara pribadi atau individu dalam masyarakat, misalnya jual beli kredit kebutuhan sehari-hari, keagenan dalam kegiatan bisnis, tolong-menolong membuat rumah, panenan, mengatasi masalah korban bencana alam. Juga dalam hubungan rakyat dengan penguasa, misalnya penggusuran PKL, PSK, perjudian, miras, dll.

2.2 Pendekatan Survei

Istilah survei adalah serapan dari kata bahasa Inggris survey, artinya pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan baik terhadap suatu masalah tertentu dan di dalam suatu daerah tertentu. Tujuan survei adalah mendapatkan gambaran yang benar tentang suatu gejala sosial atau peristiwa tertentu yang ada atau terjadi di suatu lokasi dalam suatu daerah. Pelaksanaan suatu survei tidaklah semua individu dari populasi itu diteliti, namun hasil yang diharapkan harus menggambarkan sifat populasi ybs. Oleh karena itu, metode pengambilan sampel (sampling method) dalam suatu survei memegang peranan sangat penting. Metode pengambilan sampel yang
tidak benar akan merusak hasil survei itu. 7
Pada penelitian sosial, pendekatan survei juga banyak digunakan. Contohnya peneliti waris ingin memperoleh gambaran tentang sikap masyarakat patrilineal di Kota Bandar Lampung mengenai porsi pembagian waris antara ahli waris pria dan ahli waris wanita. Apakah masyarakat cenderung mengikuti sistem pembagian waris yang sama porsinya atau tetap berpegang pada sistem pembagian waris antara ahli waris pria dan ahli waris wanita 2 porsi berbanding 1 porsi.
Survei dapat dilakukan secara individual atau secara kelompok. Menurut van Dalen, dilihat dari wilayah geografis maupun variabelnya, survei dapat luas bahkan sangat luas maupun sempit. Winarno Surakhmad juga mengatakan bahwa pada umumnya survei merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu (jangka waktu) yang bersamaan, biasanya jumlahnya cukup besar. 8 Pada pendekatan survei, jumlah populasi yang begitu


7 Musa dan Nurfitri. 1988. Metodologi Penelitian. Pener
8 Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu P

besar tidak mungkin diteliti semuanya secara sensus. Oleh karena itu, pemecahan masalah perlu dilakukan melalui beberapa sampel saja yang mewakili seluruh populasi.
Pemilihan sampel perlu dilakukan karena dalam benak peneliti timbul pertanyaan, mungkinkah suatu penelitian dilakukan terhadap seluruh populasi objek penelitian? Jika mungkin, berapa besar biaya, berapa lama waktu, berapa banyak pula tenaga yang dibutuhkan? Efisien dan efektifkah penelitian yang demikian? Akhirnya dicari solusi untuk menghindari besarnya biaya, lamanya waktu, dan banyaknya tenaga dengan jalan melakukan penelitian hanya terhadap sebagian kecil populasi saja. Meskipun demikian, sebagian kecil populasi yang dijadikan sampel itu menjadi tolok ukur yang mewakili seluruh populasi. Sampel yang menjadi tolok ukur penelitian memang dapat diandalkan, asalkan pengambilan sampel dilakukan dengan benar dan tepat. Cara mengambil sebagian kecil dari populasi objek penelitian ini disebut teknik sampling. 9
Berapa besar sampel yang seharusnya digunakan, sampai saat sekarang kiranya belum ada kesepakatan di antara para peneliti. Namun, dari sifat populasinya dapat ditentukan langkah-langkah penentuan besarnya sampel, yaitu:
a. Apabila populasi heterogen, sebaiknya diambil sampel yang besar jumlahnya.
Makin besar sampel yang diambil, makin mendekati cerminan populasi.
b. Apabila populasi homogen, sampel tidak harus banyak. Namun peneliti tidak begitu saja mengambil sampel terlalu sedikit. 10

2.2.1 Probability random sampling

Penentuan sampel dapat dilakukan secara probability random sampling. Penentuan sampel secara probability random sampling didasarkan pada seluruh populasi yang mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Penerapan probability randon sampling biasanya dilandasi pertimbangan bahwa jumlah keseluruhan populasi sudah diketahui dan hasil penelitian dipakai sebagai generalisasi terhadap keseluruhan populasi. Agar generalisasi terhadap keselu- ruhan populasi dapat mencapai hasil optimal, sebaiknya ditentukan lebih dahulu jumlah sampel yang diperlukan. 11
Sebagai contoh, populasi keseluruhan pasangan suami istri (pasutri) sudah diketahui jumlahnya 500 pasutri. Jumlah sampel yang dibutuhkan ditentukan 10%, yaitu 10% x 500 pasutri = 50 pasutri, masing-masing populasi memperoleh kemungkinan menjadi sampel adalah 500 : 50 = 10 : 1 artinya setiap 10 pasutri hanya mungkin menjadi sampel 1 pasutri. Jadi, apabila diambil sampel secara acak (random), maka setiap 10 pasutri diambil 1 pasutri saja. Sampel 50 pasutri inilah yang akan diinterview sikapnya tentang sistem pembagian warisan dalam masyarakat patrilineal, apakah terjadi kecenderungan


9 Bambang Waluyo, 1991. Penelitian Hukum Dalam Pr
Hlm. 43
10 Ibid. hlm. 45
11 Ibid, hlm. 46

anak pria dan anak wanita memperoleh hak waris yang sama bagiannya atau tetap seperti yang sudah berlaku hingga kini, anak pria mendapat 2/3 bagian warisan dan anak wanita mendapat 1/3 bagian warisan, atau boleh pilih satu antara dua porsi tsb.
Penentuan sampel secara probability random sampling dapat dilakukan secara langsung terhadap populasi individu apabila lokasi penelitian tidak begitu luas, misalnya terhadap sejumlah sampel kepala keluarga di lingkungan RT tertentu. Atau dapat juga secara bertingkat menurut wilayahnya apabila lokasi penelitian cukup luas. Tahap pertama penentuan sampel wilayahnya, kemudian baru penentuan sampel penduduk wilayah itu, baik menurut kelompok masyarakat ataupun individu. Misalnya dalam suatu kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan diambil satu kecamatan, dalam satu kecamatan yang terdiri dari beberapa desa itu diambil tiga desa tertentu, dari tiga desa tertentu itu diambil beberapa sampel penduduk secara berimbang (proportional). 12

2.2.2 Purposive sampling

Pengambilan sampel secara purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian. Ukuran sampel tidak dipersoalkan. Sampel yang diambil hanya yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, sampel yang dihubungi adalah sampel yang sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Misalnya, suatu penelitian tentang tata tertib lalu lintas di kota Bandar Lampung. Sampel yang diambil hanya pemilik kendaraan bermotor yang tercatat di kepolisian atau pemilik SIM. Pengumpulan data hanya terbatas pada sampel purposive tersebut, tidak termasuk pengendara yang mungkin bukan pemilik kendaraan bermotor atau mungkin tidak memiliki SIM. Setelah jumlahnya dianggap cukup, maka pengumpulan data dihentikan dan dilakukan pengolahan
data. 13

D. KLASIFIKASI PENELITIAN SOSIAL

1. Berdasarkan Sifat dan Tujuan Penelitian

Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau membedakan penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu penelitian eskploratori, penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatori. 14 J. Vredenbregt melihat dari segi “tujuan penelitian”, beliau juga membedakan penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, penelitian eksplanatori.15 Robert K. Yin melihat dari segi strategi studi kasus, ada tiga tipe studi kasus penelitian sosial yaitu exploratory case study, descriptive case study, and explanatory case study.16 Dengan demikian, ada tiga tipe penelitian sosial, yaitu:

12 Abdulkadir Muhammad. Op. Cit. hlm. 38-47
13 Musa dan Nurfitri. Op. Cit. hlm. 93
14 Soerjono Soekanto. Op. Cit. hlm. 50
15 J. Vredenbregt. 1981. Metode dan Teknik Penelitian M Jakarta.

a. penelitian eksploratori (exploratory study);
b. penelitian deskriptif (descriptive study);
c. penelitian eksplanatori (explanatory study).

1.1 Penelitian Eksploratori

Penelitian eksploratori bersifat mendasar dan bertujuan untuk memper- oleh keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Karena bersifat mendasar, penelitian ini disebut penjelajahan (eksploration). Penelitian eksploratori dilakukan apabila peneliti belum memperoleh data awal sehingga belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai hal yang akan diteliti. Penelitian eksploratori tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu. Peneliti hanya menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai penuntun untuk memperoleh data primer berupa keterangan, informasi, sebagai data awal yang diperlukan.
Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah observasi di lokasi penelitian dan wawancara dengan responden. Mereka yang dapat dijadikan responden adalah tokoh masyarakat setempat, pejabat pemerintah daerah setempat, anggota kelompok masyarakat tertentu, semuanya yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian eksploratori. Penelitian eksploratori adalah semacam studi kelayakan (feasibility study)
Misalnya, peneliti ingin memperoleh data awal tentang kemungkinan mendirikan cabang perusahaan asuransi jiwa di kota Metro. Peneliti menyusun daftar pertanyaan (bukan rumusan masalah) guna mengetahui potensi pemasaran asuransi jiwa sebagai berikut:
a. Berapa jumlah penduduk di kota Metro?
b. Apa mata pencarian mereka?
c. Berapa jumlah pendapatan per kapita?
d. Apa ada perusahaan asuransi jiwa di kota Metro?
e. Bagaimana pengetahuan penduduk tentang asuransi jiwa?
f. Apakah pernah dilakukan penelitian tentang asuransi jiwa di kota Metro?
g. Apakah pernah dilakukan pemasaran asuransi jiwa melalui penyuluhan kepada penduduk kota Metro?
h. Dan seterusnya sesuai dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan hasil analisis dapat disimpulkan apakah cukup potensial atau tidak membuka cabang asuransi jiwa di kota Metro. Hasil penelitian eksploratori tersebut dijadikan masukan bagi manajemen kantor pusat perusahaan asuransi jiwa untuk mengambil keputusan apakah patut membuka kantor cabang asuransi jiwa di kota Metro.

1.2 Penelitian Deskriptif

Penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa

tentang masalah yang akan diteliti. Pada penelitian deskriptif, seorang peneliti sudah biasa menggunakan teori atau hipotesis. Contoh penelitian deskriptif yang akan diperoleh paparannya adalah mengenai: “Kesadaran hukum masyarakat pengguna jalan raya terhadap ketertiban lalu lintas di Kota Bandar Lampung”. Masalah yang dapat dikemukakan adalah: Faktor-faktor apakah yang menyebab- kan tingginya angka kecelakaan lalu lintas angkutan kota di Bandar lampung?
Dugaan yang dapat diperkirakan sebagai penyebab tingginya angka kecelakaan lalu lintas angkutan kota adalah faktor pengemudi angkot, pejalan kaki, pedagang kaki lima, petugas parkir, yang tingkat kesadaran hukumnya rendah, dan faktor sarana lalu lintas yang tidak sempurna di kota Bandar Lampung. Apa benar demikian? Fokus penelitian adalah pada kesadaran hukum pengemudi angkot, pejalan kaki, pedagang K5, petugas parkir, dan sarana lalu lintas (luas jalan, pembatas jalan, trayek angkot, rambu-rambu lalu lintas, fasilitas parkir, sebra cross, jembatan penyeberangan). Lokasi penelitian di kota Bandar Lampung. Faktor-faktor yang akan diungkapkan adalah faktor objektif (sarana lalu lintas), dan faktor subjektif (manusia pengguna jalan raya).
Faktor objektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas. b. Berfungsi/tidak berfungsinya rambu-rambu lalu lintas.
c. Jalan memakai pembatas/tidak memakai pembatas. d. Jalan dijadikan/tidak dijadikan tempat parker.
e. Jalan ditempati/tidak ditempati oleh pedagang kaki lima.
f. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi tempat penyeberangan khusus;
g. Trayek angkot ditentukan/tidak ditentukan, padat/tidak padat.
Faktor subjektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Tingkat pendidikan
b. Pengetahuan tentang peraturan lalu lintas (UU No.14 Tahun 1992). c. Pengetahuan persyaratan teknis kendaraan bermotor.
d. Lama pengalaman jadi supir angkot. e. Cara memperoleh SIM.
f. Angkot milik sendiri atau pengusaha. g. Sistem penegakan hukum lalu lintas.
Gambaran atau paparan yang diperoleh berdasarkan faktor-faktor yang diungkapkan tadi akan menentukan tinggi/rendah tingkat kesadaran hukum pengguna jalan raya dan keefektifan sarana lalu lintas di kota Bandar Lampung, sehingga pelaksanaan lalu lintas menjadi semrawut/tidak semrawut. Menurut teori sosiologi hukum lalu lintas, makin tinggi kesadaran hukum pengguna jalan raya, makin sempurna sarana lalu lintas, makin kecil kemungkinan terjadi kecelakaan lalu lintas. Sebaliknya, makin rendah kesadaran hukum pengguna jalan raya, makin tidak sempurna sarana lalu lintas, makin besar kemungkinan terjadi kecelakaan lalu lintas. Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah: “Makin rendah kesadaran hukum pengguna jalan raya dan makin tidak sempurna sarana lalu lintas, makin tinggi angka kecelakaan lalu lintas”.

1.3 Penelitian Eksplanatori

Penelitian eksplanatori bersifat penjelasan dan bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada. Contoh penelitian eksplanatori bidang hukum keluarga adalah mengenai: “Pengaruh kesejahteraan rumah tangga terhadap kenakalan remaja”. Hipotesis yang akan diuji misalnya adalah “Makin sejahtera kehidupan rumah tangga, makin rendah tingkat kenakalan remaja”. Ternyata hasil penelitian hukum keluarga menunjukkan pengaruh negatrif yang signifikan, berarti hipotesis itu tidak benar, harus ditolak. Kehidupan rumah tangga masyarakat umumnya sudah sejahtera, namun tingkat kenakalan remaja masih tinggi, ini berarti ada variabel lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja, tetapi luput dari penelitian, misalnya faktor siaran televisi atau bacaan tidak mendidik (porno, kekerasan, kekejaman).

E. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SOSIAL

Walaupun bidang ilmu sosial berbeda satu sama lainnya, tidak berarti penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain. Langkah- langkah yang akan ditempuh selalu mempunyai kesamaan. Langkah-langkah penelitian sosial paling tidak adalah sebagai berikut.

1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dapat diartikan sebagai suatu pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Rumusan masalah dapat dibuat dalam bentuk kalimat tanya atau kalimat pernyataan, sekhusus mungkin tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara berbagai variabel. Rumusan masalah yang jelas akan menghindari pengumpulan data yang tidak perlu, sehingga dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Para ilmuan mengatakan: Masalah yang dirumuskan dengan baik berarti setengah dari kegiatan penelitian sudah selesai.
Adapun contoh rumusan masalah, antara lain mengenai pembagian harta bersama akibat perceraian suami dan istri adalah sebagai berikut:
“Sistem pembagian manakah yang dianggap cocok untuk dijadikan dasar pembagian harta bersama akibat perceraian antara suami dan istri” di daerah Lampung? Mengapa sistem pembagian yang dijadikan masalah? Karena hukum waris yang berlaku di Indonesia masih pluralistis, ada yang mengikuti ketentuan KUHPdt, ada yang mengikuti ketentuan hukum adat, dan ada yang mengikuti ketentuan hukum Islam. Dalam rumusan masalah tersebut terdapat beberapa faktor yang termasuk dalam lingkup masalah, yaitu:
a. perceraian suami istri (sebab);
b. pembagian harta bersama (akibat);

2. Strategi Penelitian (Pendekatan Masalah)

Setiap bidang ilmu mempunyai karakteristik penelitiannya masing-masing, termasuk juga ilmu-ilmu sosial. Khusus mengenai strategi penelitian (pendekatan masalah) sangat tergantung pada jenis penelitian. Pendekatan masalah adalah proses penyelesaian atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap masalah penelitian yang telah dirumuskan sehingga mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam ilmu sosial dikenal tiga jenis penelitian, yaitu penelitian normatif, penelitian terapan, dan penelitian empiris.

2.1 Penelitian Normatif

Pada penelitian normatif, pendekatan masalah yang dapat digunakan umumnya adalah content analysis approach. Untuk menggunakan content analysis approach, peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Masalah dan tujuan penelitian perlu dirumuskan secara rinci, jelas, akurat. Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin jelas, luas, dan pasti tujuan yang akan dicapai.
Dalam konteks penelitian normatif, ada tiga tipe pendekatan content analysis, yaitu:
a. Pendekatan eksploratori (exploratory approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan pertama dan sederhana yang digunakan peneliti dalam content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti ber- tujuan untuk memperoleh data awal melalui kegiatan penjelajahan (exploration) terhadap objek penelitian. Di sini peneliti belum memiliki data/informasi sama sekali mengenai objek penelitian. Untuk memperoleh data/informasi awal itu, peneliti menyusun daftar pertanyaan penuntun (bukan rumusan masalah) sesuai dengan kebutuhan. Jawaban yang diperoleh atas pertanyaan penuntun dalam penjelajahan, kemudian disusun secara lengkap, rinci, dan sistematis sebagai data/informasi awal untuk pengambilan keputusan.
b. Pendekatan tinjauan/ulasan (review approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan kedua yang digunakan peneliti dalam content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif yang dibahas atau diulas. Pada tipe ini, peneliti melakukan tinjauan dari berbagai aspek filosofis, sosiologis, yuridis, guna mengungkapkan ketidaksempurnaan, kelemahan, kekurangan, kecerobohan, kerugian, mudharat dari ketentuan acuan normatif yang menjadi objek penelitian. Ketidaksempurnaan tersebut akan menghambat pembangunan, merugikan kepentingan masyarakat, pihak-pihak, bahkan negara.
c. Pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan ketiga dan tertinggi serta lebih lengkap dan rinci dalam content analysis approach dibandingkan dengan tipe review approach. Pada tipe ke-3 ini, peneliti mengungkapkan tidak hanya segi

pembuat undang-undang, atau pengambil keputusan. Pendekatan compre- hensive analysis adalah tipe analisis yang paling berbobot dari segi akademik dan teknik perundang-undangan.

2.2 Penelitian Terapan

Pada penelitian terapan, pendekatan masalah yang dapat digunakan adalah applied approach. Untuk menggunakan applied approach, peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian serta langkah-langkah yang akan ditempuh. Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin jelas, luas, dan pasti tujuan yang akan dicapai berdasarkan langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian terapan. Rumusan masalah dan tujuan penelitian dijadikan dasar pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta dasar pembuatan sistematika hasil penelitian terapan. Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap, sehingga menghasilkan produk penelitian terapan yang lebih sempurna.

3. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian sosial pada dasarnya merupakan uraian singkat tentang kerangka penelitian yang akan dilakukan. Rancangan penelitian sangat penting bagi seorang peneliti, di samping berisikan garis-garis besar pelaksanaan penelitian, juga dapat menjadi sarana untuk memperoleh dana pembiayaan dari pihak lain. Dilihat dari segi sistematika isi dan format rancangan penelitian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman. Kadang-kadang tergantung juga pada lembaga, instansi, atau institusi masing-masing atau pihak pemberi dana. Pada perguruan tinggi tertentu biasanya telah ditetapkan sistematika dan format berdasarkan buku pedoman yang telah disepakati. Biasanya rancangan penelitian sosial diwujudkan dalam bentuk proposal penelitian (research proposal).

4. Observasi dan Wawancara

Observasi adalah kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Ada dua jenis observasi, yaitu observasi prapenelitian berupa peninjauan di lapangan, penjajagan awal mengenai segala hal yang berhubungan dengan penyusunan rancangan penelitian dan kemungkinan memperoleh data yang diperlukan. Selain itu, observasi merupakan kegiatan pengumpulan data di lokasi penelitian dengan berpedoman pada alat pengumpul data yang sudah disiapkan lebih dahulu. Alat pengumpul data di lapangan dibuat berdasarkan rancangan penelitian. Penyusunan alat pengumpul data dilakukan dengan teliti karena menjadi pedoman pengumpulan data yang diperlukan. Selain observasi, alat pengumpul data biasanya berbentuk kuesioner, baik tertutup maupun terbuka, dan pedoman wawancara.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Apabila data sudah terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah meng- olah dan menganalisis data. Langkah ini sangat penting dalam penelitian sosial. Apabila kurang dipahami dan tidak dikerjakan dengan sungguh sungguh, maka hasil penelitian kurang memuaskan. Terhadap data yang sudah terkumpul dan diolah, peneliti segera menetapkan analisis apa yang sekiranya dapat dilakukan, analisis kualitatif, atau kuantitatif, atau kedua duanya. Pada tahap analisis data, secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji karena pada tahap ini ketelitian dan pencurahan daya pikir diperlukan secara optimal. Di sini diperlukan ketajaman berpikir. Apabila analisis data yang dilakukan tidak sesuai dengan tipe dan tujuan penelitian serta karakteristik data yang terkumpul, maka akibatnya sangat fatal.
Apabila data yang terkumpul kebanyakan bersifat pengukuran (berupa angka angka), maka analisis dilakukan secara kuantitatif. Tetapi apabila sulit diukur dengan angka, maka analisis data dilakukan secara kualitatif. Pada penelitian sosial umumnya seringkali digunakan analisis kualitatif. Data yang sudah dianalisis dibuat dalam bentuk laporan penelitian. Mengapa penelitian sosial seringkali menggunakan analisis kualitatif? Menurut Bambang Waluyo, analisis kualitatif digunakan apabila:
a. Data yang terkumpul tidak berupa angka yang dapat diukur. b. Data yang terkumpul sukar diukur dengan angka.
c. Hubungan antar variabel tidak jelas.
d. Sampel lebih bersifat nonprobabilitas.
e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi. f. Penggunaan teori sosial yang relevan sangat diperlukan.
g. Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat pada penelitian eksploratory, deskriptif, dan normatif. 17
Analisis kuantitatif baru digunakan apabila data yang diperoleh menunjuk- kan hal-hal seperti berikut:
a. Data berupa gejala yang terdiri dari angka-angka.
b. Sampel diambil dengan metode yang cermat dan teliti.
c. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner tertutup. d. Hubungan antar variabel sangat jelas.
e. Peneliti harus menguasai teori yang relevan
Analisis kuantitatif lebih banyak digunakan pada penelitian eksplanatori. Tetapi pada penelitian deskriptif, analisis kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan bersama-sama.

6. Penulisan Laporan Penelitian

Laporan penelitian merupakan hasil penyajian data yang sudah diolah dan


17 Bambang Waluyo. 1991. Op. Cit. hlm.48

dianalisis ke dalam bentuk suatu karya tulis ilmiah. Penulisan laporan penelitian merupakan kerja terberat bagi peneliti. Peneliti diuji kemampuannya menulis karya ilmiah dengan menggunakan bahasa, kaidah penulisan ilmiah, sistematika isi, dan format yang baik dan benar sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah. Penulisan laporan penelitian memerlukan keahlian tersendiri. Melalui penulisan laporan penelitian akan diketahui kemampuan ilmiah peneliti paling sedikit meliputi empat aspek kemampuan berikut ini:
a. Kemampuan menerapkan teori yang relevan.
b. Kemampuan menerapkan metode penelitian yang tepat. c. Kemampuan membuat sistematika dan format laporan.
d. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar.



DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek.
Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Bachtiar, Harsja. 1981. Penggolongan Ilmu Pengetahuan. Depdikbud. Jakarta. Dirdjosisworo, Soedjono. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali.
Jakarta.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Koentjaraningrat, Ed. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Penerbit
Gramedia. Jakarta.
Musa, Mohammad dan Titi Nurfitri. 1988. Metodologi Penelitian. Penerbit Fajar
Agung. Jakarta
Nazir, Mohammad. 1985. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Vredenbregt, J. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Penerbit
Gramedia. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktik. Penerbit Sinar
Grafika. Jakarta.
Yin, Robert K. 1989. Case Study Research : Design and Methods. SAGE
Publications Inc. California, London, New Delhi.

Sosiologi Perkotaan

Sosiologi perkotaan ilmu ketatakotaan boleh dibilang sudah lama berkembang di Indonesia, namun tidak banyak buku yang coba merumuskan masalah perkotaan secara mendalam. Buku ini berargumen bahwa kota bukan sekadar tata-kota, melainkan kebudayaan.
Mempelajari tata-kota semestinya mencakup kajian sosio-historis suatu bangsa. Dalam buku ini Jo Santoso mengangkat kota Surabaya sebagai bahan telaah. Ia memperlihatkan bahwa pergantian tampuk kekuasaan tidak hanya berdampak di lapis politik, tapi bahkan sampai ke lapis tata-kota…… penulis saya kenal sebagai seorang yang amat peduli sekaligus kritis terhadap masalah-masalah perkotaan dan perumahan.
Pengetahuan dan referensinya yang luas membantu kita membuka wawasan terhadap kompleksitas masalah perkotaan dan lingkungan permukiman di Indonesia
anusia membuat sejarahnya mereka sendiri, tetapi mereka tidak melakukan itu hanya mereka suka, mereka membuat dalam kondisi-kondisi yang tidak mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi – kondisi yang telah ada, given dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi generasi terdahulu menjadi beban-beban, seperti mimpi buruk dalam otak kehidupan”
(The Marx – Engels Reader, dalam Robert C. Tucker (ed). 1978 : 595)
Mejelaskan dinamika perkotaan melalui penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya yaitu pemaknaan pedagang terhadap formalisasi dan pemaknaan terhadap tempat berjualan, dimana status mereka telah berubah dari pedagang kaki lima menjadi pedagang kios yang disatukan dalam sebuah kesatuan ruang sosial yaitu pasar tradisional sebagai upaya membangun pendekatan sosiologi perkotaan neo-dualis.
Pendekatan neo-dualis sosiologi perkotaan meninjau penggunaan lahan kota baik sebagai “produk” maupun “proses” bukan persoalan sosiologi perkotaan secara khusus ataupun persoalan geografi, tetapi juga sosiologi secara umum. Kota dipandang sebagai suatu obyek studi dimana di dalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat kompleks, telah mengalami proses interelasi antar manusia dan antara manusia dengan lingkungannya. Lahan perkotaan sebagai produk dari interelasi penghuninya tercipta karena adanya keteraturan penggunaan lahan. Sedangkan dinamika kota sebagai proses merupakan bentuk artikulasi kelompok-kelompok yang mengalami proses interelasi yang sangat kompleks. Struktur ruang tidak dapat dikaitkan langsung dengan denyut kehidupan masyarakat kota. Struktur ruang merupakan suatu produk sejarah yang harus dilihat sebagai kreasi agen-agen sosial atau aktor-aktor yang bersifat kolektif, interaksi, strategi, keberhasilan dan kegagalan agen-agen membentuk kualitas dan karakteristik ruang kota. Kota ada dan keberadaannya dirasakan melalui perlawanan, konflik, model, gaya hidup, dan lain-lain. Negara sebagai reprentasi kekuasaan memiliki karakter dominan dalam upaya merebut penggunaan lahan perkotaan, melalui reproduksi aturan sebagai bentuk sumberdaya kekuasaan.
Tidak netralnya sebuah ruang sosial perkotaan menjadikan apa yang sahih untuk suatu kota bisa jadi tidak relevan bagi kota lain. Karakter kota di suatu masyarakat lain atau pada periode sejarah yang lain. Sehingga dalam melakukan pendekatan dalam kota ialah dengan melupakan definisi-definisi yang berlaku secara umum dan memulai dari perspektif relativis, yaitu berkaitan dengan keanekaragaman kota itu, dan apa yang menjadi haknya. Perspektif ini amat dibutuhkan terutama bagi berbicara tentang perkotaan di Negara Berkembang. Tradisi perkotaan di Asia Tenggara saat ini adalah heterogenitas (keberagaman), orientasi keluar, dan amalgamasi, dan dalam perubahan yang terintergrasi ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana penduduk sebuah kota memahami apa yang terjadi di kotanya sendiri? Bagaimana ia dipengaruhi oleh proses modernisasi atau keterbelakangan kotanya, bagaimana reaksinya? Menjadi kajian yang menarik dalam upaya memahami dinamika perkotaan. Tradisi pemahaman kota seperti itu disebut sebagai ”Sosiologi Perkotaan Baru” yang dipelopori oleh Manuel Castells (1983) terutama karyannya berjudul ”The City and The Grass Roots”. Dalam kajian tentang gerakan sosial kota, Castells menganalisis kota sebagai kreasi warga. Fokus analisis dinamika perkotaan bukan pada ekologi perkotaan, melainkan penafsiran dan persepsi kota dimata penduduknya yang secara sosial telah mengkonstruksi kota tersebut lewat tindakan-tindakannya yang disertai oleh konsep-konsep dan penafsiran ini. Upaya ini mengandung upaya perspektif sejarah, dan memfokuskan pada gerakan sosial kota masa kini. Kota dibuat dan digeluti oleh penduduknya; tidak dalam bentuk kerjasama yang harmonis, melainkan melalui berbagai konflik antara pihak yang mendominasi dan mendesakkan pemahaman mereka tentang kota dan pihak yang mereka dominasi.
Evers memetakan terdapat Lima macam Teori Klasik dan Neo Klasik tentang Urbanisasi (1) Teori-teori Demografis tentang Urbanisasi dan Migrasi. (2) Teori-teori mengenai sistem kota;(3) Teori-teori kultural kota;(4) Teori tentang diferensiasi ruang dan sosial serta segregasi (pemencilan) di perkotaan;(5) Teori-teori neo-dualis. Dengan karya penulisan ekonomi politik perkotaan Mazhab Prancis (Castells, Lojkine, rangkuman dalam versi bahasa Inggris ditulis oleh Pickvance 1976).Lihat, Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 15-17.
Struktur tata ruang kota sebagai sebuah produk tidak terlepas dari aspek sosiologis dari dinamika kehidupan suatu kota tersebut. Terdapat lima pendekatan yang dilontarkan untuk menyoroti penggunaan lahan suatu kota, meliputi: Pendekatan Ekologis, Pendekatan Ekonomi, Pendekatan Morfologi, Pendekatan Sistem Kegiatan, Pendekatan Ekologi Faktorial.Lihat., Hadi Sabari Yunus. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000. h. 2.
Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. 2000. op. cit., h. 1–18.
Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (“human”) dan logia (“study”), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an. Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper 1996).
Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang: – Sociocultural anthropology Archaeology Linguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan – Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. Atau secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam: (1) cultural anthropologysocial anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan; (b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan (c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia. (2) physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang.
(sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; – (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia; – (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang: (a) antropologi sosial (
Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 1. as a physical structure (struktur fisiknya); 2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.
Sosiologi perkotaan
Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat: a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris; c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya; d. Kepadatan penduduk; e. Ukuran jumlah penduduk; f. Warganya (relatif) mobility; g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial.
Politik-ekonomi dari kota
Istilah dari “politik-ekonomi” menunjukkan adanya pengaruh dari kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kekuatan politik dan ekonomi nampak menjadi pendorong utama dari aktivitas perkotaan. Dalam perspektif spasial sosial, kota merupakan produk dari faktor-faktor ekonomi, politik, budaya, dan geografi. Namun dari sudut pandang sosiologi perkotaan sesungguhnya adalah merupakan area studi interdisipliner, artinya bahwa bidang lain dari sosiologi memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita terhadap kota. Geografi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, antropologi, dan psikologi keseluruhan studinya mengenai beberapa aspek dari lingkungan perkotaan dan memberikan sumbangan pada kita, yaitu pengetahuan tentang lingkungan perkotaan. Tentu saja di dalamnya terdapat ‘dependent variable’ bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal, yaitu variabel yang independent mempengaruhi lingkungan perkotaan: – pengaruh dari segregasi rasial dari sistem ekonomi di dalam kota; – pengaruh dari batas-batas geografi (pegunungan) terhadap perkembangan kota; dan – pengaruh dari kejadian sejarah (peperangan) terhadap perkembangan kota. Sedangkan karakter dari lingkungan perkotaan harus memenuhi: – Luas, secara kultural merupakan kelompok masyarakat yang heterogin; – Bukan area pertanian di mana bahan mentah diproses dari pada produksi; -Sebagai pusat administrasi, menampilkan fungsi-fungsi administrasi yang substansial untuk masyarakat yang luas; dan – Tingkat populasinya tinggi.
Antropolgi perkotaan sebagai kelompok sosial
Dengan sendirinya antropologi perkotaan dikenal melalui sosiologi perkotaan terutama dalam perspektif istilah yang berbeda: studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2). Hal-hal yang mendorong berkembangnya sosiologi adalah: (1) konfrontasi dengan perubahan sosial yang hebat; (2) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi; dan (3) keinginan manusia untuk membuat perubahan sosial dan kemajuan yang diorganisasikan secara sistematis. Beberapa definisi mengenai sosiologi: “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial” (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok” (Roucek & Warren). “Sociology, the scientific study of human interaction” (James W. Vander Zanden 1979:626).
Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan.
Metodologi
Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya. Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum. Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi: – studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community); – studi dengan multi-komunitas (multy-community studies); – survei wilayah (regional survey); – analisa tingakat nasional (national-level analyses); – studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan – studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies).
Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja. (Kemper 1991b) Menurut Fox (1977), ada perbedaan tradisi dalam penelitian antropologi perkotaan dengan mempertahankan kontinuitas dengan antropologi tradisional dan metode-metodenya yang tidak memfokuskan pada perkotaan, tetapi ke dalam unit yang lebih kecil di dalam kota. Satu contoh, adalah antropologi mengenai kemiskinan kota (urban poverty). Kemudian Oscar LewisValentine 1968; Goode & Eames 1996).
memperkenalkan istilah “culture of poverty” (budaya kemiskinan), yang mana dipahami sebagai bentuk dari kehidupan yang muncul secara independen akibat hilangnya faktor ekonomi dan politik (
Antropologi dan urbanisme
Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962) Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6)

Anthropology in cities and anthropology of cities
Ada jarak di antara “antropolog yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan; hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya; dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374). Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life). Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan adalah: – Masalah perkotaan; – Migrasi desa-kota; – Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat; – Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial; – Hubungan sosial (social networks); – Fungsi dari paertalian keluarga; – Pertumbuhan dari kota; – Kejahatan (crime); – Perumahan (housing); – Arsitektur; – Transportasi; – Penggunaan dari ruang (use of space); – Pekerja (employment); – Infrastruktur; dan – Demografi/kependudukan.
Masyarakat kota sebagai community
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 1. berisi kelompok manusia; 2. menempati suatu wilayah geografis; 3. mengenal pembagian kerja ke dlam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural; Fringe (pinggiran);Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: 1. pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; 2. organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; 3. lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; 4. suatu sistem perdagangan dan pertukangan; 5. mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan 6. berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.
Kriteria kota dan definisinya
Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.

Perbedaan antara kota dan desa
PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa, (1). Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas; (2). Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak; (3). Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana; (4). Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan (5). Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme. Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan: 1. kemiskinan dan ketergantungan; 2. salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan 3. kenakalan remaja dan kejahatan. Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut: 1. persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya; 2. studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan 3. menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya).
Ciri-ciri struktur sosial kota
Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: (a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; (b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; (c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; (d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; (e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; (f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; (g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan (h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.
Urbanisasi dan urbanisme
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota. Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala: 1. gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan 2. gejala pe-massa-an masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern. Gejala pertama timbul karena daerah-daerah atau lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup, terisolasi secara geografik maupun sosial-kultural, menjadi terbuka, sejalan dengan semakin meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Gejala kedua, pemassaan masyarakat terjadi karena dengan melalui sarana komunikasi dan tranportasi modern secara luas dan serentak dapat didistribusikan, dan diterima semua lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan kekayaan, pendidikan, dan tingkat sosial atau segi-segi lainnya. Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya.
Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities: yang pertama menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan klas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang). Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain: di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris. Sosiolog Louis Wirth, mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya. Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan: (a) Urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanism; dan (b) Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju impersonalitas dari masyarakat modern. Pada bagian lain, Georg Simmel mengupas impersonalitas dan melukiskan orang kota sebagai yang: (1) cenderung mencari privacy; (2) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja; dan (3) menilai segalanya dengan standar uang. Selain menimbulkan klas baru, urbanisasi juga menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. Sedangkan Roe (1971), memandang gaya hidup kota modern memiliki tiga nivo kehidupan: (1) nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga; (2) nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja; dan (3) nivo kelompok berdasar peranan, ini bersifat anonim dan di situ terdapat interaksi misalnya, antara pribumi dan orang asing, si kaya dan si miskin.

Migrasi desa-kota dan pertumbuhan kota
Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,” Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara: – perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta – dan peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization).
Cityward migration: the “push” factor
Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari: 1. tipe dari urban migration; dan 2. kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk. Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson): – sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial; – circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya; – oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan – linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. Secara umum, bagi siapa yang meninggalkan tempat tinggalnya, adalah untuk mencari pekerjaan di kota mengikuti teman atau saudara dari tempat asalnya, tujuannya mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk hidup. Kejahatan, sakit jiwa, dan permasalahan sosial: – nutrition and diabetes; – urban psychopathology; – juvenile delinquency (kejahatan remaja); – prostitution; dan – political corruption.
Kemiskinan di perkotaan
Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis). Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: – kemiskinan yang bersifat kultural; – kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan; dan – orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya. Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone): a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi; b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit; d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.

Peradaban kota
Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu. Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum. Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban: – budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); dan – peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban) Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.
Sikap manusia terhadap kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju.
Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa justru dengan kehadiran mereka kita menjadi lebih menarik karena menawarkan hal-hal serba baru dan aneh. Arsitek Eliel Saarinen mengatakan, bagaimana pun, perkembangan fisik dan mental manusia banyak tergantung dari corak lingkungan tempat ia dibesarkan sejak bayi, dan bertempat tinggal serta bekerja sebagai orang dewasa.
Diposkan oleh EKO RATNO PRIHANTORO
http://ekoratnoprihantoroindonesia.blogspot.com/2009/06/pemahaman-tentang-sosio-antropologi.html
Isu megapolitan pernah menjadi pembicaraan yang sangat hangat di beberapa bulan lalu, meskipun sampai saat ini isu tersebut sudah hampir tidak terdengar lagi namun pembahasan mengenai isu sendiri belum hilang sama sekali. Jakarta yang selama ini didefinisikan sebagai kota Metropolitan mengalami beberapa permasalahan dalam pengelolaan kota seperti transportasi, peruntukan ruang hijau dan komersil termasuk juga permasalahan dalam pengelolaan limbah/ sampah. Disinyalir beberapa masalah dalam pengelolaan kota ini lah yang akhirnya dikeluarkan sebuah konsep megapolitan dalam pengelolaan kota untuk menggantikan konsep metropolitan yang sudah dianggap tidak layak lagi. Konsep Metropolitan Jakarta yang sebelumnya adalah Jabotabek (dimana Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai kota penyangga Jakarta/ kota satelit) maka akan berubah menjadi Megalopolitan Jakarta dengan Jabodetabekjur (dengan penambahan kota satelit baru yaitu Depok dan Cianjur). Sehingga pertanyaan adalah apakah konsep ini sangat ideal dalam sistem pengelolaan kota ? Dan bagaimana isu Konsep Megapolitan (Jabodetabekjur) bila dikaitkan dengan Otonomi Daerah ?. Hal inilah yang sangat menarik untuk perlu dilakukan sebuah tinjauan maupun kajian lebih khusus.
Perlukah Konsep Megapolitan ?
Jakarta secara historis diwarnai oleh sebuah perjuangan yang sangat panjang yang dimulai sejak tanggal 22 Juni 1527 pada saat Fatahillah berhasil mengalahkan armada asing Belanda dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sedangkan landasan hukum secara konstitusional dan yuridis adalah dengan adanya Undang Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Ibukota yang diatur dengan tersendiri karena memiliki kedudukan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang terdapat di dalam pasal 18 B UUD NKRI 1945, meskipun dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18, 18A, 18B UUD 1945 jo pasal 227 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perkembangan kota Jakarta sebagai ibukota mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari tingkat proses urbanisasi (dari kota kecil menjadi kota sedang, kota besar, selanjutnya metropolitan) yang pernah dialami Jakarta. Urbanisasi merupakan proses sosial penciptaan sistem dinamis yang dikenal sebagai kota. Urbanisasi ini meliputi perubahan penduduk, proses produksi, dan lingkungan sosio-politik-ekonomi pedesaan yang bersifat padat karya ke ekonomi kota yang terkonsentrasikan dengan spesialisasi produksi, teknologi relatif tinggi dan penuh kewiraswastaan.[1] Faktor penyebab tingginya tingkat urbanisasi Jakarta juga disebabkan dengan kaburnya definisi konsep dengan adanya dikotomi antara kota pusat (Jakarta) dan kota penyangga/ kota Satelit (Botabek).
Kota satelit didefinisikan sebagai permukiman baru berskala besar dibangun dalam jarak jangkau pulang pergi dari orbit metropolitan untuk menampung kebutuhan pertumbuhan masyarakat kota metropolitan.[2] Dengan demikian maka kota satelit masih memiliki hubungan dan komunikasi dengan kota pusat, baik hubungan melalui kebijakan dan kerjasama yang konkret diantara keduanya. Kenyataannya hubungan konkret yang ada memang juga masih bersifat sektoral baik kebijakan maupun implementasinya. Seharusnya dari hubungan tersebut menguntungkan keduanya, tetapi kenyataannya kota pusat masih berperan sebagai penentu kebijakan yang lebih dominan kepada kota penyangga/ satelit Jakarta. Hubungan yang terlihat jelas bahwa Jakarta memerlukan Bekasi sebagai lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah/ limbah di Bantar Gebang (Jakarta dapat di analogikan sebagai rumah tanpa wc). Disamping beberapa kasus-kasus lainnya. Jelas bahwa esensi dari kota satelit selama ini hanya sebagai pelengkap dari pemenuhan kebutuhan kota pusat secara fungsional, hubungannya hanya sebatas itu. Padahal kota pusat sendiri sebenarnya sangat bergantung kepada kota satelit. Bogor dengan kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) sangat berperan besar sebagai resapan air, dengan semakin banyaknya lahan terbangun di kawasan tersebut maka Jakarta sering mendapat banjir kiriman. Semua masalah ini lebih karena tidak ada koordinasi yang baik diantara keduanya. Sedangkan Tangerang sampai saat ini dapat dikatakan sebagai dorminitory town terlihat dari jumlah kemacetan yang terdapat di ruas-ruas jalan di perbatasan wilayah setiap harinya disebabkan masih banyaknya yang bekerja di Jakarta (commuter), juga merupakan masalah yang dihadapi Jakarta. Sehingga selama ini implementasi mengenai konsep kota utama dengan kota satelit lebih merupakan dominasi kota pusat dengan pemenuhan pelayanan kebutuhan penduduk kota pusat dari beberapa sumberdaya yang terdapat di kota satelit. Hubungan kota pusat dengan kota setelit ini yang harus ditinjau dan dikaji ulang.
Mengingat dengan banyaknya permasalahan di Metropolitan Jakarta maka dikeluarkan konsep Megalopolitan untuk memecahkan masalah. Pertanyaannya apakah bisa efektif ? Dan apakah konsep ini dibuat hanya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi Jakarta secara parsial ? Serta bagaimana koordinasi dengan wilayah satelit lainnya mengingat dengan konsep Jabotabek saja Jakarta masih mengalami masalah.
Konsep Megapolitan sendiri tidak terdapat dalam kepustakaan disiplin ilmu yang terkait dengan perkotaan seperti planologi, sosiologi perkotaan, antropologi perkotaan yang terdapat dalam beberapa kepustaan tersebut adalah Megalopolis. Dimana Megalopolis adalah konsep yang mengintegrasikan wilayah metropolitan dan mikropolitan diterapkan untuk mengkoordinasikan perencanaan tata ruang wilayah lintas batas administrasi digunakan oleh berbagai kota di dunia untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kota, mengendalikan pusat pusat pertumbuhan dan perencanaan berkelanjutan.[3]
Dengan adanya konsep Megalopolitan maka Jakarta jelas tetap menjadi kota pusat dan sebagai kota utama yang mengatur wilayah kota satelit (dalam teori diatas disebut kota mikropolitan) lainnya. Terlihat jelas konsep Megalopolitan dicetuskan agar Jakarta sebagai kota metropolitan dapat semakin memiliki infrastrukstur baik sarana dan prasarana, akses yang lebih besar bagi pemenuhan kebutuhan warga di kota yang lebih baik, nyaman, bahkan lebih murah dan pastinya berbanding terbalik dengan kondisi kota satelit yang secara kebijakan/ aspek politis akan dibuat undang-undang yang prioritasnya untuk melayani kota Jakarta sebagai pusat. Apabila konsep megalopolitan dikeluarkan dengan maksud seperti ini maka konsep ini tidak lebih adalah sebuah aneksasi, proses pencaplokan wilayah lain untuk pemenuhan kota pusat. Dengan aneksasi tersebut maka jelas kota Jakarta sebagai pusat dominasi yang mengatur dan menyedot arus migrasi dan urbanisasi kota satelit baik dalam berbagai bahan mentah dan uang dari wilayah sekitarnya. Di sisi lain maka terdapat perubahan budaya di wilayah kota satelit karena terlalu berorientasi di kota pusat. Singkatnya selain adanya ketimpangan perbedaan dan kesempatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi antara kota pusat dan kota satelit selain itu arus dan tingkat urbanisasi ke Jakarta akan semakin meningkat. Dampaknya bagi Jakarta adalah kepadatan penduduk, kemiskinan, kekumuhan semakin tinggi, dengan semakin bertambah banyaknya komunitas kumuh dan kelompok marjinal di berbagai penjuru kota Jakarta yang berada di bawah tingkat kesejahteraan dan nilai kualitas hidup yang layak.
Jakarta semakin tidak manusiawi dengan tidak meratanya alokasi ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja yang ada terutama dalam kompetisi persaingan hidup yang semakin tidak manusiawi. Dengan adanya beberapa hal tersebut bahkan konsep megalopolitan bukan hanya merugikan wilayah kota satelit juga akan membuat masalah baru dan yang lebih besar dampaknya bagi Jakarta.
Kemandirian
Pelaksanaan Otonomi Daerah sampai saat ini sudah berjalan selama 6 tahun yaitu dengan adanya Undang Undang No. 22/ Thn 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang Undang No. 25/ Thn 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara garis besar dari undang undang otonomi daerah adalah pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terutama kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Otonomi daerah juga adalah sebuah definisi dari local autonomy yang hakekatnya adalah otonomi masyarakat setempat yang terdapat dalam wilayah/ teritori dalam lingkup pemerintahan yang bersifat lokalitas.[4] Berkaitan dengan ini maka masyarakat setempat memiliki kemampuan dalam membangun kemandirian/ membangun dirinya sendiri. Selain juga mendorong untuk memberdayakan masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa, kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat seperti yang terdapat dalam butir e UU No.22 tahun 1999 pada bagian Penjelasan Umum.
Dengan adanya undang undang otonomi itu juga membuka peluang bagi kota dan kabupaten untuk dapat berkembang lebih pesat sesuai karakteristik dan ciri khas wilayah kota/ kabupaten secara geografis. Sehingga diharapkan pengelolaan, pelayanaan, pembuatan fasilitas sarana prasarana kota lebih dapat berjalan secara inklusif dan sesuai dengan kebutuhan warga kota bersangkutan (pendekatan progressif dan bottom up) yang dilakukan oleh pemerintah kota tersebut. Sehingga kesejahteraan dan keadilan dalam segala aspek menjadi kata kunci pencapaian dari implementasi undang undang otonomi daerah.
Sesuai UUD 1945 dan mengikuti azas desentralisasi maka wilayah Indonesia telah terbagi dalam masing masing wilayah administrasi pemerintahan propinsi. Dan selanjutnya secara berjenjang maka masing masing propinsi terdiri atas kabupaten dan kota. Kabupaten yang secara yuridis masyarakatnya bersifat pedesaan dan kota yang secara yuridis masyarakatnya bersifat perkotaan dibawahnya mempunyai sejumlah kecamatan, dan terakhir jenjang terbawah dari administrasi daerah adalah desa atau kelurahan.[5]
Secara sosiologis sebagian dari masyarakat kabupaten juga sudah bersifat perkotaan seperti masyarakat Ciputat, Bumi Serpong Damai (BSD), Bintaro Jaya, Lippo Karawaci yang terdapat di Kabupaten Tangerang. Sehingga pelayanan masyarakat yang bersifat perkotaan itu dilayani oleh struktur pemerintahan kelurahan dan juga kabupaten yang berorientasi pada masyarakat perdesaan. Dengan adanya Undang Undang Otonomi No. 22 Tahun 1999 yaitu pada pasal 126 (2) maka beberapa desa telah dapat dikonversi/ dirubah statusnya menjadi kelurahan dengan acuan agar pelayanan terhadap masyarakat yang bersifat perkotaan di wilayah kabupaten tersebut dapat dilakukan dengan struktur pemerintahan yang berorientasi perkotaan.
Di dalam Undang Undang No. 22 Tahun 1999 pada pasal 90 juga terdapat identifikasi 4 jenis kawasan perkotaan. Pertama, kawasan perkotaan yang sudah berstatus kota. Kedua, kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari kabupaten (bisa kelurahan atau kecamatan), Ketiga kawasan perkotaan yang baru dan merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi perkotaan di kabupaten. Keempat, kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah otonom yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
Jakarta seperti yang ditulis di bagian sebelumnya adalah sebuah kota metropolitan dan kota pusat yang sangat dominan terhadap kota satelit di sekitarnya. Hal ini selain dikarenakan dengan adanya konsep kota pusat dan satelit juga karena Jakarta yang difungsikan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Dampak dari kebijakan ini maka kota kota lainnya tidak memiliki/ kebagian peran dan bahkan tidak mampu berperan terutama untuk lingkungan geografisnya dan secara lokalitas administratifnya sendiri.
Pemberian otonomi daerah dengan adanya migrasi yang cukup besar maka jelas akan sangat menguntungkan apabila dilihat dari infrastruktur dan skala ekonomi, meskipun demikian juga tidak dapat dihindari beberapa dampak negatif seperti peningkatan pencemaran udara, terjadinya degradasi lingkungan, kemacetan lalu lintas sehingga menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dalam pengelolaan kota.
Dalam perspektif otonomi daerah maka konsep megalopolitan adalah pusat administratif dari wilayah administrasinya. Jakarta sebagai pusat administratif sedangkan Bodetabekjur adalah wilayah administrasinya. Hampir tidak ada bedanya dengan dikotomi konsep kota pusat dan satelit. Dimana pendominasian kota secara administratif terutama yang berstatus ibukota propinsi, kabupaten, dan kecamatan adalah pusat pendominasian wilayah administrasinya dan karena itu menjadi orientasi dari wilayah wilayah di sekitarnya melampaui batas batas wilayah administrasi pemerintahannya
Pembangunan dan pengelolaan kota jelas memiliki lingkup wilayah yang luas karena tidak hanya menyangkut pembangunan wilayah kota tersebut (parsial) tetapi juga terkait dengan wilayah sekitarnya atau keterkaitan antar kota dalam sistem kota, baik kota maupun kabupaten. (komphrehensif). Dalam hal ini lah ada beberapa yang sedikit berbeda antara konsep otonomi yang membuka peluang untuk akses kemandirian kota atau konsep kota dengan pendekatan komphrehensif hubungan kota dengan hinterlandnya, kota pusat dengan kota satelit, kota dengan desa. Seperti konsep Jakarta yang sebelumnya Metropolitan-Botabek menjadi Megalopolitan-Bodetabekjur jelas sebuah konsep yang komphrehensif namun juga tidak bisa kita bantah bahwa konsep ini dengan Jakarta tetap sebagai kota pusat administratif maka akan menghambat upaya peluang peluang menuju kemandirian kota kota (otonomi kota) satelit disekitarnya. Hal inilah yang sangat dilematis. Sedangkan Undang Undang Otonomi Daerah no. 22 Tahun 1999 di dalam butir I (5) sangat tegas menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom.
Tanggapan atas konsep Megapolitan Jakarta
[1] Sukanto Reksohadiprodjo, “Ekonomi Perkotaan” Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, Yogyakarta 1994, hal 93[2] ——–“Kamus TaTa Ruang”, Disiapkan dalam rangka Lokakarya Kamus Tata Ruang. 18-19 Maret 1997. Direktorat Jendral Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum, hal 56.
[3] Suparlan, Parsudi.”Megalopolis: Sebuah Peluang VS Ancaman Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”. Seminar Why Megalopolis ?. Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia. 2006
[4] Hoessein, Benyamin. “Optimalisasi Konsep Otonomi Daerah Bagi Pemerintah Kota”. Seminar Urban Management. Pascasarjana Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia. 2003.
[5] Kansil dan Kansil.”Kitab Undang-Undang Otonomi Daerah 1999-2001”. Jakarta. 2001
http://chrispoerba.wordpress.com/2009/07/04/konsep-megalopolitan-di-era-otonomi-daerah-absurd/